• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. KAJIAN PUSTAKA

4. Anak Berkebutuhan Khusus

berbakat atau bakat istimewa yang dapat bersifat sementara namun juga dapat bersifat permanen, sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan sifat-sifat yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya atau seusianya.

7 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini membahas kajian teori, hasil penelitian yang relevan, kerangka berfikir, dan hipotesis.

A. Kajian Pustaka

1. Sekolah Dasar Inklusi

Ilahi (2013:87) menjelaskan sekolah inklusi adalah sekolah regular yang mengakomodasi dan mengintegrasikan siswa regular dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama. Stainback dan Stainback (dalam Ilahi, 2013:83) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Pernyataan tersebut didukung oleh perjanjian Salamanca Statement dan Framework for Action (dalam Kustawan, 2013: 17) yang menjelaskan bahwa sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dalam meningkatkan efisiensi sehingga menekankan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.

Rosilawati (2013:18) menjelaskan sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodasikan dan merespon keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat.

Bafadal (2006: 3) menjelaskan bahwa sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun.

Dari beberapa pendapat di atas, sekolah dasar inklusi adalah satuan pendidikan enam tahun yang mengakomodasi semua anak dalam satu kelas yang sama tanpa adanya sikap diskriminatif.

2. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Sekolah Dasar Inklusi

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasi Semua Anak Kustawan (2013 : 90 – 91) menyatakan bahwa penerimaan peserta didik baru di SD/MI pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidik khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, maka psikolog tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB. SD/MI Penyelenggaraan pendidikan inklusi menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah dan mengalokasikan kursi/quota untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

b. Identifikasi

Kustawan (2013:93) mengatakan bahwa identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/kelainan/ganguuan baik fisik, intelektual, mental, emosional dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya.

Dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013;93) dituliskan bahwa istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.

Dalam buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013;93) identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan gejala-gejala yang menyertainya.

Lerner (dalam Kustawan, 2013:93) menjelaskan bahwa identifikasi dilakukan untuk lima keperluan yaitu penjaringan (sreening),

pengalihtanganan (referral), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar

(monitoring pupil progress). Selanjutnya Kustawan (2013:95)

mengemukakan bahwa tujuan dilaksanakan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, dimana hasil identifikasi dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuiakan dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk menyususun program dan pelaksanaan intervensi/penanganan/terapi berkaitan dengan hambatannya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa identifikasi adalah proses yang dilakukan oleh guru untuk menggali dan mengenali apakah seorang anak mengalami kelainan atau gangguan fisik, emosional, mental, dan potensi atau sangat berbakat.

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Kustawan (2013: 107) mendeskripsikan kurikulum fleksibel yakni mengakomodasi anak dengan berbagai latar belakang dan kemampuan, maka kurikulum tingkat satuan pendidikan akan lebih peka mempertimbangkan keragaman anak agar pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Penjelasan Kustawan didukung oleh Nasution (dalam Ilahi, 2013 : 168) yang menjelaskan kurikulum merupakan salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan

untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan.

Pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Arifin (dalam Ilahi, 2013 : 169) menguraikan bahwa kurikulum tidak sekedar dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan anak didik oleh pendidiknya, tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut kependidikan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak didik dalam rangka mencapai hakikat tujuan pendidikan yang sebenarnya, terutama perubahan tingkah laku yang menjadi cerminan dari kualitas anak didik yang berkepribadian luhur.

Dari beberapa pengertian di atas adaptasi kurukulum (kurikulum fleksibel) adalah kurikulum yang disusun sebagai acuan untuk menentukan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak namun juga dapat disesuaikan dengan anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus.

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak

Guru yang baik akan melakukan pembelajaran yang interaktif agar perhatian anak didiknya terpusat penuh kepada guru. Guru juga harus menggunakan metode pembelajaran yang cocok bagi anak didiknya agar anak didiknya mampu berpartisipasi di dalam pelajaran. Jenis materi pelajaran yang digunakan oleh para guru dapat memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan akademis siswa-siswa penyandang disabilitas (Kustawan, 2013 :111). Ilahi (2013 : 172 – 173) menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan

mengajar yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik–topik dan sub–sub topik tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan.

Dari beberapa pengertian di atas kesimpulan dari merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak adalah guru harus mengupayakan pembelajaran yang menarik dengan merancang bahan ajar yang menarik dan kreatif sehingga mampu menarik perhatian para anak dan pembelajaran dapat tersalurkan dengan baik.

e. Penataan Kelas yang Ramah Anak

Everton dan Weintein (dalam Friend, 2015: 285) menjelaskan pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr dan Nelson (dalam Friend, 2015: 274) menyatakan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Penjelasan tersebut didukung oleh Friend (2015:270) yang menyatakan bahwa penataan unsur-unsur fisik ruang kelas dapat mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus dan anak yang berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dan pemanfaatan ruang kelas, yaitu meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpanan.

Dari beberapa pengertian di atas, penataan kelas yang ramah anak itu dilakukan oleh para guru dalam mengoptimalkan proses belajar mengajar,

dimana suasana dan penataan kelas sangat mempengaruhi proses, situasi dan kondisi belajar bagi setiap anak.

f. Asesmen

Asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan (Overton dalam Friend, 2015 : 209). Triani (2013 : 25) menjelaskan asesmen merupakan kegiatan secara utuh dan menyeluruh untuk tujuan tertentu, kegiatan yang dilakukan dalam asesmen adalah mengumpulkan data dan informasi yang akan digunakan untuk bahan pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran.

1. Screening

Friend (2015: 210) mengemukakan bahwa screening meliputi keputusan untuk menentukan jika proses kemajuan seorang siswa dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima perubahan pengajaran, atau pada akhirnya, asesmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas. Tiarni (2013: 22) menambahkan, bahwa screening dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus.

2. Diagnosis

Friend (2015: 211)menjelaskan bahwa keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan hukum bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak.

3. Penempatan program

Friend (2015: 215) menjelaskan bahwa bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima siswa, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

4. Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) mengemukakan bahwa penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran siswa. Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa-siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum yang juga menjadi tujuan tegas dari IDEA. 5. Evaluasi pengajaran

Friend (2015: 217) menyatakan bahwa keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada siswa. Keputusan ini dibuat dengan memantau kemajuan siswa secara cermat.

6. Evaluasi program

Friend (2015: 217) menjelaskan bahwa keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif

Kustawan (2013 : 117) berpendapat bahwa media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan khusus hakekatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat bermanfaat atau berguna dan cocok dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran disesuaikan dengan tujuan, kebutuhan, materi, kemampuan, dan karakteristik anak akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil pembelajaran.

h. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran

Kustawan (2013 : 124) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses yang penting dalam bidang pengambilan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan dan menganalisis informasi tersebut agar diperoleh data yang tepat yang akan digunakan pengambilan keputusan dalam memilih diantara beberapa alternatif. Adapun karakteristik evaluasi adalah: (1) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dievaluasi, (2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan, (3) menyediakan informasi yang berguna, (4) melaporkan penyimpangan/kelemahan untuk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga.

3. Pendidikan Inklusi

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Menurut Ilahi (2013: 24), konsep pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan prinsip yang berkaitan

dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Pernyataan tersebut didukung oleh Staub dan Peck (dalam Ilahi, 2013: 27) yang menjelaskan pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Sedangkan O’Neil (dalam Ilahi, 2013: 27) menambahkan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.

Rosilawati (2013 : 9) memaparkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Tiarni (2013:4) berpendapat pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, kesimpulan pengertian pendidikan inklusi adalah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan sistem layanan pendidikan yang tepat kepada semua anak yang mengalami kebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan secara bersama-sama di sekolah regular.

b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Menurut Ilahi (2013:39) tujuan pendidikan inklusi, yaitu:

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki

potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Santoso (dalam Ardika, 2016: 11) menambahkan tujuan dari pendidikan inklusi adalah :

1) Menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas, menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dan sekaligus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya. 2) Memberikan kesempatan agar memperoleh pendidikan yang sama dan

terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi, bagi yang secara fisik dan psikologi memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun yang sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termajinalkan.

Rosilawati (2013 : 10) menambahkan manfaat dan sisi positif yang diperoleh dari adanya pendidikan inklusi :

1) Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap wilayah dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.

2) Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

3) Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, kesimpulan tujuan pendidikan inklusi adalah untuk mewujudkan penyeleggaraan pendidikan tanpa adanya diskriminasi bagi semua peserta didik serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk semua anak memperoleh pendidikan tanpa membeda-bedakan keberagaman.

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013: 44) menjelaskan pendidikan inklusi memiliki empat karakteristik makna, antara lain:

1. Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu.

2. Memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar.

3. Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

4. Diperuntukan dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar d. Prinsip dasar Pendidikan inklusi

Prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus. Prinsip dasar pertama adalah semua anak mendapatkan

kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya (Ilahi, 2013:48-49)

Prinsip pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengembangkan potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat. Tinjauan tersebut mengungkapkan beberapa bukti sikap positif implementasi pendidikan inklusi yang oleh Norwich (dalam Ilahi, 2013:43) disebut sebagai pendekatan “zero reject” terhadap penyediaan pendidikan khusus. Dijelaskan bahwa dalam layanan inklusi tentang sikap dan perspektif para guru yang terlibat dalam pembuatan penyediaan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan inklusi adalah untuk memberikan pendidikan yang layak dan tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing setiap anak tanpa memandang perbedaan latar belakang dari setiap anak.

4. Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Mulyono (dalam Ilahi, 2013: 137) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat. sementara Sunanto (dalam Ilahi, 2013: 137) memiliki pendapat yang sedikit berbeda bahwa anak berkebutuhan khusus bukan berarti hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan

memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan keberagaman yang berbeda.

Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan segala hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing individu (Ilahi, 2013: 138). Sunan dan Rizzo (dalam Subini, 2014: 13) menjelaskan anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki perbedaan dalam beberapa dimensi penting dari fungsi kemanusiaannya.

Dari beberapa pendapat di atas, anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, emosional, hambatan belajar, potensial dan berbakat atau bakat istimewa yang dapat bersifat sementara namun juga dapat bersifat permanen, sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan sifat-sifat yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya atau seusianya.

b. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (dalam Triani dan Rakhmawati, 2013: 24) membagi jenis anak berkebutuhan khusus menjadi 12 macam, antara lain :

1. Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya pengliatan atau berupa kebutuhan menyeluruh (total) atau sebagian (lowvision).

2. Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran, baik sebagian ataupun menyeluruh, dan biasanya memiliki hambatan dalam berbahasa dan berbicara.

3. Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki intelegensia yang signifikan berada di bawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan.

4. Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk dan fungsi tubuh atau anggota gerak.

5. Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang.

6. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau attention and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa gangguan pengendalian diri, masalah rentan atensi atau perhatian, hiperaktivitas dan impulsifitas, yang menyebabkan kesulitan berperilaku, berfikir, dan mengendalikan emosi.

7. Anak dengan gangguan spectrum autism atau autism spectrum disorders (ASD) adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan tindakan berbeda-beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta pola-pola perilaku yang repitif dan stereotipi.

8. Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan khusus, dan alat bantu belajar yang khusus.

9. Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.

10. Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities adalah anak yang mengalami hambatan atau penyimpangan pada satu atau lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.

11. Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang mengalami penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspretif. 12. Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak

yang memiliki skor intelegensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talend= ted) seperti musik, seni, olahraga, dan kepemimpinan.

Sesuai dengan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 ( dalam Sartika, 2013: 7) tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, bahwa

peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosinal, mental atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah :

1. Tunanetra (hambatan indra penglihatan) tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.

2. Tunarungu (hambatan pendengaran) adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah: a. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB)

b. Gangguan pendengaran ringan (41-55dB) c. Gangguan pendengaran sedang (56-70dB) d. Gangguan pendengaran berat (71-90dB)

e. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (di atas 91dB)

3. Tunawicara (hambatan bicara) adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain.

4. Tunagrahita (hambatan intelektual) adalah individu yang memiliki itelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

5. Tunadaksa (kelainan motorik dan mobilitas) adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular

dan struktur tulang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.

6. Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Public Law (dalam Hidayat 2013:13) mengemukakan pengertian tunalaras dengan istilah gangguan emosi, yaitu gangguan emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau lebih gejala-gejala berikut dalam satu kurun waktu tertentu dengan tingkat yang tinggi yang mempengaruhi prestasi belajar:

a. Ketidakmampuan belajar dan tidak dapat dikaitkan dengan faktor kecerdasan, pengindraan, atau kesehatan.

b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan teman. dan guru.

c. Berperilaku yang tidak pantas dalam keadaan normal. d. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus menerus.

e. Cenderung menunjukan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah.

Hallahan dan Kauffman (dalam Hidayat 2013: 32-33) menambahkan karakteristik berdasarkan dimensi tingkah laku, antara lain:

a. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku memperlihatkan ciri-ciri: suka berkelahi, memukul, menyerang, tidak mau bekerja sama, cemburu dan mudah terpengaruh.

b. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas, ketakutan, sedih, dan kurang percaya diri.

c. Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri yaitu pelamun, kaku, pasif, dan pembosan.

d. Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai kelompotan jahat, mencuri bersama kelompoknya, dan bolos sekolah. 7. Kesulitan belajar (learning disability)

Kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar yang melibatkan pemahaman atau atau penggunaan bahasa, lisan maupun tertulis, yang termanifestasikan dalam suatu kemampuan yang tidak sempurna untuk mendengarkan, berpikir, bicara, membaca, menulis, mengeja, maupun melakukan perhitungan matematika.

Dokumen terkait