• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu

Salah satu pandangan yang cukup menarik untuk diikuti dalam rangka sosiologi pendidikan adalah pemikiran neo-Marxis dari Pierre Bourdieu. Pemikir yang lahir tahun 1930 di Propinsi Bearn, Perancis Selatan ini adalah anak seorang pegawai negeri (civil servant) yang pada mulanya memiliki latarbelakang Antropologi. Oleh sebab itu tidak aneh jika banyak sekali karya pemikiran dan penelitiannya berbicara soal perbandingan kebudayaan dan etnisitas, misalnya dapat dilihat dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Algeria, sekitar tahun 1957-1964. Di belakang hari pemikir Perancis ini makin dikenal dalam lapangan kajian sosiologi, lebih-lebih hal ini karena dukungan status jabatan akademiknya sebagai Professor Sosiologi pada College de France.39

Dalam sosiologi pendidikan ia menjadi sangat terkenal melalui karya pentingnya berjudul, La Reproduction, yang kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris, berjudul,

Reproduction in Education, Society, and Culture (1977). Secara terinci dapatlah dijelaskan bahwa tema-tema studi sosiologi Bourdieu berkaitan dengan studi tentang pendidikan, studi tentang bahasa, studi tentang cita rasa, dan studi tentang hubungan negara dengan pendidikan.

39 Biografi ringkas tentang Bourdieu diambil dari, Peter Beilharz, Social Theory, A Guide to Central Thinkers, (Australia: Allen & Unwin, 1991) hal. 37-45.

Bourdieu juga terkenal lantaran karena ia merupakan salah seorang pemikir Perancis garda depan abad ini. Reputasinya dibangun lewat sejumlah karya penting seperti telah disebut di atas, ia pun berkibar dalam pemikiran filsafat ilmu, terutama atas usahanya melakukan proyek “eksperimentasi epistemologis”. Eksperimentasi filosofis ini membawanya pada suatu paradigma berpikir yang berada di luar “mainstream”, yakni berupaya keluar dari jebakan dikotomis yang keras yang terdapat dalam model pendekatan ilmu sosial, seperti tercermin melalui konsep

obyektivisme versus subyektivisme. Baginya dua kutub (poles) perspektif ini merupakan hambatan (constrain) serius yang harus di temukan solusinya, kendati pada akhirnya ia tidak menampik bahwa “cacat perspektif” tersebut muncul akibat adanya kontradiksi sosial yang berlangsung di semua level kehidupan manusia; mulai dari level “kesadaran individu”, “tatanan interaksi” , dan akhirnya sampai ke soal “krisis ekonomi”.

Cacat tersebut coba “diselesaikan” melalui upaya yang cukup serius, diantaranya dengan usulan konseptualnya yang dikenal dengan “habitus”, yakni suatu orientasi sistematik yang meliputi berbagai aspek kehidupan sosial, misalnya kebudayaan, politik, ekonomi, dan bahasa (linguistik). Lebih lanjut yang dimaksud habitus perdefinitif oleh Bourdieu adalah:

“Sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindah pindah, yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi. apresiasi dan tindakan tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang terbentuk nyaris serupa”.40

Hal yang nampaknya cukup penting dalam kaitannya degan dilema pendidikan dalam masyarakat kapitalis seperti

40 Celia Lury, terj, Hasti T. Champion, Budaya Konsumen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998) hal. 117.

dikatakan oleh Schwartz adalah bahwa di satu sisi pendidikan mengakui ideal-ideal yang bersifat “egalitarian”, sementara pada sisi yang lain tidak bias dipungkiri bahwa pendidikan ikut mendistribusikan adanya “previllege kelas”(class previllege). Salah satu komentar kritis dari prinsip “egalitarian” yang diagungkan itu misalnya dapat dikutip dari Illich, menurutnya:

“Kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama memang merupakan tujuan yang dapat di inginkan dan dapat dilaksanakan, tetapi menyamakannya dengan keharusan bersekolah sama kelirunya dengan anggapan bahwa keselamatan sama dengan lembaga gereja “.41

Selain itu sekolah pun tidak dapat melakukan tindakan apa- apa terhadap mereka yang memiliki strata kelas menengah atas dalam satu struktur sosial masyarakat, pada kelompok sosial ini terlekat banyak previlese yang mereka miliki terutama apabila dibandingkan dengan kelompok yang berasal dari kelas lebih bawah (working class). Sulit untuk disangkal bahwa dalam setiap struktur kelas sosial, yang terdiri dari “Upper Class, Middle Class, dan Working Class” selalu tetap hidup previlese itu, setidak- tidaknya previlese itu muncul dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti ditulis oleh Illich berikut:

“Sudah jelas bahwa, bahkan disekolah-sekolah yang sama mutunya seorang murid miskin jarang mengimbangi murid kaya. Bahkan kalaupun mereka belajar pada sekolah yang setaraf dan masuk pada umur yang sama, murid-murid miskin itu tidak memiliki kesempatan belajar yang dengan sendirinya ada pada anak-anak kelas menengah. Kelebihan yang dinikmati anak-anak kelas menengah ini nampak pada percakapan, buku-buku yang dimilikinya di rumah sampai pada masalah pergi berlibur dan pandangan terhadap

41 Ivan illich, terj, Woekirsari, Bebas dari Sekolah (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hal. 22.

diri sendiri; dan ini berlaku bagi anak yang menikmati semuanya itu, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian anak yang lebih miskin pada umumnya akan ketinggalan selama ia tergantung pada pendidikan sekolah untuk memperoleh kemajuan dan pengetahuan”.42

Seringkali muncul gejala bahwa kelas bawah sebagai akibat keterbatasan-keterbatasan intrinsiknya mengembangkan suatu prilaku budaya yang bertentangan dengan produktivitas, yakni budaya kemiskinan (culture of poverty). Implikasi lebih jauh dari budaya ini sebagaimana dikatakan Oscar Lewis, adalah bahwa “Kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi, yang sebagian terbesar berlaku dalam kehidupan keluarga. Pola- pola sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaannya yang berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari”.43

Kebudayaan semacam ini jelas sangat merugikan karena ia justeru akan makin menenggelamkan seseorang pada budayanya yang impoten, pola budaya itu juga melahirkan perasaan “inferioritas kompleks” yang mandul. Selain itu goncangan budaya yang dapat muncul dari berbagai macam penyebab, baik atas alasan perbedaan kelas sosial, atau pun karena perbedaan dua budaya, yakni tradisonal dan modern, untuk itu Bourdieu memberi pesan pendidikan sekaligus solusi yang cukup penting, katanya:

“The important thing was that the individuals who were suffering from a kind of culture shock should not internalize an interpretation of their malaise which might suggest that they were essentially -in them selves as individuals-

42 Ibid., hal. 17

43 Oscar Lewis, terj, Rochmulyati Hamzah, Kisah Lima Keluarga, Telaah-telaah Kasus OrangMeksiko dalam Budaya Kemiskinan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988) hal. 18.

inadequate. An enlightened educational policy would help here because it would begin by recognizing the situation in which the culturally displaced persons found them-selves and would set itself the task of encouraging creative cultural adjusment”.44

Agar seorang anggota individu tidak terjebak dalam malaise budaya maka seharusnya ia tidak menginternalisasi akar malaise (inadequate) itu kedalam pemikirannya, untuk meredusir pikiran yang counter productiv maka tak ayal lagi bahwa peran dari kebijakan pendidikan yang mencerahkan sangat diharapkan. Hal ini semata-mata karena pendidikan akan dapat memungkinkan orang mengenali keadaan yang telah membawanya pada kegagalan dalam proses menemukan diri, sekaligus mengembangkan budaya yang jauh lebih kreatif.

Selain itu perbedaan posisi kelas yang juga akan membawa perbedaan dalam kebudayaan secara lebih mendalam dikaji oleh Bourdieu melalui teori “linguistik” nya yang mengambil fokus kajian terutama pada perbedaan bahasa dikalangan strata “kelas sosial” masyarakat yang berbeda. Analisa bahasa muncul karena didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu: Pertama,

“language is omnipresent”, bahwa bahasa ada disetiap tempat, ia hadir dimana-mana. Kedua, “language as medium authority of institution” argumentasi ini menunjukkan bahwa bahasa suka sekali dipakai sebagai simbol dari otoritas kelembagaan, dalam konteks pendidikan, misalnya hal ini seringkali mendatangkan kritik bagi lembaga sekolah karena bahasa akademis dianggap terlalu elitis, hanya bisa dipahami oleh sekelompok kecil anggota masyarakat, namun justeru disitulah makna otoritatifnya. Alasan ketiga, “index of class cleavage” bahwa bahasa juga merupakan sebagian dari simbol perbedaan kelas sosial antara orang kaya

(the have) dan miskin (the poor). Ke empat, “constrain on pedagogical innovation”, bahwa hambatan dalam penggalian, penemuan, dan

44 Derek Robbins, The Work of Pierre Bourdieu, (Great Britain: Westview Press, 1991) hal. 51.

pengembangan prinsip dan teknik untuk mencapai pengetahuan ilmiah ada di aspek bahasa.

Dalam mengkaji aspek bahasa terlebih dahulu ia mem- bedakan kelompok masyarakat ke dalam kelas sosial, yakni bourgeois dan common. Adapun setiap bahasa dalam kelas sosial memiliki sifat-sifat intrinsik yang saling berbeda, hal ini seperti dapat dilihat dalam tabel berikut:

Bourgeois Common

• Literary orientation • Latinate vocabulary & construction

• A Striving for rare & novel Expression

• A situational orientation • Non-learned vocabulary • A Reliance upon shared figures of Speech

(tabel diolah sendiri dari Derek Robbins)

Dari dua kelas sosial yang berbeda itu dapat dijelaskan bahwa golongan borjuis punya kecenderungan untuk meng- gunakan bahasa-bahasa yang literer, punya asal usul makna bahasa yang jelas, di sisi lain kalangan awam punya kebiasaan menggunakan bahasa yang lebih bernuansa situasional, tidak kaku atau pun terperangkap formalitas bahasa. Komunitas kelas atas juga sering menggunakan konstruksi atau pun kosa kata bahasa yang dapat dilacak jauh sampai keakar-akarnya, yakni bahasa latin (Yunani). Sementara golongan bawah punya tendensi mengambil kosakata yang tidak ilmiah, dalam arti bahwa tidak mudah untuk melacak asal usul unsur-unsur kebahasaannya secara ilmiah. Bahasa kelas atas terkesan rajin mengalami pembaharuan ekspresi, dan kesan yang muncul adalah bahwa “semakin elitis ungkapan suatu bahasa maka semakin tinggi nilai bahasa itu”.

Pemikir sosio-linguistik lain seperti Labov dan Bernstein pernah membuat penilaian berbeda, yakni bahwa antara bahasa

yang dipergunakan di rumah dan di sekolah memiliki perbedaan yang cukup signifikan, apa yang dimaksud adalah bahwa bahasa yang dipergunakan dirumah adalah bahasa sehari-hari yang konseptualisasinya jauh dari ilmiah, sedangkan bahasa di sekolah (dalam ruang kelas) ada kecenderungan serba formal, dan dicapai melalui proses ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dari argumen ini lalu ia membuat penyimpulan bahwa “mismatch” yang terjadi antara bahasa yang dipergunakan di rumah dengan bahasa yang di pakai di sekolah, hal inilah yang menjadi penyebab “gagalnya pendidikan”.

Adalah Bourdieu yang kembali menegaskan bahwa se- sung guhnya ada hubungan yang saling mempengaruhi antara struktur berpikir dan struktur pelembagaan, karena kedua- duanya saling merefleksi dan menghasilkan pemikiran yang terdapat di dalam masyarakat, hal ini dapat dilihat dalam kutipannya sebagai berikut: “,...there was a reciprocal relationship between the structures of thought within a society and the institutional structures which both reflect and generate the thought”.45

Persoalan yang lebih mendalam pernah pula diajukan oleh Schmalhausen, seperti tercantum dalam bukunya New Roads to Progress yang nadanya ingin mengetahui masalah mendasar sebagai berikut:

A. Sistem sosial itu demikian buas dan kejam tak berperi- kemanusiaan, semata-mata disebabkan karena kebusukan dan kejahatan tersebut memang telah tersirat dalam “tabiat manusiawi” dan tidak terhapuskan lagi, ataukah sebaliknya. B. Bahwa ummat manusia, sepanjang sejarah kemanusiaan,

telah menampilkan diri sebagai makhluk bergelimang dosa, justeru disebabkan lembaga-lembaga sosial yang dihidupinya sejak kecil hingga dewasa telah mendesakkan dan memaksakan kepadanya suatu perangkat nilai, segudang kebiasaan dan tradisi, suatu teori tentang realitas

45 Craie Calhoun, Edward LiPuma, dan Moishe Postone, Bourdieu Critical Perspective, (Chicago: Blackwell Publisher, 1993) hal. 54.

yang membatasi sambutan manusia; ini semua memupuk suatu corak kepribadian hasil bentukan suatu pola kebudayaan yang sempit dan picik.46

Mengamati gagasan di atas cukup menarik, karena menyangkut interaksi dan tarik menarik antara manusia dengan segenap kekuatan sosial yang mempengaruhi dan membentuk manusia sebagai makhluk budaya. Setelah membaca pendapat para psikolog dan antropolog sampailah Schmalhausen pada kesimpulan penting yakni bahwa: gejolak dan naluri insani, dorongan dan motivasinya, mekanisme dan berbagai maksudnya, terutama mendapatkan pengaruh, pembentukan, penataan kembali dan pengarahannya di dalam masyarakat, melalui berbagai lembaga dan daya kekuatan yang terdapat di dalamnya; lembaga dan kekuatan sosial dipandangnya jauh lebih potensial dalam pemberian pengaruh ke arah kebaikan maupun keburukan, dibanding dengan apa yang dapat dibayangkan oleh mereka yang memandang ego pribadi sebagai pusat dan pengelola kehidupan psikis manusia.47

Dan jika dicari akar persoalannya lebih mendalam, maka pandangan yang sama yang cukup menarik untuk digaris bawahi dari Schmalhausen adalah pengakuannya bahwa ternyata kita hanya akan memahami pertautan yang sebenarnya antara potensi-potensi insani dengan lingkungan sosial yang menguntungkan itu apabila disertai kesadaran akan peranan peradaban dan kebudayaan. Menurutnya kesadaran inilah yang dengan penuh pertimbangan mengadakan seleksi tentang berbagai kecenderungan serta disposisi tertentu, mana yang hendaknya dipupuk dan dikembangkan dan mana yang tidak.

Keprihatinan yang sama namun dengan nada yang sedikit agak berbeda pernah juga dilontarkan secara vokal oleh pemikir Frankfurt School, menurut mereka:

46 K.G. Saiyidain, terj. Soe1aeman, Perpicikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: CV. Diponogoro, 1981) hal. 144

“...a social institution is considered legitimate if it can be shown to stand in the right relation to the basic world- picture of the group. A social institution or practice can be extremely repressive - it may thwart and frustate the agents in the pursuit of many of their strongest desires -- and still be accepted by the members of thsociety because they take it to be legitimate, and they take it to be legitimate because of certain normative beliefs deeply embedded in their world- picture”.48

Apabila gambaran dunia suatu kolektivitas dibangun berdasarkan ideologi palsu dan pada saat yang sama ideologi itu juga dipakai untuk melegitimasi institusi sosial dasar yang terdapat dalam masyarakat, maka akibat yang akan terjadi adalah munculnya kekerasan institusional (coercive social institution) yang akan diikuti dengan terjadinya ketimpangan struktur komunikasi sosial (distorted communication) yang akan menghambat pertumbuhan kebebasan masyarakat.

Untuk membebaskan para aktor maupun lembaga (agents)

dari gambaran dunia (world picture) yang terdistorsi, dan tidak membebaskan itu maka menurut, Habermas, dibutuhkan suatu kesadaran kritis atau self-reflection, yang maknanya adalah: 1. Self-reflection ‘dissolves’ a) ‘self-generated objectivity,’ and

b) ‘objective illusion’

2. Self-reflection makes the subject aware of its own genesis or origin

3. Self-reflection operates by bringing to consciousness unconscious determinants of action, or consciousness.49

Pendapat lain tentang pentingnya kesadaran telah disampaikan pula oleh ilmuwan sosial yang lain, seperti, Giddens, yang mengangkat persoalan kesadaran dalam kaitannya

48 Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas and The Frankfurt Schoool, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981) hal. 59

dengan dimensi internal aktor atau pelaku. Menurutnya ada tiga pokok persoalan yang terkait dengan kesadaran: Pertama, motivasi tidak sadar (unconscious motive), hal ini menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri, contoh orang mengenakan seragam Korpri tentu bukan karena dorongan untuk memperkuat korporatisme ORBA. Kedua, Kesadaran praktis (practical consciousness), yakni gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai, misalnya memakai pakaian Korpri setiap hari senin atau tanggal 17. Yang menarik melalui kesadaran ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup harian tanpa mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi atau harus dilakukan dan rutinisasi hidup personal dan sosial terjadi melalui gugus·kesadaran praktis ini. Ketiga, kesadaran diskursif

(discursive consciousness), mengacu pada kapasitas kita merefleksi dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita, misalnya mengapa seseorang mengenakan Korpri, jawabnya bisa karena ketakutannya ditegur oleh atasannya di kantor.50

Oleh sebab itu, dalam proses pengembangan kesadaran pada kehidupan komunitas masyarakat tentu saja peran dunia pendidikan, utamanya lembaga pendidikan formal menjadi sangat urgen, hal ini mengingat proses pedagogis secara resmi merupakan bagian dari organisasi itu. Untuk itu pertanyaan yang cukup mendasar adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara lembaga pendidikan {sekolah) dengan negara. Apakah sekolah merupakan kepanjangan tangan dari negara? Apakah sekolah merupakan sarana sosialisasi atas berbagai ideologi yang dianut dan dikembangkan oleh suatu negara?

Suatu sistem pendidikan, menurut Bourdieu, hendaknya secara simultan memiliki konsepsi yang lebih canggih tentang aktivitas pedagogis yang dikembangkan dari perspektif masyarakatnya. Dan sesungguhnya terdapat kebutuhan yang mendalam bagi suatu sistem pendidikan untuk menetapkan

50 B. Heriy Priyono, “Sebuah Terobosan Teoritis”, Basis, NO. 01-02, Tahun ke 49, Januari-Februari 2000. hal 21

dirinya sebagai sebuah forum pengembangan wacana demokratis atau dalam sebuah istilah yang trendi yakni, “public sphere”. Jadi baik pada level makro dan mikro sebetulnya ada kebutuhan yang sama untuk mengenali otoritas yang dibentuk oleh suatu konstruksi sosial yang bukan secara otomatis dipelihara oleh guru (dosen) dan sistem pendidikan.51

Masalah di atas sebenarnya menayakan secara tidak langsung kaitan antara proses pedagogi dengan negara sebagai suatu organisasi bangsa yang memiliki kewenangan melaksanakan pendidikan. Pedagogi itu sendiri menurut kamus sosiologi merupakan:

“The science or art of teaching. Some sociologist of education use the term ‘pedagogical practices’ with reference to the methods and principles that inform educational techniques, and make a distinction between the expressed pedagogy’ (which the teacher purpots to use), and his or her observed pedagogy in practice. The former my be liberal (or ‘progressive’), emphasizing the needs and authonomy of the individual child, whereas the letter may be conservative (aimed at preserving the authority and expertise of the teacher as a professional)”.52

Sementara kurikulum yang merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, kurang lebih bisa dipahami sebagai berikut:

“The curriculum comprises the subjects and courses thought in any educational institution. It is a formal statement, by institution of what is to be learned, by institution, of what is to be learned, In British school, following the 1988 Education Reform Act, the Curriculum is determined nationally and

51 Robbins, op.cit., hal. 63.

52 Gordon Marshall, A Dictionary of Sociology, (New York: Oxford University Press, 1998) hal. 487

consist of a number of core subjects that must be studied by all school students.53

Seperti dikemukakan di atas bahwa negara (secara nasional) ikut dalam proses penetapan kurikulum yang merupakan muara dari mata pelajaran yang akan dipelajari oleh pelajar, mahasiswa di lembaga pendidikan (universtas). Oleh sebab itu beberapa proposisi yang dikemukakan Bourdieu dalam rangka memahami hubungan antara negara, proses pedagogi cukup penting untuk kita simak.

Bahwa semua aksi pedagogik (pedagogic action) secara obyektif dapat dianggap sebagai kekerasan simbolik, sepanjang ia merupakan suatu pemaksaan budaya yang digerakkan oleh kekuatan pemaksa (kekuasaan arbitrer). Karenanya pula transmisi pengetahuan yang berlangsung dari seseorang kepada seseorang yang lain tidak memiliki nilai yang absolut, selain itu baik “isi” (substansi pengetahuan) yang ditransmisikan maupun “konteks sosial” yang melatari proses transmisi itu secara pedagogis berlangsung secara arbitrer.

Dalam proses transmisi pengetahuan yang sedang terjadi konteks sosial pada dasarnya adalah merupakan hubungan kekuasaan (power relation) antar berbagai macam kelompok kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat, oleh sebab itu tidak ada referensi absolut, melainkan cuma “refleksi kepentingan”

(a reflection of interest) semata, yakni dari kelompok yang mengendalikan konteks sosial itu.

Suatu hubungan kekuasaan tidak mungkin terlepas dari basis sosial ekonomis, dan sosial historis yang melandasinya, maka dalam proses transmisi pengetahuan sekalipun seseorang tak boleh memahaminya sebagai suatu “a free-standing work of art”. Seperti kembali ditegaskan Bourdieu, bahwa tindakan pedagogi tidak lain sebenarnya merupakan “self-affirming” dan

“self- fulfilling”. Atau sejenis pembenaran terhadap posisi diri

sendiri. Dalam kaitan ini, menurut Bourdieu masalah yang jauh lebih penting sebetulnya adalah memahami setiap partikularitas pengetahuan yang berbeda dalam suatu jaringan hubungan sosial.54

Dokumen terkait