• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama merupakan fenomena universal yang dapat kita temui disetiap kehidupan manusia. Eksistensi agama telah ada sejak lama, bahkan sejak zaman prasejarah. Pada zaman yunani kuno misalnya, sudah mulai mempertanyakan penyebab terjadinya sesuatu. Taylor (1872) berpendapat bahwa, agama manusia berkembang dari mulai animisme, totemisme, dan fetishisme. Animisme adalah suatu kepercayaan bahwa roh ataupun jiwa memiliki eksistensi secara independent. Totemisme merupakan kepercayaan yang menganggap binatang dan tumbuhan mempunyai jiwa. Sedangkan fetishisme kepercayaan bahwa manusia dapat mempengaruhi kekuatan supranatural sehingga berpihak untuk kepentingannya.

Furseth dan Repstad pada tahun 2006 mendefinisikan secara substantif mengenai agama, yaitu cenderung mengkhususkan objek kepercayaan masyarakat meskipun objek tersebut dideskripsikan dengan berbagai bentuk. Kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan merupakan suatu kemungkinan. Definisi ini memiliki kesamaan terhadap ide umum yang dimiliki masyarakat mengenai agama. Agama tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Tuhan atau objek yang disembah. Hal ini juga diungkapkan oleh seorang penganut agama Islam berikut ini:

“Saya merupakan seorang muslim yang taat. Adanya pencipta alam semesta ini tidak bisa dikesampingkan. Allah-lah yang menciptakannya. Saya dan kamu sekarang ada karena Dia Yang Maha Pencipta.”

(komunikasi personal dengan penganut agama Islam, November 2015). Pernyataan di atas menitikberatkan pada suatu konsep yang kuat, yaitu agama tidak bisa terlepas dari konsep ketuhanan atau bisa dikatakan dalam sebuah agama tidak terlepas dari adanya suatu objek yang disembah. Namun tidak semua manusia mempercayai konsep ketuhanan ini. Banyak pula orang yang beranggapan bahwa Tuhan hanyalah sebuah ide yang diciptakan manusia itu sendiri untuk menjadi pembenaran atas setiap perbuatannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan seseorang penganut paham ateis yang dikutip dari website globalmuslim.web.id berikut ini:

“Tuhan biasanya menjadi sandaran pamungkas ketika seseorang sedang galau. Aku nyaman dengan keadaan seperti ini. Sampai sekarang tidak ada bukti yang buat aku percaya adanya Tuhan.”

Tuhan sering kali menjadi kambing hitam ketika seseorang dalam keadaan terpuruk, tapi Tuhan juga justru menjadi tempat berlindung, padahal Tuhan tidak pernah jelas keberadaannya. Bagi sebagian orang Tuhan hanyalah sebuah objek rekayasa yang terbentuk atas dasar pemikiran manusia yang dangkal. Hal ini juga diungkapkan oleh seorang penganut paham ateisme berikut ini:

“bagiku Tuhan itu placebo, obat yang bisa menenangkan pengikutnya, suatu pegangan yang dibutuhkan sebagai jawaban dari semua yang ada didunia ini.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari konsep ketuhanan yang cukup kuat, hal ini dapat terlihat dari sila pertama dalam pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tercatat ada enam agama yang diakui di

3 Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Namun hal ini bukan berarti tidak ada orang Indonesia yang tidak percaya Tuhan, atau menganut paham ateism. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah survey yang dilakukan Lynn (2009) bahwa 1,5 persen warga Indonesia tidak percaya Tuhan. Tidak sedikit orang yang berpendapat Tuhan itu tidak ada. Banyak pula komunitas ateis di dunia maya yang mulai eksis dan menunjukkan diri seperti komunitas facebook yang bernama ABAM (Anda Bertanya Ateis Menjawab), ada pun komunitas ateis yang tenar di media sosial twiter yang bernama Agamajinasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan penganut paham ateis berikut ini:

“aku gabung untuk mencari teman yang satu pikiran denganku, mencari tau lebih lanjut tentang ateis, atau sarana edukasi tentang ateis”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Juni 2016)

Komunitas dunia maya ini menunjukkan tidak sedikit penganut paham ateis di Indonesia. Bagi sebagian orang ini merasa Tuhan itu tidak bisa dibuktikan kehadiran-Nya. Banyak perdebatan terjadi diantara orang yang percaya dengan yang tidak percaya. Bagi orang-orang yang percaya, mereka beranggapan bahwa seharusnya orang-orang yang tidak percaya Tuhan membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada, tetapi justru orang-orang yang tidak percaya beranggapan bahwa justru orang yang percayalah yang membuktikan bahwa Tuhan itu memang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:

“kenapa aku yang mencari? Harusnya orang beragama yang membuktikan keberadaan-Nya biar gak ada lagi istilah mencari, tinggal menemukan saja, harusnya sih gitu, tapi yang ada malah orang yang gak percaya Tuhan pula yang disuruh cari dan buktikan Tuhan itu ada.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)

Konsep ketidakpercayaan kepada Tuhan disebut dengan ateis. Baggini dan Mackie mengatakan bahwa ateis dikarakteristikkan dengan penolakkan atas kehadiran Tuhan (dalam Streib dan Klein, 2013). Tidak sedikit orang memutuskan untuk menjadi seorang ateis. Ateis merupakan sebuah jalan atau jawaban dari pertanyaan mengenai kehadiran Tuhan. Tuhan hanyalah pandangan semu yang tidak bisa dibuktikan hanya dengan nalar dan akal sehat. Hal ini juga dinyatakan seorang penganut paham ateis:

“aku seorang ateis, aku memilih menjadi ateis. Tidak ada cukup bukti untuk mengatakan Tuhan itu ada.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)

Jika mengacu pada pernyataan di atas, akan timbul pertanyaan dari benak setiap orang, bagaimana seseorang bisa menjadi tidak beragama dan tidak percaya Tuhan? Apa yang menyebabkan seseorang menjadi tidak beragama dan tidak percaya Tuhan? Bagaimana dia bertahan di lingkungan yang mayoritasnya memeluk berbagai macam agama?

Seseorang yang memutuskan menjadi seorang ateis bukan tanpa alasan. Seorang ateis menilai terlebih dahulu mengenai ajaran agama yang dia anut sebelumnya, ketika ia merasa hal yang diajarkan agama tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, dia mulai mempertanyakan eksistensi agama dan Tuhan. Keraguan akan timbul di dalam dirinya, dan akan membuat ia mulai memutuskan untuk meninggalkan ajaran agama dan Tuhan tersebut. Ateis bukanlah pemahaman yang ada dan muncul secara tiba-tiba dari seseorang. Berawal dari mempertanyakan sebuah konsep ketuhanan, memberi penilaian, mencari bukti dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh agama, dan sebagainya,

5 merupakan subuah proses seseorang sebelum dia menyatakan diri sebagai seorang ateis. Hal ini diungkapkan pula oleh seorang penganut paham ateisme berikut:

“aku sering membaca literatur mengenai agamaku dulu, bahkan aku juga membaca berbagai macam literatur banyak agama. Memang menurutku agama mengajarkan kebaikan pada intinya. Tetapi tidak semua sesuai dengan apa yang seharusnya. Banyak hal yang bisa dipertanyakan dari konsep ketuhanan. Tidak perlu terlalu dalam, kita lihat saja ajaran dasarnya terpaku pada kitab suci. Harusnya kitab suci itu rajin direvisi, beda tahun, beda abad, kebudayaan dan masyarakat akan berbeda. Kitab suci tidak mampu lagi membimbing. Sudah ketinggalan zaman.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015) Kebanyakan seorang ateis berasal dari kaum beragama, baik itu Islam, Kristen, serta agama lainnya. Dia dibesarkan dilingkungan yang menganut agama. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, seorang ateis mengalami konflik dalam dirinya mengenai ajaran agama yang dianut sebelumnya. Dia merasa tidak sependapat dengan ajaran yang didapat dari agama. Bagi kebanyakan ateis, agama, terutama Tuhan tidak jelas kebenarannya karena tidak bisa dibuktikan. Pada mulanya dia mempelajari dan berusaha memahami agama, akan tetapi, agama tidak memberikan jawaban dan bukti yang empiris mengenai keberadaan Tuhan dan mulai menimbulkan keraguan. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak percaya apapun yang diajarkan agama. Dia tidak percaya adanya keberadaan Tuhan, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang ateis. Hal ini sejalan dengan pernyataan penganut paham ateis berikut ini:

“aku ragu dengan apa yang diajarkan di agamaku dulu, aku merasa tidak ada cukup bukti kuat yang mendukung agama dan keberadaan Tuhan. Lama kelamaan aku jadi tidak percaya lagi sama agamaku yang dulu.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)

Menjadi seorang ateis bukan berarti menjadi seorang yang tidak tertata kehidupannya. Seorang ateis bukan berarti seorang yang tidak memiliki pandangan positif tentang kehidupan dunia. Zuckerman (2009) melakukan sebuah

studi yang memiliki hasil bahwa ateisme secara positif berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Ateisme berkorelasi positif dengan pendidikan tinggi dan kemampuan verbal yang baik, rendahnya prasangka (prejudice), etnosentrisme, rasisme, homofobia, tingginya dukungan terhadap kesetaraan gender, dan pengasuhan anak yang mempromosikan pemikiran yang bebas bukan melalui hukuman fisik. Studi ini menunjukkan bahwa seorang ateis bukanlah seorang yang bodoh dan tidak bermoral. Tetapi hal ini tidak bisa diterima secara baik oleh masyarakat pada umumnya, apalagi masyarakat dengan mayoritas beragama. Seringkali muncul pandangan buruk, prasangka, bahkan diskriminasi terhadap penganut paham ateisme.

Prasangka buruk terhadap penganut paham ateisme ini seringkali muncul dari kelompok beragama . Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari seorang yang menganut paham ateisme berikut ini:

“Aku tidak percaya tuhan, jadi kalau tidak punya Tuhan aku ini makan orang? Bunuh orang? Merampok? Tidak bermoral? Kan tidak seperti itu. Orang-orang yang sepaham dengan saya belum tentu orang jahat, bisa saja kami lebih baik dari orang-orang yang percaya Tuhan. Banyak juga orang yang mengaku punya Tuhan tapi perilakunya biadab”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, September 2015).

Seseorang yang memilih untuk menjadi seorang yang menganut paham ateisme akan mengalami konflik baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Akan sangat sulit bagi seorang ateis mempertahankan pahamnya di lingkungan yang mayoritnya beragama khususnya di Indonesia. Tidak hanya untuk cakupan yang cukup luas, bahkan di lingkungan keluarga saja belum tentu seorang ateis dapat diterima dan diakui. Banyak seorang ateis memilih paham

7 diketahui oleh masyarakat, khususnya keluarga. Karena jika dia menyatakan pahamnya secara terang-terangan, bukan tidak mungkin dia akan menerima tindakan diskriminasi. Hal ini disampaikan oleh penganut paham ateisme berikut:

“Aku dibesarkan oleh keluarga yang cukup kuat soal agama. Keluargaku

menganut agama Islam. Pada mulanya aku juga. Tapi aku menjadi ragu dan tidak percaya dengan agama itu. Tentu saja keluargaku tidak tau apa yang aku anut sekarang. Aku seorang ateis. Jangan sampai mereka tahu, karena itu akan membebani mereka. Kalau sampai ketahuan, aku akan mengikuti dan menerima konsekuensi yang diberikan keluargaku. Karena itu memang sudah seharusnya terjadi. Dan aku akan tetap menjadi seorang ateis. Agama dan kepercayaan bukan untuk dipaksakan.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis, Desember 2015)

Menjadi seorang ateis di negara yang kuat agamanya seperti Indonesia memang tidak mudah. Akan tetapi tetap saja paham ateis semakin populer dan semakin berkembang. Bahkan tidak sedikit pula seorang ateis mulai berani terbuka meskipun tidak secara langsung. Tidak setiap penganut paham ateisme memiliki hambatan dalam menjalani hidupnya. Salah seorang ateis yang memiliki background agama Budha menjelaskan bahwasannya dia sama sekali tidak mengalami kesulitan dan hambatan apapun mengenai pahamnya.

“aku tidak merasa ada yang susah jadi ateis. Ya mungkin karena background aku Budha kali ya. Beda kayak Islam atau Kristen yang harus selalu sholat dan berdoa, agama Budha buatku tidak seperti itu. Aku memilih ateis karena memang ateis dan ajaran Budha itu hampir sama dan sejalan. Didalam ajaran Sidharta Gautama tidak ada menjelaskan ada sosok yang disembah. Sidharta juga tidak mengatakan kepada pengikutnya harus menyembah dirinya. Itu ajaran Budha yang sesungguhnya. Kalau yang sekarang ajaran Budha sudah mulai melenceng.”

(komunikasi personal dengan penganut paham ateis april 2016)

Dia memilih paham ateisme karena ateis memberikan pandangan- pandangan cara hidup yang duniawi, Budhapun demikian. Tetapi bukan berarti setiap penganut agama Budha merupakan seorang ateis, hanya pandangan mengenai hidup dengan cara duniawi ini lah yang sejalan. Berbuat baik pada

sesama manusia, menjalankan hidup dengan cara baik tanpa merugikan orang lain, seperti itulah pandangan ateis dan Budha yang sejalan.

Lain halnya dengan seorang penganut paham ateisme dengan background agama Kristen Protestan berikut ini. Menurutnya, dia sama sekali tidak kesulitan dalam menganut paham ateisme. Bahkan dia sudah mulai terbuka dengan keluarga meskipun belum terbuka kepada orang tuanya.

“abang kakak, saudaraku sudah banyak yang tahu kalau aku ateis. Dan mereka tidak mempermasalahkan soal itu. Orang tua belum tahu, tapi kemungkinan besar akan aku kasih tahu.”

(kemounikasi personal dengan penganut paham ateis, mei 2016)

Walaupun demikian, tetapi dia tetap belum terbuka ketika berada di lingkungan masyarakat pada umumnya. Menurutnya tidak semua orang memiliki pemikiran yang terbuka dan mau menerima paham ateisme. Indonesia merupakan mayoritas beragama, bagaiamana mungkin ateisme secara mudah diterima di negara ini. Hal ini sesuai dengan ungkapannya berikut

“kalau di kampus aku pura-pura jadi Kristen. Tidak mungkinlah aku bilang aku ini ateis. Tapi kawan-kawan dekat sudah banyak yang tahu soal aku. Mereka tidak masalah kok. Toh kami percaya dengan apa yang masing- masing kami yakini. Tapi kalau orang-orang umum tidak tahu aku. Aku juga tidak pernah ke gereja lagi, kecuali keadaan memaksa harus ke gereja hahaha.”

(kemounikasi personal dengan penganut paham ateis, mei 2016)

Lain halnya dengan kedua penganut paham ateisme sebelumnya, seorang penganut paham ateisme yang memiliki background agama Islam berikut ini merasa bahwa dia memiliki hambatan dan kesulitan dalam menjalankan hidupnya. Dia mengaku seringkali merasa canggung dan tidak nyaman ketika berada di lingkungan umum. Apalagi ketika memasuki waktu ibadah untuk agama Islam, dia sering kali merasa tidak nyaman. Hal ini diungkapkannya dalam wawancara

9 “kadang suka canggung saja kalau misalnya ditanya kenapa tidak solat, kenapa tidak puasa, sebisa mungkin menghidar, kalau tidak bisa menghindar, bilang saja sudah, atau jawab-jawab sambil bercanda saja lah”

Meskipun kerapkali merasa tidak nyaman, akan tetapi dia tetap teguh pada pendiriannya sebagai seorang ateis. Padahal untuk menjadi seorang ateis di negara mayoritas beragama sangatlah sulit.

Dari penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai gambaran proses, faktor penyebab serta tantangan yang dihadapi penganut paham ateisme.

Dokumen terkait