• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN VISUM ET REFERTUM

DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

(Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH

HISAR SITUMORANG

NIM : 030200167

JURUSAN : HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERANAN VISUM ET REFERTUM

DALAM TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

(Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH

HISAR SITUMORANG

NIM : 030200167

JURUSAN : HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN

ABUL KHAIR, SH, M.Hum

Nip. 131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

Tambah Sembiring, SH Berlin Nainggolan,SH,M.Hum Nip. 130 809 983 Nip. 131 572 434

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penggolongan berbagai tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membedakan antara jenis tindak pidana yang satu dengan yang lain. Penggolongan jenis tindak pidana tersebut terasa sangat urgen, mengingat begitu banyaknya tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP.

Secara prinsip penggolongan berbagai tindak pidana dalam KUHP didasarkan pada kepentingan umum yang ingin dilindungi.1

Sebagai mana kita ketahui bahwa tujuan umum dari hukum acara pidana adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil yaitu kebenaran sejati (matriel warheid). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Van Bemmelan dalam bukunya Strafordering Leerbook van Het Nederlandsch Procesrecht (Undang-undang di Belanda yang memuat Atas dasar kepentingan hukum yang ingin dilindungi tersebut dikenal berbagai penggolongan tindak pidana dalam KUHP yaitu tindak pidana terhadap harta benda atau harta kekayaan, tindak pidana terhadap nyawa, tindak pidana terhadap kehormatan dan tindak pidana terhadap badan atau tubuh.

Penulis dalam hal ini mencoba memberi penjelasan mengenai tindak pidana terhadap badan atau tubuh yaitu tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan bagaimana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana tersebut.

(4)

Hukum Acara Pidana) yaitu bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran.

Upaya mencari kebenaran yang materil ini menjadi salah satu perbedaaan antara hukum pidana dengan hukum perdata. Dalam hukum acara perdata kebenaran yang akan dicapai adalah kebenaran formal yaitu kebenaran yang didasarkan pada formalitas hukum, sementara hukum pidana tidak hanya mendasar pada formalitas hukum semata, tetapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut disidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara.

Dalam hukum acara pidana ada beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu:

1. Polisi; 2. Jaksa; dan 3. Hakim.

Ketiga hal inilah yang nantinya diharapakan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam suatu perkara pidana sehingga siapa yang bersalah dapat dijatuhi hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah dibebaskan dari hukuman.

(5)

kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan yang mana ilmu kedokteran kehakiman itu sangat berperan dalam membantu pihak Kepolisian, Kejaksaaan dan Kehakiman untuk menyelesaikan segala persoalan yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan ini.

Ilmu kedokteran kehakiman sangat berperan untuk membantu dunia peradilan dalam peristiwa:

1. Terlukanya seseorang;

2. Terganggunya kesehatan seseorang; dan 3. Mati/meninggalnya seseorang.

Dimana dari akibat yang terjad tersebut ada dugaan dari penyidik bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli untuk memecahkan persoalan tersebut,

Permintaan bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang salah satunya adalah Pasal 133 ayat (1) yang menyatakan:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.”

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kahakiman atau dokter atau ahli lainnya atas korban atau barang bukti yang dikirim oleh penyidik, maka ahli tersebut akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan dari ahli bersangkutan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Laporan dari ahli ini disebut dengan istilah Visum et Refertum.

(6)

umumnya kurang memahami/mengetahui apa sebenarnya pengertian dan sejauh mana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana khususnya tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Didalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak ditemukan istilah maupun pengertian Visum et Refertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dipersidangan baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang disampaikan langsung di persidangan, dimana keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan ini telah tercakup di dalam Visum et Refertum.

Meskipun pengertian Visum et Refertum dalam KUHAP tidak dicantumkan secara tegas, namun sebagai pedoman dapat dijelaskan bahwa pengertian Visum et Refertum itu adalah:

“Hasil dari pemeriksaan yang dibuat oleh dokter berdasarkan apa yang dilihatnya dan diketahuinya berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya guna kepentingan pengadilan.”

Visum et Refertum sangat penting dalam suatu perkara pidana khususnya untuk peristiwa matinya seseorang yang diakibatkan oleh penganiayaan yang dilakukan dengan berbagai modus operandi. Karena umumnya barang bukti peristiwa tersebut tidak memungkinkan untuk dihadirkan dalam persidangan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal diatas maka dapat dirumuskan yang menjadi pokok permasalahan adalah:

(7)

2. Bagaimana peranan Visum et Refertum sebagai alat bukti dalam menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah penganiayaan yang mengakibatkan kematian; atau pembunuhan

C. KEASLIAN PENULISAN

Skripsi ini berjudul “Peranan Visum et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian”

Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi tersebut belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

D. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban;

2. Untuk mengetahui kedudukan Visum et Refertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana;

3. Untuk mengetahui bagimana peranan Visum et Refertum dalam menentukan hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian; 4. Untuk mengetahui peranan Visum et Refertum dalam menentukan tindak

(8)

E. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara pidana secara khusus.

2. Manfaat secara praktis dari adanya penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam proses pembuktian di pengadilan.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Tindak Pidana

a. Pengertian dan Istilah Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.2

1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah “Een strafbaar feit”. Akan tetapi ada beberapa terjemahan dari istilah strafbaar feit tersebut yaitu:

2. Peristiwa pidana 3. Perbuatan pidana 4. Tindak pidana.3

2

Suharto RM, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 28.

3

(9)

Dimana para peterjemah atau yang menggunakan istilah tersebut memberikan sandaran masing-masing dan bahkan perumusan/pembatasan pengertian dari istilah tersebut.

Didalam perundang-undangan Indonesia sendiri telah menggunakan keempat istilah tersebut dalam berbagai Undang-undang, misalnya:

1. Perbuatan yang dapat dihukum, dalam Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1947 (Undang-undang Pajak Pembangunan);

2. Peristiwa pidana, dalam Pasal 14 Konstitusi RIS;

3. Perbuatan pidana, dalam Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1958 (Undang-undang Penghapusan Tanah Partikulir);

4. Tindak pidana, dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 1962 (Undang-undang Mobilitas Umum)4

Para sarjana Indonesia juga telah menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah tersebut diatas dan telah memberi pendapat atau alasan-alasan mengapa harus menggunakan istilah tersebut sebagai terjemahan dari “strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

.

1. Prof. Moeljadno

Dalam bukunya “Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana”, beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:5

a) Terjemahan yang paling tepat untuk istilah “strafbaar” adalah “pidana” sebagai singkatan dari “yang dapat dipidana”

4

(10)

b) Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti: perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya, dan juga sebagai istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya. Sedangkan pernyataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.

2. Utrecht

Beliau menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen atau doen, positif) atau melalaikan (Visum et Refertumzuim atau nalaten atau niet doen, negatif) maupun akibatnya.

3. Satochid

(11)

Sekiranya adalah lebih tepat menggunakan istilah “Tindak Pidana” seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak pidana dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia, untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana. Kepada istilah tersebut harus pula diperjanjikan pengertiannya dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur-unsur dai delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut.6

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.7

1. Unsur subjektif.

Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur tesebut meliputi:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

6

Ibid. hal 208.

7

(12)

d. Merencanakan lebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut (vress) seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

2. Unsur objektif.

Unsus-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur tesebut meliputi:

a. Sifat melanggar hukum (wederrechttelijkheid);

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

(13)

berdasarkan suatu ketentuan maupaun berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat umum dari hukum yang tidak tertulis.8

2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “Perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia.

Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.

Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.” 9

8

Ibid, hal. 195.

(14)

Sedangkan menurut Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau

2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.10

Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada Hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat pada penjelasan resmi Pasal 451(20.01) dimuat antara lain sebagai berikut:

“Perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan teknologi.”

Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian penganiayaan, menyangkutkan kepada perkembangan dunia kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia, bukan dikaitkan dengan penganiayaan11

3. Pengertian Visum et Refertum

.

Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa istilah Visum et Refertum bukanlah istilah hukum melainkan Visum et Refertum itu sendiri merupakan istilah kedokteran. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa masyarakat pada umumnya kurang memahami/mengetahui apa sebenarnya pengertian dan sejauh

10

Tongat, op. cit. hal 69

11

(15)

mana peranan Visum dalam tindak pidana khususnya tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Didalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga tidak ditemukan istilah maupun pengertian Visum et Refertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yaitu apa yang seorang ahli nyatakan dipersidangan baik tulisan dalam bentuk laporan maupun lisan yang disampaikan langsung di persidangan, dimana keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan ini telah tercakup di dalam Visum et Refertum.

Istilah Visum et Refertum itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu Visum=something seen, appearance (sesuatu yang dilihat), et=and (dan),

Refertum=invention, find out (ditemukan). Jadi pengertian Visum et Refertum

adalah apa-apa yang dilihat dan ditemukan pada korban. Dalam pengertian bebas Visum et Refertum adalah keterangan tertulis dari seorang Dokter atas sumpah jabatannya dengan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, mengenai apa yang dilihat dan/atau ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk kepentingan peradilan (pro justitia).

G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap azas-azas hukum yang ada.

(16)

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu penelitian terhadap berbagai buku ilmiah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

b. Field Research (Penelitian Lapangan) yaitu dengan melakukan studi kasus terhadap kasus yang telah duputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan sebagai bahan perbandingan.

3. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisa secara kualitatif, yakni diteliti serta dipelajari sebagai sesuatu yang utuh yang menggambarkan bagaimana peranan Visum et Refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

H. SISTEMETIKA PENULISAN

Dalam pendahuluan penulisan ini, disusun sestematika sebagai berikut:

BAB I :merupakan pendahuluan dengan materi uraian meliputi latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistemetika penulisan.

BAB II :tentang tinjauan mengenai tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dengan materi uraian meliputi tindak pidana penganiayaan, dan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

(17)

ajaran kausalitas, macam-macam ajaran kausalitas, hubungan kausal antara sebab dan akibat, dan sebab akibat dalam praktek hukum.

BAB IV :membahas mengenai peranan visum et refertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dengan materi uraian meliputi kedudukan Visum et Refertum sebagai alat bukti, menentukan hubungan kausalitas penganiayaan dengan meninggalnya korban, dan menentukan tindak pidana yang terjadi, apakah penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan.

BAB V :diuraikan tentang kasus dan analisa kasus BAB VI :merupakan kesimpulan dan saran.

(18)

BAB II

TINJAUAN MENGENAI TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN, TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN, DAN

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.

A. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN 1. Pengertian Penganiayaan

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “Perlakuan yang sewenang-wenang”.

Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia.

Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.

(19)

lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.”12

1) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau

Sedangkan menurut Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain:

2) setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.13

Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.

Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan:

i. Seorang guru yang memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas ii. Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam operasi.

Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya muncul yurisprudensai yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang secara substansial menyatakan:

12

(20)

Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan,

melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka

tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan

seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.14

Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin diatas, maka menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai: “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak”

Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat, bahwa tidak setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan.

15

2. Unsur-unsur Penganiayaan

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut:

d. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan;

c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu: i. rasa sakit, tidak enak pada tubuh; ii. luka tubuh;

d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku

Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut.

14

Tongat, op.cit. hal. 71

15

(21)

a. unsur kesengajaan

Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.

Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.16

Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar

kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu

merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini

opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit

seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri

dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.

Hal ini pernah dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan:

17

16

(22)

Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit.

Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku.

b. unsur perbuatan

Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.

(23)

c. unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh

Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan.

Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanay perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebaginya.

Unsur akibat – baik berupa rasa sakit atau luka – dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.

d. akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya

Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa dasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelakku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.

(24)

Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam masyarakat (mungkin untuk seluruh masyarakat di Indonesia), perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya, sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas yang wajar, maka perbuatan tersebut (dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebutr tidak dapa dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan, dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai tujuan yang patut, apabila perbuatan pemukulan tersebut misalnya dilakukan dengan menggunakan sepotong besi.

3. Jenis-jenis Penganiayaan

(25)

Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP

e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur

dalam Pasal 356 KUHP.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana tersebut, dibawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut. a. Penganiayaan Biasa

Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok.

Apabila dibandingkan dengan perumusan tentang tindak pidana lain dalam KUHP, maka perumusan tentang tindak pidana penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja tanpa menguraikan unsur-unsurnya. Oleh karena Pasal 351 hanya menyebutkan kualifikasinya saja, maka berdasarkan rumusan Pasal 351 tersebut tidak jelas perbuatan seperti apa yang sebenarnya dimaksud.

(26)

secara historis, maka penafsiran terhadap Pasal 351 KUHP tersebut juga ditempuh berdasarkan penafsiran historis.

Untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP diatas, akan dikutip ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan :

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan penjara paling lama lima tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak pidana dalam 351 KUHP dikualifikasi sebagai penganiayaan.

Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP diatas pada awalnya juga terdapat rumusan Pasal sebagaimana lazimnya rumusan Pasal-Pasal lain dalam KUHP yang merupakan unsur-unsur perbuatan dan juga akibat yang dilarang.

(27)

memberikan batasan sekaligus menguraikan unsur-unsur perbuatan penganiayaan, yaitu:

1) Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh orang lain.

2) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain.

Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan Menteri Kehakiman diatas sebenarnya cukup memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksud penganiayaan oleh karena dalam rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur perbuatan maupan akibat. Namun oleh karena sebagian parlemen menganggap istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian yang sangat bias atau kabur, maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut. Sehingga perumusan Pasal 351ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu penganiayaan didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah

mengerti apa yang dimaksud dengan penganiayaan.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa dalam konteks historis istilah penganiayaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh.

Adapun unsur-unsur dari penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya yaitu:

(28)

c. Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka tubuh, namun dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP ini tidak mempersyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan tersebut.

d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.

Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (1) KUHP, maka dibawah ini akan dibahas penganiayaan dalam Pasal 351 dalam ayat-ayat berikutnya.

Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat Pasal 351 ayat (1)

Merujuk pada pengertian penganiayaan sebagaimana diuraikan diatas, maka apabila dirinci maka unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) adalah

i. unsur kesengajaan; ii. unsur perbuatan;

iii. unsur akibat, yang berupa rasa sakit atau luka berat.

Apabila dilihat unsur-unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) diatas maka terlihat unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perbedaan antara kedua penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya.

Pada penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (2) akibat dari perbuatan tersebut haruslah berupa luka berat. Apakah perbedaan antara luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dengan luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP?

(29)

KUHP, tidak ada batasan tentang apa yang dimaksud dengan luka. KUHP hanya memberikan gambaran tetang apa yang dimaksud luka berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang luka sama sekali tidak disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam konteks pada 351 ayat (1) KUHP diartikan sebagai luka ringan. Penggunaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dikenal istilah luka berat. Dengan demikian, menurut doktrin istilah luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan dari istilah luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2).

Secara yuridis formal, luka berat dijelaskan didalam Pasal 90 KUHP yang menyatakan, bahwa luka berat mengandung arti:

i. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

ii. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;

iii. Kahilangan salah satu panca indera; iv. Mendapat cacat berat;

v. Menderita sakit lumpuh;

vi. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; vii. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.18

Dengan merujuk Pasal 90 KUHP diatas nampak jelas apa yang dimaksud dengan luka berat. Oleh karena secara doktriner, luka ringan merupakan istilah yang dilawankan dengan istilah luka berat, maka luka ringan dapat diartikan

18

(30)

sebagai luka pada tubuh yang tidak berupa luka-luka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP. Juga dengan merujuk Pasal 352 KUHP, maka yang termasuk luka ringan adalah luka yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 90 KUHP dan juga tidak termasuk pengertian luka dalam konteks penganiayaan ringan sebagai mana dimaksud Pasal 352 KUHP.

Menurut ketentuan Pasal 352 KUHP penganiayaan dikualifikasi sebagai penganiayaan ringan apabila luka yang ditimbulkan itu tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian.

Merujuk pada Pasal 90 dan 352 KUHP diatas tersimpul pendapat, bahwa luka ringan yang dimaksud dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah luka (ringan) yang menimbulkan penyakit atau menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian yang bersifat sementara.

Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) KUHP bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tujuan yang ingin dituju oleh pelaku adalah rasa sakit atau luka tubuh saja. Jadi, dalam konteks penganiayaan biasa yang menimbulkan luka berat harus dibuktikan bahwa luka berat tersebut bukanlah tujuan dari pelaku. Sebab apabila luka berat itu menjadi tujuan dari pelaku atau merupakan akibat yang dimaksud oleh pelaku, maka yang terjadi bukan lagi penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, tetapi yang terjadi adalah penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 353 KUHP.19

(31)

Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (2) KUHP ini, maka akan dilajutkan dengan membahas Pasal 351 ayat (4) KUHP karena Pasal 351 ayat (3) KUHP akan dibahas dalam pembahasan tersendiri.

Penganiayaan yang berupa perbuatan sengaja merusak kesehatan 351 ayat (4)

Penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP merupakan penganiayaan yang mana akibat dari penganiayaan tersebut berupa rusaknya kesehatan dari korban merupakan akibat yang dikehendaki dari pelakunya.

Apabila dikaitkan dengan teori kehendak dan teori pengetahuan, maka penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) mempersyaratkan, bahwa pada saat melakuakan perbuatannya (penganiayaan) pelaku memang menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut serta ia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu akan menimbulkan rusaknya kesehatan. Unsur rusaknya kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP berbeda dengan unsur rasa sakit dan luka tubuh yang menjadi unsur penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sekalipun secara logika sangat mungkin terjadinya rasa sakit atau luka tubuh itu sekaligus merupakan perbuatan yang merusak kesehatan, namun merusak kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat ayat (4) mempunyai makna yang lain dari makna dua unsur tersebut yang bersifat memperluas unsur rasa sakit atau luka tubuh.

(32)

perumusannya didalam undang-undang. Namun secara doktrin, merusak kesehatan dapat diartikan sebagai merusak fungsi organ atau sebagian dari organ tubuh manusia.

b. Penganiayaan Ringan

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Berbeda dengan penganiayaan lain yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, maka penganiayaan ringan merupakan pengecualian dari asas konkordansi20

1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

. Jenis tindak pidana ini dalam WvS tidak dikenal. Dibuatnya ketentuan tentang penganiayaan ringan dan tindak pidana ringan pada umumnya di dalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah atas dasar adanya perbedaaan kewenangan mengadili dari Pengadilan Polisi (Land gerecht) dan Pengadilan Negeri (Landraad) yang sengaja dibentuk oleh pemerintah kolonial di Indonesia. Pengadilan Polisi berwenang mengadili perkara-perkara ringan sedang untuk Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara yang lain.

Rumusan tentang penganiayaan ringan yang terdapat dalam Pasal 352 KUHP adalah sebagai berikut:

2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

(33)

Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas tersimpul, bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam:

1) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP. 2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu

sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap: i. Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;

ii. Pegawai negeri yang sedang atau karena menjalankan tugasnya yang sah

iii. Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan atau dimakan atau diminum.

3) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

(34)

kesehatan, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian itu bukan penganiayaan ringan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas, sangat mungkin menimbulkan pertanyaan, apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan

atau pencaharian itu dengan berencana atau dilakukan terhadap orang-orang

yang berkualitas tertentu demikian juga apabila penganiayaan itu dilakukan

dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa dan kesehatan, masuk dalam

penganiayaan yang mana?

Dalam hal ini apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian itu dilakukan dengan berencana, maka penganiayaan itu masuk dalam rumusan Pasal 353 KUHP.

Dalam konteks penganiayaan ringan yang dilakukan dengan berencana, barang kali tidak menimbulkan kesulitan dalam penerapan hukum. Persoalan akan muncul manakalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian itu dilakukan terhdap orang-orang yang berkualitas tertentu. Mengingat, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhdapa orang yang mempunyai kualitas tertentu itu dikecualikan sebagai penganiayaan ringan.

(35)

tersebut. Dapat juga misalnya seorang suami yang memukul istrinya, sehingga karena pukulan itu istri merasa kesakitan atau tubuh istri terluka.

Apabila bertolak dari rumusan Pasal 352 ayat (1) KUHP diatas, dua contoh penganiayaan itu yaitu penganiayaan orang tua terhadap anaknya dan penganiayaan suami istrinya bukanlah merupakan penganiayaan ringan. Lantas masuk mana penganiayaan tersebut?

Secara logika, yang paling mungkin adalah bahwa dua contoh penganiayaan diatas masuk kedalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu penganiayaan biasa. Namun, oleh karena penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) secara doktriner dan berdasarkan yudisprudensi ditafsir sebagai penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh, semntara luka tubuh dalam konteks Pasal 351 ayat (1) harus ditafsir sebagai luka yang menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski harus bersifat sementara. Oleh karena itu secara logika penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu hanya mugkin dianggap sebagai penganiayaan biasa. Apabila penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu hanya menimbulkan rasa sakit atau luka yang tidak menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.

(36)

luka pada tubuh, luka tersebut merupakan luka yang menghalangi untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski hanya sementara.

Secara implisist ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung pemahaman, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1), tetapi termasuk penganiayaan ringan sebagimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP.

c. Penganiayaan berencana

Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 353 KUHP yang menyatakan: (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana paling lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu:

(37)

tidak menimbulkan luka berat atau kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang direncanakan lebih dahulu. Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP berupa penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan adalah penganiayaan yang menimbulkan akibat rasa sakit atau luka tubuh yang dilakukan secara berencana. Luka tubuh dalam konteks Pasal 353 ayat (1) adalah luka tubuh yang tidak termasuk luka menurut Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam pengertian menurut ketentuan Pasal 352 ayat (2) KUHP.

(2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP.

(3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP.

Apabila dilihat lebih lanjut, maka penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP mempunyai persamaan dan perbedaan dengan Pasal 353 ayat (1) KUHP. Persamaan dan perbedaan antara dua jenis penganiayaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.21

1. Sama-sama tidak mengkibatkan luka berat atau kematian; Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana:

2. Memiliki kesengajaan yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya;

3. Bila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus luka yang tidak termasuk luka berat sebagimana diatur dalam Pasal 90 KUHP.

(38)

Perbedaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana:

1. Tidak ada unsur lebih dahulu

2. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yaitu dalam hal tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Merupakan penganiayaan dalam

bentuk pokok.

4. Percobaannya tidak dipidana.

1. Ada unsur lebih dahulu

2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, sebab Pasal 353 disebut sebagai pengeculaian dari penganiayaan ringan.

3. Merupakan penganiayaan yang dikualifilasi

4. Percobaannya dipidana

d. Penganiayaan Berat

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Tindak pidana penganiayaan berat ini terdiri dari dua macam yaitu:

(1) Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam Pasal 354 ayat (1).

(2) Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam Pasal 354 ayat (2).

(39)

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana

penjara paling lama sepuluh tahun.

Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur kesalahan, berupa kesengajaan; b. Unsur melukai berat (perbuatan) c. Unsur tubuh orang lain;

d. Unsur akibat yang berupa luka berat.

Dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari sipelaku yaitu bahwa sipelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Berbeda dengan penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang dimasuk oleh sipelaku.

Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian bukanlah merupakan akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak pidana ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan untuk menimbulkan kematian, baik kesengajaan sebagi maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai kepastian.

e. Penganiayaan berat berencana

(40)

penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana. Dengan demikian untuk dapat terjadinya penganiayaan berat berencana dalam Pasal 355 KUHP, maka niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan terhadap perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan itu juga harus ditujukan terhadap unsur berencananya. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa baik terhadap perbuatannya maupun terhadap luka beratnya, pelaku mempunyai kehendak untuk mewujudkannya yang kemudian direncanakannya.

Menurut ketentuan Pasal 355 KUHP, penganiayaan berencana dapat dirumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama kima belas tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 355 KUHP diatas terlihat, bahwa penganiayaan berat berencana terdiri atas dua macam, yaitu:

1) Penganiayaan berat berencana yang tidak menimbulkan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juag harus dibuktikan, bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku sekaligus direncanakan.

(41)

apabila kematian merupakan kaibat yang dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

f. Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu

Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan Pasal 356 KUHP yang menyatakan:

“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga”

ke-1 Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya;

ke-2 Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;

ke-3 Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

Apabila dicermati, maka Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat berbagai penganiayaan. Berdasarkan Pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang memberatkan berbagai penganiayaan yaitu:

a. Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkulaitas sebagai ibu, bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

(42)

B. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari sipelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa Pasal dalam KUHP yaitu:

1) Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian

2) Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian

3) Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian

4) Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian

1. Unsur-unsur Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian a. Pasal 351 ayat (3) KUHP

Apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (1) KUHP.

(43)

351 ayat (1) akibat yang timbul hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh. Sementara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP akibat yang timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku.

Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja.

Sekalipun akibat berupa matinya orang tersebut dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP bukan merupakan akibat yang dikendaki, namun akibat kematian tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat kematian itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku. Dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan akibat yang yang ditimbulkan (berupa kematian) harus ada hubungan kausal. Dalam hal ini, untuk membuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban, aparat hukum dapat meminta bantuan kepada yang berkompeten, yaitu dokter.22

b. Pasal 353 ayat (3) KUHP

Apabila diperhatiakan maka penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP.

Jadi penganiayaan benrencana yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP merupakan tindak pidana

(44)

penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian seperti yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu.

Dalam konteks penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian perlu menjadi perhatian bahwa akibat berupa matinya korban tidak dikehendaki oleh pelaku. Demikian juga unsur berencana juag tidak ditujukan terhadap akibat matinya korban. Dalam konteks ini, kesengajaan dan unsur rencana lebih dulu tidak ditujukan terhadap matinya orang, tetapi hanya ditujukan terhadap timbulnya rasa sakit atau luka tubuh.

c. Pasal 354 ayat (2) KUHP

Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 354 (1) KUHP. Namun dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian akibat yang ditimbulkan adalah matinya orang, akan tetapi kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat.

d. Pasal 355 ayat (2) KUHP

(45)

2. Perbedaan antara Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan

Perbedaan antara Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian dengan Tindak Pidana Pembunuhan adalah terletak pada unsur-unsurnya. Adapun yang menjadi unsur penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah:

a. Unsur kesengajaan b. Unsur perbuatan c. Unsur akibat perbuatan

Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang menjadi akibat dari tindak pidana ini adalah matinya orang. Namun yang perlu ditekankan bahwa kematian tersebut bukan merupakan akibat yang diikehendaki oleh sipelaku.

d. Unsur akibat mana menjadi satu-satunya tujuan pelaku.

Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang menjadi tujuan pelaku hanyalah rasa sakit atau luka tubuh. Akibat kematian yang timbul bukan merupakan tujuan pelaku.

Sedangkan yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan adalah: a. Unsur obyektif: menghilangkan nyawa orang lain;

b. Unsur subyektif: dengan sengaja

Menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP harus memenuhi 3 syarat yaitu:

a. Adanya wujud perbuatan

(46)

c. Adanya hubungan sebab akibat (causalitas Verband) antara perbuatan dengan akibat yang berupa kematian

Wujud perbuatan tersebut diatas tidak menunjuk pada perbuatan tertentu, tetapi bersifat abstrak sehingga wujud perbuatan menghilangkan nyawa dalam konteks Pasal 338 KUHP tersebut dapat berupa bermacam-macam perbuatan, seperti membacok, memukul, dan lain sebagainya.

Selain mensyaratkan adanya “wujud perbuatan”, tindak pidana pembunuhan juga mensyaratkan timbulnya akibat, yaitu berupa hilangnya nyawa orang lain, artinya tindak pidana pembunuhan itu baru terjadi setelah terjadi akibat hilangnya nyawa orang karena suatu perbuatan tertentu. Dalam tindak pidana pembunuhan akibat hilangnya nyawa orang merupakan tujuan pelaku.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa perbedaan antara tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan tindak pidana pembunuhan adalah sebagai berikut:

1. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, akibat matinya korban bukan merupakan tujuan pelaku, sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan matinya korban merupakan tujuan pelaku. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya niat dari pelaku untuk membunuh korban yang diwujudkan dengan perbuatan.

(47)

BAB III

HUBUNGAN KAUSALITAS PENGANIAYAAN DENGAN MENINGGALNYA KORBAN

A. PENTINGNYA AJARAN KAUSALITAS

Tidak dapat disangkal, bahwa suatu kejadian atau peristiwa selalu ada penyebabnya. Apabila ditelusuri penyebab-penyabab dari suatu kejadian, dengan cara menjadikan penyebab yang terdekat. Apabila diteliti hakekat dari penyebab-penyebab tersebut, akan ternyata bahwa penyebab-penyebab-penyebab-penyebab tersebut pada suatu saat dapat berupa suatu perbuatan tertentu, pada saat lain berupa suatu kehendak, suatu keadaan, suatu dorongan, dan sebagainya. Pencarian penyebab tidak terbatas kepada hanya suatu tindakan yang dapat dipidana saja, melainkan berlaku untuk semua kejadian/peristiwa. Setiap penyebab mengandung suatu akibat, ibarat hukum alam yang menentukan adanya reaksi terhadap setiap aksi.

Dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat dibedakan antara tindak pidana yang dirumuskan secara formil disebit dengan tindak pidana formil (formeel delicten), dan tindak pidana yang dirumuskan secara materiil disebut dengan tindak pidana materiil (materieel delicten).

(48)

tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana, tanpa melihat atau tergantung pada akibat apa dari perbuatan itu.

Sedangkan tindak materil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walupun dalam rumusan tindak pidana tersebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku, akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak in casu pada pembunuhan hilangnya nyawa orang lain. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa, misalnya dengan wujud konkritnya: menusuk (dengan pisau) tidaklah dengan demikian melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya korban.

Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya, melepaskan tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan. Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna adalah apabila akibat terlarang telah terwujud dari tingkah laku.

Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan tiga syarat esensial,23

1. Terwujudnya tingkah laku; yaitu:

(49)

2. Terwujudnya akibat (akibat kontitutif atau constitutief gevolg); dan

3. Ada hubungan kausal (causaal Verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat kontitutif.

Tiga syarat inilah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil. Untuk menentukan (dalam praktek digunakan istilah untuk membuktikan) terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat, tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkahlaku adalah mendapatkan kesukaran, berhubung disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Contohnya, seorang bapak mengendarai sebuah sepeda motor hendak menyebrang – mengambil jalur lain dengan berbelok kekanan tanpa memperhatikan kenderaan dari arah belakang – dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi keadaan itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban di jalan yang keras, yang mengakibatkan bapak tersebut terkejut. Walupun mobil tidak sampai menabrak sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang berhenti, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan kerumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian meninggal dunia.

(50)

sewaktu-waktu dapat kambuh dan menyebabkan kematiannya. Dengan berdasarkan hasil otopsi tersebut, penyidikan dihentikan.

Peristiwa diatas merupakan satu contoh yang sulit dalam praktek hukum untuk menentukan ada tidaknya causaal Verband antara wujud perbuatan (pada contoh diatas: mengemudikan mobil dengan tiba-tiba mengijak rem) dengan akibat yang timbul yakni kematian bapak tadi. Pada peristiwa diatas, terdapat beberapa faktor yangn berpengaruh sehingga ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktor itu ialah:

1. Korban berbelok kanan – menyebrang dengan tiba-tba; 2. Pengemudi mobil dengan sekuat tenaga mengijak rem

3. Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan 4. korban terkejut; menyebabkan

5. kambuhnya penyakit jantung korban;

6. tidak segera mendapatkan pertolongan medik.

Dalam peristiwa diatas ada enam faktor yang ikut mempengaruhi sehingga pada ujungnya ada kematian. Dalam hubungannya dengan penentuan pertanggungjawaban pidana, tidaklah mudah untuk menentukan faktor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalam menghadapi persoalan mencari dan menetapkan adanya hubungan kausal anatara wujud perbuatan dengan akibat semacam contoh diatas, ajaran kausalitas menjadi penting.

(51)

kausalitas juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang yang dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikulifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun lebih ringan.24

B. MACAM-MACAM AJARAN KAUSALITAS

Contoh unsur akibat yang menjadikan lebih berat dari bentuk pokonya yakni pada penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) yanmg mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP), atau menimbulkan kematian (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Luka berat atau kematian adalah unsur khusus dari penganiayaan yang menyebabkan penganiayaan itu lebih berat dari pada bentuk pokoknya. Untuk menentukan apakah luka berat atau kematian, disebabkan oleh wujud tingkah laku misalnya memukul dengan kayu dalam penganiayaan, juga ajaran kausalitas penting dan berguna.

Untuk mencari faktor yang menjadi penyebab dari akibat digunakan ajaran kausalitas. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dikelompokkan dalam tiga teori yang besar25

1. Teori conditio sine qua non , yaitu:

2. teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien) 3. teori-teori yang menggeneralisir (generalisirende theorien)

24

(52)

1. Teori Conditio Sine Qua non

Teori ini berasal dari VON BURI, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman). Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam faktor yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, diantara sekian dari rangakaian faktor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebabnya. Semua faktor dinilai sama pengaruhnya atau andil/peranannya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keeadaan senyatanya dalam peristiwa itu.

Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (Aquivelenz-theorie) atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, oleh karena ajaran von Buri

ini menilai semua faktor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungtheorie oleh karena dalam ajaran ini tidak membedakan antara faktor syarat (bedingung) dengan faktor penyebab (causa).

Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh

(53)

zonder schuld). Untuk mengatasi kelemahan ajaran von Buri ini, maka VAN HAMEL salah seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambahkan kedalam ajaran von Buri, ialah tentang ajaran kesalahan. Menurut van Hamel ajaran von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah dilengkapi dengan ajaran tentang kesalahan (schuldleer). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor diantara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab akibat timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri sipembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kealpaan. Berdasarkan pendapat van Hamel ini maka dalam contoh diatas tadi sipengendara mobbil tidak perlu dipertanggungjawabkan atas kematian bapak itu, karena pada peristiwa itu tidak ada unsur kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dari sipengendara mobil.

2. Teori-Teori Yang Mengindividualisir (Individualiserede Theorien)

(54)

antara syarat dengan alasan (voorwaarde en aanleiding). Traeger hanya mencari satu peristiwa saja, yang dianggap sebab dari akibat itu.26

a. Teori pengaruh terbesar atau “die meist bedingung” atas nama Birk Meyer. Sarjana ini menentukan sebagai sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu. Sebagai contoh yang dia buat yaitu: jika dua kuda mengela sebuah kereta, maka berjalannya kereta itu adalah disebabkan oleh tarikan dari salah seekor kuda yang terkuat diantaranya.

Kemudian teori khusus ini berkembang dan yang termasuk padanya antara lain adalah:

b. Teori yang paling menentukan die doorslag geeft; de theorie van het “Gleichgewicht”; Overwicht van positieve over negatieve voorwaarden atas nama Binding. Sarjana ini mengatakan, peristiwa yang harus dianggap sebagai adalah peristiwa positif (yang menjurus kepada timbulnya akibat) yang lebih menentukan dari pada peristiwa negative (yang menahan supaya akibat tidak timbul).

c. Teori kepastian “die Art des Werdens” atas nama Kohler. Dikatakannya bahwa yang harus dianggap sebagai sebab adalah peristiwa yang pasti menimbulkan suatu akibat. Diutarakannya bahwa jika kita menanam bibit bunga dan kemudian berkembang, maka peristiwa-peristiwa/syarat-syarat untuk pertumbuhannya dapat disebut antara lain, hujan, sinar matahari, tanah dan lain-lain. Tetapi yang paling menentukan perkembangannya

26

(55)

adalah bibit bunga tersebut. Teori ini lebih menonjol jika peristiwa/syarat-syarat itu hampir sama nilainya.

3. Generaliseerende theorie (teori umum)

Penganut lainnya yang juga menganut ajaran pembatasan, mendasarkan penelitiannya kepada fakta sebelum delik terjadi (ante factum), yaitu pada fakta yang pada umumnya menurut perhitungan yang lain, dapat dianggap sebagai sebab/kelakuan yang menimbulkan akibat itu. Fakta yang dianggap sebagai itu mencakupi (strekken) dan selanjutnya menimbulkan akibat itu. Mengenai teori ini dikenal beberapa teori yang berbeda. Perbedaannya bertolak pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang layak”

a. Adaequatie theorie atau teori keseimbangan atas nama Von Kries dan yang pertama-tama mengemukakannya. Ajarannya ialah bahwa yang timbul, adalah kelakuan yang menurut perhitungan yang layak seimbang dengan akibat itu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan perhitungan yang layak ialah peristiwa yang diketahui atau yang harus diketahui oleh pelaku. Disebut juga sebagai “subjektieve prognose” atau teori kesembuhan subjektif. Dalam hal ini sebenarnya Von Kries memasukkan unsur “kesalahan” dalam ajarannya, karena pengetahuan pelaku erat sekali hubungannya dengan “hubungan batin pelaku terhadap akibat yang dikehendaki”.

(56)

diketahui oleh hakim, walaupun hal ini tidak diketahui oleh pelaku sebelumnya.

c. Teori keseimbangan gabungan (aturan subjektif dan objektif) atas nama Simons. Menurut sarjana ini yang dimaksud dengan perhitungan yang layak adalah menurut pengalaman manusia

C. HUBUNGAN KAUSAL ANTARA SEBAB DAN AKIBAT

Antara sebab (motif), tindakan dan akibat (sebagai tujuan yang dikehendaki yang terjadi) harus ada hubungannya. Hubungan itu disebut dengan hubungan- kausal (hubungan sebab akibat). Misalnya jika seutas tali dihubungkan

(57)

Juga jika A hendak menyakiti B yang kemudian memukulinya. Ada kemungkinan pemukulan itu kemudian mengakibatkan matinya B. Hal ini diluar kehendak A. Nyatalah bahwa pembedahan yang dilakukan oleh sang dokter, dengan terjadinya luka pada pasien mempunyai hubungan kausal, yaitu justru pembedahan itu sengaja dilakukan dalam rangka penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Akan tetapi bahwa ternyata pasien kemudian mati, tidak ada hubungan kausal dengan usaha sang dokter untuk menyembuhkan penyakit. Dalam hal ini kematian pasien adalah sebagai akibat dari akibat. Demikian juga pemukulan A terhadap B mempunyai hubungan kausal terhadap sakitnya B. Apabila kemudian ternyata B mati, maka kematiannya itu merupakan akibat. Dalam hal ini dalam suatu perumusan undang-undang, biasanya akibat (dari akibat) seperti itu dijadikan sebagai syarat atau unsur yang memberatkan ancaman pidana.

Nyatalah bahwa hubungan satu sama lain antara sebab, tindakan dan akibat, dilihat dari sudut ajaran sebab akibat ada yang mempunyai hubungan kausal dalam pengertian hukum pidana tetapi ada juga yang mempunyai hubungan dalam arti yang luas, yang apabila tidak ada pembatasannya, maka akan lebih mengaburkan penerapan ketentuan-ketentuan hukum pidana. Sudah barang tentu, dalam rangka pemidanaan hal tersebut diatas, harus masih dikaitkan dengan kesalahan pelaku dan apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.

Perumusan-perumusan delik sehubungan dengan motif, tindakan dan akibat, dilihat dari ajaran sebab akibat terdapat perbedaan-perbedaan. Umumnya motif itu tidak dimasukkan sebagai unsur dalam perumusan delik, walaupun

Referensi

Dokumen terkait

yang mengatur tentang polri dalam hal melakukan tindak pidana penganiayaan. yang mengakibatkan matinya seseorang, serta dasar

Meskipun hukum acara pidana sudah diatur dalam undang-undang namun dalam penyelesaian kasus penganiayaan adakalanya antara pelaku tindak pidana dan

Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang dilakukan oleh anggota

Pokok masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah “bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pembuktian visum et repertum dalam tindak pidana

Pasal tentang penganiayaan sendiri dalam KUHP diatur dalam BAB XX buku kedua KUHP tentang penganiayaan yaitu Pasal 351-358. Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Studi Putusan Nomor 107/Pid.B/2019/Pengadilan Negeri

“Menteri Kehakiman merumuskan ketentuan bahwa tindak pidana penganiayaan adalah 1 Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain,

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas bahwa pertanggungjawaban pidana para mahasiswa sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan yang