• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anti Pendidikan Illich dan Pendidikan

Ketidak puasan Illich atas sistem pendidikan yang serba formal telah lama dikumandangkannya melalui serangkaian karya ilmiah, salah satu yang telah berbahasa Indonesia: “Bebas dari Sekolah”. Di dalam buku itu ia menyatakan bahwa di seluruh dunia sistem pendidikan formal justeru melahirkan sikap anti pendidikan dikalangan masyarakat, hal ini dapat terjadi karena sekolah telah diakui sebagai satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan bidang pendidikan.55 Disamping itu telah ditanamkan pula suatu

aksioma bahwa pelajaran merupakan hasil dari pengajaran. Selanjutnya tidak aneh jika kita sering mendengar ungkapan yang sering muncul di masyarakat bila seseorang anggota masyarakat tidak dididik disekolah maka ia disebut tidak berpendidikan.

Gagasan di atas nampaknya jelas menyamakan pendidikan dengan sekolah formal. Seperti sudah tertanam dalam pikiran banyak angota masyarakat seolah pengetahuan yang bermutu itu adalah hasil dan hadirnya anak di kelas; bahwa nilai pengetahuan kita meningkat dengan berkembangnya bahan pelajaran, dan bahwa nilai ini dapat diukur dan didokumentasikan dengan angka rapor dan ijazah.56

Pada hal menurut penilaian Illich, seperti tercantum dalam,

“Tools for Conviviality” (1973) bahwa suatu institusi dianggap mampu menjalankan fungsinya apabila berhasil mempromosikan suatu keseimbangan yang halus (a delicate balance), --di satu sisi melalui apa yang dapat diperbuat seseorang bagi dirinya sendiri dan pada sisi yang lain melalui layanan yang dapat diberikan

54 Pandangan pendidikan yang kritis ini dapat disimak dalam, Robbins, op.cit., hal. 63-64

55 Illich, op. cit., hal. 19.

institusi anonim kepada manusia, meminjam kutipan Illich:

“I have argued that institutions are functional when they promote a delicate balance between what people can do for themselves and what tools at the service of anonymous institutions can do for them.57

Pemikiran di atas jelas mengandung maksud bahwa di satu sisi institusi tidak mengkooptasi ruang bagi laju pertumbuhan potensi-potensi kemanusiaan yang bersifat personal-individual, namun pada sisi yang lain pelayanan ataupun manfaat instrumental yang diberikan oleh suatu institusi tetap dalam kerangka untuk peningkatan prestasi kebaikan manusia. Gagasan ini jika ditelaah lebih mendalam mengandung implikasi positif, yakni untuk menghindari kemungkinan terjebaknya manusia dalam sarang besi (iron cage) institusi, dengan melupakan rasionalitas tujuan (end rationality) dalam hal ini proses dinamis yang terdapat dalam pendidikan.

Praktek pendidikan jelas tidak identik dengan institusi pendidikan, lebih-lebih jika yang dimaksud institusi itu adalah sekolah formal. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke kediaman Erich Fromm, di Cuernavaca, Freire mendapat penjelasan tentang apa itu praktek pendidikan dari tokoh psikologi kritis itu, menurutnya: “An education practice like that is a kind of historico-sociocultural and political psychoanalysis”.58

Yang maksudnya tidak lain bahwa praktek pendidikan tak ubahnya seperti metode kritik dalam (immanent critique) yang diberlakukan terhadap pemikiran sejarah sosial, budaya, maupun politik.

Pada sisi lain kelembagaan pendidikan menyangkut pula organisasi pendidikan yang fungsinya cukup penting bagi kelancaran proses pendidikan itu sendiri. Urgensi aspek organisasi ini dikemukakan Carl R. Rogers dalam bukunya

“Freedom to Learn” (1969) sebagai berikut:

57 Ivan lllich, Tools for Conviviality, (New York: Harper & Row Publishers, 1973) hal. 91

58 Paulo Freire, terj, Robert R Barr, Pedagogy of Hope, (New York: The Continuum Publishing Company, 1992) hal. 105.

“The mainspring of the organization is the motivation for development and learning which is inhernt in each person. The task of the administrator is to so arrange the organizational conditions and methods of operation that people can best achieve their own goals by also furthering the jointly defined goals of the institution. The administration finds that his work consists primarily of removing obstacles such as “red tape”, of creating opportunities where teachers and students and administrators (including himself) can freely use their potential, of encouraging growth and change, and of creating a climate in which each person can believe that his potential is valued, his capacity for responsibility is trusted, his creative abilities prized”.59

Apa yang dikemukakan Rogers di atas tentu merupakan gambaran yang cukup ideal dari sebuah organisasi, namun kita tidak jarang menemukan organisasi pendidikan yang justeru memiliki karakter anti pendidikan. Yakni sebuah organisasi yang tidak berorientasi pada pertumbuhan dan perkembangan manusia, tidak memberdayakan seluruh unsur pendidikan yang terlibat, seperti: pengembangan lembaga, mahasiswa, dosen, visi pendidikan, dsb, melainkan berorientasi pada semangat kontrol untuk mencapai maksud ekonomi, atau nilai instrumental lainnya, semata-mata pengembangan organisasi.

Dalam konteks lembaga pendidikan tentu yang tidak boleh dilupakan adalah apa yang pernah dikatakan Illich:

“Sesungguhnya, belajar itu adalah kegiatan manusiawi yang paling tidak memerlukan manipulasi orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupakan hasil partisipasi bebas dalam masalah yang penuh arti. Kebanyakan orang belajar paling

59 Carl R Rogers, Freedom To Learn, (United States: Charles E. Merrill Publishing Company, 1969) hal. 208.

baik dengan cara mengikuti “arus zaman”, tetapi sekolah memaksa mereka untuk mengidentifikasi perkembangan personal dan kognitif mereka dengan perencanaan dan manipulasi yang sangat teliti”.60

Senada dengan pandangan Illich, pakar pendidikan terkemuka, Freire menyatakan bahwa pendidikan seharusnya berfungsi membebaskan. Pandangan Freire ini kemudian dikenal dengan sebutan pendidikan hadap masalah; ‘problem posing”. Menurutnya pendidikan sebagai praktek kebebasan berlawanan dengan pendidikan sebagai praktek dominasi, karena menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang abstrak, terpencil, berdiri sendiri, dan tidak terikat pada dunia; ia juga menolak anggapan bahwa dunia mengada sebagai sebuah realitas yang terpisah dari manusia. Pendidikan hadap masalah, kata Freire, menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus menerus. Jika pendidikan dominasi berusaha menenggelamkan kesadaran, sedangkan pendidikan hadap masalah berjuang bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas.61

Dokumen terkait