• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT PARA KONSUMEN

C. Analisa Kasus

Adanya perbedaan Putusan Pengadilan Niaga dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus Kepailitan Developer PT. Graha Permata Properindo dengan para konsumen atau pembeli Apartemennya sebagai kreditor tentu dilatar

belakangi dengan Pertimbangan Hakim dari kedua putusan tersebut yang sangat berbeda.

Pada tingkat Pengadilan Niaga Pertimbangan Majelis hakim menyatakan bahwa unsur utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, berdasarkan Pasal 2 UUK dan PKPU telah terpenuhi, sedangkan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa permohonan pailit dari Para Pembeli Apartemen tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 Undang- Undang No.37 Tahun 2004, karena Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum antara Developer PT. Graha Permata Properindo dengan para konsumennya adalah hubungan jual beli unit apartemen Graha Setia Budi, yang jual belinya belum selesai, karena Para konsumen atau para pembeli Apartemen tersebut belum membayar keseluruhan harga unit yang dibeli, namun kemudian Para konsumen atau para pembeli Apartemen tersebut telah memutuskan atau membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara sepihak.Kemudian pihak Developer PT. Graha Permata Properindo mengatakan bahwa Para konsumen atau para pembeli Apartemen telah melakukan pembayaran angsuran secara tidak tepat waktu, sehingga Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa pembuktian tentang jual beli Unit Apartemen tersebut tidak mudah atau tidak sederhana dalam pembuktiannya.

Jika dianalisis, memang sebelum kreditor mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitor, syarat materiil yang harus dipenuhi oleh kreditor adalah adanya utang yang telah jatuh tempo yang tidak dibayar yang dapat ditagih dan debitor

memiliki setidak-tidaknya dua kreditor. Hal ini secara tegas ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.102

Utang merupakan unsur penting karena merupakan salah satu syarat pernyataan pailit yang harus dibuktikan secara sederhana dalam sidang pemeriksaan yang diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Dan menurut Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan pailit harus dikabulkan apabila ada fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) tersebut telah terpenuhi. Pembuktian secara sederhana ini lazim disebut sebagai “pembuktian secara sumir”.103 Bila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. Dengan demikian, proses pemeriksaan permohonan kepailitan cukup dilakukan secara sederhana tanpa harus mengikuti atau terikat prosedur dan sistem pembuktian yang diatur di dalam hukum

102Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

103Martiman Prodjohamidjojo,Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undangundang Tentang Kepailitan,

acara perdata kita. Jika kita perhatikan lebih lanjut lagi, maka jelas bahwa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana adalah adanya dua kreditor atau Iebih dan adanya fakta utang yang telah jatuh tempo.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan pembuktian sederhana adalah mengenai:

a. Eksistensi dari suatu utang debitor yang dimohonkan kepailitan, yang telah jatuh tempo;

b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dan debitor yang dimohonkan kepailitan.104

Sehingga Pemeriksaan permohonan kepailitan dalam kaitannya dengan pembuktian, Majelis Hakim harus memfokuskan pada :

1. Apakah ada hubungan perutangan antara kredior dan debitor dimana utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

2. Apakah ada hubungan perutangan antara debitor dengan kreditor lainnya. Dalam hal Majelis Hakim harus memeriksa apakah ada bukti yang cukup dan otentik untuk membuktikan keduanya. Untuk membuktikan adanya utang, berarti melihat ada tidaknya hubungan perutangan, yaitu perikatan yang mendasari hubungan tersebut. Lebih jauh lagi, siapa yang berperan sebagai kreditor dan debitor serta apa objek perutangannya (prestasi). Bukti adanya hubungan perutangan ini dapat dilihat

104Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja,PedomanMenangani Perkara Kepailitan,Op. Cit, hlm. 141.

dan adanya akta perjanjian atau pun sekedar buku tagihan,namun tidak jarang Majelis Hakim menyimpulkan adanya utang dari pengakuan debitor/termohon pailit.

Hubungan utang piutang antara Para konsumen Apartemen denganDeveloper terjadi bukan hanya karena kegagalan developer melakukan penyerahan apartemen pada waktu yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, namun juga setelah pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli pihak para konsumen meminta pengembalian uang pembayaran yang telah mereka bayarkan dan inilah yang didalilkan sebagai utang oleh mereka.

Utang yang dimaksud oleh ketiga pembeli Apartemen ini adalah kewajiban Developer untuk mengembalikan uang mereka. Para pembeli Apartemen ini menganggap kewajibanDeveloperuntuk mengembalikan uang mereka adalah utang. Mereka menuntut pengembalian uang pembayaran yang mereka telah bayarkan secara angsuran untuk satuan unit apartemen yang mereka telah pesan dari Developer.

Adanya utang disini bukan saja menunjuk kepada kewajibanDeveloperselaku debitor dalam hal pembangunan dan penyerahan unit Apartemen kepada para pembeli atau kreditor tapi juga mengacu kepada adanya sejumlah uang pembayaran dari para pembeli atau konsumen yang telah melaksanakan kewajibannya dalam membayar secara angsuran unit Apartemen yang telah mereka pesan tersebut.

Aturan hukum mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Apartemen diatur dalam Kepmenpera Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun.Sejak berlakunya Kepmenpera Nomor 11 tahun 1994 ini,

maka setiap adanya perikatan jual beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman yang ditetapkan dalam Kepmenpera No.11/1994 tersebut.

Khusus mengenai pembatalan PPJB atas Rumah Susun, di dalam Kepmenpera No.11/1994 tidak diatur secara khusus mengenai syarat-syarat batalnya suatu PPJB. Namun di dalam Peraturan tersebut di atur bahwa PPJB dapat menjadi batal akibat adanya kelalaian dari pihak Pengusaha Pembangunan Perumahan dan Permukiman untuk menyerahkan satuan rumah susun, termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna pada tanggal yang ditetapkan. Hal ini tercantum di dalam Bab III angka 5.3 Poin ke-10 Lampiran Kepmenpera No.11/1994, seperti yang terkutip berikut ini:

“kewajiban developer adalah menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosialsecara sempurna pada tanggal yang ditetapkan, dan jika pengusaha belum dapat menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kalender, dihitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut.Apabila ternyata masih tidak terlaksana sama sekali, maka perikatan jual beli batal demi hukum, dan kebatalan ini tidak perlu dibuktikan atau dimintakan Keputusan Pengadilan atau Badan Arbitrase,kepada perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman diwajibkan mengembalikan pembayaran uang yang telah diterima dari pembeli ditambah dengan denda dan bunga setiap bulannya sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku.”

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat konsekuensi atas terjadinya pembatalan tersebut adalah pengenaan denda dan bunga terhadap Pengembang setiap bulan sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku, serta konsekuensi selanjutnya adalah pengembalian uang para konsumen atau pembeli Apartemen yang telah dibayarkan kepada Developer.Selain itu berdasarkan Pasal 13

angka 13.1 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hunian Vertikal Graha Setia Budi) yang mereka buat dengan pihak Developer disebutkan bahwa:

“Apabila Pihak Kedua mengakhiri perjanjian ini secara sepihak karena alasan- alasan yang disebutkan dalam pasal 12 angka 12.1 Perjanjian ini, maka Pihak Pertama harus mengembalikan kepada Pihak kedua seluruh uang yang telah diterima oleh Pihak Pertama tanpa bunga dengan ketentuan bahwa Pihak Kedua telah memenuhi kewajibannya terhadap Pihak Pertama menurut Perjanjian ini.”

Sehingga berdasarkan ketentuan diatas pengakhiran perjanjian yang dilakukan oleh Para konsumen Apartemen atau para pembeli membawa kewajiban bagi Developeruntuk mengembalikan seluruh pembayaran yang telah dilakukan oleh Para Para konsumen Apartemen atau para pembeli, bahkan dikatakan tanpa syarat apapun.Pihak Developer wajib mengembalikan seluruh uang pembayaran atas unit Apartemen yang dibeli oleh Para konsumen Apartemen atau para pembeli itu tanpa bunga dan potongan – potongan apapun dalam hal jika perjanjian itu dibatalkan.

Jika dicermati pengertian utang dalam Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 sendiri menyebutkan bahwa:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”.105

105Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Itu artinya secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa utang menurut Undang- Undang Kepailitan timbul karena perjanjian, akan tetapi tidak disebutkan bahwa perjanjian disini hanya menunjuk kepada perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam uang saja.Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa para ahli atau pakar hukum.

Seperti contohnya pakar hukum Drs. Paripurna P.Sugarda, SH.M.Hum berpendapat bahwa pengertian utang di dalam Undang-Undang Kepailitan tidak seyogianya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan Undang-Undang, dan timbul karena keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.Dilihat dari perspektif kreditor kewajiban membayar debitor tersebut merupakan“ hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang ” atau“ right to payment ”.

Dengan demikian pertimbangan hukum Majelis hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa permohonan pailit dari Para Pembeli Apartemen tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.37 Tahun 2004, karena hubungan hukum antara Developer PT. Graha Permata Properindo dengan para konsumennya adalah hubungan jual beli unit apartemen Graha Setia Budi, yang jual belinya belum selesai, karena Para konsumen atau para pembeli

Apartemen tersebut belum membayar keseluruhan harga unit yang dibeli, namun kemudian Para konsumen atau pembeli Apartemen tersebut telah memutuskan atau membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara sepihak tersebut, dirasa kurang tepat.

Apabila seorang debitur (dalam hal ini Developer), mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka krediturnya dapat menuntut :

a. Pemenuhan prestasi;

b. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai gantinya kreditur dapat menuntut :

c. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.106

Pembahasan dan analisa mengenai pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara sepihak oleh Para konsumen atau para pembeli Apartemen tersebut tanpa melakukan gugatan pembatalan atau memintakan pembatalan kepada hakim, adalah karena Pengikatan jual beli Apartemen juga dapat digolongkan ke dalam perikatan bersyarat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata yang menyebutkan :

“Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara

menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.

Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.Pasal 1265 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu sudah melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause.107Dengan demikian si kreditur yang telah menerima prestasi yang diperjanjikan harus mengembalikan apa yang telah diterimanya.

Selanjutnya Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat (1), wanprestasi adalah merupakan syarat batal.Akan tetapi, dalam Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Ada beberapa alasan yang mendukung klausul melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dalam perjanjian, misalnya berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH

107Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasusEd. 1. Cetakan ke. 5, (Jakarta:

Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausul yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama, sehingga hal itu tidak efisien bagi pelaku bisnis.

Pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan Pengembang.Demikian pentingnya klausul itu bagi Pengembang, sehingga seandainya klausul itu tidak ada di dalam PPJB, maka berakibat pelaksanaan pembatalan perjanjian hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga Pengembang dalam hal ini pihakDeveloperakan sangat enggan untuk melakukan penjualan unit Apartemen dengan sistem angsuran.

Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini didukung oleh alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat (4) KUH Perdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan.

Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu:pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa(dwingend recht), sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi(aanvullend recht),sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.108

2. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa:

a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya; b. Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak;

c. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.

Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 (tiga) syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu:

1) harus ada persetujuan timbal balik

2) harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai (pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling)

3) putusan hakim.

Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan …, kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa(dwingend recht)109dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan hakim sekedar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan:110

a) Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim;

109Menurut Pitlo, untuk mengetahui suatu undang-undang bersifat memaksa atau melengkapi

kadang-kadang tidak mudah. Namun demikian, dengan rumusan kata-kata ”memerintahkan”, ”melarang”, ”tidak boleh”, ”tidak dapat” menunjukkan sifat memaksanya.Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan. Periksa A. Pitlo, Het Systeem van Het Nederlandse Privaaterecht, (terjemahan D. Saragih), (Bandung: Alumni, 1973). hal.13-20. Dalam Agus Yudha Hernoko.Ibid. hal. 272.

110Periksa Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Cet. IV (Jakarta: Binacipta, 1987), hal.

66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’ , artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1982), hal. 148. Dalam Agus Yudha Hernoko.Ibid.

b) Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak;

c) Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus;

d) Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.

2. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht).Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:

a. Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur

b. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak

c. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, sehingga hal ini dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan” (bestandig geberukikelijk beding)dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat mengatur.

Berdasarkan uraian di atas mengenai pembuktian dalam perkara kepailitan, hakim dituntut untuk menguasai hukum pembuktian dan hukum perdata (serta hukum lainnya yang relevan) dalam mengurai hubungan hukum yang ada antara para pihak (pemohon dan termohon pailit). Hasil dari pembuktian tersebut yang akan mendasari putusan hakim untuk menolak atau menerima permohonan pailit.

Pada dasarnya Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah ”pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian”. Misal: dalam perjanjian jual beli yang dibatalkan, maka barang dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang sejenis atau senilai.

Karena itu jelas terbukti secara sumir sebenarnya bahwa terdapat utang atau kewajiban Developer yaitu, PT. Graha Permata Properindo terhadap para konsumennya dalam kasus permohonan pailit atas developer dalam perjanjian pengikatan jual beli apartemen ini. Unsur-unsur utang telah terpenuhi, yaitu utang disini bukan hanya kewajiban penyerahan fisik dari Rumah Susun/Apartemen yang dibeli oleh Para konsumen tetapi juga mengacu kepada pengembalian uang pembayaran yang telah dibayarkan secara angsuran oleh para konsumen untuk satuan unit apartemen yang mereka telah pesan dariDeveloper.

Dokumen terkait