• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGARUH PENDAPATAN NILAI AKTIVA BERSIH (NAB)

B. Analisa Deskriptif

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis data dengan menggunakan prosedur yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Variabel yang digunakan pada data ini adalah variabel Jakarta Islamic Index (JII) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai variabel independen. Sedangkan sebagai variabel dependen adalah variabel Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran.

Data-data variabel independen yang diperlukan dalam analisis ini diperoleh dari berbagai laporan yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta dan Bank Indonesia, secara bulanan pada periode Januari 2008 hingga Juni 2010, total data yang diperoleh terdiri dari 30 bulan. Sehingga diharapkan dapat diketahui dengan jelas faktor apa saja yang mempengaruhi variabel dependen yaitu Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran pada PT. BNI Life Insurance Divisi Syariah.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda. Metode ini dipilih karena variabel independen yang digunakan pada penelitian ini lebih dari satu variabel. Prosedur analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan statistical software yaitu SPSS 16.

1. Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran

Sampai dengan bulan Juni 2010 Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran di PT. BNI Life Insurance Divisi Syariah telah mencapai 1.265,2358. Pertumbuhan Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran sangat bergantung pada pemilihan jenis investasi dan keadaan makro ekonomi, saat kondisi perekonomian dan menguatnya pasar saham global pada tahun 2008 Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran mencapai nilai tertinggi sebesar 1.404,2029 pada bulan Febuari. Namun, dengan berbagai gejolak yang terjadi pada sektor keuangan global yang terjadi, mengakibatkan anjloknya harga di bursa saham global pada akhir tahun 2008 hingga membuat Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran mencapai 592,2146 pada bulan desember. Tahun 2009 menjadi masa-masa pemulihan perekonomian global hingga pada akhir tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 96,86% menjadi 1.165,8470. Tahun 2010 tidak hanya pemulihan perekonomian yang meningkatkan premi unit link namun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap unit link pada PT BNI

Life Insurance semakin meningkat sebesar 732,67% 2. Sebagaimana tercermin dalam tabel 4.1 dan grafik 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1: Data Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk B-life Investlink Syariah Optimal pada PT BNI Life Insurance Divisi Syariah

Januari 2008 - Juni 2010 (Dalam Unit)

Bulan 2008 2009 2010 Januari 1.340,2905 623,6466 1.214,8157 Februari 1.404,2029 605,1565 1.164,9453 Maret 1.271,1783 623,4339 1.207,0623 April 1.183,1998 717,6991 1.298,9071 Mei 1.236,1068 834,0690 1.230,8855 Juni 1.213,8611 912,9414 1.265,2358 Juli 1.108,0660 977,0629 - Agustus 996,3573 1.105,0608 - September 860,6100 1.100,8927 - Oktober 618,5817 1.134,2304 - Nopember 561,4863 1.123,1496 - Desember 592,2146 1.165,8470 -

Sumber: BNI Life Insurance Divisi Syariah (NAB B-life Investlink Syariah Optimal)

2 Apriyani Kurniasih, Penguasa Unit Link Mak in Menggurita, Info Bank Edisi Juli 2011Vol.XXXIII, h,98

Grafik 4.1: Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk B-life Investlink Syariah Optimal pada PT BNI Life Insurance Divisi Syariah

Sumber: Grafik Data NAB B-life Investlink Syariah Optimal (Januari 2008 – Juni 2010)

2. Jakarta Islamic Indeks (JII)

Sampai dengan bulan Juni 2010 indeks JII di Bursa Efek Jakarta telah mencapai 460,260. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar Rp 508,945 pada bulan Febuari, sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian Indonesia dan menguatnya pasar saham global. Namun, sejalan dengan berbagai gejolak yang terjadi pada sektor keuangan global yang mengakibatkan anjloknya harga di bursa saham global serta meningkatkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar (risk averse), indeks JII juga merosot drastis pada Oktober 2008 ditutup pada level 193,683. Tahun 2009 menjadi masa-masa pemulihan perekonomian global hingga pada akhir tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 92,97% menjadi 417,182. Pemulihan perekonomian terus membaik hingga tahun

2010. Pergerakan indeks JII Sebagaimana tercermin dalam tabel 4.2 dan grafik 4.2 dibawah ini :

Tabel 4.2: Data Jakarta Islamic Indeks (JII) Januari 2008 - Juni 2010 (Dalam Rupiah)

Bulan 2008 2009 2010 Januari 476,969 213,634 427,680 Februari 508,945 214,121 413,519 Maret 448,424 236,786 443,667 April 428,093 279,869 474,796 Mei 441,664 307,138 444,598 Juni 430,291 321,457 460,260 Juli 387,806 385,216 - Agustus 356,095 380,655 - September 286,391 401,528 - Oktober 193,683 383,665 - Nopember 195,691 397,893 - Desember 216,189 417,182 -

Sumber: Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM)

Grafik 4.2: Data Jakarta Islamic Indeks (Januari 2008 – Juni 2010)

3. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Pertumbuhan tertinggi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) di Bank Indonesia terjadi pada tahun 2008 sebesar 10,83% pada bulan Desember. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) merupakan kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengatasi likuiditas pada bank yang beroperasi dengan prinsip syariah. Kenaikan SBIS ini terjadi untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi. Semakin membaiknya perekonomian global hingga pada akhir tahun 2009 SBIS kembali distabilkan menjadi 6,46% atau turun 4,37%. Pemulihan perekonomian terus membaik hingga tahun 2010 sehingga nilai SBIS tetap stabil dan tidak terjadi perubahan yang signifikan. Sebagaimana tercermin dalam tabel 4.3 dan grafik 4.3 dibawah ini :

Tabel 4.3 Data Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) Januari 2008 - Juni 2010 (Dalam persen)

Bulan 2008 2009 2010 Januari 5,95% 9.50% 6.45% Februari 6.06% 8.74% 6.41% Maret 6.32% 8.21% 6.27% April 7.17% 7.59% 6.20% Mei 7.36% 7.25% 6.30% Juni 7.41% 6.95% 6.26% Juli 7.70% 6.71% - Agustus 7.93% 6.58% - September 8.60% 6.48% - Oktober 10.34% 6.49% - Nopember 9.41% 6.47% - Desember 10.83% 6.46% -

Sumber: Perpustakaan BI (SEKI)

Grafik 4.3 Data Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) (Januari 2008 - Juni 2010)

C. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas

Data-data bertipe skala sebagai pada umumnya mengikuti asumsi distribusi normal. Namun, tidak mustahil suatu data tidak mengikuti asumsi normalitas. Untuk mengetahui kepastian sebaran data yang diperoleh harus dilakukan uji normalitas terhadap data yang bersangkutan (Nurgiyantoro dkk, 2000). Dengan demikian, analisis statistika yang pertama harus digunakan dalam rangka analisis data adalah analisis statistik berupa uji normalitas.

Gambar 4.4Uji Normalitas

Sumber: Output SPSS

Berdasarkan Normal Probability Plot of Residual, diketahui bahwa residual membentuk suatu pola garis lurus, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal.

Adapun uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menguji sesuai (goodness of

fit). Dalam hal ini yang diperhatikan adalah tingkat kesesuaian antara distribusi nilai sampel (observasi) dengan distribusi teoritis tertentu (normal, uniform, eksponensial, atau poisson). Jadi hipotesis statistiknya adalah bahwa distribusi frekuensi hasil pengamatan bersesuaian dengan distribusi frekuensi harapan (teoritis) (Tim penelitian dan pengembangan Wahana Komputer, 2006). Berikut ini adalah hasil uji Kolmogorov Smirnov terhadap data residual menggunakan software SPSS 16:

Tabel 4.4 Uji Normalitas

Sumber: Output SPSS

Metode pengambilan keputusan untuk uji normalitas yaitu jika signifikansi (Asymp.sig) > 0,05 maka data berdistribusi normal dan jika signifikansi (Asymp.sig) < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.3

Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas dengan nilai tingkat

kepercayan 95% (α = 0,05) :

Jika probabilitas > 0,05 , maka H0 tidak ditolak

3 Duwi Priyatno, Tek nik Mudah Dan Cepat Melak uk an Analisis Data Penelitian Dengan

Jika probabilitas < 0,05 , maka H1 ditolak

Hasil uji normalitas pada data residual, berdasarkan uji Kolmogorov-

Smirnov dapat diketahui bahwa data LN_NAB (Y) nilai Asymp.sig (2-tailed) sebesar 0,049 data LN_JII (X1) sebesar 0,067, dan data SBIS (X2) sebesar 0,246. Karena signifikansi pada ketiga variabel lebih dari 0,05 jadi dapat dinyatakan data berdistribusi normal. Maka H0 tidak ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Kesimpulan tersebut sama seperti pengujian pada Normal Probability Plot of Residual.

2. Uji Heteroskedastisitas

Gambar 4.5Scatter Plot

Sumber: Output SPSS

Dari grafik scatterplots terlihat bahwa titik-titik dari data menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka nol pada

sumbu Y dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi atau data bersifat homoskedastisitas, sehingga model regresi layak digunakan untuk menganalisis Nilai Aktiva Bersih (NAB) produk unit link campuran yang diukur dari Jakarta Islamic Index (JII) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBIS).

3. Uji Multikolinearitas

Tabel 4.5 Uji Multikolinieritas

Sumber: Output SPSS

Metode untuk mendeteksi Multikolinearitas adalah dengan melihat nilai VIF dan tolerance:

Jika nilai VIF < 10 dan tollerance > 0,1 maka dapat dikatakan tidak ada masalah Multikolinearitas.

Jika nilai VIF > 10 dan tolerance < 0,1 maka dapat dikatakan ada masalah Multikolinearitas.

Berdasarkan nilai VIF dan Tolerance pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa variabel independen (JII dan SBIS) memiliki nilai VIF < 10, yang berarti model tidak mempunyai kolinearitas antar variabel independennya.

Selanjutnya dapat dilihat juga nilai Tolerance > 0,1, yang berarti variabel independen dinyakatakan tidak multikolinearitas.

4. Uji Autokolerasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokolerasi muncul karena data yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi lainnya.

Untuk mengetahui apakah dalam model regresi ini terdapat autokorelasi, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6 Uji Autokorelasi

Sumber: Output SPSS

Berdasarkan hasil uji autokorelasi dari data lengkap pada tabel diatas, hasil analisis menunjukkan nilai Durbin Watson sebesar 1,836, dengan nilai du= 1.567 yang berarti nilai du lebih kecil dari Durbin Watson. Hal ini berarti

nilai Durbin Watson lebih kecil dari 4-du, maka dapat dikatakan tidak terjadi autokorelasi positif dan negatif.

Pengujian Autokorelasi dilakukan dengan pengujian Durbin Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut :

a. 1.567 < DW < 2.433 maka H0 diterima (tidak terjadi autokorelasi). b. DW < 1.284 atau DW > 2.716 maka H0 ditolak (terjadi autokorelasi). c. 1.284 < DW < 1.567 atau 2.433 < DW < 2.716 maka tidak ada keputusan

yang pasti.

Berdasarkan output Model Summary didapatkan nilai DW adalah 1,836. dengan mengikuti ketentuan di atas, dapat dikategorikan bahwa nilai DW (1,836) berada diantara interval 1.567 < DW < 2.433 sehingga tidak terjadi autokorelasi.

Dokumen terkait