• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 AMPAS TEBU

Ampas tebu (bagasse) merupakan sisa bagian batang tebu dalam proses ekstraksi tebu yang memiliki kadar air berkisar 46 – 52%, kadar serat 43 – 52% dan padatan terlarut sekitar 2 – 6%. Komposisi kimia ampas tebu meliputi zat arang atau karbon (C) 23,7%, hidrogen (H) 2%, oksigen (O) 20%, air (H2O) 50% dan gula 3%. Pada prinsipnya serat ampas tebu terdiri dari selulosa, pentosan, dan lignin. Komposisi ketiga komponen bisa bervariasi pada varitas tebu yang berbeda.

Ampas tebu (bagasse) adalah salah satu sumber biomassa dari penggilingan gula yang pemanfaatannya sebagian besar hanya sebagai bahan bakar padahal jumlah produksi tiap tahunnya cukup melimpah, mudah didapatkan, dan harganya murah. Saat ini, ampas tebu digunakan baik sebagai bahan baku untuk pembuatan kertas atau sebagai sumber pakan ternak yang potensial. Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengembangan teknologi sehingga terjadi pengembangan pemanfaatan limbah biomassa terutama dalam bidang pertanian. [16]

Dibawah ini adalah data mengenai karakteristik khas material ampas tebu. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut [15] :

1. Bersifat tidak keras dan tidak fleksibel

Ampas tebu memiliki sifat dasar yang berada pada pertengahan, tidak keras, tidak juga fleksibel karena ampas tebu memiliki kulit yang keras dan bagian gabus yang tebal pada strukturnya. Hal ini mengakibatkan ampas tebu agak sulit untuk dijadikan bidang maupun struktur. Begitu juga karakteristik yang didapatkan dari hasil penggilingan minuman sari tebu terkadang terdapat retak pada bagian buku yang dinilai mengurangi kekuatan material. Pada proses pencetakan sederhana, ampas tebu berhasil di bentuk melengkung menyerupai cetakan. Namun, dalam beberapa bulan, ampas tebu kembali seperti semula terkecuali dicampur dengan hardener pada prosesnya. Dalam pencetakan tersebut, ampas tebu tetap tidak dapat mencapai bentuk-bentuk yang signifikan. Hal ini dikarenakan bentuk asli tebu yang lurus, sehingga pada pembentukan akan tetap mempertahankan sifat lurusnya.

2. Ketebalan yang tidak merata

Ampas tebu memiliki ketebalan yang tidak merata berdasarkan bagian gabus yang dimiliki. Pada proses eksperimen roll, ketebalan ampas tebu berhasil direduksi hingga menjadi relatif sama dengan ketebalan 3 mm.

3. Warna putih gading yang khas

Ampas tebu yang sudah dikerik kulitnya memiliki warna putih gading setelah kering. Warna tersebut hanya didapat pada pengeringan dengan sinar matahari. Warna yang khas memberikan nilai estetika sendiri bagi produk dengan material ampas tebu.

4. Bersifat menyerap kelembapan

Berdasarkan penelitian yang telah ada, ampas tebu memiliki kandungan gabus tebal yang bersifat menyerap uap air. Begitu juga dengan eksperimen menggunakan buah pisang dan tomat yang berada didalam kotak berisi ampas tebu membutuhkan waktu lebih lama dalam pematangan.

5. Empuk dan bouncy

Ampas tebu memiliki gabus tebal yang memiliki pori pori besar. Sifat ini mengakibatkan gabus ampas tebu bersifat empuk dan bouncy, bila ditekan kembali seperti semula.

2.4 SELULOSA

Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam. Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Selulosa tersusun dari unit-unit anhidrog lukopiranosa yang tersambung dengan ikatan -1,4-glikosidik membentuk suatu rantai makro molekul tidak bercabang. Setiap unit anhidrog lukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil, seperti yang terlihat pada gambar 2.3. Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10O5)n dengan n ~ 1500 dan berat molekul ~ 243.000 [17].

Gambar 2.2 Struktur Selulosa [18]

Selulosa merupakan polimer yang relatif stabil dikarenakan adanya ikatan hidrogen. Selulosa tidak larut dalam pelarut air dan tidak memiliki titik leleh. Serat selulosa juga memiliki fleksibilitas dan elastisitas yang baik sehingga dapat mempertahankan aspect ratio (perbandingan panjang terhadap diameter (P/d)) yang tinggi selama proses produksi [17].

Bagian mikrofibril yang banyak mengandung jembatan hidrogen antar molekul selulosa bersifat sangat kuat dan tidak dapat ditembus dengan air. Bagian ini disebut sebagai bagian berkristal dari selulosa, sedangkan bagian lainnya yang sedikit atau sama sekali tidak mengandung jembatan hidrogen disebut bagian amorf. Menurut Tsao (1978) perbandingan bagian kristal dan bagian amorf adalah 85 persen dan 15 persen. Struktur berkristal dari selulosa merupakan hambatan utama dalam proses hidrolisis.

Menurut Sjostrom (1981), selulosa dapat dibedakan berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5% yaitu [19]:

1. Selulosa α (Alpha cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut

dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa.

2. Selulosa (Betha cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam

larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan.

3. Selulosa µ (Gamma cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP nya kurang dari 15.

Selulosa terdiri dari dua bagian yaitu amorf dan kristal. Selulosa dapat ditemukan dalam bentuk mikrofibril kristalin selulosa I, II, III, dan IV. Fraksikristal dinyatakan dalam persentase sebagai indeks kristalinitas. Penentuan struktur selulosa bisa dilakukan dengan difraksi X-Ray, NMR, dan FTIR [20; 21].

Selulosa I merupakan bentuk asli selulosa yang terdiri dari dua Kristal

allomorf, yaitu Iα dan I . Berdasarkan pengujian difraksi elektron selulosa Iα

memiliki satu unit sel triklinik, sedangkan selulosa I memiliki dua unit sel

monoklinik, keduanya tersusun dalam satu susunan rantai paralel, dengan rasio berbeda dalam satu serat, tergantung pada asalnya. Selulosa Iα banyak terdapat

pada selulosa bakteri dan valonia, sedangkan I pada selulosa kapas atau kayu [20].

Selain selulosa I, terdapat selulosa II yang terbentuk dengan pengendapan selulosa dari larutan ke dalam medium air pada suhu kamar atau sedikit lebih tinggi dari suhu kamar pada proses pemintalan serat selulosa buatan manusia secara teknis. Selulosa II ini juga diperoleh dari proses merserisasi kapas, yang terjadi melalui pembentukan natrium selulosa melalui interaksi polimer dengan cairan natrium hidroksida dan peruraian dengan netralisasi atau penghilangan natrium hidroksida. Proses transformasi dari selulosa I menjadi selulosa II biasanya irreversible, walaupun ada yang menyatakan bahwa natrium selulosa dapat diretransformasi sebagian menjadi selulosa I. Sistem ikatan hidrogen selulosa II lebih rumit daripada selulosa I dan menghasilkan densitas tautan silang intermolekul yang lebih tinggi [17; 20].

Dokumen terkait