• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Data

Dalam dokumen Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai (Halaman 63-75)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

3. Analisa Data

a. Kehidupan Pernikahan dan Latar Belakang Perceraian

T hidup dalam keluarga besar yang sederhana, T merupakan anak kesepuluh dari duabelas bersaudara. T memiliki sebelas saudara yaitu dua saudara perempuan dan sembilan saudara laki-laki. T bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan saudara-saudaranya, T lebih dekat dan lebih banyak bercerita dengan kakak keduanya. Sejak kecil, T membantu ibunya berjualan bunga.

Seperti remaja gadis lainnya, saat berumur 17 tahun T menjalin hubungan berpacaran dengan seorang laki-laki. Hubungan ini terjalin selama lima tahun. Sayangnya, hubungan T dengan pacarnya tidak sampai ke jenjang pernikahan. Pacar T adalah seorang laki-laki bersuku Batak, yang keluarganya memiliki prinsip bahwa laki-laki tidak boleh menikah sebelum dia bisa membiayai adiknya. Pacar T belum mapan secara ekonomi dan belum bisa membiayai adiknya, sehingga dia belum bisa menikah dengan T. Sementara T telah berusia 22 tahun pada saat itu. Pada masa itu, kebanyakan orang-orang di lingkungannya menikah pada usia muda dan wanita yang berusia 22 tahun jika belum menikah akan dicemooh. T malu mendapat cemooh dari orang-orang di lingkungannya sehingga T berpikir untuk mencari laki-laki lain.

Kemudian T bertemu dengan mantan suaminya dan lantas T mengakhiri hubungan dengan pacar yang lama. Mantan suami T tinggal di rumah kost yang berdekatan dengan rumah keluarga T. Pada awalnya, T melihat mantan suami sebagai orang yang baik dan lembut serta penampilan fisik yang bagus. T mengenal mantan suami selama empat bulan dan memutuskan untuk

berumahtangga. T mengakui bahwa dia tidak terlalu mencintai mantan suaminya itu dan dia hanya melihat pada penampilan fisik mantan suami yang ganteng. Sebenarnya orangtua dan keluarga T juga tidak terlalu menyukai mantan suami T karena orangtua T melihat mantan suami T terkesan kasar. Namun karena itu adalah pilihan T maka keluarga menyetujui saja pernikahan mereka.

Setelah menikah, T dan mantan suami tinggal di rumah orangtua T. T dan mantan suaminya hidup dalam rumahtangga yang sederhana, suaminya adalah seorang supir sedangkan T masih membantu ibunya berjualan bunga dan kadang-kadang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau membantu memasak jika ada orang yang meminta bantuannya. Setahun setelah menikah, T melahirkan seorang anak laki-laki. Selama masa pernikahan, bisa dikatakan pernikahan T tidak terlalu bahagia. T menyadari bahwa T belum cukup mengenal mantan suaminya dengan baik karena perkenalan mereka sangatlah singkat sebelum menikah. Lama kelamaan, T merasa bahwa sifat asli mantan suaminya mulai terlihat. Mantan suami T yang awalnya baik dan lembut menjadi sosok orang yang kasar, rewel, dan suka marah-marah. Kehidupan rumahtangga mereka banyak dihiasi dengan pertengkaran. Mantan suami T bahkan pernah memukul T dan anaknya.

T merasa mantan suami sangat rewel dan banyak mengatur, begitu juga dalam hal keuangan rumahtangga. Sebagai seorang supir, mantan suami T memiliki penghasilan sebesar dua juta rupiah setiap bulan. Mantan suami T hanya memberikan uang sebesar seratus lima puluh ribu dari penghasilannya kepada T untuk keperluan rumahtangganya. T sendiri merasa biaya dari mantan suami tidak dapat mencukupi keperluan rumahtangga mereka walaupun T sendiri juga bekerja

menjual bunga untuk membantu keuangan rumahtangga. Selain itu, mantan suami T juga selalu meminta uang kepada T di akhir bulan ketika kehabisan uang sehingga T merasa mantan suami seperti tidak memberikan biaya untuk rumahtangga. Walaupun begitu, T tetap bertahan dan tetap baik terhadap mantan suaminya itu.

Pada tahun ketiga pernikahan, hal buruk tersebut mulai tampak. Awalnya T mendengar hal tersebut dari orang lain dan T mulai curiga. Setelah diselidiki, T menemukan adanya surat cinta mantan suaminya untuk wanita lain. T meminta penjelasan dari mantan suami dan mantan suami pun mengaku serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun setahun kemudian, T kembali berulah dan berselingkuh. Walau begitupun, T tetap memilih bertahan dalam pernikahan tersebut demi anak. T pernah meminta cerai kepada mantan suami dan mantan suami pun menolak karena masih memikirkan anak. Mantan suami T sangat menyayangi anaknya.

Pada tahun kedelapan pernikahan, mantan suami T pergi meninggalkan T dan anaknya tanpa alasan dan tanpa kabar sedikitpun. Mantan suami meninggalkan T selama setahun dan kembali lagi pada T dan anaknya. Namun kehidupan rumahtangga T tidak juga membaik, bahkan T dan mantan suaminya memutuskan untuk pisah rumah. Pada tahun kesebelas pernikahan, mantan suami T menikah diam-diam dengan wanita lain. Hal ini diketahui oleh T dari orang lain. T meminta penjelasan dari mantan suami dan langsung meminta cerai. Mantan suami mengaku bahwa jika dia tidak menikahi wanita tersebut maka dia bisa dipenjara. Awalnya mantan suami menolak menceraikan T namun T juga

sudah terlanjur sakit hati dan tidak mau hidup dengan mantan suaminya lagi karena telah diduakan. Akhirnya T dan mantan suami bercerai. Pernikahan T hanya bertahan selama sepuluh tahun dan penyebab utama perceraian adalah karena mantan suami T menikah lagi diam-diam dengan wanita lain.

Menurut cerita T, mantan suaminya tidak sanggup hidup sederhana sehingga dia mencari wanita lain yang kehidupannya lumayan dan bisa membiayai dia. Mantan suami ingin hidup enak tanpa harus bekerja susah payah. Hal ini terlihat dari kehidupan istri dari mantan suami T yang sekarang lebih lumayan dibandingkan T karena wanita itu bekerja sebagai seorang sekretaris perusahaan. Sampai saat ini, walaupun sudah berpisah, mantan suami T masih memberikan biaya kepada anaknya sebesar dua ratus ribu setiap bulan dan mantan suami pun masih berhubungan baik dengan anaknya.

b. Kehidupan Responden Setelah Perceraian

T tidak pernah menyangka bahwa kehidupan rumahtangganya akan berakhir dengan perceraian pada akhirnya. T tidak menyangka karena T merasa mantan suaminya adalah orang yang baik dan lembut. Setelah perceraian, T merasa sedih, sangat terpukul, dan sakit hati. T juga merasa kecewa dengan mantan suami. T merasa mantan suami berubah karena keadaan hidup sederhana yang tidak bisa diterima mantan suami.

“sakit..sakit la..sakit perasaan..sepertinya memang keknya kita terpukul kali ya..keknya kekmana itu ya, dulu kita gak nyangka lah kalo bakalan rumah tangga kita seperti itu. Gak nyangka la, karna pun dia dulu juga dia orang yang baek, uda gitu kan sebenarnya dia gak pala-pala kali jahat kali gak la. Dia baik tapi itu lah mungkin gara-gara keadaan, dia gak bisa hidup

susah sama kita ya kan sampe dia berumah tangga lagi. Sakit la, sakit kali itu..sakit.”

(W.T.W.130511.1; baris 101-114)

Selain itu, T juga menjadi malu dengan teman dan tetangganya. Pada awal masa bercerai, T menjadi lebih tertutup dan lebih banyak berdiam diri di rumah. T bahkan tidak pernah lagi mengikuti perkumpulan di kampungnya karena T merasa malu bertemu dengan orang lain, akibat kehidupan rumahtangganya yang berantakan. T juga tidak bisa terbuka dengan keluarganya karena rasa malu akan kehidupan rumahtangganya. Pada malam hari, T lebih banyak merenung memikirkan masalah rumahtangganya dan masalah anaknya, bagaimana untuk membiayai anaknya yang masih kecil dan harus bersekolah.

“...Itu kalo rumahtangga kita berantakan, malu sama keluarga, malu sama tetangga. Pokoknya dimanapun gak nyaman lah, gak enak...”

(W.T.W.130511.1; baris 271-275)

“Makanya waktu pertama kali sakit lah, pokoknya jadi serba salah. Kita mau apa juga serba salah, sedih ya kan, malam juga gak bisa tidur mikirkan masalah rumahtangga kita, mikirkan bisa gak kita menghidupi anak kita.”

(W.T.W.130511.1; baris 337-343)

Bahkan T menjadi tertutup dengan orang lain, terutama dengan laki-laki. T menjadi bersikap kasar dan tidak menanggapi laki-laki yang mendekatinya.

“...kalo dulu perasaan kakak seperti tertutup kali lah...Kalo dulu kakak gak, gak ada kakak terima, kakak gak suka pun ngomong-ngomong sama laki-laki kalo dulu tapi kalo sekarang uda mendingan...Kalo dulu kakak, bisa kakak kasar gitu, bisa kakak kasar, gak suka.”

Rasa sedih T semakin bertambah karena adanya pembicaraan di luar yang tidak baik mengenai T, membuat T menjadi lebih sakit dan malu dengan hancurnya kehidupan rumahtangganya. Bahkan pembicaraan tersebut tidak hanya datang dari orang lain tetapi datang juga dari pihak keluarga yaitu dari saudara-saudara iparnya.

“Kalo masalah tetangga gak enak bicara pasti ada, apalagi keluarga, datangnya dari keluarga sendiri pun ya. Gak usah dari tetangga, dari keluarga sendiri pun ada. Apalagi dari orang lain, wajar kalo orang lain, kalo keluarga sendiri sakit..cukup sakit. Lebih sakit kita dari keluarga daripada orang lain.”

(W.T.W.130511.1; baris 325-334)

Masalah yang kemudian muncul pada T setelah perceraian adalah masalah ekonomi, karena T juga termasuk orang yang berada di golongan bawah, hidup yang pas-pasan. Apalagi T memiliki anak yang masih kecil dan perlu biaya sekolah pada waktu itu. T menjadi banyak pikiran, memikirkan kehidupannya, memikirkan bagaimana menghidupi anaknya. Masalah ekonomi dirasakan menjadi masalah yang paling berat bagi T setelah bercerai.

“sebenarnya yang paling dihadapi yang masalah cerai ini masalah kehidupan kakak kan kakak orang gak punya ya kan, waktu anak lagi kecil, udah itu butuh biaya sekolah mau makan, susu mahal. Itu aja yang paling berat dulu kakak masalah ekonomi...”

(W.T.W.130511.1; baris 397-403 dan baris 430-432)

Di satu sisi T merasa sedih dan terpukul karena perceraian, namun di sisi lain T juga merasa lebih nyaman setelah bercerai. T merasa bebas dari tekanan karena tidak ada lagi mantan suami yang rewel dan banyak mengatur. T juga

berpikir bahwa dia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan, T harus bangkit dan menata kembali hidupnya.

“Kalau dulu, kita masih ada tekanan ya karna punya suami yang rewel, dia rewel orangnya. Punya suami yang rewel, kita kan tertekan rasanya, tertekan juga ada. Setelah kita gak sama dia, rasanya lebih..lebih nyaman..gak lagi. Memang sakit, pertamanya sakit lama-lama kita harus berpikir, kita gak boleh terlarut seperti itu.”

(W.T.W.130511.1; baris 159-168)

c. Harapan Responden Untuk Menikah Lagi

Setelah melewati masa-masa bersedih dan sakit hati di masa awal perceraian, T mulai berpikir untuk bangkit dan berpikiran untuk menikah lagi. Timbul harapan dalam diri T untuk mendapatkan seseorang yang lebih baik dari suaminya yang dulu, agar T memiliki pendamping hidup lagi yang bisa memberikan perhatian padanya, sebagai teman di masa tua nanti. Harapan T untuk menikah lagi muncul satu tahun setelah T bercerai.

“...Harapannya seperti ini ‘aku kepingin kalau seandainya aku sudah tua, aku punya kawan’ harapan kita punya pendamping. Misalnya udah sakit ini gak ada yang sayang sama aku lagi. Kalau seandainya kita punya suami kan, seandainya kita sakit ada perhatian dari suami kan gitu kan...”

(W.T.W.110611.3; baris 405-412)

T juga menyampaikan harapannya untuk menikah lagi kepada sang anak saat anaknya berumur tujuh tahun. Namun anak T yang masih kecil pada saat itu tidak menyetujui, anak T tidak ingin T menikah lagi dan tidak ingin memiliki ayah baru. Ucapan anak T saat kecil terus diingat oleh T hingga T memendam harapannya untuk menikah lagi.

“...Dia kecil itu umur kelas 3 SD, sekitar 8 tahunan, 7 tahun, itulah jawabannya. “Een mau mamak, Een mau papa, jangan kawin lagi ya. Een gak mau punya papa lagi”. Makanya kakak pertahankan sama dia sampe sekarang gara-gara omongan dia itu. Gara-gara omongan itu, sampe sekarang kakak jaga...”

(W.T.W.130511.1; baris 544-552)

Lama-kelamaan T kembali berbicara dengan anaknya ketika anaknya mulai beranjak dewasa. T mengutarakan kembali harapannya untuk menikah karena T berharap memiliki teman di hari tuanya nanti dan menjelaskan kepada anaknya bahwa tidak mungkin anaknya dapat mengurus T selamanya. Setelah berpikir, akhirnya anak mengizinkan T untuk menikah lagi asalkan T bisa mendapatkan seorang laki-laki yang baik dan sayang pada T, yang lebih baik dari mantan suami T.

“...Jadi lama-lama dia berpikir, cuman ini kata-katanya ‘terserahlah kalo memang mau seperti itu’ kan gitu. Dia pokoknya terserahlah tapi cari yang bagus-bagus ya itu aja, cari yang bagus ya. Jangan seperti eh papa, kan gitu, jangan seperti papa. Kalopun dia kalo harapan anaknya, mamaknya bole kawin lagi tapi yah jangan ada istrinya lah, kalo bisa duda...”

(W.T.W.130511.1; baris 575-585)

T juga memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya agar segera menikah lagi. Bahkan kadang-kadang dari keluarga maupun dari teman-temannya, mau mengenalkan laki-laki kepada T. Dukungan yang diperoleh T ini memperbesar harapannya untuk menikah lagi.

“kalo keluarga sebenarnya dia mendukung karna seperti ada, ada istilahnya keluarga gak mau lihat adiknya susah. Orang itu sebenarnya mendukung ya, bahkan orang itu ngomong begini ‘kalopun kau kawin lagi kami senang, kamipun sebenarnya gak mau kau susah kan gitu. Kalau bisa ya yang lebih dari suami kau itu’ kan gitu...”

“Yah seperti kita jualan gini aja, kalo kawan-kawan ini yah ‘kawin aja kenapa sih, manatau kita senang’ kan gitu.”

(W.T.W.130511.1; baris 778-781)

1. Goal

T memiliki harapan untuk menikah lagi, untuk mendapatkan seorang pendamping dalam hidupnya. T berharap dengan menikah lagi maka T akan lebih bahagia di hari tua, mendapatkan kasih sayang lagi, agar ada yang menjaga T di saat sakit. T juga berpikir bahwa dengan menikah lagi, dia akan mendapatkan bantuan dari pasangan hidupnya kelak untuk mengatasi masalah ekonomi.

“pasti, karna saling membantu kan kalo ada, saling mengerti. Lagian hidup ini butuh kita kasih sayang ya kan, kasih sayang seorang suami itu...” (W.T.W.250511.2; baris 495-498)

“Tapi kalo seandainya kita kawin lagi atau kita punya kawan lagi, masa-masa tua kita pasti kita akan senang kan gitu.”

(W.T.W.250511.2; baris 487-490)

T memandang pernikahan lagi ini sebagai hal yang penting, tetapi bisa juga dikatakan tidak penting. Di satu sisi, pernikahan lagi menjadi penting karena dengan menikah lagi T akan mendapatkan teman di saat sedih, di saat sakit ada yang menemani, dan T juga akan merasa lebih bahagia di hari tuanya jika dia memiliki pendamping lagi. Di sisi lain, T berpikiran bahwa T masih memiliki anak yang mungkin bisa menjaganya di hari tua nanti sehingga T tidak harus menikah lagi.

“...Kalo memang anak bisa ngurus kita nanti sudah tua ya gak perlu lagi kita berumahtangga lagi sebenarnya. Cuman kadang-kadang yah perasaan sedih di saat sendiri, di saat sakit, gak ada kawan kadang-kadang gak enak juga kan. Gak enak, sakit juga perasaan kalau kita begitu kita sakit, di saat

sedih gak ada kawannya. Masalah penting bisa dibilang penting, bisa bilang juga gak lah, fifty fifty la dia ya, gak pala bisa dibilang penting bisa gak juga.”

(W.T.W.130511.1; baris 596-613)

T tidak menentukan target waktu untuk menikah, asalkan T telah menemukan seseorang yang cocok dengan dirinya T mau menikah lagi.

“gak, kapan aja kalo itu cocok, kakak mau.” (W.T.W.250511.2; baris 510-511)

2. Pathway Thinking

Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking menandakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dengan adanya harapan menikah lagi, T berusaha untuk mencari dan melakukan pendekatan dengan laki-laki, dengan cara lebih banyak berteman dan berkumpul bersama teman-temannya. T berpikir bahwa melalui pertemanan ini, T bisa mencari pasangan hidup yang cocok dengannya.

“kalo harus berbuat apa, gak mungkin kita gak ada perbuatan. Istilahnya gak ada usaha kita bisa dekat dengan laki-laki ya kan. Yah gak mungkin lah, kita pasti berusaha mencari.”

(W.T.W.110611.3; baris 321-326)

“iya dari kenalan, kalo misalnya ada acara apa kita keluar-keluar.” (W.T.W.110611.3; baris 329-330)

T menjadi lebih terbuka dengan laki-laki dan mulai bersimpatik atau menaruh perhatian dengan laki-laki. Dengan terbuka dan mulai bersimpatik dengan orang lain, T berpikir bahwa dia dapat menemukan pasangan hidup lagi yang benar-benar sesuai dengan harapannya.

“yah aku simpatik sama orang itu pasti ada. Simpatik sama orang yah ada tapi dia mau apa gak kita kan gak tau kan gitu ya kan. Kalo simpatik sama orang ada, simpatik lah. Kalo dia mau nanggapin alhamdulilah, kalo gak apa boleh buat.”

(W.T.W.130511.1; baris 664-671)

Namun T juga berpikir bahwa dalam mencari pasangan hidup ini, T harus lebih bersikap hati-hati lagi agar tidak mengalami kegagalan seperti sebelumnya. T lebih banyak belajar dari kehidupan yang lampau, T tidak ingin kembali mengalami kegagalan rumahtangga untuk kedua kalinya.

“...Udah macam mana coba, udah gak mungkin lah makanya kita kan harus hati-hati, bisa dibilang harus super berhati-hati lah mencari pasangan hidup kan gitu. Jangan sembarangan, kalo dia mau kita pun harus mau kan nanti kalo pada akhirnya pun juga kita kecewa lagi..untuk kedua kali..kan lebih sakit lagi.”

(W.T.W.130511.1; baris 720-729)

3. Agency Thinking

Agency mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik

T berdoa semoga Tuhan memberikan keyakinan pada dirinya agar dia bisa mencapai tujuannya untuk menikah lagi, agar T dapat melakukan usahanya untuk menikah lagi. T juga merasa yakin bahwa T pasti bisa menikah lagi jika dia memang telah benar-benar bertemu dengan seseorang yang cocok menjadi pendamping hidupnya.

“kurasa, kadang kita bukan karna usia ya, karna kita senang sama senang gak ada hambatan, gak ada ragu-ragu. Pasti aku bisa nikah lagi.”

(W.T.W.250511.2; baris 588-591)

“...Iya memang semua kembali lagi sama Yang Di Atas, kalo memang Tuhan inikan harapan kakak tadi ya mudah-mudahan diberi keyakinan kakak sama diri sendiri bahwa kakak yakin sama yang kakak pengen...” (W.T.W.250511.2; baris 598-604)

Selain itu, T merasa memiliki kontrol sendiri atas hidupnya, atas semua hal yang dilakukannya sehingga T pasti bisa berusaha untuk menikah lagi.

“kalo masalah pribadi ya kita sendirilah yang menentukan kan gitu. Kita bakal nikah ato gak kan gitu, kita mau nikah apa gak itu kan pasti kita kan, orang kita yang punya badan sendiri gak mungkin orang lain.”

(W.T.W.130511.1; baris 848-854)

Dari hati T sendiri, T merasa yakin bisa menikah lagi suatu hari nanti. Apalagi saat ini T sedang menjalin hubungan serius dengan laki-laki. T merasa yakin laki-laki ini sesuai dengan harapan yang ada di hatinya. T berpikir bahwa hati kecilnyalah yang berperan dalam menambah keyakinan dirinya untuk bisa menikah lagi.

“Dari hati aku harus bisa. Kalaupun misalnya dapat laki-laki itu, kita uda tenang ya. Apalagi yang ada di kepribadian dia ada di hati kita. Hati kecil, keyakinan hati kecil kita, kayak manapun harus kudapat dia kan gitu.” (W.T.W.110611.3; baris 446-451)

Tabel 2. Gambaran Harapan Menikah Lagi Pada Responden 1

No Keterangan Responden 1

1 Goal

- Responden berharap mendapatkan

pendamping hidup yang dapat memberikan kasih sayang, menjaganya di saat sakit, dan untuk hari tuanya serta dapat membantu dalam masalah ekonomi.

- Responden memandang pernikahan lagi sebagai hal yang penting dan juga tidak penting (dalam kontinum menengah). - Responden tidak menentukan target waktu

untuk menikah.

2 Pathway Thinking

- Responden berpikir untuk mencari dan lebih terbuka dengan laki-laki, mulai bersimpatik, dan lebih banyak berkumpul bersama teman. - Responden lebih berhati-hati dalam memilih

pasangan.

3 Agency Thinking

- Responden merasa yakin dengan dirinya sendiri bahwa dia bisa menikah lagi suatu hari nanti, yakin pada hati kecilnya.

- Responden memiliki kontrol atas hidupnya sendiri.

Dalam dokumen Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai (Halaman 63-75)

Dokumen terkait