• Tidak ada hasil yang ditemukan

10. Sistematika Penulisan

2.2 Pendidikan Sejarah sebagai Alat Kekuasaan

2.2.2 Pengetahuan dan Kekuasaan

Jika dalam satu sisi pendidikan membicarakan tentang alienasi, tentunya

kita juga harus mencermati siapa yang bermain dalam proses penciptaan alienasi

tersebut. Alienasi sangat dipengaruhi oleh satu pihak yang berkuasa, dalam

pendidikan alienasi bisa dilihat oleh bagaimana murid tidak pernah berperan

menjadi subjek dalam menentukan apa yang menjadi aktualisasi dirinya.35 Dari

34

Franz Magniz-Suseno. 1993. Sejarah Filsafat Sosial Jerman Abad Ke-Sembilan Belas. Jakarta: Sekolah Tinggi Driyarkara.

35

konsep Gramsci tentang ideologi dan hegemoni tersebut memperlihatkan kepada

kita adanya budaya dominan yang ditekankan di suatu persekolahan bahkan dapat

dikatakan adanya pemeliharaan dominasi. Gramsci adalah salah satu tokoh neo-

marxis yang selama hidupnya membangun aliansi buruh dan petani dengan

membangun poros utara yaitu kelas proletarian di kawasan industri maju dan

poros selatan yaitu tuan-tuan rumah yang mendominasi tanah.

Menurut Gramsci memperjuangkan kelas tertindas adalah tugas dari

pemikir-pemikir yang bisa mempengaruhi perjuangan mereka dengan tidak

menghasilkan kepentingan sepihak karena untuk memperjuangkan kelas

diperlukan war of position, yakni memperebutkan kekuasaan atas suprastruktur

negara dengan menciptakan hegemoni tandingan melalui budaya alternatif.

Berbicara dominasi, pedagogi kritik36 mengkaitkan konsep hegemoni dengan

pendidikan. Bagi Gramsci, kajian budaya mengadopsi makna-makna yang

menyokong kelompok sosial tertentu. Maka konsep-konsep hegemoni pun

menjadi relevan bagi gerakan sosial kebudayaan dalam pendidikan.37 Pemikiran

36

Paradigma pendidikan kritis ini selain menghapus kekuasaan dalam kapitalisme juga berimplikasi kepada metode dan pendekatan pengajaran. Pendidikan kritis juga tidak hanya diterapkan sebagai hubungan subjek-objek, namun juga dalam bentuk kurikulum ataupun metode belajar. Dengan demikian, yang harus dipertajam dari pendidikan kritis ini adalah bagaimana suatu institusi pendidikan dapat berfungsi sebagai agen utnuk memperoduksi sistem sosial yang baru (Stanley, 2000)

37

Gramsci menempatkan analisa kebudayaan dan perjuangan ideologis yang

akhirnya menjadikan kajian budaya menjadi sangat relevan bagi mereka yang

peduli terhadap pendidikan sejarah. Pemikirannya memberikan tempat khusus

bagi kaum intelektual yang menghubungkan mereka dengan peserta perjuangan

sosial lainnya. Di sini Gramsci membedakan antara “intelektual organik” dengan

“intelektual tradisional”.

Begitu pula dalam hal pendidikan, kajian budaya Gramscian memimpikan

sang “intelektual organik” yang memegang peran kunci dalam penyiapan kaum

intelektual dan gerakan yang kontrahegemonik tentang digunakannya konsep-

konsep Gramsci dalam kajian budaya adalah karena penekanannya pada nilai-nilai

penting dalam pertarungan ideologis. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai

“sekumpulan fungsi pendominasian, pendidikan, dan pengarahan yang dilakukan

suatu kelas sosial yang dominan selama periode tertentu terhadap suatu kelas

sosial lainnya, bahkan sejumlah kelas sosial lainnya.38 Dominasi wacana sejarah

dalam konteks pendidikan Indonesia selalu berhubungan dengan wacana-wacana

yang kontroversi, contohnya Tragedi Kemanusiaan 1965, di mana sampai kini

masih diperdebatkan cara mengajar topik tersebut di sekolah secara netral.

38

Tragedi kemanusiaan 1965 merupakan sejarah yang bersifat kontroversial

pada pelajaran sejarah dalam beberapa tahun terakhir karena terdapat beberapa

versi dan masing-masing mempunyai landasan yang kuat. Menurut Abu Su’ud,

pengembangan isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan mencapai: (1)

peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan

kepekaan sosisal, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5)

peningkatan keberanianpengungkapan pendapat secara demokratis, dan (6)

peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab39.

Pelajaran sejarah yang kontroversial baru dianggap sebagai sesuatu yang

kontroversial setelah Reformasi 98, dimana mulai banyak tulisan dan buku yang

isinya memberi alternatif wacana bagi buku pelajaran sejarah di sekolah. Namun

seperti disebutkan di Bab I, bahwa pelajaran di sekolah hanya mendorong

siswanya untuk menghafal tanggal, nama dan tokoh sejarah persis seperti di buku

pelajaran daripada mengajak siswa untuk memahami berbagai versi wacana

sejarah. Menurut Asvi Warman Adam, dalam www.sejarahkritis.wordpress.com,

kecenderungan ini juga disebabkan oleh kurangnya inisiatif dari guru sejarah

39

Pernyataan Abu Su’ud ini dikutip di blog sejarahkritis.wordpress.com oleh tsabitazinarahmad berjudul Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial, yang diunggah tanggal 2 April, 2012 jam 12: 49.

untuk mengadakan evaluasi pedagogi sejarah kritis. Hal ini tampak dari adanya

intervensi dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung

Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku

pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan Partai Komunis Indonesia

tahun 1948 dan 1965.

Dengan melihat kenyataan bahwa pelajaran sejarah selalu mutlak

menggunakan buku yang ditentukan oleh institusi, maka pelajaran sejarah

dianggap sebagai alat indoktrinasi sebuah rejim dan menghasilkan hegemoni

wacana yang mutlak antar-generasi. Mengingat bahwa murid-murid tidak dapat

menentukan sendiri bahan-bahan yang harus dipelajari, maka peran guru disini

sebagai agen pengetahuan perlu mendapat perhatian khusus. Guru mempunyai

peran untuk mendampingi murid belajar secara mandiri dan sebaliknya mereka

juga berperan memediasi murid untuk berintegrasi dengan materi-materi lain di

luar yang ditentukan institusi.

Membahas tentang politik kurikulum resmi dari institusi berarti bicara

tentang kekuasaan. Kekuasaan disini adalah relasi antara pemerintah dengan

institusi, institusi dengan guru dan guru dengan murid. Murid sudah terbiasa

menyerah kepada kekuasaan demi mendapatkan nilai diatas rata-rata. Sebaliknya,

ada beberapa murid yang menunjukkan penolakan dengan membisu, meskipun

ada beberapa yang menunjukkannya dengan pertentangan yang aktif karena

sejarah juga tidak bisa secara instan menuntut muridnya untuk berpikir kritis,

seolah seperti orang yang akan menulis ulang teks yang dibacanya. Ketika penulis

melakukan penelitian di beberapa sekolah dan melakukan beberapa wawancara

dengan murid mengenai pelajaran sejarah, bisa diduga bahwa sebagian besar

murid-murid SMA di Yogyakarta masih dididik oleh model pengajaran

konvensional. Hal inilah yang menjadi perbandingan model transisi pedagogi

pelajaran sejarah di sekolah lain untuk dianalisa.

Dalam kasus lain murid menjadikan guru sebagai role model persis tanpa

menelaah lebih dalam apa yang diajarkannya. Kekuasaan semacam ini tidak

mampu memberikan stimulasi terhadap murid bagaimana cara berpikir kritis.

Contohnya, mereka menulis apa yang guru bicarakan di depan kelas karena murid

merasa asing dengan apa yang diajarkan guru sejarah. Hal ini berkaitan dengan

peristiwa sejarah yang tidak dijelaskan secara konseptual oleh guru sejarah.

Akibatnya saat belajar di rumah murid merasa teralienasi dari wacana sejarah

Dua macam cara mengajar sejarah diatas hanyalah menitikberatkan pada

teknik dan bukan melakukan kontak dengan realitas secara kritis. Inilah yang

menghalangi analisis atas kekuasaan politik pembuatan kurikulum dalam

pendidikan menjadi sesuatu yang dianggap berkuasa sehingga sudah selayaknya

dipatuhi oleh murid dan bahkan guru sejarahnya. Para guru sejarah dibiasakan dan

terbiasa untuk tidak mengajukan pertanyaan kritis tentang keputusan atasan jika

tidak ingin berdampak terhadap pekerjaan yang dilakukannya.

Pada metode pendidikan kritis dalam pembelajaran sejarah, pengajaran

yang bersifat dialogis mendorong guru dan murid melakukan pengupasan

pemikiran dari bahan kajian sejarah, dan bukan semata-mata pengalihan

pengetahuan dan teknik menguasai alfabet. Ira Shor mengatakan gagasan tersebut

adalah pedagogi yang mencerahkan realitas, artinya pendidikan yang

membebaskan bukan panduan atau teknik cerdas, melainkan suatu perspektif

cerdas tentang sekolah, masyarakat dan belajar untuk transformasi sosial.40

Pendidikan sejarah merupakan tindakan yang politis. Oleh sebab itu,

sampai saat ini tidak ada pedagogi yang netral dalam belajar sejarah karena

adanya dominasi dari wacana sejarah yang masih bermuatan politik dan memiliki

40

hubungan sosial dengan masyarakat. Menurut Paulo Freire, dalam suatu proses

pedagogi dapat ditemukan bagaimana kita didominasi ideologi dominan. Kita

dapat menarik jarak atas momen eksistensi kita. Oleh sebab itu, kita dapat belajar

tentang bagaimana menjadi bebas melalui perjuangan politik dalam masyarakat.41

Pendidikan sejarah yang bersifat statis ini menimbulkan kebingungan bagi

guru sejarah dan murid. Pada saat Orde Baru, mereka terbiasa membaca sejarah

yang cenderung mendiskreditkan satu pihak tertentu. Selepas Reformasi 98,

“pahlawan” yang dulu dipuja-puja seketika harus berubah karena perkembangan

historiografi. Banyak buku yang akhirnya cenderung menulis peristiwa Tragedi

Kemanusiaan 1965 dengan menyertakan lebih dari satu pendapat. Guru sejarah

harus berupaya menyesuaikan materi dengan mengikuti perubahan-perubahan

wacana tersebut dan mengajak murid-murid untuk berpikir kritis dengan melihat

perubahan yang terus terjadi. Kontroversi wacana Tragedi Kemanusiaan 1965

tidak sebatas pada pencatuman tiga huruf di belakangnya saja, namun juga karena

ada berbagai versi terhadap tafsiran peristiwa tersebut.

41

Dokumen terkait