• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Partisipan II

Dalam dokumen Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa (Halaman 106-152)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

B. Analisa Partisipan II

Tabel 5. Deskripsi Partisipan 2

2. Data observasi

Loren mempunyai postur badan yang cukup tinggi sekitar 157 cm dan berat badan sekitar 55 kg. Kulitnya sawo matang dengan rambut lurus yang cukup panjang. Ia adalah seorang penyandang cacat. Kedua kakinya tidak tumbuh sempurna. Kaki sebelah kirinya berukuran lebih kecil dari kaki kanannya. Ia dapat berjalan pincang dan tidak membutuhkan tongkat atau alat bantu lain.

Setelah berkomunikasi dengan Loren melalui pesan singkat, akhirnya ia dan peneliti membuat janji untuk bertemu. Ia dan peneliti kemudian memutuskan untuk bertemu di salah satu pusat perbelanjaan handphone yang cukup terkenal di kota Medan. Ia meminta bertemu disana karena kebetulan lokasinya dekat dengan tempat ia bekerja. Awal bertemu dengannya, ia tersenyum dan terlihat ramah. Ia dan peneliti saling menyapa dan berjabat tangan. Ia kemudian menanyakan

Keterangan Partisipan II

Nama (Samaran) Loren

TTL Bah Jambi, 22 April 1978

Usia 35 Tahun

Jenis kelamin Perempuan

Agama Kristen

Suku Batak

Pendidikan Terakhir S1

Pekerjaan Karyawan

Anak-ke 4 dari 7

88

apakah peneliti sudah makan dan peneliti menjawab sudah. Sambil tersenyum ia mengatakan bahwa ia baru pulang kerja dan belum sempat makan siang. Oleh karena itu ia pun meminta izin peneliti untuk memesan makanan di sebuah restoran cepat saji. Ia pun menawarkan makanan pada peneliti, namun peneliti menjawab bahwa dirinya telah makan siang dan tidak ingin merepotkannya.

Sembari memegang makanan di tanggangnya, ia dan peneliti melihat sekitar untuk mencari tempat yang sepi, tempat yang cukup nyaman berbincang-bincang. Selang beberapa waktu akhirnya ia dan peneliti menemukan tempat yang paling nyaman untuk mengobrol. Peneliti pun mempersilahkannya untuk makan. Ia dan peneliti berbincang-bincang, sembari menemaninya menyantap makan siangnya. Setelah basa-basi selama 20 menit, akhirnya ia dan peneliti sepakat untuk langsung melakukan wawancara pertama ditempat tersebut, karena waktu itu ia juga tidak mempunyai urusan atau pekerjaan yang harus dilakukan.

Suasana di pusat perbelanjaan tersebut cukup berisik, walau tak banyak orang yang lalu-lalang di tempat ia dan peneliti duduk. Suara musik mengalun dengan volume yang besar. Hal ini sedikit menggangu berlangsungnya wawancara, namun hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah. Restoran tersebut cukup besar namun ada ruang kecil yang terpisah yang berukuran sekitar 4x4 m. Sama sekali tidak ada tamu restoran yang duduk disana, ia dan peneliti pun sepakat untuk duduk disana. Tempat tersebut bercat dinding krem dan didalamnya hanya ada beberapa set meja dan kursi seperti kebanyakan di restoran makan.

Hari itu Loren mengenakan kemeja pink bermotif garis-garis dengan celana jeans berwarna biru yang sudah pudar. Rambutnya bermodel belah tengah dan ia

biarkan tergerai. Dari awal hingga selesainya wawancara ia terlihat sangat santai, namun tetap fokus mendengar setiap pertanyaan yang diajukan peneliti. Tidak terlihat sedikitpun ekspresi gugup pada ekspresi wajahnya. Selama wawancara juga ia dapat memahami serta menjawab pertanyaan dengan terbuka. Sebelumnya ia memang sudah mengungkapkan perasaannya bahwa ia sangat senang membantu peneliti, kerena ia berpikir ternyata ada orang yang tertarik untuk meneliti penyandang cacat. Selama wawancara ini, ia sering menyisihkan rambutnya ke kuping. Setelah selesai melakukan wawancara, ia dan peneliti pun menghabiskan waktu dengan lanjut mengobrol tentang banyak hal. Pertemuan hari itu sangat menyenangkan.

Setelah hampir 2 minggu kemudian, wawancara kedua pun dilakukan. Selang waktu wawancara kedua dari wawancara cukup lama. Selama seminggu lebih Loren merasa tidak enak badan, ia sakit deman dan flu sehingga ia merasa tidak nyaman melakukan apapun. Ia mengatakan kepada peneliti tentang kondisinya dan berjanji akan menghubungi peneliti jika ia merasa sudah baikan. Selama waktu itu, peneliti beberapa kali menghubungi Loren lewat pesan singkat untuk menanyakan perkembangan kondisinya. Akhirnya seminggu kemudian ia mengabari peneliti bahwa kondisinya sudah sehat dan ia bisa melakukan wawancara. Akhirnya ia dan peneliti pun membuat janji untuk bertemu esok harinya. Namun sangat disayangkan ternyata pertemuan tersebut harus dibatalkan karena ia harus bekerja ekstra untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda selama ia sakit. Selama seminggu tersebut ia sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga belum ada waktu untuk melakukan wawancara. Partisipan selalu

90

menjaga kontak dengannya, untuk mencari tahu kapan wawancara bisa dilakukan. Namun wawancara masih harus tertunda cukup lama karena ia harus pergi keluar kota untuk bekerja. Akhirnya beberapa hari kemudian, ia pun menghubungi peneliti dan mengatakan untuk bertemu esok hari.

Keesokan harinya ia dan peneliti pun bertemu untuk melakukan wawancara kedua. Ia dan peneliti sepakat untuk bertemu di pusat perbelanjaan yang sama dengan tempat dilakukannya wawancara kedua. Saat ditemui ia sedang menikmati segelas minuman di salah satu warung jalanan yang berjejer di sekitar daerah tersebut. Ia menanyakan pada peneliti dimana sebaiknya melakukan wawancara. Peneliti mengatakan terserah saja, karena peneliti tidak cukup mengenal daerah tersebut. Hari itu matahari telah terbenam dan suasana sudah mulai gelap. Akhirnya ia berinisiatif mengajak peneliti ke sebuah rumah sakit yang lokasinnya tak jauh dari pusat perbelanjaan tersebut. Tempat tersebutlah yang cukup nyaman dan dengan penerangan cukup untuk bisa melakukan wawancara.

Wawancara kedua ini dilakukan di sebuah lorong tunggu sebuah rumah sakit tersebut. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit persalinan sehingga bangunannya tidak terlalu besar. Suasana saat itu cukup ramai, beberapa orang lalu-lalang, sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia dan peneliti menelusuri seluk-beluk setiap ruangan di lantai satu rumah sakit tersebut untuk mencari tempat yang nyaman melakukan wawancara. Akhirnya ia menemukan sebuah lorong dengan beberapa bangku yang berjejer menyamping. Suasana di tempat itu cukup sepi. Tidak banyak orang yang lalu lalang hanya terdapat beberapa orang yang duduk santai sambil mengobrol dengan keluarga atau teman mereka.

Hari itu Loren tampil cukup santai dengan mengenakai baju kaos berwarna merah maron dan celana jeans hitam. Ia mengenakan tas di bahunya sambil memegang jaket di tangannya. Sebelum wawancara dimulai, ia mengenakan kembali jaket yang sedari tadi hanya ia pegang saja, untuk melawan cuaca hari itu yang memang cukup dingin. Model rambutnya masih tetap sama, rambutnya di belah tengah dan ia biarkan tergerai. Ia termasuk wanita yang berpenampilan sederhana. Setelah berbincang-bincang sebentar, wawancara pun berlangsung. Selama wawancara kedua ini ia terlihat santai dan sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti. Wawancara kali ini pun berakhir dengan baik dan lancar.

Wawancara ketiga dilakukan di sebuah taman. Suasana saat itu cukup tenang, hanya ada beberapa orang yang sedang bersantai di taman tersebut. Hari itu partisipan mengenakan kemeja berwarna hitam bemotif garis dan celana panjang hitam. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai. Partisipan terlihat rapi hari itu, ternyata ia memang akan segera bekerja setelah wawancara selesai. Setelah berbincang-bincang sejenak, wawancara pun dimulai. Setelah beberapa saat, partisipan meminta izin untuk segera pergi karena ada pekerjaan yang harus ia lakukan bersama rekan kerjanya. Wawancara hari itu pun berakhir.

3. Data Wawancara

A.Latar Belakang Reponden

Loren adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Empat dari saudaranya telah menikah dan hidup mandiri. Ia tinggal bersama ibu dan 2 saudaranya yang lain

92

karena Ayahnya telah meninggal 5 tahun yang lalu. Saat ini ia bekerja di sebuah perusahaan lembaga survei di kota Medan. Ia juga secara aktif mengikuti kegiatan di dua komunitas penyandang cacat yang ada di kota medan. Bahkan ia memiliki posisi penting di salah satu komunitas yang ia ikuti. Loren adalah satu dari banyak orang yang mengalami ketidakberuntungan. Ia terlahir dalam kondisi yang tidak sempurna. Ia tidak pernah membayangkan hal ini akan menimpa dirinya.

Semasa kecil Loren sering mendengar ejekan yang dilontarkan oleh teman-temannya. Anak-anak lain mengejek bagaimana ia berjalan, mereka mengejeknya dengan sebutan pincang. Saat itu tak banyak yang bisa ia lakukan, ia hanyalah seorang anak kecil. Ia hanya menangis, berlari dan mengadukan semuanya pada orang tuanya. Orang tuanya pun menenangkan dirinya, mengatakan tidak usah menghiraukan ejekan mereka, suatu saat mereka akan bosan. Namun semua tidak berlalu begitu saja. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda.

Kesadaran bahwa dirinya ini berbeda menyebabkan timbul perasaan minder dan malu. Ia malu saat berada didepan teman-temannya. Ia merasa minder karena dirinya tidak bisa melakukan banyak hal seperti yang bisa dilakukan oleh orang pada umumnya. Orang lain bisa berlari, dan ia tidak. Perasaan malu dan minder yang dirasakan menyebabkan Loren menjadi orang yang sensitif. Ia tak banyak bergaul dan lebih suka menyediri. Ia juga menjadi sangat pemilih dalam berteman. Ia tidak suka bila orang lain mengejeknya dengan alasan apapun, bahkan ketika itu hanyalah sebuah gurauan. Ia memilih berteman dengan orang yang benar-benar ingin berteman dan tidak akan mengejek dirinya.

“Yang pertama sih malu, apalagi kalau di depan teman-teman gitu kan. Trus istilahnya kita ga bisa melakukan banyak hal seperti orang pada umumnya,

orang bisa berlari kita ga bisa berlari. Yah itu aja sebetulnya yang saya rasakan, saya juga ga bisa cepat-cepat kayak mereka kan, apalagi kalau naik tangga.” (R2.W1/b.48-57/hal.2 )

“Biasanya kalau diajak orang lain, saya jadi menyendiri, kadang saya nangis, trus ngadu sama orang tua. Jadinya saya tuh orangnya pilih-pilih teman gitu, jadi siapa yang bisa terima saya, itu aja yang saya temani. Kalau dia ga suka, saya ga mau. “

(R2.W1/b.60-65/hal.2)

“Paling dibilang, namanya waktu anak-anak kan, pincang, pincang yah itu aja paling. Seringnya kek gitu, mereka hanya ngejek jalanku aja....Kalau kuingat sih dulu paling nangis, trus ngadu sama bapakku. Trus bapakku bilang udah biarin aja, nanti kan orang itu bosan...”

(R2.W2/b.12-22/hal.25)

Kejadian yang dialami Loren menimbulkan kemarahan dalam dirinya. Ia merasa marah pada Tuhan dan dirinya sendiri. Ia menyalahkan Tuhan atas keadaan yang ia alami. Ia bertanya-tanya kenapa ia tidak seperti kebanyakan orang yang tumbuh dengan kondisi fisik yang sempurna, tidak cacat seperti dirinya. Saat itu Loren menganggap dirinya adalah satu-satunya orang yang mengalami kondisi cacat. Hal ini bahkan menyebabkan ia semakin merasa rendah diri dan kadang putus asa. Namun banyak hal yang akhirnya menyadarkan dan mengubah dirinya. Suatu waktu ketika ia memeriksakan kondisinya ke rumah sakit, ia melihat banyak orang lain seperti dirinya, bahkan dengan kondisi yang lebih parah. Ia akhirnya menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kondisi cacat. Pertambahan usia juga semakin mengubah pola pikirnya. Ia semakin mengerti bahwa ini adalah takdirnya dan tak lagi menyalahkan Tuhan atas semuanya. Perlahan ia akhirnya menerima kondisinya.

“Pandangan saya, waktu dulu sih saya mengangap saya sendiri orang yang seperti itu (yang cacat) sebelum saya ketemu sama teman-teman saya yang lebih parah. Saya pernah dibawa periksa, disitulah saya pertama kali liat

94

teman-teman yang seperti saya, bahkan yang lebih parah pun. Jadi kalau waktu sebelum saya tahu itu saya merasa keadaan saya ini, cuman saya sendiri yang seperti ini ga ada yang lain, jadi sering merasa rendah diri, kadang putus asa.” (R2.W2/b.47-56/hal.26)

“Kalau udah gini kita jadi merasa...kadang kita menyalahkan Tuhan, mau kayak gitu. Kita marah, kenapa yah kok saya terlahir seperti ini gitu, ga kayak orang itu. Kebanyakan jadi bawaannya menangis itu aja. Tapi itu karna saya masih kecil, setelah saya dewasa memang saya ga seperti itu lagi responnya. Jadi sudah ga begitu. Yahh, orang mau bilang saya begini yah sudah....”

(R2.W1/b.73-87/hal.2)

Semakin dewasa, ia tidak lagi mengalami ejekan dari orang lain. Penerimaan akan kondisinya membuat perasaan mindernya perlahan bisa ia atasi. Walau begitu ia mengaku kadang masih merasakan minder dalam hal-hal tertentu. Salah satunya adalah saat ia mencari sepatu. Ukuran kakinya yang berbeda membuat Loren mengalami kesulitan untuk mencari sepatu. Kadang-kadang ia merasa kesal. Ia banyak mendatangi banyak toko sepatu, untuk mencari sepatu yang ia inginkan dan cocok dengan kakinya, namun jarang menemukannya. Ia juga tidak bisa membeli sepatu yang berbeda ukuran untuk kedua kakinya. Selain itu perasaan malu juga kadang-kadang muncul saat ia bisa terpeleset tanpa sebab. Hal ini sering terjadi karena kondisi kakinya yang lemah. Walau tidak ada orang lain menertawakan dirinya, namun perasaan malu itu timbul sendiri. Untuk mengatasi ini, ia selalu bertindak hati-hati dalam melakukan aktivitas dan memakai sepatu yang seadanya dengan menyumpal sepatu agar nyaman dipakai. Ia mengungkapkan hal ini merupakan bentuk penerimaan dirinya.

“...kadang masih ada sihh perasaan minder sedikit, tapi hanya untuk hal-hal tertentu aja.”

“Biasanya saya tuh, kalau sekarang yah, saya sulit memilih sepatu. Jadi saya suka, kadang minder atau iri liat wanita yang bisa pake hal tinggi, dia bebas mau pilih sepatu yang mana, gitu. Kadang-kadang saya suka kesal kalau nyari sepatu, bisa ditoko itu banyak kali sepatu tapi ga nemu yang cocok sama saya...kadang-kadang suka marah, kenapa sih kaki saya begini, jadinya ga bisa bebas milih sepatu... kalau milih sepatu kan otomatis nomornya sama. Kan kita ga bisa milih-milih nomor yang lain, jadi kadang-kadang beli yang sesuai sama yang kiri, yang kanan itu jadi kesempitan.

(R2.W1/b.94-115/hal.3)

“Saya suka malunya begini, saya bisa jalan terpeleset, ga ada angin, ga ada apa-apapun nanti saya bisa terpeleset. Yah itu didepan pacar saya sendiri aja saya pernah terpeleset. Jadinya yah malu sendiri itu aja, memang sih ga diketawain, tapi malu aja....karna kaki saya”

(R2.W1/b.121-136/hal.3)

“Menerima diri kakak yah, yah paling saya kerjanya lebih hati-hati gitulah. Kalau saya ga bisa make sepatu yang sesuai, yah pake sepatu yang seadanya aja. Gimana dibilang yah, yah kalau saya ga bisa mengangkat yang berat-berat, yah ga saya angkat, yah itu.”

(R2.W1/b.139-147/hal.4)

Walau saat ini Loren sudah menerima dirinya dengan kekurangan yang ia miliki, ia juga banyak mengalami berbagai hambatan dalam kehidupannya. Cacat yang ia alami membuat ruang gerak Loren terbatas. Banyak aktivitas yang tidak bisa ia lakukan seperti yang orang lain bisa lakukan. Misalnya ketika ia di sekolah dulu, ia tidak diijinkan mengikuti upacara dan pelajaran olah raga. Ia juga tidak bisa melakukan aktivitas yang terlalu berat, mengangkat beban berat dan tidak bisa mengendarai kendaraan. Bukan hanya itu kondisi cacat yang Loren alami juga membuat ia harus merelakan impiannya untuk menjadi seorang insinyur pertanian. Setelah lulus SMA, ia mengutarakan keinginanannya untuk melanjutkan kuliah di fakultas pertanian, namun orang tuanya langsung menentang. Mereka mengatakan bekerja di bidang pertanian adalah hal yang berat

96

dan membutuhkan kondisi fisik yang sehat, sementara Loren sendiri kondisi fisiknya lemah. Dan pada akhirnya orang tuanya tidak menginjinkan.

“Iya ruang geraknya terbatas itu aja...Misalnya ga bisa saya lakukan, membawa kendaraan, karena kaki saya lemah saya ga bisa membawa kendaraan....yang lain yah biasa aja, cuman saya ga selincah mereka itu aja.”

(R2.W1/b.241-245/hal.6)

“Kesulitan yang lain, dalam hal olah raga. Saya jadi sering terkucil kalau dalam hal olah raga. Apalagi waktu sekolah...jadi kalau olahraga itu saya hanya disuruh buat klipping tentang olahraga, itu aja. Padahal saya sebenarnya suka olahraga, saya suka main basket, main badminton, tapi saya ga pernah dikasih...kalau lari saya memang ga bisa....trus kalau yang namanya baris-berbaris saya ga pernah dikasih.”

(R2.W1/b.304-319/hal.6)

“Dampak/hambatannya yah. Yah istilahnya dulu saya punya cita-cita jadi insinyur...Saya tuh pingin sekali kuliah di pertanian. Tapi tamat SMA, bilang sama orang tua tapi ga dikasih. Alasannya kenapa ga dikasih karena mereka menganggap orang pertanian itu nanti kerjanya ke lahan, kerjanya berat, mencangkul, menanam, jadi saya ga dikasih. Jadi istilahnya karena kondisi saya, cita-cita saya itu ga tercapai...”

(R2.W1/b.250-258/hal.6)

Hambatan lain juga ia alami saat mencari pekerjaan, khususnya jika pekerjaan itu menuntut kondisi fisik harus sehat. Seperti saat ia mencoba ikut melamar sebagai PNS. Memiliki kondisi fisik yang sehat adalah persyaratan yang harus dipenuhi, namun ia menyadari kondisinya dan pada akhirnya memilih untuk mundur karena ia sudah merasa kalah duluan. Walaupun demikian, ia sempat sekali mencoba mengikuti ujian PNS namun ia tidak menaruh banyak harapan. Saat itu ia hanya mengikuti ujian pada tahap pertama, ia mengatakan bahwa ia hanya sekedar ingin mencoba. Selain itu ia juga harus melewatkan kesempatan ketika ia ditawari menjadi asisten dosen di kampusnya dulu. Dengan kondisi fisik

yang cacat, ia tidak tahan berdiri lama-lama untuk mengajar, sehingga akhinya ia menolak tawaran tersebut.

“Cuman kalau saya nyoba melamar kerja, kayak khususnya di pemerintahan gitu, kayak PNS. Disitu kan dibuat berbadan sehat, sehat jasmani, fisiknya sehat, kadang-kadang itu membuat saya jadi mundur, saya ga, merasa udah kalah kompetisi. Jadi ga pernah mau saya coba. ...jadinya, istilahnya yahh udah merasa kalah karna udah gitu syaratnya. Pernah sih saya coba sekali CPNS. saya coba itu hanya sekedar gitu aja...Iya cuman sampe tahap ujian aja. Karna dia minta syarat jasmani dan rohani, jadi saya udah merasa fisik saya udah ga sehat. Saya udah merasa kalah duluan.”

(R2.W1/b.150-167/hal.4)

“Iyaa, ada sih lagi dulu waktu saya mau tamat, saya ditawari jadi asisten dosen kan. Jadi saya menganggap dosen itu kan mengajar, kebetulan suara saya kan ga kuat, trus saya ga tahan berdiri, jadi itu ga saya terima, saya tolak...”

(R2.W1/b.267-274/hal.6)

Penerimaan akan kondisinya bukanlah suatu hal yang mudah ia lakukan. Bergabung dalam komunitas dan bertemu dengan banyak teman-teman sesama penyandang cacat yang lain serta dukungan dari keluarga yang ia terima menguatkan dirinya sehingga ia bisa menerima kondisinya. Orang tuanya adalah tempat ia mengadu ketika merasa sedih dan putus asa dan orang tuanya juga yang akhirnya bisa menenangkan dan menguatkan dirinya. Saudara-saudaranya juga selalu melindungi dan membantu dirinya. Ia mengungkapkan bahwa keluarganya adalah orang yang lebih tahu kondisinya dan selalu mendukungnya, terutama mendiang Ayahnya yang selalu mendorong dirinya khususnya dalam hal pendidikan. Ayahnya mengatakan cacat bukan lah halangan dalam mengejar pendidikan. Hal inilah yang mendorong dirinya, sehingga ia terus belajar dan kuliah sampai ia mencapai gelar sarjananya. Walau banyak hambatan yang ia

98

alami karena kondisinya yang cacat, ia mampu melewati semua dan ia mensyukuri hidupnya sekarang.

B.Pemilihan Pasangan

Saat ini Loren berusia 35 tahun, usia yang tidak muda lagi. Pada usia ini ia seharusnya sudah memilih pasangan dan menjalani kehidupan pernikahan. Ia sendiri juga merasa bahwa saat ini ia memang sudah ingin menikah. Keluarganya juga sudah menuntut ia untuk segera menikah bahkan ia sempat dijodohkan dengan beberapa pria pilihan keluarganya. Namun ia tidak begitu saja menerima semua pria yang dijodohkan dengannya. Ia juga mempunyai kriteria yang harus dimiliki oleh pasangan. Biar bagaimanapun ia ingin, dirinyalah yang melakukan pemilihan pasangannya sendiri dan memutuskan siapa yang menjadi pasangannya. Walaupun ia tidak tahu apakah pilihannya adalah pasangan yang tepat untuknya, namun dengan melakukan pemilihan pasangan sesuai dengan kriterianya, ia berharap akan mengurangi resiko salah.

“Saya berharap pasangan yang saya pilih itu memang betul-betul yang saya inginkan dan betul-betul memang sayang sama saya. Jadi kalau nanti terjadi sesuatu yang ga bagus, itu udah jadi resiko yah kan. Jadi saya anggap memilih pasangan itu sangat penting. Supaya ga salah pilih, cuman kita kan belum tau itu betul ga pilihan kita. Tapi kalau bisa kita mengurangi resiko itu yah kan... dengan memilih sesuai kriteria.”

(R2.W2/b.208-212/hal.29)

Baginya melakukan pemilihan pasangan adalah hal yang penting. Walaupun ia menyadari bahwa usianya semakin bertambah dan tuntutan untuk menikah juga semakin besar, namun ia tidak mau sembarangan menerima orang lain sebagai pasangan. Pernikahan adalah proses yang akan dijalani oleh dirinya sendiri,

karena itu baginya sangat penting memilih pasangan sesuai dengan kriterianya. Ia

Dalam dokumen Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa (Halaman 106-152)

Dokumen terkait