• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiologi Pendidikan - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sosiologi Pendidikan - repository civitas UGM"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SOSIOLOGI

PENDIDIKAN

(3)

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Penulis : Dr. Muhamad Supraja, SH, M.Si Layout : Tim Azzagrafika

Cetakan Pertama, Januari 2015 ISBN ...

Penerbit

Azzagrafika

Jalan Seturan 2 no. 128 Caturtunggal Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. 0274-8078206

Anggota IKAPI

Hak Pengarang Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved

Hak Cipta ada pada Penulis Dilindungi Undang-Undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit RP. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)

(4)

Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena berkat perkenan-Nya akhirnya karya ini dapat selesai. Ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang tak dapat penulis sebut satu persatu karena perannya untuk memperlancar proses penerbitan karya ini. Tanpa jasa dan dukungan mereka semua maka sudah bisa dipastikan karya ini tidak akan hadir dihadapan pembaca.

Buku ini diperuntukkan bagi masyarakat dan para pencinta pendidikan di Indonesia, isinya berusaha mengulas berbagai keterkaitan antara pendidikan dengan berbagai dimensi lainnya, tanpa melupakan sama sekali masalah yang ada di dalam diri dunia pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum, metode belajar, tujuan dan spirit pendidikan. Sisi lain, buku ini juga menyajikan hasil wawancara dengan sejumlah tenaga edukatif dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Yogya. Mereka yang diwawancarai juga memperlihatkan bahwa pendidikan, khususnya PT ternyata mendorong berlangsungnya mobilitas sosial-kultural pada diri mereka (tenaga edukatif), meskipun ada diantara mereka yang hanya mengalami reproduksi status sosial.

Untuk itu, hadirnya buku ini diharapkan mampu memberi nuansa lokal yang relevan bagi mahasiswa, masyarakat,

(5)

dan peminat pendidikan, selebihnya penulis mengucapkan selamat memanfaatkan karya ini. Semoga di masa-masa datang karya yang membahas Sosiologi Pendidikan dengan nuansa Indonesia akan lebih banyak bermunculan, sehingga keterbatasan wawasan dalam masalah pendidikan dapat dieliminasi. Akhirnya buku yang cikal bakal kajiannya muncul saat penulis menjalani pendidikan pasca-sarjana di Jurusan dan almamater penulis ini, dengan sengaja saya peruntukkan bagi istri tercinta Ani Mu’alifatul Maisyah, dan juga para mahasiswa, serta masyarakat peminat Sosiologi Pendidikan di seluruh jagad dunia pengetahuan. Semoga buku ini bisa memberi insight untuk melihat berbagai masalah yang terdapat di dunia pendidikan (PT), khususnya terkait dengan mobilitas sosial-kultural yang dialami dosen atau staf edukatif di dunia kampus.

Sekali lagi: selamat membaca

Yogyakarta, 29 Nov 2014

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Memetakan Kecenderungan Pendidikan ... 1

B. Lingkup Kajian ... 3

C. Kerangka Teoritis ... 4

D. Fokus Kajian ... 10

E. Pengumpulan Informasi ... 10

BAB 2

DIMENSI REPRODUKSI DALAM PENDIDIKAN ... 15

A. Perspektif Fungsionalis ... 15

B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis ... 21

BAB 3

DIMENSI OTONOMI RELATIF PENDIDIKAN ... 35

A. Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu ... 35

B. Anti Pendidikan Illich dan Pendidikan Pembebasan Freire ... 47

(7)

BAB 4

PENDIDIKAN SEBAGAI INSTRUMEN MOBILITAS

(Suatu tinjauan dari sudut pandang cendikiawan kampus) ... 55 A. Pendidikan sebagai sarana menjadi being educated ... 55 B. Pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-kultural ... 63 C. Pendidikan dan tarikan pasar ... 66 D. Pendidikan sebagai sarana percepatan atas keunikan .. 73 E. Pendidikan sebagai sarana membangun tradisi ... 79

BAB 5

MOBILITAS SOSIAL-KULTURAL AKADEMISI ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(8)

BAB 1

(9)
(10)

A. Memetakan kecenderungan Pendidikan

Pujian dan sekaligus kecaman selalu datang silih berganti mewarnai fungsi dan keberadaan pendidikan tinggi di Indonesia. Beberapa tahun silam, tepatnya di zaman Orde Baru, muncul tuduhan bahwa pendidikan tinggi tidak mampu menghasilkan manusia siap pakai, yang dihasilkan setiap waktunya oleh lembaga pendidikan tinggi (PT) adalah pengangguran intelektual yang makin lama makin banyak jumlahnya. Di zaman Orde Baru itu pula, khususnya dibawah kepemimpinan Mendikbud Wardiman Djojo Negoro, untuk menepis, atau paling tidak mengurangi kesenjangan antara jumlah lulusan sekolah (PT) dengan lapangan pekerjaan yang tersedia diciptakanlah konsep

Link and Match (L & M).

Gagasan L & M diharapkan menjadi suatu konsep yang dapat menjembatani antara produksi sekolah (dunia pendidikan) dengan dunia industri (pasar kerja), dengan kata lain, konsep ini hendak menciptakan adanya keterpautan dan kesepadanan antara sekolah (dunia pendidikan) dengan lapangan kerja (dunia industri) yang memiliki nilai ekonomis. Keinginan untuk mempertautkan dunia pendidikan dengan industri di tengah-tengah masyarakat, salah satunya dapat dibaca melalui potongan artikel di bawah ini:

(11)

“Dari penelitian dan pengamatan yang dilakukan, sekitar 90 persen tamatan lembaga pendidikan kesenian beker ja di birokrasi kesenian dan kebudayaan, seperti di Depdikbud, Departemen Penerangan, Pariwisata, atau di grup-grup kesenian. Mereka menjadi menejer-menejer dan pengelola-pengelola kesenian. Sayangnya, sewaktu mereka belajar di lembaga-lembaga pendidikan (kesenian), mereka tidak mendapat bekal yang memadai untuk tugas-tugas yang demikian. Menejemen kesenian belumlah menjadi mata-kuliah yang penting di lembaga-lembaga pendidikan tingggi kesenian, pada hal pasar kerja justeru amat memer-lukan kemampuan manajerial yang demikian.

Peluang untuk ber-link and match lembaga-lembaga pen-didikan tinggi kesenian adalah di dalam industri pariwisata itu. Dengan konsep link and match itu manfaatnya tidak saja penting untuk pendidikan tinggi kesenian, tetapi juga untuk industri pariwisata itu sendiri: Industri pariwisata bisa menjadi industri pariwisata yang berwawasan kultural.1

Terlepas dari kontroversi pemikiran yang muncul atas konsep link and match, namun sulit diingkari adanya hubungan antara pendidikan di satu sisi dengan dunia kerja pada yang lainnya. Pendidikan dimana pun masih selalu dianggap sebagai salah satu jalan yang cukup penting untuk menghantarkan seseorang pada suatu status sosial, dan capaian ekonomi tertentu. Oleh sebab itu, bukan sesuatu ceritera yang baru jika ditemukan sekelompok anggota masyarakat yang berasal dari kelas bawah, berlomba-lomba untuk mengirimkan anggota keluarganya ke berbagai lembaga pendidikan. Bagaimana pun image terhadap sekolah di mata masyarakat masih tetap signifikan dalam upaya untuk melakukan mobilitas sosial (vertikal). Hal yang sama juga secara umum terjadi di negara yang tergolong maju

(12)

sekalipun, seperti Amerika, di negeri Paman Sam ini sekolah masih dianggap oleh anggota masyarakatnya sebagai jalan emas

(the royal road) yang penting untuk meraih berbagai macam mobilitas sosial, ekonomi dan politik.

Menurut para ilmuwan sosial, pendidikan atau sekolah agaknya bukan hanya berfungsi sebagai tangga untuk meraih mobilitas sosial (vertikal), namun sulit dipungkiri bahwa sekolah juga memiliki fungsi mereproduksi status quo baik dalam arti mempertahankan kedudukan sosial anggota masyarakat di dalam kelas-sosialnya, maupun untuk mereproduksikan kesadaran kelas sosial yang berkuasa terhadap anggota masyarakat yang lainnya. Sekolah selain memberikan peluang dan kesempatan bagi seseorang untuk mengubah lokasi kelas sosialnya, ia juga memiliki fungsi untuk mempertahankan lokasi kelas sosialnya.

Untuk melihat lebih dekat apakah sekolah menjalankan fungsi reproduksi atau pun otonomi relatifnya, maka kajian ini ingin memfokuskan diri pada para pekerja profesional, dalam konteks ini staf pengajar (dosen) yang pada umumnya memiliki berbagai ragam kelas sosial, selain itu mereka memiliki titik tolak status pendidikan yang sama (homogen), yakni perguruan tinggi (PT), meskipun pada kajian ini jenjang pendidikannya beragam; Sarjana, Master, dan Doktoral .

B. Lingkup kajian

(13)

pengaruh dimensi reproduksi di dunia pendidikan tinggi (PT) terhadap mobilitas tenaga pengajar (dosen), disamping itu ingin mengetahui pengaruh dimensi otonomi relatip tenaga pengajar (dosen) terkait dengan mobilitas sosial mereka. Benarkah pendidikan telah menyebabkan terjadinya mobilitas sosial kultural pada diri mereka? Bagaimana pula reproduksi sosial bekerja pada kehidupan mereka.

C. Kerangka Teoritis

Dalam masyarakat industri yang tergolong maju, pen-didikan tidak bisa dipungkiri telah menjadi “tiket” untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik sekaligus penghasilan yang lebih menjanjikan.2 Pendidikan juga telah mengantarkan

orang meraih status sosial yang lebih “tinggi”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila banyak anggota masyarakat yang berlomba-lomba mengirim putera puteri mereka ke lembaga pendidikan formal (sekolah), mulai dari tingkat pendidikan yang paling dasar hingga pendidikan yang jenjangnya paling tinggi, yakni perguruan tinggi (PT).

Sejauh ini berkembang berbagai aspirasi masyarakat terkait sekolah, salah satu argumentasi yang cukup menarik menyebutkan, bahwa, bagi seorang anak sekolah mungkin akan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri dan memudahkan pergerakan untuk meraih status elit, bagi anak lainnya sekolah mungkin dianggap represif, tidak toleran dan merintangi perkembangan pribadinya. Sementara bagi orang-orang tertentu, sistem sekolah dapat menjadi sarana mobilitas, demikian juga sangat mungkin bila ada yang beranggapan bahwa sekolah tidak banyak manfaatnya untuk memperkuat tuntutan-tuntutan yang berasal dari golongan dimana individu berasal, apakah golongan tersebut berasal dari daerah, kelas, ras, atau jenis kelamin tertentu. Pendek kata, melalui sekolah sementara

2 Baca, John M. Sheperd dan Harwin L. Voss, Social Problems, (New York:

(14)

orang belajar menerima tatanan yang berlaku sebagai hal “yang sudah sewajarnya”, sementara sebagian yang lain justeru belajar mempersoalkan landasan tatanan itu. Sekolah dapat menyumbang kepada reproduksi struktur kelas, akan tetapi dapat juga menyumbang bagi perubahannya; sekolah secara substansial mungkin bebas terhadap golongan-golongan yang memegang kontrol masyarakat, sementara golongan-golongan itu akan berusaha memaksakan pandangannya tentang makna pendidikan pada sekolah tersebut.3

Pada sisi lain kita sulit menyangkal bahwa bertambah lama masyarakat semakin bercorak industrial. Kesempatan bagi orang-orang yang kurang terdidik untuk mendapatkan pekerjaan “kerah putih” (white collar worker) semakin sulit. Orang-orang yang mencapai keberhasilan ekonominya tanpa melewati jenjang pendidikan pun kini semakin jarang dijumpai. Tentu saja, hal ini disebabkan oleh proses industrialisasi yang mengubah struktur pekerjaan dari pekerjaan yang tidak didasarkan pada keahlian, maupun setengah ahli (semi skilled) menjadi pekerjaan yang membutuhkan profesionalitas dan tekhnikalitas tertentu.4

Kelas profesional merupakan bagian yang cukup penting di dalam perbincangan tentang konsep kelas menengah pada struktur masyarakat kapitalis yang memiliki berbagai institusi modern. Menurut Samuel P. Huntington, kelas menengah itu terdiri dari kaum profesional, pengusaha, pemilik toko kecil, guru, pegawai negeri, manajer, teknisi, klerk, dan pekerja dibidang penjualan.5

Secara teoritik perspektif sosiologi juga menjelaskan ber-bagai kriterium penting yang menjadi landasan konseptual profesionalitas itu, misalnya bahwa kaum profesional, karena alasan sifat dan jenis pekerjaannya, kemudian memerlukan

3 Philip Robinson, terj, Hasan Basari, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan,

(Jakarta: CV Rajawalis, 1986) him, 345

4 Jon M. Sheperd dan Hatwin L. Voss, Op. cit., hal. 172-176

5 Samuel P. Huntington, terj Asril Marjohan, Gelombang Demokrasi Ketiga,

(15)

“klaim kompetensionalitas yang bersifat unik dalam setiap jenis pekerjaan, sehingga tidak mengherankan jika self regulasi, dan proses rekruitmen atas para pekerja berlangsung degan menggunakan kontrol yang ketat”.6

Penjelasan lain yang sedikit lebih abstrak dapat kita temukan pada pemikiran yang dikemukakan Gramsci,7 menurutnya

konsep profesionalitas mengandung beberapa unsur pokok, seperti pemanfaatan akal pikiran (intelegensi) secara aktif, juga fantasi dan perlunya inisiatif di dalam lapangan pekerjaan yang digeluti seseorang profesional.

Klaim yang berhubungan dengan pengetahuan otoritatif mengandung arti bahwa hanya kaum profesional saja yang memiliki kemampuan menilai apakah suatu pekerjaan dila-kukan dengan sempurna atau sebaliknya, selain itu organisasi profesional memberikan perlindungan kepada para praktisinya dari para klien. Johnson juga memberi penjelasan terutama terkait dengan hubungan antara para praktisi dengan para klien, khususnya ketersinggungannya dengan kekuasaan yang dimiliki para profesional untuk mendefinisikan kebutuhan dan pemecahan atas masalah kliennya. Demikian halnya dengan soal klaim kompetensi unik, self regulasi, dan pengendalian yang ketat dalam soal rekruitmen anggota baru, dimana seluruh aspek yang telah disebutkan ini merupakan soal strategi profesionalisasi yang menjadi bagian dari proses rekruitmen yang menjadi masalah yang penting.8

Berbagai konsep komunitas profesional di atas dalam kenyataannya tentu saja mengalami banyak penyimpangan, setidak-tidaknya apa yang ada di alam kenyataan memperlihatkan perbedaannya dengan realitas formulasi konseptual. Menurut hasil penelitian yang diselenggarakan Harian Umum “Kompas”,

6 David Jary dan Julia Jary, Dictionary of Sociology, (Great Britain: HarperCollins Manufactoring Glasgow, 1991) bal.502

7 Antonio Gramsci, Selections fromthe Prison Notebooks, (New York: Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith, 1971) hal. 302

(16)

bahwa yang dimaksud dengan professional dalam konteks masyarakat Indonesia umumnya, dan di Jakarta khususnya, adalah berkait dengan berbagai macam ciri, seperti: memiliki latar belakang PT (D1, D2, D3 hingga S1), jenis pekerjaannya meliputi antara lain seperti pengacara, dokter, konsultan, dosen, peneliti. Tingkat penghasilan rata-rata mereka berkisar mulai dari kurang satu juta rupiah sampai dengan di atas satu juta rupiah, bahkan di atas tiga juta rupiah. Dan yang terpenting sekaligus tidak dimiliki kalangan professional kita adalah minimnya apresiasi mereka pada ilmu pengetahuan, pada hal ini merupakan ciri terpenting dari professional dalam arti yang sesungguhnya.9

Dalam literatur sosiologi Marxis kaum profesional tidak memiliki posisi yang tegas, hal ini karena di dalam pemikiran Marxian hanya dikenal dikotomi dua kelas sosial: kelas produktif yang dihisap dan kelas non produktif yang menghisap. Kondisi pembentuk kedua kelas itu telah jelas, yakni mereka yang menguasai alat produksi material dan mereka yang tidak. Dalam masyarakat kapitalistik, dua kelas itu adalah kelas pekerja dan kelas pemodal. Kelas menengah sesekali disebut tetapi tidak dianggap penting. Yang cukup penting dari tipologi ini adalah bahwa semua kelas yang tidak termasuk kelas pekerja (proletariat) atau pemilik modal (kapitalis) dianggap akan terdesak masuk ke dalam salah satu dari dua kelas utama ini.10

Berbeda dengan pandangan kaum Marxian, pandangan Weberian menganggap, kelas sosial tidak hanya dua atau tiga (atas-tengah-bawah), tetapi bisa banyak berjenjang-jenjang. Pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh penguasaan alat produksi, tetapi juga kegiatan konsumtif, status sosial,

9 Reportase Kompas, Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan, Kerja Keras Kurang, pernah dimuat 11 Mei 1986, dalam, Richard Tauter dan Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1993) hal. 183-191

(17)

kewibawaan serta daya-tawar dalam pertukaran-pasar. Tidak berpusat hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik dan budaya.

Dari kontras dua pandangan di atas maka ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik: pertama, pandangan Marxian menekankan pertentangan kepentingan antar kelas yang dikotomis, sedang pemikiran Weberian menunjukkan per-bedaan kepentingan atau kemampuan di antara banyak kelas. Kedua, pemikiran Marxian berbobot ideologi radikal, dan secara ambisius menjangkau sebuah cakrawala perubahan sejarah makro yang maha luas. Pada saat yang bersamaan, wawasan Weberian lebih setia pada realitas empirik yang mikro dan majemuk, sehingga lebih mudah diteliti dan diuji.

Wawasan Marxian kewalahan menghadapi konsep dan gejala “kelas menengah” karena watak dasarnya yang deterministik. Visinya serba dikotomis. Ia tidak bertoleransi pada yang serba tanggung. Sementara dalam realitas banyak hal yang serba tanggung dan kontradiktif. Karena luwes, wawasan Weberian mudah menampung konsep “kelas menengah”. Namun justeru karena keluwesannya, ia akhirnya tidak mampu menjelaskan secara tegas “batas” kelas menengah ini dengan kelas-kelas lainnya. Berbagai indikator seperti gaji, selera, gaya hidup, tingkat pendidikan atau profesi, hanya membuahkan gambaran yang sangat rumit dan terlalu membingungkan.

Dalam perkembangan lebih belakangan, kedua kiblat itu bertemu dan saling memperkaya wawasan. Mereka yang condong ke Marxian mulai memperhitungkan aspek-aspek non-ekonomi dan non-produksi dalam analisisnya. Mereka yang menganut perpektif Weberian mulai menekankan aspek “konflik” (bukan sekedar perbedaan) antar kelas dan wawasan “perubahan sejarah” (bukan sekedar penggambaran empirik mikro).

(18)

kelas bawah, masing-masing berasal dari tata produksi yang berbeda-beda. Ada kelas atas dari tata produksi yang dominan, dan ada kelas atas dari tata produksi yang tidak atau kurang dominan. Dalam konteks pemetaan tersebut kelas menengah dapat diidentifikasikan sebagai satu atau lebih kelas-atas dari tata produksi yang tidak dominan dalam masyarakat. Dan dengan perkataan lain, bahwa ada lebih dari “satu kelas menengah”. Ia jamak sekaligus majemuk.

Para pemikir seperti Bourdieu dan Wallerstein (yang lebih Marxian ketimbang Weberian) maupun Gouldner atau Szelenyi (yang lebih Weberian ketimbang Marxian) sama-sama menunjukkan bahwa dalam “kapitalisme” mutakhir ada sejumlah aset produktif yang layak diperhitungkan sebagai modal (kapital). Contoh terpenting, berbagai ketrampilan ilmiah, dan kewenangan birokrasi negara yang dikuasai oleh “kelas menengah baru”. Ini disebut dengan beraneka julukan: modal manusiawi, modal simbolik/kultural, atau diskursus budaya kritis.

(19)

menyenangkan. Kelas sosial menengah lapisan bawah(lower middle class) meliputi para juru tulis, pegawai kantor lainnya, dan orang-orang semi profesional, serta mungkin pula termasuk beberapa penyelia (supervisor) dan pengrajin terkemuka. Kelas sosial rendah lapisan atas(upper-lower class) terdiri atas sebagian besar pekerja tetap yang sering disebut sebagai golongan pekerja oleh orang-orang kurang senang menggunakan istilah “kelas sosial rendah” bagi para pekerja yang bertanggung jawab. Kelas sosial rendah- lapisan bawah(lower-lower class) meliputi para pekerja tidak tetap, penganggur, buruh musiman, dan orang-orang yang hampir terus menerus tergantung pada tunjangan pengangguran.11

D. Fokus Kajian

Buku ini dengan data yang dimilikinya ingin meng-konfirmasi dan mengklarifikasi beberapa persoalan penting yang berhubungan dengan dimensi fungsional, reproduksi dan otonomi relatif pendidikan, terutama terkait dengan pendidikan tinggi (PT), dan dampaknya atas mobilitas sosial kalangan profesional, khususnya tenaga pengajar yang mendedikasikan dirinya dalam proses belajar mengajar. Seberapa besar kemampuan dunia pendidikan tinggi (PT) mengembangkan daya otonomi relatipnya terhadap tenaga pengajar (dosen), dan bagaimana pula daya dorong PT terhadap mobilitas mereka. Mudah-mudahan wawancara dengan beberapa staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi tersebut membantu kita untuk melihat efek mobilitas yang dibawa PT di dunia kampus.

E. Pengumpulan Informasi

Kajian ini mendayagunakan informasi yang dikumpulkan melalui proses wawancara kepada beberapa tenaga pengajar yang berasal dari lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Institute Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Yogyakarta, dan

(20)

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tanpa melupakan berbagai prasyarat penting yang diperlukan sebagai kriteria untuk menetapkan nara sumber atau informan yang dianggap relevan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rangka mendalami dan membahas penelitian ini.

(21)
(22)

BAB 2

(23)
(24)

DIMENSI REPRODUKSI

DALAM PENDIDIKAN

A. Perspektif Fungsionalis

Menurut pandangan kaum fungsionalis, pendidikan diang-gap telah memiliki bentuk tertentu, hal ini terutama dikaitkan dengan sumbangan positif yang diberikan bagi berfungsinya masyarakat industri dengan tepat. Prinsip- prinsip utama teori fungsionalis dalam konteks masyarakat industri dan hubungannya dengan sistem pendidikan, menurut Colllins, dapatlah diuraikan sebagai berikut:

1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat industri terus meningkat sebagai akibat adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini ada dua aspek yang penting

a. Proporsi pekerjaan yang memerlukan ketrampilan yang rendah berkurang, sementara proporsi yang memerlukan ketrampilan tinggi bertambah.

b. Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkat persyaratan keterampilannya.

2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang ber-ke terampilan yang lebih tinggi.

(25)

banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah.

Collins juga pada sisi yang lain menunjukkan bahwa bukti yang ada ternyata sangat bertentangan dengan apa yang telah dijelaskan oleh para penganut fungsionalis, ia menunjukkan, misalnya tentang proposisi 1.a-bahwa persyaratan pendidikan bertambah karena adanya penurunan dalam proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah dan meningkatnya proporsi yang memerlukan keterampilan yang tinggi. Dikemu-kakannya bahwa proses demikian hanya memenuhi sejumlah kecil peningkatan pendidikan. Untuk sekedar contoh, suatu studi yang terkenal telah menemukan bahwa hanya 15 persen dari peningkatan pendidikan selama abad XX yang dapat dikaitkan dengan pergeseran dalam struktur pekerjaan.12

Proposisi 1.b dan 2 bahwa persyaratan pendidikan naik, karena pekerjaan-pekerjaan yang sama meningkatkan persyaratan keterampilannya, dan bahwa pendidikan formal memberi keterampilan kerja yang diperlukan juga dipandang bertentangan dengan bukti yang ada. Collins menantang proposisi-proposisi di atas dengan mengajukan pertanyaan: “apakah para pekerja yang berpendidikan lebih baik itu lebih produktif daripada para pekerja yang kurang berpendidikan?” dan apakah ketrampilan vokasional dipelajari di sekolah atau dimana-mana?” Jawaban untuk pertanyaan yang pertama adalah “tidak”, untuk yang kedua, “dimana-mana”. Mengenai jawaban yang pertama Collins menampilkan suatu studi utama dari (Berg 1971), yang memperlihatkan bahwa para pekerja yang berpendidikan lebih baik ternyata tidak lebih produktif dari mereka yang berpen-didikan kurang, dan dalam beberapa kasus malah mereka kurang produktif. Dalam hubugan dengan pertanyaan kedua,

(26)

ia mempelajari keterampilan yang relevan secara vokasional di sekolah, dan bahwa kebanyakan keterampilan demikian dapat diperoleh dengan mudah dan cepat pada pekerjaan.13

Data lain yang cukup menarik juga ditunjukkan oleh sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Glasser, ia memperkirakan bahwa dikebanyakan sekolah menengah lebih dari 50 % siswanya menyerap pelajaran sedikit sekali dan gejala ini bahkan juga dialami oleh anak-anak berbakat yang berasal dari lingkungan keluarga yang baik.14

Selanjutnya, dari wawancara-wawancara yang dilakukan-nya berulang kali dengan siswa-siswa sekolah, Glasser menemukan bahwa mereka itu tidak banyak melihat manfaat dari sebagian besar bahan yang harus mereka pelajari.15 Dari data

yang sama ini banyak pertanyaan yang kembali dapat diajukan terhadap pendidikan sekolah, mulai dari level pendidikan yang lebih awal, misalnya apakah terdapat kemungkinan bahwa sekolah tidak mengajarkan pengetahuan yang langsung memiliki relevansi dengan kebutuhan dan ·konteks sosial masyarakatnya (baca: masyarakat industri), sehingga tidak heran kalau di sana sini gejala kejemuan atas sistem pendidikan sekolah terjadi.

Para pelajar, dalam sistem sekolahan, harus menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mendapatkan selembar kertas yang disebut “ijazah” (sertifikat pendidikan) yang kelak memiliki peran begitu penting untuk memasuki pasar dan peluang kerja. Persoalan pendidikan sejenis inilah yang pernah dipikirkan oleh pakar pendidikan ternama, John Dewey. Menurutnya inti permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas ada pada soal “alam individual versus kebudayaan sosial”, hal ini seperti dikatakannya sebagai berikut:

Seorang anak hidup dalam dunia kontak-kontak personal yang sedemikian rupa sempitnya. Tidak ada yang menyusup

13 lbid., hal. 493

14 Frank G. Goble, terj, Supratinya, Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987) hal. 260-261

(27)

ke pengalamannya jika tidak menyentuh, secara akrab dan tegas, kesejahteraaan diri anak itu, atau kesejahteraan keluarga terdekatnya dan teman-temannya. Dunia si anak adalah dunia pribadi-pribadi dengan kepentingan-kepentingan pribadi, bukan jagat fakta-fakta dan hukum-hukum. Nada dasarnya bukan kebenaran dalam arti konformitas terhadap fakta ekster-nal, melainkan kasih sayang dan simpati. Berhadapan dengan dunia yang seperti itu, pelajaran disekolah menampilkan bahan yang merentang mengarungi waktu tanpa batas, dan meluas keangkasa luar tak bertepi. Sang anak dibawa keluar dari lingkungan fisik yang diakrapinya, yang jauhnya mungkin cuma satu kilometer dari sekolah, lalu dimasukkan kedunia luasnya, bahkan masuk ke lingkaran tatasurya. Kancah ingatannya yang kecil, ranah tradisinya yang sempit, dijejali dengan abad-abad panjang sejarah seluruh umat manusia.16

Tentu saja kenyataan di atas menunjukkan bahwa ada persoalan yang cukup problematis dalam konteks hubungan antara peserta didik, dengan materi pendidikan, yang juga menyangkut metode belajar mengajar yang dipergunakan. Dan bisa jadi tuduhan bahwa lembaga pendidikan hanya mengajarkan apa yang disebut Whitehead sebagai “ide-ide inersia”, yaitu ide-ide yang semata-mata hanya diterima di dalam pikiran tanpa digunakan atau diuji atau diolah menjadi kombinasi yang segar, menjadi benar adanya.17

Ide-ide inersia dalam rangka pendidikan tentu saja selain tidak berguna, ia juga mengandung bahaya, hal ini seperti lebih lanjut ditegaskan oleh Whitehead sebagai berikut: “Education with inert ideas is not only useless; it is, above all things, harmful-Corruptio optimi, pessima”.18 Bahwa pendidikan yang menghasilkan ide-ide

16 Pandangan Pendidikan Dewey diambil dari, Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (Yogyakarta: Pustaaka Pelajar, 1998) hal. 222.

17 Lihat, Paulo Freire, terj, Alois A. Nugroho, Pendidikan Sebagai Praktek pembebasan,

(Jakarta: Gramedia, 1984) hal. 37. Baca juga buku aslinya, Alfred North Whitehead, The Aims of Educatio, (England: Williams and Norgate, 1956) hal. 13

(28)

yang lesu, lembek tidak hanya tak bermanfaat, lebih gawat lagi pendidikan jenis ini akan mendatangkan kerusakan.

Peringatan Whitehead ikhwal adanya nilai-nilai kepen didikan yang bersifat merusak (corruptio optimi pessima) ini tentu merupakan bahan informasi yang cukup penting untuk dikaji dan didalami lebih lanjut, terlebih jika daya rusak pendidikan yang dimaksudkan itu ditemukan juga dalam konteks institusi masyarakat kapitalis-industrial, misalnya dengan munculnya fenomena komersialisasi dan birokratisasi dunia pendidikan, yang kedua-duanya tidak lain lebih mengutamakan aspek capaian keuntungan ekonomi atau pun bentuk-bentuk orientasi ekonomis.

Idealnya tentu saja penyelenggaraan pendidikan tidak semata-mata berorientasi pada perspektif pragmatis, praktis atau pun ekonomis semata, pendidikan sebaiknya juga harus dilihat dari dimensi lain yang lebih substansial, seperti digambarkan lebih lanjut oleh Whitehead sebagai berikut:

“Education is discipline for adventure of life; research is intellectual adventure; and the universities should be homes of adventure shared in common by young and old”.19 Yang terjemahannya lebih kurang

mengisyarakatkan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan disiplin dalam pengembaraan kehidupan, sementara penelitian, hakekatnya adalah pengembaraan intelektual, dan universitas semestinya menjadi rumah umum untuk berbagi pengalaman baik untuk anak muda maupun orang tua.

Namun demikian ada juga kenyataan pemikiran yang kurang begitu menghargai perubahan ditingkat “substansial” yang dapat dibawa oleh dunia pendidikan, yakni pandangan yang asalnya dari kalangan fungsionalis, mereka sangat percaya bahwa perubahan dalam sistem pendidikan dapat membawa perubahan dalam struktur masyarakat. Golongan ini termasuk optimis melihat korelasi antara dunia pendidikan dengan struktur masyarakat.

(29)

Dibenak kaum fungsionalis sistem pendidikan merupakan subsistem dari sebuah sistem yang lebih besar, dan pendidikan dengan segala institusi jelmaannya itu tidak bisa berdiri sendiri lepas dari rangkaian subsistem lain yang terjalin dalam suatu keseluruhan, hal ini seperti dilukiskan oleh Abrahamson: sebagai berikut:

“...sistem pendidikan terdiri dari: sekolah dengan berbagai jenjang usia, para staf pengajar, berbagai asosiasi orang tua, dan hubungan diantara unsur-unsur tersebut. Dalam semua contoh yang bersifat non-biologis ini, lagi-lagi perspektif fungsionalis menekankan pentingnya kontribusi akibat yang terjadi dalam sistem dan antar subsistem.”20

Lebih lanjut sesuai dengan penggambaran metaphoris yang dibuat oleh kaum fungsional, masyarakat diumpamakan analog dengan hukum-hukum dan kekuatan seperti halnya sistem yang lain. Ekuilibrium atau keseimbangan, untuk sekedar contoh, diasumsikan sebagai karakteristik masyarakat yang merupakan hasil dari sebuah gaya gravitasi sosial (baca: daya tarik menarik sosial); institusi politik dilukiskan sebagai lembaga yang dibangun di atas atom-atom, dalam hal ini; para individu dan molekul, yakni; kelompok-kelompok, dsb.21

Penggambaran masyarakat yang dilakukan di atas tentu saja tidak mudah untuk dicari terjemahannya secara persis lewat pola dan proses sosial yang berlangsung di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti telah banyak dibahas bahwa masyarakat adalah lebih dari pada sekedar sekumpulan individu yang bergerak secara mekanis, ia merupakan sekumpulan orang dengan bangunan kesadaran, hasrat, pola prilaku, dan kebiasan-kebiasaan yang kompleks. Di dalam masyarakat terdapat kesadaran kolektif, selain itu juga kesadaran yang bersifat individualitas kerap pula memberi nuansa dalam kolektivitas

(30)

tersebut. Oleh sebab itu, menganggap masyarakat sebagai entitas sosial yang bergerak secara mekanis tentu kurang cukup, penjelasan semacam ini akan sangat mereduksi hakekat masyarakat itu sendiri.

Adalah benar bahwa masyarakat terdiri atas sekumpulan individu yang masing-masing memiliki otot, tulang, dan tubuh fisik yang masing-masing cara kerjanya dapat dilukiskan seperti halnya komponen-komponen dalam tubuh yang disebut mesin, namun disamping itu manusia memiliki otak, terutama bagian neo-korteks yang disinyalir tempat menyimpan daya dan kawasan kesadaran reflektif yang tak dijumpai dalam mesin secanggih apapun.

B. Pendidikan dan Masyarakat Kapitalis

Dalam keseluruhan bagiannya kaum fungsionalis ini, seperti diuraikan kembali oleh Selfe,22 melukiskan berbagai

macam elemen yang ada di dalam masyarakat melalui beberapa bagian berikut ini:

1. Terdapat hubungan langsung antara sistem pendidikan dan sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi akan mengembangkan struktur pendidikan, dan pada gilirannya pendidikan dapat membekali para pekerja dengan skill yang memadai.

2. Usia sekolah (school-living age) mungkin dapat digunakan untuk mengerem laju keinginan berbondong-bondong orang untuk memasuki pasar kerja tanpa didukung oleh bakat yang cukup memadai.

3. Sistem pendidikan yang berkembang pasti akan membawa kesempatan yang lebih leluasa bagi mobilitas sosial, dan hal ini pada gilirannya akan mentransformir struktur kelas. 4. Pendidikan mendorong pertumbuhan personal secara

lebih besar lagi, sehingga dapat mengakibatkan orang memperluas bakat-bakatnya. Dengan demikian hal ini

(31)

dapat menjamin keharmonisan dengan tatanan yang terdapat di dalam masyarakat.

5. Prinsip-prinsip meritokrasi dan kemandirian (self-helf) merupakan nilai-nilai yang penting yang dapat mempromosikan kemungkinan perubahan menuju masyarakat yang jauh lebih terbuka.

6. Kegagalan sebagian besar anak-anak untuk mewujudkan potensinya secara lebih penuh dengan cara lebih mudah dapat dijelaskan melalui pendekatan deprivasi budaya

(cultural deprivation). Yakni, bahwa lemahnya kemajuan budaya akan menyebabkan sosialisasi yang buruk.

Pemikiran kaum fungsionalis di atas tentunya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang masyarakat yang dibayangkannya, yakni masyarakat kapitalis atau industri. Oleh sebab itu, kita akan memasuki perbincangan ini dengan lebih dahulu memaparkan gambaran tentang masyarakat kapitalis, baik menurut Weber maupun Marx biarpun hanya sekilas. Bagi Marx, kapitalisme, pada awalnya dipakai dalam pengertian sebagai sebuah sistem produksi yang menempatkan tenaga kerja (labour power) sebagai sebuah komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar dan berhadapan dengan kapital. Berbeda dengan Marx, menurut pandangan Weber kapitalisme punya arti yang jauh lebih rumit, kenyataan ini setidaknya dapat dijelmakan dalam pandangannya yang membagi kapital dalam dua arti:

Pertama, ia memiliki makna yang lebih umum, yaitu menyangkut setiap usaha kaum kapitalis yang dilakukan dalam berbagai kurun waktu dan satuan tempat di masa silam. Kedua, Weber menerjemahkannya dalam arti yang tidak berbeda dengan makna yang diberikan oleh para Marxian, terutama menunjuk fenomena dunia barat post-feodal.23

(32)

Sebenarnya baik Weber maupun Marx, adalah dua tokoh sosiologi yang mencoba memberikan perhatian sangat serius terhadap konsep “kapitalisme” di satu sisi dan “industrialisme” pada sisi yang lain. Di dalam rumusan tersebut Weber secara ilmiah memberi penekanan pada unsur kalkulasi rasional pada sektor ekonomi modern. Pada aspek yang lain Weber juga menunjuk terdapatnya hubungan antara pertumbuhan kapitalisme pada satu sisi dengan penyebaran mekanisasi, dan produksi pada sisi yang lain. Gejala ini disebut juga dengan “rasionalisasi teknis’ dan “rasionalisasi tenaga kerja” tentu saja dalam kaitannya dengan mesin. Menurut Marx, apa yang dibicarakan oleh Weber sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang ia sebut sebagai transmutasi dari manufaktur menuju pada

macinofaktur. Untuk memahami lebih lanjut konsep transmutasi yang dimaksud, maka kita perlu kembali lagi ke pikiran Weber berikut ini:

“the real distinguishing characteristic of the modern factory is in general ... the concentration of ownership of workplace, means of work, source of power and raw material in one and the same hand, that of the entrepreneur”.24

Dalam konteks ini Weber menjelaskan ikhwal adanya konsentrasi kepemilikan yang nampaknya menjadi ciri paling menonjol dari adanya proses transmutasi tersebut, hal ini seperti telah ditegaskan, menyangkut dimensi-dimensi “tempat dan sarana kerja, kepemilikan atas sumber daya (kekuasaan) dan bahan mentah”, faktor inilah yang sebetulnya membedakan antara periode “manufaktur” dan “macinofaktur”.

Seperti dicatat oleh Giddens, kalau pun ada perbedaan yang mendasar antara dua raksasa sosiologi tersebut maka, bagi Weber rasionalisasi teknis merupakan ciri intrinsik yang terdapat dalam kapitalisme modern, baik pada level struktur

(33)

sosial, maupun pada tingkat struktur ekonomi. Sementara itu dalam pandangan Marx, rasionalisasi teknis dalam arti yang sesungguhnya merupakan masalah yang sekunder, atau merupakan bagian yang tercakup dalam persoalan kelas sosial (Giddens, 1978). Oleh sebab itu, kembali lagi ke Weber, bahwa dalam terminologi yang dirumuskannya kita mendapati dua konsep penting, yang pertama “rasionalitas teknis” dan yang kedua: “rasionalisasi perilaku organisasi” (birokrasi).

Disamping dua pendapat raksasa sosiologi itu, terdapat pandangan Giddens yang menyatakan bahwa industrialisme merupakan transfer dari sumber energi yang berasal dari “barang mati” (tidak produktif, pen) menuju produksi melalui agen organisasi perusahaan. Dengan demikian industrialisasi merupakan sebuah proses, atau serangkaian proses dimana industrialisme datang untuk memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi disetiap masyarakat. Jadi konsep masyarakat industrial dapat dipergunakan untuk merancang sebuah tatanan sosial yang berkuasa dalam memproduksi barang-barang pasar di sektor ekonomi.

Hal yang juga cukup penting untuk disinggung adalah konsep kapitalisme, Kontribusi atas pemikiran yang tidak dapat diabaikan adalah adanya dimensi pemikiran Marx didalam konsep kapitalisme tersebut. Untuk mempermudah pengenalan lebih lanjut maka dapatlah disebutkan bahwa kapitalisme akan eksis apabila: (1). Produksi terutama diorientasikan pada realisasi pencapaian keuntungan. (2). Proses tersebut diorganisasikan dalam rangka komoditas pasar, termasuk tenaga kerja, diperjual-belikan sesuai dengan·standar alat tukar uang.25

Dalam hubungannya dengan “kerja”, Marx sendiri mernbedakan dua jenis kerja. Pertama, kerja sebagai sebuah proses yang terdiri dari energi-energi dan intelegensi seseorang yang terlibat dalam produksi. Kedua, kerja sebagai komoditi, yang terdiri dari suatu benda yang dihasilkan untuk dijual,

(34)

dalam hal ini sering juga disebut sebagai “kekuatan kerja” atau kapasitas kerja seorang pekerja.26

Sesungguhnya yang cukup penting untuk digaris bawahi dari seluruh penjelasan tersebut adalah kenyataan bahwa tidak setiap bentuk ekonomi aktual yang disebut kapitalis itu menunjukkan ciri-ciri seperti: adanya kompetisi sempurna, atau tidak harus terdapat pasar yang kompetitif di setiap sektor produksi, atau negara tidak dapat secara langsung mempengaruhi segmen-segmen ekonomi.27

Namun demikian, kendati unsur laba tidak disebut-sebut dalam penjelasan Giddens di bagian awal, Heilbroner secara tegas menyimpulkan bahwa: “Laba adalah darah kehidupan kapitalisme, bukan saja karena merupakan sarana yang dipakai masing-masing kapital untuk memperoleh segala sesuatu yang diperlukan untuk ekspansinya tetapi karena itu adalah cara bagaimana hubungan dominasi itu dilaksanakan”.28

Deskripsi Giddens dibagian atas agaknya banyak mendapat pembenaran teoritik dari Fritjof Capra. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Turning Point; Science, society, and The rising culture” ia menjelaskan terdapatnya tiga kekuatan pertumbuhan yang saling terkait di sebagian besar masyarakat industri, yaitu dimensi ekonomis, teknologis, dan institusional.29

Dalam konteks ekonomi adanya obsesi global akan pertumbuhan telah mengakibatkan suatu kemiripan luar biasa antara ekonomi kapitalis dan ekonomi komunitas (kolektivitas, pen). Kedua wakil dominan (sosialis dan kapitalis, pen) dari yang disebut sistem nilai yang berlawanan tidak lagi tampak berbeda. Keduanya dicurahkan untuk pertumbuhan industri dan teknologi keras, dengan pengendalian yang semakin terpusat dan birokratis, baik oleh perusahaan-perusahaan multinasional

26 Robert L. Heilbroner, terj., Hartono Hadikusumo, Hakikat dan Logika Kapitalisme,

(Jakarta:LP3ES, 1991) hal. 47. 27 Anthony Giddens, op. cit., 142-143 28 Ibid., hal, 50

(35)

negara maupun “swasta”. Ketagihan universal pada pertum-buhan dan pengembangan menjadi lebih kuat dari pada semua ideologi lain; meminjam ungkapan Marx pertumbuhan dan pengembangan telah menjadi candu masyarakat.30

Jalan pertumbuhan dan perkembangan semacam apa yang sesungguhnya menjadi sasaran kritik ilmuwan sosial seperti Marx atau pun Capra? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kutipan Capra dalam buku yang sama bisa sedikit memberikan jawaban, katanya “Salah satu karakteristik menonjol dari ekonomi dewasa ini, baik kapitalis maupun komunis, adalah adanya obsesi dengan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi dan teknologi dipandang sebagai sesuatu yang esensial oleh semua ahli ekonomi dan politisi, meskipun seharusnya telah jelas bahwa perluasan yang tak terbatas dalam suatu lingkungan yang terbatas hanya akan menimbulkan malapetaka. Kepercayaan pada pentingnya pertumbuhan yang terus menerus merupakan suatu konsekuensi dari penekanan yang terlalu banyak pada nilai-nilai-perluasan, penonjolan diri, kompetisi. Hal ini merupakan refleksi pemikiran dari yang linear; cerminan dari kepercayaan yang keliru bahwa jika sesuatu itu baik bagi suatu individu atau kelompok, maka semakin banyak sesuatu itu akan semakin baik.31

Pertanyaan lebih lanjut tentu adalah, apa yang salah dari pertumbuhan dan atau kemajuan? Untuk menjawab hal ini Schumacher dengan lantang mengajukan argumentasinya sebagai berikut: “Bahwa pada dasarnya setiap orang percaya pakta pertumbuhan, karena pertumbuhan itu merupakan hakekat kehidupan. Akan tetapi, pokok persoalannya ialah memberi unsur kualitatif pada ide pertumbuhan itu, karena selalu banyak yang harus tumbuh tetapi banyak pula yang harus berkurang. Demikian pula pakta kemajuan, karena kemajuan juga dapat dianggap sebagai hakekat kehidupan.

(36)

Persoalannya adalah menetapkan apa hakekat kemajuan itu. Dan golongan ini percaya bahwa haluan yang ditempuh oleh teknologi modern dan terus ditempuhnya menuju ukuran makin besar, makin cepat, makin banyak kekerasan, yang bertentangan dengan semua hukum keserasian alam-justeru bertentangan dengan kemajuan. Karena itu mereka mengharapkan agar diadakan tinjauan kembali dan upaya penemuan arah baru. Tinjauan yang dilakukan menunjukkan bahwa kita kini sedang menghancurkan landasan kehidupan kita sendiri, dan mengubah arah itu berdasarkan pada mengingat kembali apa kehidupan manusia itu sesungguhnya.32

Alur pemikiran Schumacher di atas pada dasarnya me-rupakan arus pemikiran yang tidak banyak dianut oleh lembaga atau asosiasi ekonomi yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama sekali di negara maju maupun dunia ketiga. Pada bagian lain pemikiran ekonomi yang disebarluaskan oleh masyarakat internasional sebagaimana dicontohkan oleh pernyataan yang pernah dilontarkan oleh petinggi Masyarakat Ekonomi Eropa, Dr. Sicco Mansholt, yang memperlihatkan arus pemikiran yang berbeda sekali. Ia mendukung gaya ideologi pemikiran: “lebih banyak, lebih tinggi, lebih cepat, lebih kaya”.33

Pikiran demikian didukung pula oleh teknologi yang cocok untuk ideologi itu, seperti kembali ditegaskan oleh Capra, yakni teknologi yang dimaksudkan untuk keperluan pengendalian, produksi besar-besaran, dan standardisasi dan hampir selalu patuh pada manajemen terpusat yang mengejar ilusi pertumbuhan tak terbatas.

Seorang ekonom Inggris bernama, Paul Elkins, mene-gaskan bahwa adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa suatu pertumbuhan tertentu hanya merupakan hal yang baik jika terbukti bahwa pertumbuhan telah terjadi melalui produksi

(37)

barang dan jasa yang memang bernilai dan bermanfaat; terbukti bahwa barang dan jasa ini terdistribusi secara luas di seluruh masyarakat; dan terbukti bahwa manfaat-manfaat ini lebih besar daripada setiap efek merugikan yang ditimbulkan oleh proses pertumbuhan atas kelompok masyarakat yang lain.34

Pandangan Elkins di atas cukup menarik untuk dikaji lebih jauh, utama sekali jika dikaitkan dengan kehadiran korporasi dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang acap kali menyebabkan institusi ekonomi yang berskala menengah ke bawah tergulung habis karena keberadaan korporasi memiliki basis kapital dan modal yang jauh lebih raksasa. Di ranah institusi, salah satu manifestasi pertumbuhan institusi yang paling berbahaya pada saat ini adalah manifestasi korporasi.

Korporasi-korporasi terbesar kini telah melampaui batas-batas kebangsaan dan telah menjadi pemeran utama pada panggung global. Aset dari raksasa multinasional ini melampaui pendapatan nasional kotor kebanyakan ekonomi dan politik banyak pemerintahan nasional, yang mengancam kedaulatan nasional dan stabilitas keuangan dunia. Di kebanyakan negara barat, terutama Amerika Serikat, kekuatan beradap hukum melingkupi setiap segi kehidupan umum.

Korporasi banyak mengendalikan proses legislatif, me-ngacaukan informasi yang diterima oleh masyarakat melalui media, dan menentukan jalannya sistem pendidikan kita, dan arah penelitian akademik kita. Para pemimpin perusahaan dan korporasi sangat dominan pada dewan komisaris lembaga atau yayasan akademik, di mana mereka banyak menggunakan pengaruh mereka untuk melestarikan suatu sistem nilai yang konsisten dengan minat korporasi.35

Keterlibatan kapitalisme dalam dunia akademik pun bukan lagi merupakan fenomena baru yang masih asing ditelinga para pegiat ilmu pengetahuan, gejala ini seperti dikatakan juga oleh

34 Lihat, ‘David C. Corten, terj, Agus Maulana, When Corporations Rule the World,

(38)

Lyotard, salah seorang pemikir posmo garda depan, dalam bukunya yang menggemparkan; “The Posmodern Condition: A Report on Knowledge” (1993), potongan pendapatnya sebagai berikut:

“Capitalism solves the scientific problem of research funding in its own way: directly by financing research departments in private companies, in which demands for performativity and recommercialization orient research first and foremost toward technological “aplications”; and indirectly by creating private, state, or mixed-sector research foundations that grant program subsidies to university departments, research laboratories, and independent research groups with no expectation of an immediate return on the results of the work--this is done on the theory that research must be financed at a loss for certain length of time in order to increase the probability of its yielding a decisive, and therefore higly profitable, innovation”.36

Ada pertanyaan yang cukup menarik sebagaimana ·diajukan oleh Lyotard dalam konteks transmisi pengetahuan atau pendidikan. Menurut pandangannya, seandainya kita menerima suatu pemikiran bahwa terdapat suatu pengetahuan yang mapan (an established body of knowledge), terutama ditinjau dari sudut pandang pragmatis, dapatlah diajukan serangkaian pertanyaan lebih lanjut, seperti: siapa (lembaga) yang akan mentransmisi pengetahuan? Apa yang akan ditransmisikannya? Kepada siapa transmisi itu dilakukannya? Melalui medium apa transmisi pengetahuan itu dilakukan? Dan dalam bentuk apa transmisi pengetahuan itu? Efek seperti apa yang sesungguhnya diharapkan? Sederetan pertanyaan tersebut rupanya, menurut Lyotard, merupakan dasar terpenting bagi suatu kebijakan adanya universitas.

(39)

Kinerja pendidikan, tak terkecuali pendidikan tinggi, menurut sudut pandang sistem setidak-tidaknya diukur dengan dua alat ukur; pertama, bahwa pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk menghadapi kompetisi dunia. Oleh sebab itu, dalam rangka untuk memenuhi sebanyak mungkin tenaga kerja yang dibutuhkan dipasar kerja, maka prioritas pendidikan akan jatuh pada pendidikan yang bernuansa “telematik”, seperti; ilmu komputer, sibernetika, linguistik, matematika, logika, dsb. kedua, pendidikan tinggi masih akan melanjutkan kebijakannya mensuplai sistem sosial dengan “ilmu keahlian” yang dibutuhkan sendiri oleh masyarakatnya, hal ini dengan suatu maksud untuk menjaga kohesivitas masyarakat. Dalam bahasa Lyotard:

“The transmition of knowledge is no longer designed to train an elite capable of guiding the nation towards its emancipation, but to supply the system with players capable of acceptably fulfilling their supply roles at the pragmatic posts required by its institutions”.37

Keterkaitan antara pendidikan dengan tatanan sosial ekonomi merupakan kenyataan yang tak lagi bisa dibantah, lebih-lebih di era kapitalis mutakhir. Jauh hari sebelum rezim kapitalis memainkan pengaruhnya yang besar, adanya keterkaitan antara tatanan sosial-ekonomi dengan pendidikan saja telah dirasakan demikian besar, hal ini seperti ditunjukkan oleh Sayidain, dengan latar belakang pengalaman India, menurutnya:

“In fact, generally speaking, in the East as in the West, education has always allied itself strongly with the existing socio-economic order and acted as a means of its preservation long after it had outlived its original utility. If

(40)

we look around and study the structure of Indian society, we will find that it is still dominated by relics of many obsolate and obviously reactionary institution-a semi-feudal social order, a rigid caste system, communal cleavages, an inequitable distribution of economic opportunities and privileges, unsatisfactory status of women, a contempt for manual labour and labourers, and a divorce between individual rights and social obligations”.38

Dalam masyarakat yang tertutup seperti India, pengaruh pendidikan terhadap berbagai dimensi sosial, ekonomi, dan politik tentu sangat menarik untuk dikaji. Apakah pendidikan sejauh ini hanya dipakai sebagai alat politik untuk melegitimasi keberadaan kasta atas dengan segala previlese yang dimilikinya? Apakah pendidikan sejauh ini memberi peluang yang begitu besar bagi kasta bawah untuk melakukan mobilitas ke atas? Apakah pendidikan sejauh ini hanya memberi peluang mobilitas status dan pekerjaan saja, tanpa punya arti bagi terjadinya proses transformasi sosial (kasta).

Di negara-negara yang memiliki sistem sosial yang lebih terbuka, status sosial seseorang lebih banyak diperoleh berkat usaha dan kerja keras. Dengan kata lain status sosial bukan merupakan sesuatu yang bersifat bawaan (ascribed), melainkan dicapai dengan suatu prestasi (achievement), Dalam konteks ini pendidikan merupakan variabel yang cukup penting, meskipun bukan variabel satu-satunya.

(41)
(42)

BAB 3

(43)
(44)

DIMENSI OTONOMI

RELATIF PENDIDIKAN

A. Analisa Neo-Marxis (sosiolinguistik), Bourdieu

Salah satu pandangan yang cukup menarik untuk diikuti dalam rangka sosiologi pendidikan adalah pemikiran neo-Marxis dari Pierre Bourdieu. Pemikir yang lahir tahun 1930 di Propinsi Bearn, Perancis Selatan ini adalah anak seorang pegawai negeri (civil servant) yang pada mulanya memiliki latarbelakang Antropologi. Oleh sebab itu tidak aneh jika banyak sekali karya pemikiran dan penelitiannya berbicara soal perbandingan kebudayaan dan etnisitas, misalnya dapat dilihat dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Algeria, sekitar tahun 1957-1964. Di belakang hari pemikir Perancis ini makin dikenal dalam lapangan kajian sosiologi, lebih-lebih hal ini karena dukungan status jabatan akademiknya sebagai Professor Sosiologi pada College de France.39

Dalam sosiologi pendidikan ia menjadi sangat terkenal melalui karya pentingnya berjudul, La Reproduction, yang kemudian diterjemahkan dalam edisi Inggris, berjudul,

Reproduction in Education, Society, and Culture (1977). Secara terinci dapatlah dijelaskan bahwa tema-tema studi sosiologi Bourdieu berkaitan dengan studi tentang pendidikan, studi tentang bahasa, studi tentang cita rasa, dan studi tentang hubungan negara dengan pendidikan.

(45)

Bourdieu juga terkenal lantaran karena ia merupakan salah seorang pemikir Perancis garda depan abad ini. Reputasinya dibangun lewat sejumlah karya penting seperti telah disebut di atas, ia pun berkibar dalam pemikiran filsafat ilmu, terutama atas usahanya melakukan proyek “eksperimentasi epistemologis”. Eksperimentasi filosofis ini membawanya pada suatu paradigma berpikir yang berada di luar “mainstream”, yakni berupaya keluar dari jebakan dikotomis yang keras yang terdapat dalam model pendekatan ilmu sosial, seperti tercermin melalui konsep

obyektivisme versus subyektivisme. Baginya dua kutub (poles) perspektif ini merupakan hambatan (constrain) serius yang harus di temukan solusinya, kendati pada akhirnya ia tidak menampik bahwa “cacat perspektif” tersebut muncul akibat adanya kontradiksi sosial yang berlangsung di semua level kehidupan manusia; mulai dari level “kesadaran individu”, “tatanan interaksi” , dan akhirnya sampai ke soal “krisis ekonomi”.

Cacat tersebut coba “diselesaikan” melalui upaya yang cukup serius, diantaranya dengan usulan konseptualnya yang dikenal dengan “habitus”, yakni suatu orientasi sistematik yang meliputi berbagai aspek kehidupan sosial, misalnya kebudayaan, politik, ekonomi, dan bahasa (linguistik). Lebih lanjut yang dimaksud habitus perdefinitif oleh Bourdieu adalah:

“Sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindah pindah, yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi. apresiasi dan tindakan tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang terbentuk nyaris serupa”.40

Hal yang nampaknya cukup penting dalam kaitannya degan dilema pendidikan dalam masyarakat kapitalis seperti

(46)

dikatakan oleh Schwartz adalah bahwa di satu sisi pendidikan mengakui ideal-ideal yang bersifat “egalitarian”, sementara pada sisi yang lain tidak bias dipungkiri bahwa pendidikan ikut mendistribusikan adanya “previllege kelas”(class previllege). Salah satu komentar kritis dari prinsip “egalitarian” yang diagungkan itu misalnya dapat dikutip dari Illich, menurutnya:

“Kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama memang merupakan tujuan yang dapat di inginkan dan dapat dilaksanakan, tetapi menyamakannya dengan keharusan bersekolah sama kelirunya dengan anggapan bahwa keselamatan sama dengan lembaga gereja “.41

Selain itu sekolah pun tidak dapat melakukan tindakan apa-apa terhadap mereka yang memiliki strata kelas menengah atas dalam satu struktur sosial masyarakat, pada kelompok sosial ini terlekat banyak previlese yang mereka miliki terutama apabila dibandingkan dengan kelompok yang berasal dari kelas lebih bawah (working class). Sulit untuk disangkal bahwa dalam setiap struktur kelas sosial, yang terdiri dari “Upper Class, Middle Class, dan Working Class” selalu tetap hidup previlese itu, setidak-tidaknya previlese itu muncul dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti ditulis oleh Illich berikut:

“Sudah jelas bahwa, bahkan disekolah-sekolah yang sama mutunya seorang murid miskin jarang mengimbangi murid kaya. Bahkan kalaupun mereka belajar pada sekolah yang setaraf dan masuk pada umur yang sama, murid-murid miskin itu tidak memiliki kesempatan belajar yang dengan sendirinya ada pada anak-anak kelas menengah. Kelebihan yang dinikmati anak-anak kelas menengah ini nampak pada percakapan, buku-buku yang dimilikinya di rumah sampai pada masalah pergi berlibur dan pandangan terhadap

(47)

diri sendiri; dan ini berlaku bagi anak yang menikmati semuanya itu, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian anak yang lebih miskin pada umumnya akan ketinggalan selama ia tergantung pada pendidikan sekolah untuk memperoleh kemajuan dan pengetahuan”.42

Seringkali muncul gejala bahwa kelas bawah sebagai akibat keterbatasan-keterbatasan intrinsiknya mengembangkan suatu prilaku budaya yang bertentangan dengan produktivitas, yakni budaya kemiskinan (culture of poverty). Implikasi lebih jauh dari budaya ini sebagaimana dikatakan Oscar Lewis, adalah bahwa “Kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi, yang sebagian terbesar berlaku dalam kehidupan keluarga. Pola-pola sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaannya yang berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari”.43

Kebudayaan semacam ini jelas sangat merugikan karena ia justeru akan makin menenggelamkan seseorang pada budayanya yang impoten, pola budaya itu juga melahirkan perasaan “inferioritas kompleks” yang mandul. Selain itu goncangan budaya yang dapat muncul dari berbagai macam penyebab, baik atas alasan perbedaan kelas sosial, atau pun karena perbedaan dua budaya, yakni tradisonal dan modern, untuk itu Bourdieu memberi pesan pendidikan sekaligus solusi yang cukup penting, katanya:

“The important thing was that the individuals who were suffering from a kind of culture shock should not internalize an interpretation of their malaise which might suggest that they were essentially -in them selves as individuals-

42 Ibid., hal. 17

(48)

inadequate. An enlightened educational policy would help here because it would begin by recognizing the situation in which the culturally displaced persons found them-selves and would set itself the task of encouraging creative cultural adjusment”.44

Agar seorang anggota individu tidak terjebak dalam malaise budaya maka seharusnya ia tidak menginternalisasi akar malaise (inadequate) itu kedalam pemikirannya, untuk meredusir pikiran yang counter productiv maka tak ayal lagi bahwa peran dari kebijakan pendidikan yang mencerahkan sangat diharapkan. Hal ini semata-mata karena pendidikan akan dapat memungkinkan orang mengenali keadaan yang telah membawanya pada kegagalan dalam proses menemukan diri, sekaligus mengembangkan budaya yang jauh lebih kreatif.

Selain itu perbedaan posisi kelas yang juga akan membawa perbedaan dalam kebudayaan secara lebih mendalam dikaji oleh Bourdieu melalui teori “linguistik” nya yang mengambil fokus kajian terutama pada perbedaan bahasa dikalangan strata “kelas sosial” masyarakat yang berbeda. Analisa bahasa muncul karena didasarkan pada sejumlah alasan, yaitu: Pertama,

“language is omnipresent”, bahwa bahasa ada disetiap tempat, ia hadir dimana-mana. Kedua, “language as medium authority of institution” argumentasi ini menunjukkan bahwa bahasa suka sekali dipakai sebagai simbol dari otoritas kelembagaan, dalam konteks pendidikan, misalnya hal ini seringkali mendatangkan kritik bagi lembaga sekolah karena bahasa akademis dianggap terlalu elitis, hanya bisa dipahami oleh sekelompok kecil anggota masyarakat, namun justeru disitulah makna otoritatifnya. Alasan ketiga, “index of class cleavage” bahwa bahasa juga merupakan sebagian dari simbol perbedaan kelas sosial antara orang kaya

(the have) dan miskin (the poor). Ke empat, “constrain on pedagogical innovation”, bahwa hambatan dalam penggalian, penemuan, dan

(49)

pengembangan prinsip dan teknik untuk mencapai pengetahuan ilmiah ada di aspek bahasa.

Dalam mengkaji aspek bahasa terlebih dahulu ia mem-bedakan kelompok masyarakat ke dalam kelas sosial, yakni bourgeois dan common. Adapun setiap bahasa dalam kelas sosial memiliki sifat-sifat intrinsik yang saling berbeda, hal ini seperti dapat dilihat dalam tabel berikut:

Bourgeois Common

• Literary orientation • Latinate vocabulary & construction

• A Striving for rare & novel Expression

• A situational orientation • Non-learned vocabulary • A Reliance upon shared figures of Speech

(tabel diolah sendiri dari Derek Robbins)

Dari dua kelas sosial yang berbeda itu dapat dijelaskan bahwa golongan borjuis punya kecenderungan untuk meng-gunakan bahasa-bahasa yang literer, punya asal usul makna bahasa yang jelas, di sisi lain kalangan awam punya kebiasaan menggunakan bahasa yang lebih bernuansa situasional, tidak kaku atau pun terperangkap formalitas bahasa. Komunitas kelas atas juga sering menggunakan konstruksi atau pun kosa kata bahasa yang dapat dilacak jauh sampai keakar-akarnya, yakni bahasa latin (Yunani). Sementara golongan bawah punya tendensi mengambil kosakata yang tidak ilmiah, dalam arti bahwa tidak mudah untuk melacak asal usul unsur-unsur kebahasaannya secara ilmiah. Bahasa kelas atas terkesan rajin mengalami pembaharuan ekspresi, dan kesan yang muncul adalah bahwa “semakin elitis ungkapan suatu bahasa maka semakin tinggi nilai bahasa itu”.

(50)

yang dipergunakan di rumah dan di sekolah memiliki perbedaan yang cukup signifikan, apa yang dimaksud adalah bahwa bahasa yang dipergunakan dirumah adalah bahasa sehari-hari yang konseptualisasinya jauh dari ilmiah, sedangkan bahasa di sekolah (dalam ruang kelas) ada kecenderungan serba formal, dan dicapai melalui proses ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dari argumen ini lalu ia membuat penyimpulan bahwa “mismatch” yang terjadi antara bahasa yang dipergunakan di rumah dengan bahasa yang di pakai di sekolah, hal inilah yang menjadi penyebab “gagalnya pendidikan”.

Adalah Bourdieu yang kembali menegaskan bahwa se-sung guhnya ada hubungan yang saling mempengaruhi antara struktur berpikir dan struktur pelembagaan, karena kedua-duanya saling merefleksi dan menghasilkan pemikiran yang terdapat di dalam masyarakat, hal ini dapat dilihat dalam kutipannya sebagai berikut: “,...there was a reciprocal relationship between the structures of thought within a society and the institutional structures which both reflect and generate the thought”.45

Persoalan yang lebih mendalam pernah pula diajukan oleh Schmalhausen, seperti tercantum dalam bukunya New Roads to Progress yang nadanya ingin mengetahui masalah mendasar sebagai berikut:

A. Sistem sosial itu demikian buas dan kejam tak berperi-kemanusiaan, semata-mata disebabkan karena kebusukan dan kejahatan tersebut memang telah tersirat dalam “tabiat manusiawi” dan tidak terhapuskan lagi, ataukah sebaliknya. B. Bahwa ummat manusia, sepanjang sejarah kemanusiaan,

telah menampilkan diri sebagai makhluk bergelimang dosa, justeru disebabkan lembaga-lembaga sosial yang dihidupinya sejak kecil hingga dewasa telah mendesakkan dan memaksakan kepadanya suatu perangkat nilai, segudang kebiasaan dan tradisi, suatu teori tentang realitas

(51)

yang membatasi sambutan manusia; ini semua memupuk suatu corak kepribadian hasil bentukan suatu pola kebudayaan yang sempit dan picik.46

Mengamati gagasan di atas cukup menarik, karena menyangkut interaksi dan tarik menarik antara manusia dengan segenap kekuatan sosial yang mempengaruhi dan membentuk manusia sebagai makhluk budaya. Setelah membaca pendapat para psikolog dan antropolog sampailah Schmalhausen pada kesimpulan penting yakni bahwa: gejolak dan naluri insani, dorongan dan motivasinya, mekanisme dan berbagai maksudnya, terutama mendapatkan pengaruh, pembentukan, penataan kembali dan pengarahannya di dalam masyarakat, melalui berbagai lembaga dan daya kekuatan yang terdapat di dalamnya; lembaga dan kekuatan sosial dipandangnya jauh lebih potensial dalam pemberian pengaruh ke arah kebaikan maupun keburukan, dibanding dengan apa yang dapat dibayangkan oleh mereka yang memandang ego pribadi sebagai pusat dan pengelola kehidupan psikis manusia.47

Dan jika dicari akar persoalannya lebih mendalam, maka pandangan yang sama yang cukup menarik untuk digaris bawahi dari Schmalhausen adalah pengakuannya bahwa ternyata kita hanya akan memahami pertautan yang sebenarnya antara potensi-potensi insani dengan lingkungan sosial yang menguntungkan itu apabila disertai kesadaran akan peranan peradaban dan kebudayaan. Menurutnya kesadaran inilah yang dengan penuh pertimbangan mengadakan seleksi tentang berbagai kecenderungan serta disposisi tertentu, mana yang hendaknya dipupuk dan dikembangkan dan mana yang tidak.

Keprihatinan yang sama namun dengan nada yang sedikit agak berbeda pernah juga dilontarkan secara vokal oleh pemikir Frankfurt School, menurut mereka:

46 K.G. Saiyidain, terj. Soe1aeman, Perpicikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, (Bandung: CV. Diponogoro, 1981) hal. 144

(52)

“...a social institution is considered legitimate if it can be shown to stand in the right relation to the basic world-picture of the group. A social institution or practice can be extremely repressive - it may thwart and frustate the agents in the pursuit of many of their strongest desires -- and still be accepted by the members of thsociety because they take it to be legitimate, and they take it to be legitimate because of certain normative beliefs deeply embedded in their world- picture”.48

Apabila gambaran dunia suatu kolektivitas dibangun berdasarkan ideologi palsu dan pada saat yang sama ideologi itu juga dipakai untuk melegitimasi institusi sosial dasar yang terdapat dalam masyarakat, maka akibat yang akan terjadi adalah munculnya kekerasan institusional (coercive social institution) yang akan diikuti dengan terjadinya ketimpangan struktur komunikasi sosial (distorted communication) yang akan menghambat pertumbuhan kebebasan masyarakat.

Untuk membebaskan para aktor maupun lembaga (agents)

dari gambaran dunia (world picture) yang terdistorsi, dan tidak membebaskan itu maka menurut, Habermas, dibutuhkan suatu kesadaran kritis atau self-reflection, yang maknanya adalah: 1. Self-reflection ‘dissolves’ a) ‘self-generated objectivity,’ and

b) ‘objective illusion’

2. Self-reflection makes the subject aware of its own genesis or origin

3. Self-reflection operates by bringing to consciousness unconscious determinants of action, or consciousness.49

Pendapat lain tentang pentingnya kesadaran telah disampaikan pula oleh ilmuwan sosial yang lain, seperti, Giddens, yang mengangkat persoalan kesadaran dalam kaitannya

48 Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas and The Frankfurt Schoool, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981) hal. 59

(53)

dengan dimensi internal aktor atau pelaku. Menurutnya ada tiga pokok persoalan yang terkait dengan kesadaran: Pertama, motivasi tidak sadar (unconscious motive), hal ini menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri, contoh orang mengenakan seragam Korpri tentu bukan karena dorongan untuk memperkuat korporatisme ORBA. Kedua, Kesadaran praktis (practical consciousness), yakni gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai, misalnya memakai pakaian Korpri setiap hari senin atau tanggal 17. Yang menarik melalui kesadaran ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup harian tanpa mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi atau harus dilakukan dan rutinisasi hidup personal dan sosial terjadi melalui gugus·kesadaran praktis ini. Ketiga, kesadaran diskursif

(discursive consciousness), mengacu pada kapasitas kita merefleksi dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita, misalnya mengapa seseorang mengenakan Korpri, jawabnya bisa karena ketakutannya ditegur oleh atasannya di kantor.50

Oleh sebab itu, dalam proses pengembangan kesadaran pada kehidupan komunitas masyarakat tentu saja peran dunia pendidikan, utamanya lembaga pendidikan formal menjadi sangat urgen, hal ini mengingat proses pedagogis secara resmi merupakan bagian dari organisasi itu. Untuk itu pertanyaan yang cukup mendasar adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara lembaga pendidikan {sekolah) dengan negara. Apakah sekolah merupakan kepanjangan tangan dari negara? Apakah sekolah merupakan sarana sosialisasi atas berbagai ideologi yang dianut dan dikembangkan oleh suatu negara?

Suatu sistem pendidikan, menurut Bourdieu, hendaknya secara simultan memiliki konsepsi yang lebih canggih tentang aktivitas pedagogis yang dikembangkan dari perspektif masyarakatnya. Dan sesungguhnya terdapat kebutuhan yang mendalam bagi suatu sistem pendidikan untuk menetapkan

(54)

dirinya sebagai sebuah forum pengembangan wacana demokratis atau dalam sebuah istilah yang trendi yakni, “public sphere”. Jadi baik pada level makro dan mikro sebetulnya ada kebutuhan yang sama untuk mengenali otoritas yang dibentuk oleh suatu konstruksi sosial yang bukan secara otomatis dipelihara oleh guru (dosen) dan sistem pendidikan.51

Masalah di atas sebenarnya menayakan secara tidak langsung kaitan antara proses pedagogi dengan negara sebagai suatu organisasi bangsa yang memiliki kewenangan melaksanakan pendidikan. Pedagogi itu sendiri menurut kamus sosiologi merupakan:

“The science or art of teaching. Some sociologist of education use the term ‘pedagogical practices’ with reference to the methods and principles that inform educational techniques, and make a distinction between the expressed pedagogy’ (which the teacher purpots to use), and his or her observed pedagogy in practice. The former my be liberal (or ‘progressive’), emphasizing the needs and authonomy of the individual child, whereas the letter may be conservative (aimed at preserving the authority and expertise of the teacher as a professional)”.52

Sementara kurikulum yang merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, kurang lebih bisa dipahami sebagai berikut:

“The curriculum comprises the subjects and courses thought in any educational institution. It is a formal statement, by institution of what is to be learned, by institution, of what is to be learned, In British school, following the 1988 Education Reform Act, the Curriculum is determined nationally and

51 Robbins, op.cit., hal. 63.

Referensi

Dokumen terkait

Enam peran pendidikan, yaitu : (1) ikut menggalang perdamaian dan dunia, (2) mempersiapkan pribadi sebagai warga negara dan masyarakat, (3) pendidikan yang merata dan

Pola srvamedikasi ditinjau dari pendidikan masyarakat adarah sebagai berikut: Tidak tamat SD, apabila sakit tindakan yang dilakukan atau tempar yang dituju adalah

Praktik ini dapat menjadi cermin bagi model Pendidikan Kristiani di Ambon, yang sejarahnya bersisian dengan sejarah masyarakat Maluku Tengah di tengah perubahan

Pesantren Modern Darul Hikmah Taman Pendidikan Islam Medan, dan di harapkan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat sebagai ransangan agar ikut serta dalam meningkatkan.