• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan yang akan diberikan penulis terhadap kasus diatas dititikberatkan pada kejadian perkara khusunya yang berkaitan dengan Visum Et Refertum di dalam persidangan.

Jika dilihat secara seksama kasus yang diputus oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan Nomor. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn, maka dapat disimpulkan bahwa hakim dalam perkara kriminil terhadap tubuh manusia (kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang), tidaklah dapat melihat korban yang telah meninggal tersebut karena tidak mungkin dihadirkan dalam persidangan.

Maka untuk menggantikan tubuh korban penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang sebagai alat bukti dipersidangan, agar hakim dapat memutuskan suatu perkara, maka dalam hal ini bantuan kedokteran kehakiman sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan, dalam bentuk surat yang lazim disebut visum et refertum. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan visum et refertum, No. 05/II/IKK/VER/2002 yang dibuat oleh Dr. Rita Mawarni tertanggal 02 Februari 2002 (Visum Et Refertum terlampir dalam skripsi ini).

Visum et refertum, baru mempunyai nilai hukum, apabila hakim dapat menerima hasil kesimpulan dokter dalam visum et refertum tersebut. Seandainya hakim meragukan hasil kesimpulan dokter tersebut maka hakim dapat meminta keterangan dokter yang membuat visum et refertum tersebut. Namun dalam hal ini hakim tidak ada meminta keterangan dokter bersangkutan, artinya hakim telah nyakin terhadap nilai pembuktian yang termuat dalam visum et refertum.

Dengan demikian dapat dikatakan visum et refertum merupakan alat bukti yang memperjelas kejadian perkara dan menambah kenyakinan bagi hakim dalam

memutus suatu perkara. Sehingga dengan adanya pembuktian tersebut hakim memutuskan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menarik suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang berakibat kematian, namun kematian tersebut bukan merupakan akibat yang dituju korban. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian harus dapat dibuktikan apakah pelaku benar-benar tidak menginginkan kematian dari korban. Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan oleh pelaku maka pelaku dihukum dengan melanggar delik pembunuhan.

Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian harus dapat dibuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban. Dalam pembuktian tersebut, apabila tidak ada hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan kematian korban, maka pelaku hanya didakwakan melakukan delik penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP). Dalam pembuktian, apabila aparat penegak hukum mengalami kesulitan, maka aparat hukum tersebut dapat meminta batuan seorang dokter kehakiman. Laporan yang dibuat oleh kedoteran kehakiman dibuat dalam bentuk surat yang lazim disebut dengan istilah visum et refertum.

2. Visum et Refetum adalah suatu laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis dari pihak yang berwajib mengenai apa yang

dilihat/diperiksa berdasarkan keilmuan dan berdasarkan sumpah, untuk kepentingan peradilan. Visum et Refertum dibuat oleh dokter kehakiman berdasarkan amanat dari Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Dokter kehakiman hanya dapat memberikan Visum et Refertum dalam menegakkan keadilan, terhadap tindak pidana kriminal dan perkara perdata yang berhubungan dengan tubuh manusia. Dalam visum et refertum, yang dibuat oleh dokter kehakiman, dimuat sebab-sebab dari kematian. Seperti halnya dalam kasus yang dibahas dalam bab iv bahwa akibat kematian dari korban adalah akibat pendarahan yang banyak pada rongga dada dan perut akibat luka-luka dipembuluh darah besar jantung, limpa dan ginjal kiri yang diderita oleh korban, yang mana pendarahan tersebut akibat dari penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Jadi dalam hal ini akibat kematian yang dialami oleh korban adalah akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Visum et refertum juga berfungsi untuk menentukan tindak pidana yang terjadi yaitu apakah merupakan tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Hal ini dapat dilihat dari laporan visum et refertum tersebut, dimana dalam visum et refertum tersebut tercantum waktu kematian korban. Dimana jangka waktu merupakan hal yang membedakan antara tindak pidana pembunuhan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Dalam sistem pembukt ian Visum et refertum mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya seperti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.

B. SARAN

1. Dokter kehakiman sebaiknya menghindari istilah kedokteran atau istilah asing yang tidak dikenal oleh hakim pada umumnya dalam Visum et Refertum, namun jika hal tersebut terpaksa untuk menghindati salah pengertian, istilah tersebut sebaiknya dijelaskan dalam Bahasa Indonesia, supaya Visum et Refertum dapat mengganti sepenuhnya keadaan korban/orang yang diperiksannya sebagai alat bukti di persidangan dan pemanggilan pembuat Visum et Refertum tidak perlu lagi.

2. Hakim hendaknya kebih arif dalam menilai bukti-bukti yang diaujukan dalam suatu perkara pidana, agar tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran yang materil itu benar-benar dapat terjadi.

3. Visum et Refertum sebagai alat bukti surat hendaknya lebih diperhatikan hakim dalam proses pembuktian terutama dalam tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh supaya hakim dapat menerapkan hukum yang sesuai dengan kebenaran materiel sehingga keadilan dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, R, 2006, Forensik, Restu Agung, Jakarta

Abidin, Andi Zainal, 1987, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran hukum Pidana Bagian 2, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Harahap, M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta.

Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kanter, E.Y, dkk, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Murtika, I Ketut, dkk, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta

RM, Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil EdisiKedua, Sinar Grafika, Jakarta Soeparmono, R, 2002, Keterangan Ahli dan Visum et Refertum Dalam Aspek

Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung

Soesilo, R, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.

Tjokronegoro, Sutomo,1952, Beberapa Hal Tentang Ilmu Kedokteran Kehakiman, Pustaka Rakyat, NV. Jakarta.