• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V NEGOSIASI DAN RESISTENSI GURU SEJARAH

5.1 Resistensi untuk Keluar “Batas”

Sebagai guru sejarah, mereka bisa menemukan bagaimana proses

didominasi oleh ideologi dominan dan menarik jarak dengan kekuasaan tersebut.

Oleh sebab itu, mereka dapat belajar tentang bagaimana menjadi bebas melalui

perjuangan mengajar dalam dunia pendidikan. Muncul kecenderungan baru dalam

lembaga pendidikan formal bahwa guru-guru mengajar hal-hal yang bukan

menjadi bagian dari apa yang diyakininya karena mereka tunduk kepada

pengawasan institusi tempatnya mengajar.

Menurut Alisjahbana, desentralisasi pendidikan di Indonesia dilaksanakan

pada tiga tingkatan, yaitu level distrik atau kebijakan tempat dimana mereka

mengajar. Kedua adalah desentralisasi pada level sekolah, yaitu memberi

kewenangan kepada para sekolah untuk mengatur dan menyelenggarakan proses

pendidikan di sekolah, dan terakhir adalah desentralisasi pendidikan pada level

guru. Furu di sekolah diberikan otonomi yang lebih besar, sehingga mereka dapat

Demikian halnya dengan guru sejarah, mereka seyogyanya mempunya wewenang

untuk melakukan metode pengajaran yang menarik dalam proses belajar-

mengajar.77

Sebagaimana diketahui sistem pendidikan di Indonesia saling berinteraksi

dengan peristiwa-peristiwa sosial lainnya, terutama untuk pelajaran sejarah sangat

dipengaruhi oleh sistem politik. Hal ini mempengaruhi posisi peranan pendidikan

di masyarakat karena masih menggunakan sistem sentralistik, diaman pedidikan

dapat dijadikan sebagai alat politik pemerintah atau disebut dengan politisasi

pendidikan, dimana penguasa menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan.

Dalam pelajaran sejarah, guru memegang peranan penting untuk diberi

kewenangan di tengah-tengah politisasi pendidikan tersebut. Guru-guru pada

masa Orde Baru dituntut untuk menanamkan dalam diri para murid keyakinan dan

“kebohongan” yang dipandang berguna oleh mereka yang mengawasi dan

memerintahkannya. Adanya versi-versi sejarah yang berubah, terkadang membuat

guru sejarah merasa malas untuk mengajak murid-muridnya berpikir kritis dengan

menganalisa semua versi sejarah tersebut.

77

Armina S. Alisjabahna. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung. Dalam H.M. Zainuddin. Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 51.

Di tahun 2013 sudah banyak sekali akses-akses untuk mendapatkan bahan-

bahan pengajaran alternatif yang dapat dipakai untuk mengajar, namun guru

sejarah yang tidak progresif cenderung enggan untuk memberi bahan-bahan

alternatif tersebut dengan berbagai alasan, contohnya seperti yang dikatakan oleh

salah satu guru dari SMA Negeri Yogyakarta:

“lha saya itu tidak punya waktu untuk cari-cari film yang lain mbak, ya kalau mbak punya bisa saya pinjam. Kalau cari sendiri ya saya juga nggak tahu dimana carinya, terus saya nggak ngerti cara nyetel alatnya gimana. Belum lagi cuma 45 menit ngajar untuk nonton film yang 2 jam, tahu sendiri kan mbak anak-anak itu kalau keluar kelas disuruh pindah ruangan audio-visual gimana, masih guyonan dulu, jadi efektif waktu cuma setengah jam”

Dari pernyataan salah satu guru diatas bisa dilihat bagaimana guru

bersikap skeptis terhadap perkembangan pelajaran sejarah. Pendidikan sejarah-

pun selamanya akan bersifat konvensional jika guru sejarahnya malas untuk

menemukan cara-cara baru dalam mengajar. Kekuasaan Orde Baru telah

membentuk pandangan ini, mereka terbiasa dengan sikap menerima apa yang

harus diajarkan oleh pemerintah, dan tidak boleh memberi alternatif lain diluar

pengajaran yang ditetapkan tersebut. Paket-paket pengajaran menjadi alat-alat

propaganda dari birokrasi besar dengan misi dan kepentingannya.78

78

Mangunwijaya. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Rakyat. Yogyakarta: CV. Diandra Primamitra Media, hal. 91.

“Jangankan siswa, lha wong gurunya saja masih memperdebatkan berbagai versi. Malah ketika forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah mempertanyakan, apakah ketika banyak terbit buku putih ini dan itu malah berdampak pada kebingungan siswa ? Saya tegas mengatakan, sejarah kan sesuatu yang tidak final, ada hukumnya ketika ditemukan fakta dan bukti baru, yang lama harus gugur ya kan.. Guru-guru harus memahami hal seperti itu. Karena para guru telah terjebak status-quo tadi, pokoknya enggan berpikir lain. Saya memaklumi itu, toh mereka adalah pekerja-pekerja teknis saja. Guru itu kan pekerja teknis ya, jarang ada yang berupaya untuk mengadakan pembaharuan pada bidangnya. Jadi ketika harus didistorsi seperti sekarang pun harus terima-terima sajalah. Bayangkan saja, kita selama 32 tahun diindoktrinasi seperti itu, sehingga sudah menjadi dogma ya.. Sejarah lalu didogmakan seperti itu. Sebagaimanapun itu, harus ada perubahan narasi. Karena kehidupan berbangsa dan bernegara ini kedepan ini akan sangat berbahaya, ketika dibalik itu tidak ada kejujuran. Pembantaian yang memakan nyawa sekian ratus ribu dianggap biasa saja, ini sesuatu yang berbahaya menurut saya. Ndak usah diutik-utik.. ndak usah dimunculkan lagi.. dengan pendekatan HAM misalnya. Ini kan bahayanya ke depan, sesuatu yang kita lakukan kekerasan apapun akan dianggap hal yang biasa,ketika peristiwa yang sebesar itu terjadi lagi, toh juga nantinya dianggap biasa saja.”

Menanggapi guru yang yang memiliki resistensi cukup besar terhadap

institusi tempatnya mengajar seperti diatas, tentunya akan menarik saat bertanya

bagaimana posisinya dalam lembaga formal. Katanya, ternyata tidak semua guru

di Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta berani mengambil resiko untuk

memberi wacana alternatif tentang Tragedi Kemanusiaan 1965. Memang semua

dari mereka mengetahu adanya versi-versi lain di luar buku-buku teks resmi dari

Menteri Pendidikan Nasional. Namun hanya beberapa dari mereka yang mau

Saat mengadakan workshop tentang proses pembelajaran alternatif yang

diadakan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, salah satu guru dari Sekolah

Menengah Atas beragama di Yogyakarta mengatakan bahwa dia tidak mau

mengambil resiko karena mengambil jalan di luar yang ditentukan. Hal ini bisa

dilihat bahwa pelajaran sejarah masih sangat dikuasai oleh lembaga resmi

pemerintahan sehingga masih ada tingkat kekuasaan dan ketakutan bagi guru

sejarah. Namun, tambah guru di lain sekolah, pembatasan pelarangan buku tidak

bisa dilakukan lagi, karena kontroversi selalu bisa diakses oleh murid melalui

media sosial dan teknologi.

  Berbicara secara sempit, sekolah adalah lembaga total (total institution)

yang mengawasi kehidupan para ‘penghuninya’. Termasuk menurut Saya Sasaki

Shiraishi79 adalah pemisahan anak-anak ke dalam celah sosial dalam masyarakat.

Sebagai lembaga formal, sekolah jaman Orde Baru memberi pengajaran secara

indoktrinasi, doktrin-doktrin yang tertanam melingkupi nilai-nilai benar-salah,

hitam putih, bahkan penguasa-tertindas. Dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia,

Saya Sasakhi Shiraishi menempatkan sistem persekolahan sebagai kontinuitas

seluk beluk kekuasaan Orde Baru dan konsep bapak-anak pun dianalogikan di

Bab VI dalam buku itu sebagai guru yang harus dihormati muridnya.

Seperti dijelaskan di beberapa bab sebelumnya sebelumnya, Soeharto,

seperti yang terekam dalam otobiografinya, justru menganggap menteri-

menterinya sebagai anak-anaknya sendiri. Ia juga menggeser arti tut wuri

handayani Tjipto Mangunkusumo yang pada masanya adalah bentuk alternatif

dari pendidikan Belanda yang terlalu mengatur anak. Tut wuri handayani yang

semula adalah ‘membebaskan anak untuk berinisiatif’, oleh Suharto diartikan

“pengawasan anak-anak dari belakang”, yang menyiratkan adanya hukuman jika

berbuat kesalahan.

“Pengawasan dari belakang” ini, secara rumit dan unik, menciptakan

kesewenang-wenangan kekuasaan dengan “toleransi” dalam sebuah hubungan

keluarga negara untuk mempertebal kekuasaan. Shiraisi memang tak mengatakan

adanya kemungkinan rencana besar itu, namun ia menelusuri bahwa konsepsi

yang diturunkan oleh bapak kepada anak-anaknya, bisa sangat menyeluruh

menjadi sebuah wacana, yang kemudian bahkan diturunkan melalui pendidikan

resmi. Buku teks sekolah yang kemudian membentuk perkembangan anak-anak

anak selamanya. Kita bisa melihat bagaimana pelan-pelan tanpa disadari,

hegemoni Orde Baru telah membentuk konsep pemahaman terhadap sesuatu yang

mutlak jauh sejak masa awal sekolah. Mutlak dalam pendidikan selalu saja yang

namanya pendidikan terkait dengan politik karena semua apa yang dijalankan

tetap kebijakan politik, contohnya pencamtuman kata PKI dalam wacana

peristiwa G30S di buku ajar sejarah.

Sekolah selama ini telah menjadi agen dari kelas pengatur yang

menyebarkan pengetahuan dari kelas pengatur untuk memelihara dominasi yang

telah berlangsung dan tentu saja demi kepentingan kelas pengatur.80 Para

sejarawan mengatakan bahwa alur pendidikan sejarah di Indonesia adalah alur

yang satu arah, guru bicara dan murid mendengarkan. Jika guru mengijinkan,

murid baru boleh bicara. Murid biasanya jarang bertanya, apalagi bersikap kritis

karena ia akan dianggap mengacaukan situasi di kelas dan wajib dihukum. Pola

pendidikan seperti ini adalah sebuah simulasi politik di era Orde Baru yang sejak

kecil masyarakat Indonesia telah ditanamkan sebuah pola hidup yang

“membebek” mengikuti gurunya.

Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap sebagai bagian penting dari

perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah adanya

kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya keserakahan dan

kejahatan penindas tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat

untuk melawan. Para pendiri republik sejak menjadi aktivitas baik di atas maupun

bawah tanah menyadari sistem pendidikan kolonial sebenarnya bagian dari

penindasan. Karena itu pembebasan perlu juga dikembangkan dalam pendidikan

dasar. Pendidikan harusnya terbentuk bukanlah melalui transfer pengetahuan

apalagi pemaksaan doktrin.

Dokumen terkait