• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

2. Analisa Data Subjek

Sebelum memutuskan untuk menjadi ateis, banyak proses yang dialami partisipan dalam menjalani kehidupannya. Bermula dari rasa penasaran subjek mengenai Tuhan, muncul keraguan didalam diri subjek mengenai Tuhan. Rasa penasaran itu muncul sejak subjek kecil dan diajarkan agama Islam oleh orang tua subjek. Banyak pertanyaan yang muncul dibenak subjek mengenai Tuhan pada saat itu seperti darimana asal Tuhan, bagaimana Tuhan menciptakan dunia ini dll. Tetapi subjek merasa itu hanya pertanyaan-pertanyaan biasa yang akan ditanyakan semua anak dimuka bumi ini dan subjek tidak melanjutkan pertanyaannya dan tidak mencari jawabannya. Ketika memasuki masa sekolah menengah pertama (SMP), pertanyaan yang dulu sempat membuat dia ragu dan dia lupakan kini kembali muncul dibenak subjek.

35

ya itu sebatas nanya karena penasaran, bukan karena ragu. Nah waktu smp aku nanya juga soal Tuhan, sebenarnya sih ini apa ya, semacam pertanyaan lanjutan dari sd, tapi ini aku nanyanya bukan karena sebatas penasaran, tapi karena memang aku mulai ragu.”

(W2.A.P.06062016.J4) Subjek tidak tahu kenapa dia mulai ragu dan menanyakan kebenaran tentang Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat subjek ragu tersebut membuat subjek merasa bersalah dan berdosa. subjek berusaha menghilangkan pikiran buruknya tentang Tuhan. Pada saat itu juga subjek tetap menjalankan ritual agama seperti sholat, karena subjek merasa dirinya masih seorang muslim.

“aku ngerasa takut juga, merasa bersalah, rasanya gimana ya, merasa berdosalah, kok bisalah aku mempertanyakan tuhan, kenapalah aku ragukan tuhan”

(W2.A.P.06062016.J24) “berusahalah hilangkan pikiran-pikiran buruk tentang Tuhan, tapi ya itu, aku ngerasa kalau aku tetap ngerasa kayak gitu, pertanyaanku tidak akan terjawab, jadi aku tetap nyari jawabannya”

(W2.A.P.06062016.J26) “hmmmm tidak terlalu ingat sih, tapi ya waktu ragu itu aku mulai merasa tidak ada gunanya pun semua itu, hahaha tapi aku belum jadi ateis pada saat itu, aku tidak jalankan semua itu karena aku ragu, untuk apa sebenarnya ritual agama itu”

(W2.A.P.06062016.J18) Walaupun subjek merasa takut dan berdosa, tetapi subjek merasa harus mencari jawabannya. Keraguannya terhadap Tuhan membuat dia tidak nyaman dan terus berada pada pertanyaan yang sama sehingga dia mencari jawabannya. Subjek membaca berbagai literatur tentang Tuhan dan agama. Subjek juga bertanya kepada seseorang yang menurut dia memperlajari

tentang agama, tetapi subjek tidak cukup puas dengan jawaban yang dia temukan.

“dari banyak sumberlah, ya tapi tidak kayak tong sam cong yang nyari kitab suci ke barat hahaha, tapi ya baca-baca artikel, nanya- nanya pandangan orang, diskusi-diskusi, dari situ akhirnya aku punya banyak data dan aku tarik kesimpulan berdasarkan asumsiku sendiri”

(W2.A.P.06062016.J30) Subjek tidak secara langsung menemukan jawabannya, dari berbagai literatur serta data-data yang dia kumpulkan membuat subjek menemukan jawaban berdasarkan asumsinya sendiri dan menarik kesimpulan. Pandangan ilmu pengetahuan yang dia baca membuat dia semakin ragu terhadap ajaran agama yang dia terima selama ini. Subjek mulai setuju dengan berbagai pandangan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan.

b. Doubt

Berbagai macam logika yang diberikan ilmu pengetahuan, membuat subjek berpikir bahwa ilmu pengetahuanlah yang bisa menjawab keraguan dari dirinya. Berbeda dengan agama, ilmu pengetahuan memberikan setiap alasan kenapa sesuatu dapat terjadi dan memberikan bukti yang nyata, sedangkan agama dan orang beragama sering kali memberikan alasan yang memaksa dan hanya sekedar menghubung-hubungkan.

“ilmu pengetahuan itu ngasih pandangan yang masuk akal, segala sesuatu terjadi ada alasannya, sedangkan agama itu sebagian besar ngasih pandangan yang memang kebanyakan susah diterima akal sehat, dikitab-kitab juga kan seperti itu, makanya itu aku menolak ajaran agama dan kitab.”

37

Karena pandangan ilmu pengetahuan membuat subjek semakin ragu terhadap kehadiran Tuhan serta ajaran agama Islam yang dianut sebelumnya. Subjek tidak merasa puas dengan berbagai pandangan yang diberikan oleh agama. Subjek juga mulai tidak menjalankan ritual agama lagi seperti solat. Subjek merasa hal tersebut tidak ada gunya, itu hanya merupakan budaya yang dilakukan umat manusia secara turun-temurun. Bagi subjek, ritual agama hanya bermanfaat bagi orang-orang yang yakin saja.

“iya tidak ada gunanya itu, buat capek saja, tapi aku tidak eee apa yaa, aku tidak bilang ritual keagamaan itu tidak ada gunanya sebenarnya, menurutku itu bisa jadi coping stress tiap umatnya, kalau lagi stres sholat, atau ke gereja dengerin khotbah, bisa jadi coping stress, atau berdoa”

(W1.A.P.21032016.J34) Selain pandangan ilmu pengetahuan, banyak lagi hal lain yang menyebabkan keraguan subjek terhadap eksistensi Tuhan semakin dalam. Pertama, cara asuh orang tua juga merupakan salah satu faktor penyebabnya. Orang tua subjek bukan merupakan orang yang tidak peduli dan tidak mengajarkan agama kepada subjek, justru sebaliknya, orang tua subjek selalu mengajarkan agama, menyuruh solat, puasa dll. Tetapi ternyata pola asuh seperti itu bukan membuat subjek semakin taat terhadap Tuhan dan agama, justru membuat subjek semakin penasaran dan semakin ragu.

“mama aku paling sering bilang kuatlah agamanya, harus religi, selalu cerita, ngasih nasihat, disuruh solat, ya aku ikutilah semuanya, ya pada saat itu percayalah pasti, tapi gini, yang namanya, eeee... aku umur segitu, penasaran loh, aku yakin kalian pasti penah bertanya kayak gini, kau diceritakan kisah-kisah nabi, kayak nabi nuh

misalnya, dia ngumpuli semua binatang, tapi aku pikir sebesar apa ya sampai semua binatang, kayak mana dengan binatang seperti kanguru misalnya, atau misalnya nabi adam, kenapa ya nabi adam punya pusar”

(W1.A.P.21032016.J82) Orang tua subjek mengajarkan solat, puasa, mengaji dll, serta memperkenalkan agama kepada subjek dengan harapan subjek menjadi orang yang taat kepada agama dan Tuhannya. Pada mulanya subjek senang melakukan ritual agama. subjek merasa bangga dengan apa yan dianutnya, tetapi keraguan subjek membuat subjek menjadi merasa terpaksa melakukan ritual agama. Tetapi walaupun begitu, bagi subjek orang tua dan cara asuh orang tuanya bukan merupakan faktor penyebab yang menjadikan subjek ragu dan menjadi seorang ateis.

“iyaaa.. pasti kayak gitu, sedangkan aku merasa mereka didiknya sudah bagus, aku saja yang memilih kayak gini, iya aku merasa ini udah cocok untukku”

(W1.A.P.21032016.J128)

Tidak hanya pola asuh orang tua, hal kedua yang menyebabkannya adalah perkembangan sains. Subjek seringkali membaca berbagai artikel, melihat video tentang agama dll. Semua dia temukan melalui internet. Kemajuan tekhnologi seperti internet tidak bisa dipungkiri lagi membuat seseorang dengan mudah menerima informasi apa saja yang dibutuhkan. Bagi subjek, internet seperti tempat bermain dan belajar. Subjek menjadikan internet sebagai tempat edukasi, menggali informasi, mencari teman, bahkan sebagai sarana subjek mencari jawaban dari rasa penasarannya mengenai Tuhan selama ini. Menurut subjek, internet merupakan salah satu faktor

39

Subjek juga menyatakan bahwa internet merupakan tempat dimana agama mati.

“aku kembali mulai nanya- nanya itu, SMA, aku kenal-kenal internetlah, memang internet ini tempat matinya agama, percayalah, mulai dari berita bodoh, sampai kau bisa nyari sendiri berita atau apa yaaa, pokonya sesuatu yang dari ahlinya, itu di SMA aku kenal internet, banyaklah aku ikuti yang aneh-aneh”

(W1.A.P.21032016.J96) “karena internetlah aku mulai bertanya lagi, bukan karena internet juga, hmmm apa yaaa, karena banyak informasi yang diberikan, sampai aku merasa kayak orang aneh. Dulu aku percaya kali dengan teori konspirasi itu, kayak apa ya, kayak yang bodoh-bodoh itu kayak alien, kayak apalagi ya, kayak piramid itu, aku merasa bodoh jadinya, ya lama-lama aku merasa itu bodoh. Aku cobalah cari yang serius, aku rasa itu menarik. Muncul lagilah pertanyaan, sentilan-sentilun kayak gini, eee.. bisa gak Tuhan membelah dirinya? Bisa gak Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar darinya, muncul pertanyaan kayak gitu, terus liat debat-debat di internet”

(W1.A.P.21032016.J98) “besar kalilah pengaruh internet itu buatku, betul-betul kayak orang yang pertama kali membuka pintu keluar rumah, semua terasa lebih luas dan bebas ngobrol sama semua nya, punya bacaan tanpa batas”

(W5.A.P.21062016.J32) Dari internet inilah subjek mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang selalu berkembang dimuka bumi ini menyajikan berbagai penjelasan yang logis dan masuk akal mengenai dunia ini tercipta serta isinya. Pertanyaan yang selama ini membingungkan mengenai terciptanya dunia ini mulai terjawab oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memberikan sebuah alasan yang mudah diterima akal sehat bagaimana sesuatu dapat terjadi, tidak seperti agama yang bersifat pasif dan tidak secara logis menjelaskan sebuah alasan dari sesuatu terjadi. Agama selalu menjelaskan sesuatu berdasarkan apa yang ada dikitab suci yang

diimani setiap agama. Jika ditanya kepada seseorang yang beragama kenapa bumi ini tercipta, secara umum, orang beragama akan menjawab karena ada Tuhan yang menciptakan. Orang-orang beragama akan menjawab setiap pertanyaan yang sulit dijelaskan kitab suci dengan membawa nama Tuhan. Hal seperti itulah yang membuat subjek berfikir bahwa dia tidak sependapat dengan orang beragama dan merasa ilmu pengetahuanlah yang dapat menjelaskan segalanya.

“kalau ilmu pengetahuan itu selalu kasih alasan yang masuk akal kenapa sesuatu terjadi, sedangkan terkadang agama itu tidak memberikan alasan kenapa itu terjadi, itu terjadi karena Tuhan bilang seperti itu, Tidak bisa dibantah, gitulah kira-kira”

(W2.A.P.06062016.J14)

“dari apa yang kubaca soal ilmu pengetahuan membuat aku setuju sama itu, dan buat aku Tidak setuju sama apa yang ditunjukan agama”

(W2.A.P.06062016.J16) Faktor penyebab yang ketiga adalah intimidasi secara intelektual. Internet yang memberikan berbagai macam informasi baru terhadap subjek membuat subjek terintimidasi secara intelektual. Selama ini subjek hanya mendapat informasi mengenai Tuhan dan agama dari ajaran orangtua dan sekolah. Subjek tidak merasa puas dengan informasi yang didapatnya sehingga mencoba mencari informasi baru. Dari internet, subjek menemukan atau mendapatkan informasi baru yang beraneka ragam. Tidak hanya dari internet, subjek juga mendapat informasi yang dia inginkan melalui buku-buku yang dia baca, berbagai artikel dll. Subjek juga pernah bertanya kepada pemuka agama seperti ustad mengenai konsep ketuhanan.

41

Bahkan subjek juga sering berdiskusi di forum komunitas online bersama orang-orang yang menganut paham ateis. Subjek juga membaca informasi berkaitan dengan paham ateis. Meskipun tidak langsung menyatakan diri sebagai seorang ateis, tetapi subjek setuju dan sependapat dengan paham ateis yang dia terima. Subjek juga sampai mengidolakan seorang tokoh ateis bernama Bill Maher. Subjek sangat setuju dengan berbagai pandangan yang diberikan oleh Bill Maher. Informasi-informasi baru yang dia terima ini membuat keimanan dan keyakinan subjek terhadap Tuhan dan agama menjadi semakin dalam. Dari berbagai macam informasi yang dia terima inilah subjek menarik kesimpulan terhadap konsep ketuhanan.

“mungkin karena banyak bertukar pikiran dengan orang lain tentang agama dan sejenisnya yang membuat saya juga berpikir demikian dan juga beberapa bacaan lain tentang agama yang membuat saya juga menarik kesimpulan seperti itu”

(W6.A.P.24062016.J10) “idola ya.. hmm. Bukan idola sih tapi kalo di bilang suka liatnya sih kayaknya Bill maher kali ya”

(W6.A.P.24062016.J40)

“saya coba tanya ustad dan orang orang yang saya anggap ahli di keagamaan”

(W6.A.P.24062016.J72) “jawabannya tidak jauh-jauh dari „tidak boleh mempertanyakan itu, banyaklah baca al-quran, berdoa,dll‟ gitu”

(W6.A.P.24062016.J74)

Faktor keempat yang menyebabkan keraguan subjek semakin dalam adalah tindakan dari orang beragama itu sendiri. Subjek banyak melihat

fenomena nyata yang berhubungan dengan tindakan yang bisa dibilang tindakan buruk dari orang beragama. Dari berbagai macam berita yang dia temukan melalui internet, media sosial dan lain-lain, subjek melihat berbagai macam perilaku buruk orang beragama yang justru membuat seseorang terutama subjek menjadi semakin jauh dengan agamanya, seperti peperangan, pemboman, perdebatan dan tindakan tidak tolerir antara kaum beragama, padahal menurut subjek setiap agama sehrusnya mengajarkan kebaikan dan bukan saling menjatuhkan dan saling menjelek-jelekan. Dan seringkali tindakan buruk yang dilakukan orang beragama itu selalu mengatasnamakan Tuhan.

“kenapa orang-orang beragama , seram-seram kali, kasar-kasar kali, demi agama dibunuhnya saudaranya sendiri, hancurkan mesjid, hancurkan gereja, hmmm masalah kayak FPI, pokoknya masalah- masalah sosial kayak gitu yang buat aku jadi tidak suka sama agama, ya karena hal-hal kayak gitulah, yang buat aku bertanya jadinya, kenapa sih Tuhan kayak gitu...”

(W1.A.P.21032016.J52) “ya mungkin karena banyak baca-baca artikel juga, lihat-lihat internet, lihat kelakuan orang beragama, orang Islam yang buat kesal macam apa yaa, pokoknya sedikit-sedikit karena Tuhan, hancurkan tempat hiburan malam, karena mereka menganggap Tuhan menyuruh demikian, pengatasnamaan Tuhan itu looh, buat kesal juga”

(W2.A.P.06062016.J22) “ya gimana ya, kayak misalnya dia suka banding-bandingkan Islam dengan agama lain, dia bilanglah kalau agama yang baik itu Islam, apa-apa kita diatur, bahkan masuk kamar mandinya ada doanya, lihat orang Kristen, tidak ada kayak kita yg Islam ini”

(W5.A.P.21062016.J14) “jadi terpikir aku juga, kenapa gini kali orang beragama, bisa saja orang Kristen menjelek-jelekan Islam, atau Islam menjelek-jelekkan agama lain, ya atau apalah, ya aku lihatnya sama aja jadinya setiap agama, untuk apa beragama kalau saling menjelekkan”

43

(W5.A.P.21062016.J18) Karena berbagai macam faktor itulah yang menyebabkan subjek merasa tidak nyaman dan menolak ajaran agama yang dianutnya. Subjek memang setuju dan sepaham dengan ateis, hanya saja subjek belum menganggap dirinya sebagai seorang ateis. Dia hanya tidak puas dan tidak sepaham dengan pandangan agama. Hal ini juga membuat subjek tidak menjalankan ritual agama lagi seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Dengan tidak menjalankan ritual agama bukan berarti subjek merasa nyaman. Seringkali dia merasa canggung jika berada di lingkungan yang beragama. Apalagi di lingkungan keluarga. Keluarga subjek merupakan keluarga yang cukup taat dengan agama. Subjek seringkali merasa terpaksa menjalankan ibadah. Subjek juga merasa canggung jika ditanya kenapa dirinya tidak menjalankan ibadah seperti solat, puasa dan lain-lain. Sehingga dia seringkali menghindar dari pembicaraan soal itu. Bahkan subjek juga memakai topeng agama, dengan berpura-pura sudah menjalankan ibadah.

“yaaa tepaksa lah pura-pura jalankan ajaran agama, apalagi kalau di lingkungan keluarga, disuruh solat sama mama awak, aku ngerasa tidak ada gunanya, tapi ya apa boleh buat”

(W2.A.P.06062016.J48) “kadang suka canggung saja kalau misalnya ditanya kenapa tidak solat, kenapa tidak puasa”

(W2.A.P.06062016.J52) “ya sebisa mungkin menghidar, kalau tidak bisa menghindar, bilang saja udah, atau jawab-jawabin sambil becanda aja lah”

(W2.A.P.06062016.J54)

c. Dissociation

Ketika memasuki masa sekolah menengah atas (SMA), subjek bukan hanya semakin ragu, tetapi subjek mulai jauh dan memisahkan diri dari agama Islam. Bukan hanya sekedar ragu dengan pandangan Islam, tetapi subjek juga sudah mulai memisahkan diri dari agama Islam tersebut. Subjek belum menjadi seorang ateis, dia masih beranggapan bahwa Tuhan itu ada, hanya saja dia tidak menanamkan ide agama manapun.

“dulu aku mungkin menganggap Tuhan itu ada, tapi aku tidak setuju dengan ajaran agama yang mengagung-agungkan Tuhan, mengatasnamakan Tuhan, berbuat sesuatu karena Tuhan yang menyuruh, berbuat sesuatu atas dasar perintah Tuhan, aku tidak setuju itu, emang kita sebagai manusia tidak bisa saja gitu berbuat baik?berbuat baik tidak harus disuruhkan, kita pasti bisa bedain mana yang baik, mana yang buruk, mana yang tidak merugikan orang lain, pada saat itu aku menjalankan hidup dengan cara seperti itu. Gak harus ngebom-ngebom untuk membasmi kejahatan”

(W2.A.P.06062016.J70)

Bagi subjek yang selama ini mencari-cari kebenaran, tidak harus beragama untuk berbuat baik. Justru sebaliknya, dia merasa berbuat baik, menjalankan hidup sebaik mungkin, menolong sesama bisa dilakukan tanpa harus diatur oleh agama dan Tuhan. Dengan memisahkan diri dari ajaran agama, subjek merasa terbebas dari ajaran agama yang mengikat. Dia merasa bebas memikirkan apa saja, bebas melakukan apa saja, tanpa harus merasa takut dan berdosa lagi.

“yaa selama ini aku merasa, ada yang mengekang, ada sosok yang memang harus aku tuju, harus aku sembah, harus aku ikuti, harus aku takuti, tapi waktu itu aku mulai ngerasa bebas dari itu semua, gak takut dengan yang namanya dosa lagi”

45

Walaupun tidak merasa berdosa dan bebas melakukan apa saja, bukan berarti subjek bertindak sesuka hati. Subjek menjalankan hidup dengan cara humanis. Bagi subjek, asalkan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, itu sudah menjadi tindakan yang baik dalam menjalani hidup.

“aku bebas melakukan apa aja, aku bebas memikirkan apa aja, tidak perlu harus mikirin dosa kayak orang-orang beragama, tapi bukan berarti aku aku suka-suka hatilah, aku hidup dengan cara humanis, kalau bisa nolong orang ya nolong orang lain, pokoknya lakukan sesuatu itu yang penting tidak merugikan diri sendiri, tidak merugikan orang lain juga”

(W2.A.P.06062016.J72)

Bagi sebagian besar orang beragama, kitab suci merupakan pedoman dalam menjalankan hidup, tetapi hal ini tidak menjadi bagian dari diri subjek. Tidak ada acuan ataupun pedoman hidup yang harus ditaati oleh subjek. Subjek melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dia pikirkan dan dia rasakan.

“tidak punya yang kayak gitu, aku jalani hidup berdasarkan apa yang aku, pikirkan dan aku rasakan aja”

(W2.A.P.06062016.J76)

d. Transision

Subjek yang sejak dulu menganut agama Islam dan kini telah memisahkan diri dari Islam, tidak menganut agama lain sebagai pahamnya. Subjek menolak agama dan ajaran agama, memisahkan diri dari itu semua, bukan hanya memisahkan diri dari Islam saja. Kemudian subjek mencari

orang-orang yang sepaham dengan subjek. Subjek menemukannya di media sosial facebook, yaitu sebuah komunitas ateis. Bermula dari membaca isi dari komunitas itu, dan membuat subjek menjadi tertarik untuk mendalaminya, subjek pun bergabung dengan komunitas tersebut. Saat bergabung, subjek masih belum menjadi seorang ateis. Subjek bergabung dikomunitas ateis bernama ABAM (anda bertanya, ateis menjawab).

“aku nyari juga melalui facebook, disitu ada komunitas online yang mengaku sebagai komunitas ateis”

(W2.A.P.06062016.J86)

“aku sadar ateis susah untuk diterima secara umum, jadi tidak mungkin ada orang yang secara terang-terangan bilang kalau „saya adalah ateis‟.”

(W2.A.P.06062016.J88) “waktu itu aku belum ateis, tapi mungkin udah sangat sependapat dengan ateis itu, makanya aku baca-baca, lama-lama gabung”

(W2.A.P.06062016.J92)

Didalam komunitas tersebut, tidak hanya orang-orang ateis, tetapi orang beragama pun banyak yang bergabung didalamnya. Komunitas tersebut membahas berbagai macam fakta dan fenomena dari berbagai sudut pandang. Didalam komunitas ini merupakan forum diskusi yang sangat nyaman bagi subjek karena memiliki pertanyaan, asumsi serta jawaban yang sama. Subjek memandang positif komunitas serta anggota dari komunitas tersebut.

“lebih positiflah, orang-orang ateis didalamnya ngasih pandangan yang masuk akal, tidak dari sudut pandang yang pasif”

47

“ya nyaman, karena juga sepaham sama apa yang aku pikirkan selama ini, apa yang aku tanya, apa yang aku asumsikan, apa yang aku pikirkan, jawaban yang aku dapat, sebagian besar sama dan masuk akal”

(W2.A.P.06062016.J106)

e. Declaration

Pada saat memasuki masa kuliah, subjek sudah mengakui dirinya sebagai seorang ateis agnostik. Walaupun tidak sepenuhnya mempengaruhi, tetapi komunitas ateis yang dia ikuti banyak memberikan pandangan- pandangan yang selama ini dia cari dan dia pikirkan. Ateis merupakan sebuah paham yang dia anggap sebagai paham yang cocok terhadap dirinya. Subjek menganggap Tuhan itu tidak ada, dan dia tidak tahu Tuhan itu ada atau tidak. Membaca berbagai macam literatur mengenai ateis, mengenai Tuhan dan agama, berdiskusi dengan orang-orang beragama dan orang- orang ateis yang berada di komunitas online ABAM, melihat berbagai macam perilaku dan tindakan buruk orang beragama membuat subjek akhirnya jatuh pada paham ateis.

“yaaa tidak bisa dibilang seluruhnya karena komunitas ini, aku mulai memutuskan bahwa aku adalah ateis itu waktu baru masuk kuliah, banyak yang aku baca berkaitan dengan agama, Tuhan, ateis, nonton video dll. Itu buat aku berpikir bahawa memang aku ini ateis, aku tidak percaya Tuhan, aku tidaktahu Tuhan itu ada atau Tidak ada.”

Dokumen terkait