• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Relatif Pendidikan, Pandangan Robinson

Tidak semua sosiolog yang mengkaji pendidikan sepaham dengan berbagai lontaran gagasan Bourdieu, Freire, maupun Illich. Jika Bourdieu secara konsisten bersemangat dengan tawaran konsep “pendidikan reproduksi”, Illich menjadi kesohor dengan pendidikan “bebas sekolah”, dan Freire dengan pandangan kritisnya “pendidikan pembebasan”, maka di kutub lain Robinson, menawarkan sikap tengahnya; otonomi relatif. Ia sejak awal melihat bahwa terdapat kritik yang cukup banyak atas beberapa tawaran konseptual di atas. Untuk Illich misalnya, ternyata tesisnya yang menyatakan bahwa:

60 Illich, Illich, op.cit. hal. 56-57

“lembaga-lembaga yang merupakan ciri sentral struktur sosial, di “utara” justeru mendistorsikan, malah menghancurkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga itu: demikianlah maka Gereja menghancurkan agama; rumah sakit menghancurkan kesehatan: dan sekolah menghancurkan pendidikan. Tiap lembaga itu merupakan lembaga manipulatif dan dengan demikian secara sosial dan psikologis merupakan semacam candu. “Kecanduan sosial ....terdiri dari kecenderungan untuk menentukan dosis yang lebih besar jika kuantitas- kuantitas yang lebih kecil tidak menimbulkan hasil yang diinginkan”.62

Kutipan Illich yang disajikan kembali di dalam karya Robinson di atas menurut Gintis (1972) menunjukkan bahwa sesungguhnya Illich melupakan bahwa “prilaku mencandu (adiktif) yang ia identifikasikan itu, menurut Gintis, sebenarnya “merupakan suatu akomodasi yang wajar terhadap kemungkinan untuk memilih jalan ke luar sosial yang bermakna dalam konteks lembaga-lembaga kapitalis”.63 Argumen ini cukup menarik

karena dasar pemikirannya berpijak suatu sikap realisme sosial. Pada komentar lebih lanjut Robinson memberi catatan bahwa pada dasarnya: “Sekolah tidak hanya merupakan pabrik untuk memproduksi angkatan kerja yang patuh, sekolah adalah juga lembaga dimana individu-individu mengembangkan apresiasi- apresiasi kritis mengenai hakekat dunia. Pendidikan sekolah mungkin saja mencandu. Ia juga membuka kesempatan bagi individu untuk mengatasi prasangka, kefanatikan, dan tahayul yang dapat membatasi pemahaman mereka.64

Pandangan Gintis, Robinson diperkuat juga oleh Bernstein, seperti ia katakan sendiri bahwa masyarakat kapitalis, pendidikan dan produksi termasuk dalam klasifikasi kuat dan dengan

62 Robinson, op.cit., hal. 349

63 Gintis dikutip dari, Robinson, op.cit., hal. 351.

demikian yang satu terhadap yang lainnya relative otonom; juga “prinsip-prinsip, konteks-konteks dan kemungkinan- kemungkinan produksi, tidak ditetapkan secara langsung dalam prinsip-prinsip, konteks-konteks dan kemungkinan- kemungkinan pendidikan.65

Pandangan otonomi relatif juga muncul dalam halaman lain karya Robinson yang sama, lebih lengkapnya sebagai berikut:

“Bagi seorang anak, bersekolah mungkin akan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri dan memudahkan perpindahan memasuki suatu status elit, bagi anak lainnya sekolah yang sama mungkin represif, tidak toleran dan merintangi perkembangan pribadinya. Sementara bagi orang- orang tertentu sistem sekolah merupakan sarana mobilitas, ia mungkin tidak banyak manfaatnya untuk memperkuat tuntutan-tuntutan dari golongan di mana individu merupakan anggotanya, apakah golongan itu diidentifikasikan berdasarkan daerah, kelas, ras, atau jenis kelamin. Melalui sekolah sementara orang belajar untuk menerima tatanan yang berlaku sebagai hal “yang sewajarnya”, sementara orang lain justeru belajar untuk mempersoalkan landasan tatanan itu. Sekolah dapat menyumbang kepada reproduksi struktur kelas, akan tetapi mereka juga menyumbang kepada perubahannya; sekolah secara substansial mungkin bebas terhadap golongan-golongan yang memegang kontrol masyarakat, sementara golongan- golongan itu akan berusaha untuk memaksakan kepada sekolah-sekolah tersebut suatu pandangan tertentu mengenai pendidikan.66

Berbagai pandangan di atas nampaknya hidup di dalam masyarakat kita, meskipun selalu ada kecenderungan perspektif dominan yang lebih disukai masyarakat di antara pandangan- pandangan yang berkembang di atas.

65 Robinson, op.cit., hal. 361. 66 Ibid., hal. 345.

BAB 4

PENDIDIKAN SEBAGAI

INSTRUMEN MOBILITAS

PENDIDIKAN SEBAGAI

INSTRUMEN MOBILITAS

(Suatu tinjaun dari sudut pandang

cendikiawan kampus)

A. Pendidikan sebagai sarana menjadi being educated

Menurut seorang informan yang berinisial Ag pendidikan memang memiliki kontribusi terhadap mobilitas sosial, menyebabkan orang mengenal hal baru yang sebelumnya tidak diperoleh dari orangtuanya. Ag sendiri, seperti diceritakannya pernah bepergian ke luar negeri, sementara orang tuanya belum, demikian dalam hal pendapatan, gajinya jauh lebih tinggi dibandingkan orang tuanya. Banyak hal baru yang disumbangkan pendidikan bagi kehidupaannya, termasuk cara pandang. Imbas pendidikan terhadap pemahaman agama pun terjadi, bila orang tuanya menganggap agama sebagai konsep hidup, karenannya harus diterapkan dengan ketat, sementara dengan wawasan baru yang dimilikinya Ag berpandangan bahwa agama perlu ditransformasikan.

Dengan penghasilan orangtua yang jumlahnya dahulu hanya tiga ratus ribu rupiah, maka tidak mengherankan jika situasi semacam itu memunculkan semangat tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup, tentu saja kekurangan dalam menutupi biaya hidup kala itu dipenuhi dengan meminjam, pengembaliannya dilaksanakan dengan mengangsur67*), di

67 *) Dalam konteks ini lazimnya “mengangsur” artinya adalah mengembalikan

hutang dengan cara menutupnya sebagian demi sebagian mengikuti kesepak:atan yang telah dibuat antar pihak yang terlibat perjanjian hutang piutang.

saat lain orang tuanya juga pernah menjual tanah dan hasilnya dideposito untuk membiayai sekolah anaknya. Gaji hanya untuk makan sedangkan tempat tinggal menggunakan rumah dinas. Dengan tiga ratus ribu rupiah, maka kebutuhan hidup pun terpenuhi, apalagi harga-harga di wakktu itu tidak semahal seperti sekarang..

Ag sendiri mengakui, dibanding dengan keadaan orang tuanya secara ekonomi dirinya memang lebih baik, dirinya mampu membantu biaya kuliah adik, membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan belanja sehari-hari, bahkan penghasilannya juga masih memampukannya membeli barang- barang untuk keperluan pribadi yang bersifat sekunder. Selain itu orang tuanya tidak dapat berbahasa Inggris, dirinya mahir, dan menurutnya kemampuan berbahasa itu sangat membantu, terutama dalam proses interaksi dengan dunia yang lebih luas, mendapatkan pemahaman baru tentang hidup, kebudayaan, sehingga pemahaman akan suatu permasalahan jauh lebih dalam dan komprehensif. Hal lain yang juga penting adalah cara pandang terhadap suatu aturan. Orang tua dahulu, sepeti dituturkannya sendiri, percaya bahwa lebih baik taat pada peraturan, apapun itu terutama agama maupun aturan masyarakat. Dengan pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, seseorang berani mempertanyakan apakah taat kepada aturan sebagaimana yang pernah dijalani orang tuanya itu harus?.

Berbagai hal sebagaimana dikemukakan di atas menurut- nya adalah kebudayaan, karena terkait dengan masalah wawasan dan bagaimana mengkritisi aturan. Dimensi kebu- da yaan semacam ini dapat berperan sebagai faktor yang mendorong dan mempengaruhi mobilitas sosial. Menurutnya hal demikian terjadi karena masyarakat lebih hormat kepada mereka yang berlatar belakang lulusan pendikan tinggi (PT) dibandingkan sekolah dasar (SD) ataupun sekolah menengah atas (SMP). Perbedaan antara Ag dan orang tuanya secara tidak langsung dapat dilihat sebagai indikasi terjadinya mobilitas

vertikal. Dan mobilitas vertikal dapat menyebabkan terjadinya perbedaan cara pandang dalam memahami suatu persoalan. Terjadinya pergeseran status sosial antara orang tua Ag dan Ag dapat menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap mereka. Tetapi Ag juga menyadari bahwa hal tersebut sangat bergantung konteks keberadaan masyarakat dilingkungan tempatnya tinggal. Di masyarakat pedesaan yang derajat agamanya masih kuat, maka tingkat apresiasi kepada seseorang lebih banyak ditentukkan oleh latar belakang derajat pendidikan agama yang dimiliki seorang. Dalam kenyataanya masyarakat pedesaan lebih cenderung menganggap bahwa agama itu penting, jadi meskipun “anda” sarjana lulusan luar negeri, tetapi mana kala anda tidak cakap memimpin upacara keagamaan, maka tempat anda tetap dibelakang. Jadi menurut Ag, universitas dapat menyebabkan orang terangkat derajatnya tetapi hal itu lebih dalam aspek keilmuan saja, sebaliknya di masyarakat pedesaan, posisi terhormat tetap disandang oleh pemimpin agama, sebagaimana pengalaman ini dirasakan dan dialami langsung saat berada di kampung halamannya. Ibunya yang notabene guru agama ternyata jauh lebih dikenal dan dihormati dibanding dirinya yang lulusan universitas luar negeri. Lebih jauh dari itu karena kepiawaian dirinya dalam masalah agama ibunya pun dianggap sebagai pemimpin informal oleh masyarakat. Dengan demikian, sebagaimana dituturkan Ag, bila seseorang berasal dari latar belakang pendidikan sekuler, maka akan menghasilkan mobilitas sekuler, sementara bila berasal dari pendidikan agama ataupun pondok pesantren, maka seseorang dapat meraih mobilitas vertikal.

Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa pendidikan tidak menjadi tolak ukur utama dalam mendapatkan pekerjaan, keadaannya ternyata tidak hanya di Indonesia. Atas sinyalemen ini Ag mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui kondisi yang sama di luar negeri, tapi yang pernah dialaminya adalah bahwa ada seorang Doktor di Australia yang mengajar di sekolah

dasar (SD). Hal ini terjadi karena lowongan untuk bekerja di universitas sudah tidak ada lagi. Fakta seperti ini berbeda dengan yang kita temukan di Indonesia, karena seseorang doktor lulusan luar negeri lebih dihargai dibandingkan dengan doktor lulusan dalam negeri, kemudian doktor dalam negeri juga lebih dihargai dari pada hanya jenjang pendidikan master (S2). Jadi menurut Ag, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka akan semakin mempengaruhi cara pandangnya atas orang lain dan dunia sekelilingnya. Meskipun kenyataan ini tak bisa memungkiri fakta bahwa ada orang yang diakui kedudukannya karena penguasaanya atas skill atau kompetensi tertentu, sekalipun tidak melalui jenjang pendidikan formal. Peristiwa seperti ini jelas prosentasenya lebih kecil dibanding mereka yang memiliki posisi karena latar belakang pendidikan akademik yang dimilikinya.

Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat apresiasi masyarakat terhadapnya. Meskipun dari kecenderungan data statistik yang ada dapat dijelaskan bahwa hampir tidak selalu ada korelasi positip antara jenjang pendidikan dengan lapangan kerja, hal ini terbukti pada semakin tingginya jumlah lulusan PT yang sulit mendapatkan pekerjaan. Namun, mereka yang berjenjang pendidikan diploma (D3) ternyata jauh lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang mereka yang bergelar sarjana penuh. Terhadap kenyataan seperti itu Ag tetap berpendapat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan pekerjaan, seandainya dalam kenyataan ternyata tidak ada korelasi positip, maka faktor penyebabnya antara lain karena ada pengembangan usaha yang membutuhkan lulusan non sarjana, selain itu dari sisi pembayaran (gaji) tentu lulusan D3 akan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berlatar belakang sarjana Sl.

Ag juga berpandangan, kendati tidak bisa disangkal bahwa banyak prestasi yang telah diraih mereka yang tidak

berpendidikan sarjana, dan keberhasilan itu biasanya diraih berkat pengalaman kerja yang panjang. Dengan kata lain, mereka menguasai berbagai ketrampilan bukan dari lembaga pendidikan, melainkan di tempat kerja. Dengaan sebuah ilustrasi Ag menggambarkan bahwa ada kasus dimana seseorang yang hanya lulusan SMP dapat bekerja di suatu tempat dan jabatannya terus meningkat, namun suatu ketika ia tidak dapat mencapai posisi puncak karena pendidikannya hanya SMP, kemudian seorang sarjana masuk, dan ia sebenarnya dapat langsung menjadi atasan orang yang lulusan SMP tersebut karena pendidikannya lebih rendah tetapi untuk menghindari kecemburuan, sarjana tadi ditempatkan dalam pengawasan lulusan SMP, selang waktu yang tidak lama sarjana itu menjadi sejajar bahkan terus naik menjadi atasan bahkan akhirnya menjadi direksi dan itu tidak memakan waktu hingga lama, sementara lulusan SMP tadi sudah pensiun. Dengan demikian, orang yang jenjang pendidikannya lebih tinggi dapat melihat dan menyelesaikan persoalan dengan lebih ringkas dan sederhana. Karena pengetahuannya bisa saja masalah dapat diselesaikan hanya dengan satu langkah, sedangkan bagi praktisi terlebih dahulu harus mempelajari persoalan, mengalami, menteorikan. Hal ini menegaskan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi secara normatif dapat menyelesaikan persoalan dengan efisien dan lebih baik, di banding mereka yang jenjang pendidikannya lebih rendah.

Informan ini juga berpendapat bahwa tidak perlu diperten- tangkan antara jenjang pendidikan dengan kesuksesan hidup, karena dua hal ini berbeda. Dalam kenyataan tidak ada sesuatu yang bersifat tunggal. Sekalipun penjelasan sebelumnya dikemu- kakan bahwa jenjang pendidikan berkorelasi dengan kesuksesan hidup, meskipun bisa saja, akibat faktor tertentu hal ini tidak terjadi. Segala sesuatu pada akhirnya banyak ditentukan pada seberapa jauh pemahaman kita atas persoalan yang terkait dengannya. Pada akhirnya bisa saja seseorang mendapatkan

kesuksesan atas dasar pengalaman yang dimilikinya, hanya persoalannya menurut Ag orang yang jenjang pendidikannya D3 perlu waktu lebih lama untuk memahami persoalan dengan baik. Intinya bahwa pendidikan tinggi memungkinkan orang memahami persoalan dengan lebih baik dan efisiens.

Hasil kajian yang dilakukan para peneliti Marxian di Amerika memang menunjukkan bahwa kompetensi atau keaahlian teknis justeru lebih dimiliki mereka yang pengalamannya panjang di tempat kerja, ketimbang para sarjana lulusan kampus. Belajar, seperti dikemukakan oleh Ag sebenernya bermanfaat untuk mempersingkat waktu dalam memahami dan menyelesaikan persoalan. Jadi dalam kenyataannya ada orang yang mendapat- kannya melalui pemahaman teoritik, namun ada juga yang mendapatkannya dengan cara praktis; melalui pengalaman langsung.

Di negara berkembang banyak dijumpai seseorang lulusan ilmu eksak menggeluti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan lulusan ilmu sosial. Misalnya bankir di Indonesia banyak diisi oleh mereka yang berasal dari Fakultas Teknik, Geologi dan bukan dari Akuntansi, atau Ekonomi Manajemen yang notabene masuk dalam ilmu sosial. Hal ini menunjukkan belum ada kosistensi antara apa yang dipelajari seseorang di kampus dengan lapangan pekerjaan yang dijalankannya. Tampaknya universitas tempatnya bekerja (UGM), menurut Ag, bukan universitas research. Karena mahasiswa datang ke kampus kemudian diajar dan berikutnya mengikuti ujian. Universitas juga tidak pernah mencari masukan dari para alumni, misalnya untuk merekonstruksi silabus ataupun kurikulum agar up to date dengan perkembangan di dunia kerja. Ag misalnya menyontohkan bagaimana penelitian di Jurusan Sastra hampir jarang sekali ditemui penelitian sastra yang membahas seberapa besar minat bacaan anak umur 10 tahun di Indonesia. Dengan gambaran semacam ini menurutnya, sulit dikembangkan ilmu sastra yang dapat berdaya guna bagi masyarakat, kondisi

ini menunjukkan bahwa universitas sendiri tidak· pernah membuka diri untuk mendapatkan masukan dari luar. Mungkin ini penyebab mengapa ilmu yang ada dibangku kuliah tidak memiliki relevansi di luar. Gambaran ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa apa yang dipelajari di bangku kuliah tidak memiliki daya kegunaan, karena orang harus belajar lagi dari awal (titik nol), padahal, sebagaimana dikemukakan Ag bahwa hal yang penting di universitas adalah kita diajar untuk berfikir sistematis dan efektif. Apa yang dialami langsung bisa dipahami melalui teorisasi, buku teks, sehingga tidak perlu lagi menghabiskan waktu yang panjang untuk mendalami hal itu.

Keuntungan seseorang yang belajar di jenjang pendidikan tinggi, menurut Ag, terletak pada cara belajar yang diterapkan. Tataran D3 tidak serumit dan secanggih metode analisis yang diajarkan di S2 atau pun S3. Penelitian yang dilakukan mahasiswa diploma (D3) tentunya menggunakan metode yang jauh lebih sederhana. Apa yang diperoleh seseorang di pasca-sarjana (S2), baik menyangkut cara berfikirnya, cara mensistematisasi masalah tentunya lebih rumit dan komperhensif dibanding mereka yang pendidikannya di bawah level itu. Untuk itu Ag berpendapat bahwa kemungkinan pertama, karena pendidikan yang lebih tinggi memberi wawasan yang mungkin tidak diperoleh di level bawah dan kemungkinan yang kedua adalah cara berfikir. Berikutnya, menurut Ag terkait dengan keper- cayaan masyarakat.

Pendidikan tinggi menurut Ag, dalam kenyataannya tidak identik dengan lapangan kerja, menurutnya selama ini ada yang hilang dari universitas, semestinya bila kita belajar di universitas kita harus mempelajari materi, tentang bagaimana mengembangkan apa yang sudah kita pelajari itu. Bagaimana memasarkan apa yang telah dipelajari. Untuk sekedar contoh, misalnya mahasiswa sastra Jawa diajari membaca Sastra Jawa Kuno, membaca sejarah krisis di masa kerajaan tertentu kemudian semestinya, mahasiswa tersebut mencoba mengembangkannya

menjadi suatu cerita drama baru sehingga dapat “memasarkan” cerita tsb. Tentu saja ketiga hal ini menyangkut juga problem teknis selain pengajaran di kelas, dan nampaknya masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi ketika seseorang lulus dari bangku kuliah. Seperti hilangnya harapan untuk menjadi bankir, ini terutama buat mereka yang studi ekonomi di masa krisis seperti sekarang, atau bahkan ingin jadi birokrat, pada hal diketahui bahwa saat ini yang terjadi adalah zero growth, alias tidak ada rekruitmen PNS baru (di era Orba). Berdasarkan contoh-contoh yang telah dikemukakan, maka pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa pendidikan tidak selalu menjanjikan pekerjaan, namun di titik tertentu ada hal yang dialami selama berlangsungnya proses belajar yakni “being educated”.

Dalam pandangan Ag setiap universitas memiliki tujuan menjadikan manusia agar being educated, baik itu untuk men- didik agar seseorang berjiwa Pancasila, mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, dsb. Juga tidak bisa dipungkiri bahwa ketika seseorang belajar di suatu universitas ia kemudian dihormati, meskipun ketika lulus bisa saja ia tak dihargai. Menurut Ag, being educated tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan seseorang, kecuali jika ia lulus dan bekerja sesuai bidangnya atau mempelajari bidang baru. Being educated saja sebagaimana dikemukakan Ag, tidak bisa memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Being educated sebenarnya adalah kemampuan membaca fenomena. Bila seseorang telah menjadi being educated dan sadar bahwa yang terjadi dilingkungan pemerintah terutama dalam proses recruitment adalah zero growth maka tentu saja hal ini akan memaksa dia menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, ia bisa saja menjadi seorang bankir tapi tidak mengandalkan diri pada institusi yang sedang mengalami krisis, mestinya sosok seperti itu dapat mencetak manausia melalui berbagai upaya pendirian lembaga, demikian pandangan Ag.

B. Pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-kultural

Menurut pandangan Y pendidikan memang telah menye- bab kan terjadinya mobilitas ekonomi bagi dirinya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang Psikolog-Kedokteran ilmu ter- sebut, menurutnya dapat juga diterapkan dalam lingkungan keluarga, terutama bagi dirinya yang telah memiliki anak. Ilmu itu memang berhubungan dengan masalah psikologi anak, atau tumbuh kembang anak. Psikologi-Klinis yang telah lama ia tekuni memang sedikit sekali hubungannya dengan masalah- masalah kemasyarakatan, hal ini berbeda secara diametral dengan pekerjaan psikolog seperti suaminya yang memang sejak awal telah menggeluti dunia sosial kemasyarakatan.

Dirinya mengakui bahwa di Fakultas Kedokteran relasi jenjang pendidikan, dengan posisi seorang dosen memberi implikasi tertentu, lebih-lebih seseorang yang berlatar belakang psikologi, seperti dirinya yang kebetulan bukan berlatar belakang Kedokteran. Di Fakultas Kedokteran, menurutnya ada anggapan bahwa mereka yang latar belakang non-kedokteran, seperti dari Psikologi, dianggap sebagai second person (SP). Dalam berbagai macam hal sebutan SP memberikan pengaruh, bahkan lebih ngeri lagi, sebutan tersebut membuatnya sulit tampil menampakkan eksistensi diri. Terlebih lebih, kalau jenjang pendidikannya cuma Sl, dengan jenjang yang lebih tinggi tekanan itu mungkin bisa ditangkal, atau dikurangi. Menurutnya, jenjang pendidikan yang lebih tinggi bisa melahirkan perasaan percaya diri (PD) yang lebih tinggi pula.

Bagi Y pendidikan formal memang telah menyebabkan mobilitas sosial, Y juga merasa bahwa ilmunya secara riil memang masih banyak dibutuhkan. Di Fakultas Kedokteran, sebagaimana dijelaskannya, profesi itu termasuk langka. Ia juga menceritakan bahwa dahulu dirinya belajar Psikologi Klinik namun akhirnya karena di Fakultas Kedokteran orang hanya tahu bahwa ia adalah psikolog, maka dirinya diminta pula mangajar mata kuliah lain, seperti: Perubahan Prilaku,

Teori Pemasaran Sosial, tentu saja matakuliah tambahan itu memberikan kontribusi terhadap pekerjaan pokoknya.

Y juga menjelaskan bahwa saat ini ada matakuliah wajib, namanya Prilaku Kedokteran dan Psikologi Kedokteran. Kendati demikian ia sendiri meminati matakuliah Prilaku dan Promosi Kesehatan. Menurutnya matakuliah tersebut sangat dekat dengan profesinya, sebagai pengampu kuliah Perubahan Prilaku, Pemasaran Sosial, Komunikasi Interpesonal dimana kesemuanya jelas bisa memberikan tambahan penghasilan, apalagi, pada saat Q project graduate berjalan, Y juga sebagai salah satu anggota kelompok inti yang terlibat dalam program penanganan evaluasi. Semua hal yang dijelaskan di atas tidak bisa lepas dari latar belakangnya sebagai psikolog, seperti masalah

questionaire, format evaluasi, teori kualitatif, juga ketrampilan konseling dalam kegunaannya melatih para bidan, profesi kesehatan rumah sakit, dan juga mengajar di keperawatan. Matakuliah itu menurutnya sama dengan “pemasaran”, tetapi yang ditekankan adalah ide-ide atau jasa, misalnya rumah sakit hingga kini belum menggunakan konsep pemasaran modern yang profesional tetapi lebih pada sosial, sekarang dengan diperkenalkannya konsep swadana rumah sakit kedepan akan lebih profitable, tetapi dibidang kesehatan masyarakat misalnya program oralit bila masyarakat hanya dianjurkan, maka target sulit dicapai, oleh sebab itu untuk memacu akhirnya diperlukan iklan tokoh seperti Mandra, Ranokarno. Y sendiri mengemukakan untuk itu ia perlu mengemas pesan sedemikian rupa agar dapat menimbulkan daya pikat masyarakat, contoh lain, iklan ibu hamil, slogan yang ia gunakan “4K” yang artinya

Dokumen terkait