• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa"

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PEMILIHAN PASANGAN PADA TUNADAKSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

KATRIIN ELYSABET SIHOMBING

091301054

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Dipersiapkan dan disusun oleh :

KATRIIN ELYSABET SIHOMBING 091301054

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 17 Oktober 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog Penguji I/ Pembimbing ________ NIP. 198107232006042004

2. Eka Ervika, M.Si, psikolog Penguji II ________ NIP. 197710142002122001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran pemilihan pasangan pada tuna daksa

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Oktober 2013

(4)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemilihan pasangan yang dilakukan oleh tuna daksa serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Pemilihan pasangan ini akan digambarkan melalui teori pemilihan pasangan yang dikemukakan oleh Degenova (2008) yang meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi dan proses keseluruhan dari pemilihan pasangan. Metode penelitian ini adalah studi kasus dengan jumlah partisipan sebanyak dua orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan tuna daksa juga memiliki keinginan untuk memilih pasangan dan menganggap proses pemilihan pasangan sebagai hal yang penting yang harus dilakukan. Kedua partisipan mengungkapkan bahwa dalam pemilihan pasangan keterbatasan fisik mereka juga sering menjadi hambatan dalam memperoleh pasangan. Namun kedua partisipan tetap memiliki keyakinan bahwa mereka dapat memperoleh pasangan. Pada kedua partisipan ditemukan melewati setiap tahapan dalam proses pemilihan pasangan. Meskipun kedua partisipan mempunyai cacat fisik, mereka juga mempertimbangkan faktor latar belakang keluarga seperti agama dan karakteristik personal dalam pemilihan pasangan. Faktor yang paling dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan terkait dengan cacat fisik yang mereka alami adalah sikap dan tingkah laku, kesamaan sikap dan nilai, serta peran gender. Terdapat perbedaan pada kedua partisipan, dimana partisipan pertama mengungkapkan lebih berharap memiliki pasangan yang normal sedangkan partisipan kedua lebih menginginkan pasangan yang sesama penyandang cacat.

(5)

The Description of Mate Selection on Physically Disabled Katriin Elysabet Sihombing and Rahma Yurliani

ABSTRACT

This study aims to describe the mate selection is done by physically disabled as well as the factors that influence. The description of this mate selection will be illustrated through mate selection theory proposed by Degenova (2008) which includes the factors and processes that affect the whole of mate selection. This research method is the case study with two partisipants who each had a disability since birth. Data collection method used is in-depth interviews. The results showed physically disabled also have a desire to choose a partner and mate selection process considers as essential to be done. Both partisipants revealed that the physical limitations of their mate choice is often a bottleneck in obtaining partner. But both the partisipants still have confidence that they can get a partner. Both partisipant found through each stage in the process of mate selection. Although both partisipants have physical disabilities, they also consider factors such as family background ex religion and personal characteristics in their mate selection process. Most considered factor in mate selection associated with physical disability they experience is the attitude and behavior, similarity of attitudes and values, as well as gender roles. There are differences in the two partisipants, where first responders expressed more hope to have a normal partner while the second partisipant would rather partner fellow disabled.

(6)

Yang Maha Esa, atas segala rahmat, anugerah dan penyertaannya yang besar yang memampukan penulis hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran pemilihan pasangan pada tuna daksa”, guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian penelitian ini juga tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi, memberikan bimbingan, saran dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setulus hati kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kak Rahma Yurliani, M.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya, yang dengan sabar membimbing, serta selalu memberikan saran dan dukungan pada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak kak untuk semuanya, saya sangat senang dibimbing oleh kakak.

(7)

4. Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik penulis sejak semester 2 sampai semester 6, yang telah setulus hati bersedia membimbing penulis. Juga kepada Ibu Dra. Josetta Maria R. Tuapattinaja M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing mulai dari semester 7 sampai sekarang. Terima kasih banyak Bu atas semua bimbingan, saran dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. 5. Seluruh dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan segala

ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis selama diperkuliahan. 6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu dan melancarkan segala urusan administrasi penulis selama ini.

7. Kepada kedua orangtuaku tercinta, yang selalu membawa nama penulis dalam doanya, memberikan perhatian, kasih sayang dan dukungan bagi penulis. Terima kasih mak, pak atas semua kerja keras dan perjuangan buat kami anak-anakmu, selalu doakan kami agar kelak menjadi anak-anak yang penuh iman dan berhasil.

(8)

dan kesediaanya ikut membantu mencari partisipan untuk penelitianku. 11.Sahabat-sahabat geng Gmash, Rani peng2, mak Tina-khan, beib Ori,

Rebekka-bebek, Mamli, juga Susbanch. Khususnya buat Rani peng2, sahabat kemana-mana, sahabat ngapa-ngapain, jalan-jalan, nongkrong, karaoke (menular ke beib Ori, haha), belanja, dll, makasih peng2 sayong, hahaha. Terima kasih buat kebersamaan dan dukungan semuanya, semoga kelak kita Gmash tetap menjadi sahabat selamanya dan meraih kesuksesan bersama. Semangat buat skripsinya (Rani, Ori & Mamli) dan juga seminarnya (Susi & Tina).

12.KTB-ku (Kelompok Tumbuh Bersama) ZealROCKS, Kakak sekaligus bos ZealROCKS kak Rini, mak Tina, beib Ori, & Susi Bancin. Khususnya buat kak Rini tercinta, haha, makasih yah kak semua saran, pencerahan, diskusinya selama ini. Terima kasih atas dukungannya, juga buat waktu kebersaman kita, semoga kita bisa terus bertumbuh bersama dan tetap saling mendukung.

(9)

14.Buat Maria Marcella, temanku yang juga sedang pusing dan stres dengan skripsinya, hahah. Semangat yah marrr, kejar terus dosennya mar.

15.Teman seperjuangan mulai dari seminar sampai skripsi, Ratna, Kurnia, Holy, Rani, Ranket, Santa, Sri Rahmi, Risma, Wulan, dan teman-teman lainnya yang sedang skripsi. Buat Ratna, makasih buat diskusi dan berbagi kegalauan bersama karena kuali kali ini, haha. Semangat yahh teman-teman, terus berjuang buat skripsinya.

16.Anak satu bimbingan PA Bu Mutia dan Bu Yossi, Santa, Sri Rahmi, Fadilla dan juga Antony. Semangat yahh buat yang lagi skripsi, juga buat udah lulus dan yang lagi cari kerja, termasuk saya haha.

17.Teman-teman Psikologi angkatan 2009, terima kasih buat kebersamaan yang kita lewati. Ayo berjuang untuk meraih masa depan yang baik. Makasih buat Reppo makasih buat informasi dan diskusinya selama ini, teman-teman lain Holy, Ranket, Ratna, Kurnia, Santa, Wulan, Amoy, Risma, Putri, Nisa, Rahmi, Risma dan semuanya. Makasih karna mau berbagi ilmu, cerita, pengalaman, dan diskusi bersama tentang banyak hal. 18.Adikku di asrama dulu yang juga jadi adik angkatan di Psikologi, de Riris yang sudah seperti adik perempuanku. Haha, makasih yah dee, buat semangat dan dukungannya. Adik-adik angkatan lainnya, Kristin, Mona, Irvine, Susy, dan semuanya. Semangat kuliahnya yah dee...

(10)

pengalaman kepada penulis. Makasih banyak yah kak, sukses buat kita semua.

21.Kak Ellyus, dan pihak-pihak PTDI dan panti sosial, yang bersedia membantu penulis dalam mencari partisipan. Terima kasih atas semua bantuannya.

22.Pihak-pihak lain yang tidak disebutkan namanya. Terima kasih untuk setiap bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan banyak manfaat bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2013

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ...………... i

LEMBAR PERNYATAAN……...………... i

ABSTRAK...…………...………... i

ABSTRACT...…………...………... i

KATA PENGANTAR…………...………... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 18

A. Pemilihan Pasangan ... 18

(12)

B. Tunadaksa ... 24

1. Pengertian Tunadaksa ... 24

2. Klasifikasi Tunadaksa ... 25

C. Dewasa Awal ………... 26

1. Pengertian dewasa awal ... 26

2. Tugas Perkembangan Dewasa awal ... 27

D. Gambaran Pemilihan Pasangan pada Dewasa Awal Tunadaksa ... 27

E. Paradigma Berpikir ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Kualitatif ... 32

B. Partisipan Penelitian ... 32

1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 32

2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 33

3. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 34

4. Lokasi Penelitian ... 34

C. Metode Pengambilan Data ... 35

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 37

(13)

2. Pedoman Wawancara ... 37

3. Alat Tulis dan Kertas ... 38

E. Kredibilitas Penelitian ... 38

F. Prosedur Penelitian ... 40

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 40

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 42

3. Tahap Pencatatan Data Penelitian ... 44

4. Tahap Analisa dan Interpretasi Data ... 45

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Analisa Partisipan I ... 48

1. Identitas Partisipan ... 48

2. Data observasi ... 49

3. Data wawancara ... 53

B. Analisa Partisipan II ... 87

1. Identitas Partisipan ... 87

2. Data observasi ... 87

3. Data wawancara ... 91

C. Pembahasan ... 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 177

A. Kesimpulan ... 177

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 48 Tabel 2 Deskripsi Data Partisipan I ... 48 Tabel 3 Rekapitulasi Analisa Proses Pemilihan Pasangan Partisipan I ... 82 Tabel 4 Rekapitulasi Analisa Faktor yang Mempengaruhi

Pemilihan Pasangan Partisipan I ... 84 Tabel 5 Deskripsi Data Partisipan II ... 87 Tabel 6 Rekapitulasi Analisa Proses Pemilihan Pasangan Partisipan II ... 124 Tabel 7 Rekapitulasi Analisa Faktor yang Mempengaruhi

Pemilihan Pasangan Partisipan II ... 126 Tabel 8 Rekapilasi Analisa Proses Pemilihan Pasangan

Antar Partisipan ... 129 Tabel 9 Rekapitulasi Analisa Faktor yang Mempengaruhi

(16)
(17)

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemilihan pasangan yang dilakukan oleh tuna daksa serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Pemilihan pasangan ini akan digambarkan melalui teori pemilihan pasangan yang dikemukakan oleh Degenova (2008) yang meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi dan proses keseluruhan dari pemilihan pasangan. Metode penelitian ini adalah studi kasus dengan jumlah partisipan sebanyak dua orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan tuna daksa juga memiliki keinginan untuk memilih pasangan dan menganggap proses pemilihan pasangan sebagai hal yang penting yang harus dilakukan. Kedua partisipan mengungkapkan bahwa dalam pemilihan pasangan keterbatasan fisik mereka juga sering menjadi hambatan dalam memperoleh pasangan. Namun kedua partisipan tetap memiliki keyakinan bahwa mereka dapat memperoleh pasangan. Pada kedua partisipan ditemukan melewati setiap tahapan dalam proses pemilihan pasangan. Meskipun kedua partisipan mempunyai cacat fisik, mereka juga mempertimbangkan faktor latar belakang keluarga seperti agama dan karakteristik personal dalam pemilihan pasangan. Faktor yang paling dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan terkait dengan cacat fisik yang mereka alami adalah sikap dan tingkah laku, kesamaan sikap dan nilai, serta peran gender. Terdapat perbedaan pada kedua partisipan, dimana partisipan pertama mengungkapkan lebih berharap memiliki pasangan yang normal sedangkan partisipan kedua lebih menginginkan pasangan yang sesama penyandang cacat.

(19)

The Description of Mate Selection on Physically Disabled Katriin Elysabet Sihombing and Rahma Yurliani

ABSTRACT

This study aims to describe the mate selection is done by physically disabled as well as the factors that influence. The description of this mate selection will be illustrated through mate selection theory proposed by Degenova (2008) which includes the factors and processes that affect the whole of mate selection. This research method is the case study with two partisipants who each had a disability since birth. Data collection method used is in-depth interviews. The results showed physically disabled also have a desire to choose a partner and mate selection process considers as essential to be done. Both partisipants revealed that the physical limitations of their mate choice is often a bottleneck in obtaining partner. But both the partisipants still have confidence that they can get a partner. Both partisipant found through each stage in the process of mate selection. Although both partisipants have physical disabilities, they also consider factors such as family background ex religion and personal characteristics in their mate selection process. Most considered factor in mate selection associated with physical disability they experience is the attitude and behavior, similarity of attitudes and values, as well as gender roles. There are differences in the two partisipants, where first responders expressed more hope to have a normal partner while the second partisipant would rather partner fellow disabled.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tidak semua manusia beruntung dilahirkan dalam keadaan fisik yang normal dan sempurna. Beberapa dari mereka terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan secara fisik. Orang yang mengalami kekurangan pada fisiknya dalam literatur disebut dengan tunadaksa. Tunadaksa berarti keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007).

Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam. Menurut Somantri (2007) tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, tumor, dan kondisi-kondisi lainnya. Klasifikasi lain dilihat dari sistem kelainannya, penggolongan tunadaksa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system) (Astati, 2001).

(21)

2

faktor keturunan, trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak, pendarahan pada waktu kehamilan serta keguguran yang dialami ibu. Kedua sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran mencakup penggunaan alat-alat bantu kelahiran (seperti tabung, vacum dan lain-lain) yang tidak lancar dan penggunaan obat bius pada waktu kelahiran. Ketiga sebab-sebab sesudah kelahiran mencakup infeksi, trauma, tumor, dan kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2007).

Sama halnya dengan individu normal, individu tunadaksa juga mengalami perkembangan baik dalam aspek psikologis maupun aspek fisik. Secara umum, aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh setiap individu. Berbeda dengan individu normal, bagi individu tunadaksa potensi fisik tersebut tidaklah utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna (Somantri, 2006). Ketidaksempurnaan fisik mereka menyebabkan sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Banyak aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang tidak bisa mereka lakukan seperti layaknya orang normal pada umumnya.

Seperti yang dinyatakan oleh beberapa tunadaksa:

“Iya ruang geraknya terbatas itu aja...Misalnya ga bisa saya lakukan, membawa kendaraan, karena kaki saya lemah saya ga bisa membawa kendaraan....yang lain yah biasa aja, cuman saya ga selincah mereka itu aja.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

(22)

Secara umum keterbatasan fisik memang menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, namun nyatanya banyak tunadaksa yang masih mampu melakukan berbagai aktivitas seperti orang lain. Kondisi fisik tunadaksa memang tidak normal, namun mereka mampu hidup layaknya orang normal. Mereka masih mampu mendiri, melakukan aktivitas sehari-hari tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan yang mereka miliki juga, banyak tunadaksa yang mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Seperti Putri Herlina, salah seorang tunadaksa yang menunjukkan bahwa ia tidak memiliki hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan hidup layaknya orang normal:

"Aku sekolah di sekolah biasa, aku gak mau dikasihani, SMPku di sekolah Muhammadiyah biasa, SMAku juga, aku tidak minta meja khusus, kutulis semua dengan kakiku, bisa kok. Aku nggak suka diistimewakan. Semua yang bisa dilakukan teman-teman yang lain aku juga ikut. Pramuka, olahraga, pokoknya seperti biasa saja,"

“Aku dan teman-teman masak sendiri, cuci baju sendiri, membantu merawat dan mengasuh anak-anak cacat, bekerja sebagai penerima tamu, mengetik, menulis, dan menelepon. Aku juga sering mengepel lantai. Aku bisa mengurus diriku sendiri, ganti baju sendiri. Ga ada hambatan untuk melakukan kegiatan sehari-hari”

(23)

4

rendah diri, sensitif, cemas, dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain (Carolina, 2006). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan pandangan negatif lingkungan, yang pada umumnya menganggap tunadaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Penolakan masyarakat terhadap individu tunadaksa ini menyebabkan munculnya perasaan rendah diri, perasaan sedih dan penyesalan akan kondisinya. Mereka akhirnya cenderung menutup diri terhadap pergaulan, kurang dapat menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan (Somantri, 2007).

Hal ini juga dialami oleh beberapa tunadaksa lewat pernyataannya berikut: “Kalau menengok diri sendiri, jadi minder sama orang. Misalnya mau keluar, sebelum keluar tengok dulu diri sendiri, jadi ga berani keluar. Ga ada percaya dirinya lagi, udah hilang.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

“Jujur saya katakan keadaan fisik saya seperti ini tidak saya kehendaki, didalam hati dan perasaan, saya merasa marah, sangat tidak terima atas kenyataan yang ada, kehidupan saya berada pada posisi yang serba salah. Kadang kala saya depresi atas keberadaan diri ini, sungguh ini sebuah neraka nyata dalam hidup.”

(Sosbud Kompasiana, 2013)

“Kalau yang saya alami sekarang, mereka menganggap kalau orang yang tidak sehat atau cacat itu, dia sifatnya selalu dibantu, ga bisa apa-apa karena kondisi cacat kita ini.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

(24)

Kondisi fisik yang tidak sempurna dan pandangan negatif serta penolakan yang diterima justru menjadi alasan bagi tunadaksa untuk terus berusaha dan bersemangat dalam menjalani hidup. Mereka tidak menjadikan kondisi cacat sebagai halangan dalam kehidupannya.

Walau memiliki keterbatasan banyak tunadaksa yang menjadi orang-orang hebat kerena mereka miliki kemauan dan berusaha bagaimana mengatasi kekurangan tersebut dengan berkarya. Bahkan akhirnya, hal-hal yang mereka kerjakan sehari-hari dalam keterbatasan fisik mereka itu, kemudian menjadi inspirasi bagi orang lain yang mempunyai keterbatasan fisik, bahkan orang-orang dengan kondisi fisik yang sempurna sekalipun. Hal ini menjadi kebangga bagi mereka apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati hambatan yang dihadapi, sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006). Karena dalam hidup tidak ada manusia yang sempurna, setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Seperti yang dialami oleh Putri Herlina, walau sejak kecil ia telah ditingallkan oleh orang tuanya, namun ia mampu bertahan dan menjadi tunadaksa yang menginspirasi banyak orang:

“Bagiku yang penting cuek dan bersikap biasa. Aku tidak ingin dikasihani, tidak ingin dibedakan dengan yang lain, mungkin itulah yang membuat aku kuat dan tegar selama ini”

(25)

6

“Kehidupan kita yang serba berkekurangan seharusnya jangan dijadikan sebagai sebagai suatu hambatan untuk terus berkembang, bergaul dan akrab dengan dengan sesama serta menjalin persahabatan dengan siapapun tanpa terkecuali karena itu semua sebagai pelajaran hidup.”

(Petrus)

“Memiliki kekurangan dalam fisiknya, ternyata sama sekali tak membuat saya minder bertemu dengan orang-orang baru. Sebaliknya, saya justru ingin menunjukkan bahwa keterbatasan pada fisiknya tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk menunjukkan kemampuannya sembari berkreasi.”

(Gufron)

“Keadaan fisik bukan kendala untuk sukses. Yang menjadi halangan adalah kalau kita berpikir bahwa keadaan fisik kita menghalangi sukses. Karena itu ubah pikiran, tembuslah batas itu, raih prestasi tertinggi dan hidup maksimal.”

(Lena Maria, 2013)

"Saya ga mau orang lain hanya mengasihani saya, saya ingin orang lain menghargai saya sama seperti kepada orang normal lainnya. saya ingin orang melihat saya karena prestasi yang saya raih, bukan karena ia kasihan melihat saya cacat"

(Heni Candra, Penyanyi 2013)

(26)

Layaknya individu normal lainnya, individu tunadaksa juga akan melalui masa dewasa awal dan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan dimasa ini diantaranya: mendapatkan pekerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam kelompok sosial yang cocok dengan diri mereka (dalam Hurlock, 2009). Salah satu tugas perkembangan yang penting yang akan dihadapi di masa dewasa awal adalah pemilihan pasangan. Proses pemilihan pasangan ini menjadi tugas yang penting karena sebelum membentuk suatu keluarga, individu terlebih dahulu harus melakukan pemilihan pasangannya.

Hal ini juga diungkapkan oleh seorang tunadaksa yang terlihat dari pernyataannya berikut:

“Memilih pasangan pentinglah, yahh aku, kami-kami penyandang cacat ini juga sama kan, punya hak untuk memilih pasangan, untuk berkeluarga kan juga ada.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

(27)

8

mencapai pernikahan yang bahagia. Hal ini juga dinyatakan oleh Sinniah (dalam Rifayani, 2012) yang juga menyatakan bahwa banyak individu tunadaksa menemui banyak hambatan pada tugas memilih pasangan hidup.

Seperti yang diungkapkan oleh tunadaksa dalam penyataan berikut ini: “Bagi saya mendapatkan teman wanita itu sangatlah sulit. jangankan menikah, untuk sekedar bisa berpacaran saja sangat sulit. saat ingin berinteraksi dengan lawan jenis, selalu saja terjadi penolakan. saya merasa sering disepelekan wanita.

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

“Pantas ga seh orang kaya aku mencintai dan dicintai orang untuk menjadikan aku sebagai kekasih atau menjadi pasangan hidup aku, karena pada kenyataannya jangan kan pacaran deketpun kayanya mereka enggan, minder dan gengsi punya pasangan cacat.”

(Yahoo, 2008)

(28)

“Dengan kondisi fisik seperti ini, yah yang saya rasakan saya enggak menariklah. Mana bisa menarik dengan kondisi fisik begini, kalau normal bisalah menarik. Ini ga normal mana bisa menarik, jadi minderlah”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

Pandangan negatif masyarakat juga seringkali menjadi penyebab tunadaksa sulit untuk mendapatkan pasangan. Banyak masyarakat melakukan penolakan karena memandang bahwa memiliki pasangan atau menantu tunadaksa adalah sesuatu hal yang memalukan. Penolakan ini juga timbul karena masyarakat menganggap tundaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Adanya keraguan tentang kemampuan tunadaksa dalam mengurus rumah tangganya, mengurus anak dan suaminya kelak. Sehingga seringkali masyarakat menolak tunadaksa sebagai menantu atau pasangan. Hal inilah yang dialami oleh seorang tunadaksa yang terlihat dari pernyataannya berikut:

“Kayak ada cowok yang disini (di panti sosial tunadaksa), padahal aku udah mau serius sama dia. Tiba-tiba datanglah mamaknya, padahal belum dibawa ketemu masih ceritalah, mamaknya udah menolak, belum apa-apa kan, belum kenal orangnya. Aku ga mau dibilang mamanya, enggak, cari aja yang normal. Waktu itu sakit kali hatiku, tapi kek mana apa boleh buat namanya juga belum jodoh”

“Mamaknya ga setuju dengan hubungan kami. Karena dia kan orang cacat, aku juga cacat, takut mamaknya aku ga bisa ngurus dia dengan baik. Kek mananya jadi calon istri, melayani dia, tidak mungkin kan...”

(Komunikasi Personal, 23 November 2012)

(29)

10

dilakukan oleh Hastuti (2012) ditemukan bahwa penyandang cacat tubuh (tunadaksa) memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan. Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya.

Seperti yang diungkapkan oleh Putri Herlina yang terlihat dalam pernyataan berikut ini:

"Aku pengen pergi dari panti ini mas, sudah 24 tahun aku di sini.. ingin rasanya untuk segera bisa mandiri. Aku membayangkan punya suami yang normal, walaupun kondisiku seperti ini, tapi ada gak ya yang bener-bener serius sama aku. Apa aku gak tau diri ya mas kalo ngarepin jodohku lelaki yang sempurna.. apa hidupku sampai tua hanya di panti ini ya mas, sendirian tiap hari di meja ini,"

Hal ini juga dialami oleh tunadaksa lain, seperti yang terlihat dalam beberapa pernyataan berikut ini:

“Aku juga takut diejeki keluarganya, mamak-mamak zaman sekarang kan meremihin menantu, mentang-mentang fisik awak kek gini takut dia ga bisa meladeni, ga bisa ngurus anak. Itulah yang awak takutkan dalam hidup ini”

(Komunikasi Personal, 23 November 2012)

“Iyaa, kalau dengar-dengar dari kawan, banyaklah yang nikah sama yang normal bilang kalau gabung sama keluarganya itu kayak ada perasaan ga nyaman, kita jadi agak jangggal kalau gabung, dengar-dengar kawan gitu ga bahagia dia, aku jadi ada rasa takut nikah.”

(Komunikasi Personal, 3 November 2012)

(30)

kadang kebelakang yahh ga mungkinlah diri kita karna masih banyak yang lebih dari kita, karna cacat. Tapi tetap ada, bahwa karna aku harus memilih gitu.”

(Komunikasi Personal, 3 November 2012)

Namun terlahir sebagai seorang yang cacat dengan banyak kekurangan ternyata tidak selalu menghalangi tunadaksa untuk bisa memperoleh pasangan dan hidup bahagia dalam kehidupan pernikahan. Karena pada kenyataannya banyak tunadaksa yang bisa memperoleh pasangan dalam hidupnya. Tidak semua tunadaksa merasa minder dan kurang percaya diri dengan kondisi fisik mereka. Ada banyak tunadaksa menerima keadaan pada dirinya dan yakin dengan daya tarik dari dalam diri (inner beauty) yang dimilikinya. Daya tarik tidak hanya muncul karena fisik yang menarik dan sempurna, namun daya tarik juga dapat muncul karena karakter dan kepribadian diri seseorang (Degenova, 2008). Karena itu keyakinan dan kepercayaan diri yang dimiliki tunadaksa dapat menjadi daya tarik yang besar dalam pemilihan pasangan. Jika tunadaksa percaya diri, walaupun fisik mereka kurang sempurna, namun kepercayaan diri itulah yang membuat tunadaksa semakin menarik

(31)

12

bisa menikah dengan pasangan normal yang normal walaupun ia tidak memiliki kedua tangan dan juga diterima oleh keluarga pasangan:

“Aku mau nikah mas.. namanya Reza, yang jelas dia perhatian banget dan mau menerima kondisiku.”

“Reza adalah anak dari keluarga terhormat. Putra salah seorang petinggi Bank Indonesia, Deputi Gubernur jabatan terakhirnya. Aku bayangkan, keluarga itu memiliki hati yang luar biasa luasnya dengan menerima Putri Herlina dalam keluarga terhormat mereka.”

Kehidupan tidak berhenti sampai pada terbatasnya kondisi fisik tunadaksa. Memiliki keterbatasan fisik tidak selalu menjadi penghalang bagi tunadaksa untuk dapat memperoleh pasangan dan dapat menjalani pernikahan. Misalnya saja Putri Herlina, Nick yang saat ini menjadi motivator terkenal, juga ada beberapa artis Ucok Baba, Daus Mini, dan Adul. Mereka sama sekali tidak pernah minder atau terkucilkan sekalipun fisik mereka tidak normal. Kecacatan nyatanya dapat membuat tunadaksa menjadi kuat dan tegar. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang timpang atau tidak mempunyai tangan (Melati, 2011).

(32)

menghalangi mereka untuk memperoleh pasangan. Kalau mereka dapat menerima kondisi yang ada, perkembangan ke arah hal yang positif pun akan lebih mudah timbul (Melati, 2011).

Seperti yang diungkapkan oleh tunadaksa dalam pernyataannya berikut: “Ibarat membeli pakaian, harus benar-benar mendapatkan yang cocok karena akan melekat dalam diri sepanjang waktu. Usaha tetap harus dilakukan, apa keputusannya biar Tuhan yang menentukan. Tidak ada yang tidak mungkin jika itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Kita harus yakin bahwa Allah Maha Adil dan punya rencana yang terbaik untuk kita” (Putri Herlina)

“ Bagi saya tidak punya tangan bukan halangan untuk menikah. Banyak orang berpikir, apa bisa menikah, apa bisa berprestasi, dll. Yang membatasi bukan fisik, tetapi pikiran mereka. Mereka lupa, bahwa di dunia ini memang tidak ada orang yang sempurna. Setiap orang memiliki kelemahan, hanya saja mereka yang berhasil, adalah orang-orang yang berpikir, bahwa ‘kelemahan’nya bukan halangan untuk berhasil, cacat fisik bukan halangan untuk menikah.”

(Lena Maria, 2013)

“Saya memahami bahwa meskipun saya memiliki kekurangan, tapi pasti ada kelebihan dibalik kekurangan. Merasa minder dan tidak sempurna bukan penyelesaian masalah, keterbatasan fisik tidaklah sebuah halangan untuk terus berkembang dan maju bahwa untuk memiliki pasangan”

(Triy, 2008).

(33)

14

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada tunadaksa.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi dalam rangka perluasan teori dan konsep di bidang psikologi, terutama yang berkaitan dengan pemilihan pasangan pada tunadaksa.

2. Manfaat Praktis

(34)

hidup yang akan membantu mereka untuk memilih pasangan hidupnya dengan baik sebelum memutuskan melangkah ke jenjang pernikahan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

keluarga tunadaksa dan masyarakat tentang proses pemilihan pasangan pada tunadaksa, individu tunadaksa juga mempunyai tugas untuk memilih pasangan hidup sama seperti individu normal.

c. Manfaat lainnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemicu munculnya penelitian-penelitian lain tentang hal-hal yang berkaitan dengan

penyandang cacat. Selain itu, penelitian ini dapat menambah wawasan

individu yang membacanya, khususnya tentang pemilihan pasangan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menyajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

(35)

16

pemilihan pasangan hidup, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan hidup. Kemudian teori dewasa awal yaitu, pengertian dewasa awal, tugas-tugas perkembangan dewasa awal. Dan terkahir adalah teori tentang tunadaksa yaitu, pengertian tunadaksa, klasifikasi tunadaksa. BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menyajikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, dalam hal ini adalah metode kualitatif, metode pengumpulan data, partisipan penelitian, teknik pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menyajikan hasil analisis data partisipan dan pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan yaitu teori pemilihan pasangan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

(36)
(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pemilihan Pasangan

1. Pengertian Pemilihan Pasangan

Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental Process Theories, pemilihan pasangan adalah suatu proses penyaringan orang yang tidak memenuhi syarat dan tidak sesuai sampai satu orang dipilih untuk menjadi pasangan hidupnya. Proses pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu, pada umumnya didasari dengan memilih calon yang dapat melengkapi kebutuhan dari individu (Degenova, 2008). Memilih pasangan artinya memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan atau pasangan untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua dari anak–anaknya kelak (Lyken dan Tellegen, 1993).

(38)

2. Proses Pemilihan Pasangan

Developmental Process Theories merupakan salah satu teori utama pemilihan pasangan, yang dapat menjelaskan proses dan dinamika bagaimana seorang individu memilih pasangan hidupnya. Menurut teori proses perkembangan ini, pemilihan pasangan adalah suatu proses penyaringan orang yang tidak memenuhi syarat dan tidak kompatibel sampai satu orang dipilih untuk menjadi pasangan hidupnya (Degenova, 2008).

a. Area yang ditentukan (The Field of Eligibles)

Tahap pertama yang harus dipertimbangkan dalam proses pemilihan pasangan adalah pasangan tersebut sudah memenuhi syarat atau kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Di tahap ini, masing-masing individu akan mulai mencari dan menyaring pasangan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

b. Kedekatan (Propinquity)

Tahap selanjutnya adalah kedekatan atau propinquity (Davis-Brown, Salamon, & Surra dalam Degenova, 2008). Propinquity atau kedekatan juga dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Kedekatan ini tidak berarti hanya kedekatan geografis seperti kedekatan perumahan tetapi juga kedekatan institutional seperti kedekatan lingkungan sekolah, tempat kerja dan lainnya.

c. Daya Tarik (Attraction)

(39)

20

anggap menarik. Daya tarik artinya ketertarikan dengan individu lain, baik ketertarikan secara fisik, maupun ketertarikan spesifik dari kepribadian individu.

d. Homogamy dan Heterogamy

Individu cenderung akan memilih pasangan yang mempunyai kesamaan dengannya baik dari hal yang pribadi maupun karakteristik sosial (Dressel, Rogler, Procidano, Steven, & Schoen dalam Degenova, 2008). Kecenderungan untuk memilih pasangan yang memilki kesamaan dengan dirinya disebut dengan homogamy dan kecenderungan untuk memilih pasangan yang memiliki perbedaan dengan dirinya disebut dengan heterogamy.

e. Kecocokan (Compability)

Kecocokan ini mengacu pada kemampuan individu untuk hidup bersama secara harmonis. Kecocokan ini akan lebih mengarah kepada evaluasi dalam pemilihan pasangan menurut tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran dan kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan, seorang individu akan berusaha untuk memilih pasangan yang mempunyai kecocokan dengan dirinya dalam berbagai hal.

f. Proses Penyaringan (The Filtering Process)

(40)

keputusan akhir yaitu pernikahan. Sebelum sampai pada keputusan untuk menikah, beberapa individu melanjutkan ke tahap yang lebih serius seperti pertunangan. Namun, ada juga beberapa individu yang akan langsung berlanjut ke tahap akhir yaitu menikah tanpa melalui tahap trial atau pertunangan.

Gambar 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan

Sumber : Intimate Relationships, Marriage & Families Seven Edition (Degenova, 2008)

Field of Eligibles

Propinquity Filter

Attraction Filter

Physical attraction Personality

Compatibility Filter

Temperament, Attitudes and Values, Needs, Role, Habit systems.

Trial Filter

Decision Filter

(41)

22

3. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan

Menurut Degenova (2008), secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan seorang individu, yaitu :

a. Latar Belakang Keluarga

Latar belakang keluarga mempengaruhi seluruh diri individu. Latar belakang keluarga juga mempengaruhi kepribadian, sifat, sikap, nilai-nilai dan peran. Dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan, ada empat hal yang akan diperhatikan, yaitu :

1) Status Sosioekonomi

Status sosioekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas suatu pernikahan. Kemungkinan kepuasaan pernikahan akan meningkat bila dua orang yang menikah mempunyai status sosioekonomi yang sama.

2) Pendidikan dan inteligensi

Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang mempunyai perhatian mengenai pendidikan. Pernikahan dengan latar belakang pendidikan yang sama pada kedua pasangan akan lebih stabil dan cocok.

3) Ras atau Suku

(42)

dengannya. Permasalahan yang terjadi bukan berasal dari kedua pasangan tersebut, tetapi berasal dari keluarga, teman ataupun masyarakat disekitar. 4) Agama

Masalah keyakinan atau agama juga menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam memilih pasangan. Terdapat tekanan dari keluarga atau agama untu menikah dengan individu yang memiliki keyakinan atau agama yang sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pernikahan yang mempunyai latar belakang keyakinan atau agama yang sama akan lebih stabil.

b. Karakteristik Personal

Ketika seorang individu memilih pasangan untuk menghabiskan sisa hidup mereka, kecocokan merupakan sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan. Ada empat faktor karakteristik personal yang dapat mendukung kecocokan dari pemilihan pasangan, yaitu :

1) Sikap dan Tingkah Laku Individu

Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh setiap individu akan berfokus pada fisik, kepribadian, dan faktor kesehatan mental. Sakit fisik akan memberikan tekanan pada hubungan dan membuat kepuasan dan kestabilan hubungan akan berkurang.

2) Usia

(43)

24

pasangan adalah dua tahun. Memilih pasangan yang usianya lebih tua atau lebih muda dari dirinya juga akan mempengaruhi kualitas pernikahan. 3) Kesamaan Sikap dan Nilai

Kecocokan dalam suatu hubungan pernikahan akan semakin meningkat bila setiap pasangan dapat membangun kesamaan sikap dan nilai di dalam suatu hubungan dan menghargai hal-hal yang penting bagi mereka. Kecocokan dapat dilihat dalam hal tingkat kesepakatan atu ketidaksepakatan tentang isu-isu pekerjaan, tempat tinggal, masalah keuangan, hubungan dengan mertua atau teman, kehidupan sosial, agama dan filsafat hidup, jenis kelamin, tata krama, kebiasaan hidup, anak dan peran gender.

4) Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi

Secara umum, pasangan yang dapat membagi harapan yang sama mengenai peran di dalam pernikahan. Kecocokan dalam suatu pernikahan dapat diukur dari persamaan harapan dari peran pria dan wanita. Kebiasaan pribadi juga dapat menjadi hambatan dalam keharmonisan pernikahan. Masalah dapat diatasi, jika kedua pasangan memberi toleransi, saling peduli, fleksibel dan rela mengubah diri mereka menjadi lebih baik.

B. Tunadaksa

1. Pengertian Tunadaksa

(44)

normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, dalam Somantri, 2007). Tunadaksa juga sering diartikan sebagai akibat kerusakan atau ganguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan untuk berdiri sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa adalah individu yang mengalami kelainan atau gangguan anggota tubuh yang dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau pembawaan sejak lahir yang mengakibatkan menurunya kemampuan normal individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

2. Klasifikasi Tunadaksa

Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan

b. Kerusakan pada waktu kelahiran c. Infeksi

d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik e. Tumor

(45)

26

Berdasarkan faktor penyebabnya, tunadaksa dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu:

a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran: c. Sebab-sebab sesudah kelahiran:

C. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja latin yang artinya “tumbuh menjadi kedewasaan”. Kata adult berasal dari kata adultus yang artinya “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2009).

(46)

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang harus dipenuhi menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2009), yaitu :

a. Mendapatkan suatu pekerjaan

b. Memilih seorang pasangan/teman hidup c. Membentuk suatu keluarga

d. Membesarkan anak-anak

e. Mengelola sebuah rumah tangga

f. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara g. Bergabung dengan suatu kelompok sosial yang sesuai

(47)

28

Pada tunadaksa keterbatasan fisik mereka dapat menjadi hambatan mereka dalam memilih pasangan. Bagi tunadaksa sulit untuk dapat berpacaran dan membina hubungan sampai dengan jenjang pernikahan (YLS, 2007). Seperti yang dinyatakan oleh Hurlock (2009) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas perkembangan dewasa awal terdapat rintangan yang bisa menghambat penguasaan tugas perkembangan. Salah satunya adalah hambatan fisik, seperti cacat yang dialami oleh individu tunadaksa. Kesehatan yang buruk atau hambatan fisik akan menghalangi seseorang untuk mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan pada masa perkembangannya dan dapat menggagalkan penguasaan tugas-tugas perkembangan baik itu sebagian atau secara total. Mereka melihat bahwa cacat fisik yang dialami menjadi hambatan bagi pemilihan pasangan dan mencapai pernikahan yang bahagia. Hal ini juga didukung oleh Sinniah (dalam Rifayani, 2012) yang juga menyatakan bahwa individu tunadaksa menemui banyak hambatan pada tugas memilih pasangan hidup.

(48)

yang menarik secara fisik memang dinilai sebagai calon pasangan yang lebih diinginkan daripada individu kurang menarik. Cacat fisik pada tunadaksa seringkali membuat mereka menjadi minder dalam pemilihan pasangan karena merasa dirinya terlihat tidak menarik secara fisik dan memiliki banyak. Hal ini

Pandangan negatif masyarakat juga seringkali menjadi penyebab tunadaksa sulit untuk mendapatkan pasangan. Banyak masyarakat melakukan penolakan karena memandang bahwa memiliki pasangan atau menantu tunadaksa adalah sesuatu hal yang memalukan. Mayoritas masyarakat Indonesia mengatakan bahwa memiliki cacat fisik adalah sebagai suatu aib sehingga terkadang kebanyakan orang menjauhi mereka atau jika mereka bagian dari keluarga maka akan menyembunyikan keberadaannya (Joko, 2011). Penolakan ini juga timbul karena masyarakat menganggap tundaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Adanya keraguan tentang kemampuan tunadaksa dalam mengurus rumah tangganya, mengurus anak dan suaminya kelak. Sehingga seringkali masyarakat menolak tunadaksa sebagai menantu atau pasangan. Hal inilah yang dialami oleh seorang

(49)

30

menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Individu tunadaksa mengalami kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah dan belum memiliki gambaran yang jelas mengenai pasangan, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya.

Banyak tunadaksa melihat bahwa cacat fisik dan penampilan mereka yang tidak menarik serta pandangan negatif masyarakat menjadi hambatan dalam pemilihan pasangan dan mencapai pernikahan yang bahagia (dalam Rifayani, 2012). Namun diantara mereka ada juga yang dapat memperoleh pasangan dan mencapai kehidupan yang bahagia. Beberapa diantaranya adalah Nick yang saat ini menjadi motivator terkenal, juga ada beberapa artis Ucok Baba, Daus Mini, dan Adul. Mereka yang memiliki keterbatasan fisik namun mereka dapat memperoleh pasangan dan dan dapat menjalani pernikahan.

(50)

E. Paradigma Berpikir

Dewasa awal tunadaksa

Gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa?

Proses

1. Area yang ditentukan 2. Kedekatan

3. Daya tarik

4. Homogamy/heterogamy 5. Kecocokan

6. Penyaringan

Faktor yang mempengaruhi 1. Latar belakang keluarga: status

soioekonomi, pendidikan, agama, suku atau ras

2. Karakteristik personal: sikap & tingkah laku, usia, kesamaan sikap dan nilai, peran gender & kebiasaan pribadi

Keterbatasan fisik yang menyebabkan dirinya minder, kurang percaya diri, fisik kurang menarik, lingkungan memandang negatif

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini merupakan penelitian pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk dapat memperoleh gambaran yang luas dan mendalam tentang pengalaman partisipantif individu tunadaksa dalam proses melakukan pemilihan pasangan. Dalam berbagai hal, setiap individu memiliki kebutuhan, persepsi, minat dan keinginan yang berbeda satu dengan individu lainnya, salah satunya dalam hal pemilihan pasangan.

Masing-masing individu mempunyai kriteria-kriteria sendiri yang digunakan untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dengan dirinya. Hal ini juga tentunya dilakukan oleh individu tunadaksa, mereka memiliki kriteria-kriteria yang digunakan saat memilih pasangan hiupnya. Namun dengan keterbatasan fisik yang mereka miliki tentunya banyak pertimbangan dalam melakukan pemilihan pasangan yang mungkin berbeda dengan individu normal. Perbedaan ini menjadi alasan peneliti untuk menggunakan pendekatan kualitatif.

B. Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan Penelitian

(52)

a. Individu yang mengalami cacat fisik (tunadaksa)

Pemilihan partisipan ini sesuai dengan tujuan peneliti melakukan penelitian yaitu untuk melihat bagaimana gambaran pemilihan pasangan pada individu tunadaksa. Dalam penelitian ini individu tunadaksa yang menjadi partisipan penelitian adalah tunadaksa yang cacat sejak lahir dan sedang menjalani suatu hubungan pacaran. Hal ini karena tunadaksa yang sudah lama mengalami ketunadaksaan sudah dapat menyesuaikan dirinya dan dengan kecacatan fisik yang nampak karena kondisi ini lebih mempengaruhi individu tersebut, dan lebih dapat terlihat bagaimana pemilihan pasangan yang dilakukan.

b. Berusia 20-35 Tahun

Hal ini sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti yaitu Hurlock (2009), dimana dewasa awal berada pada rentang usia 18-40 tahun. Namun dalam penelitian ini peneliti membatasi dewasa awal dengan rentang usia 20-35 tahun. Pada masa ini juga terdapat salah satu tugas perkembangan yang penting untuk dilakukan oleh setiap individu yaitu pemilihan pasangan.

2. Jumlah Partisipan Penelitian

(53)

34

tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks (dalam Poerwandari, 2009)

3. Prosedur Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational construct sampling). Partisipan dipilih sesuai dengan kriteria tertentu berdasarkan suatu teori atau konstruk operasional yang sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel penelitian benar-benar representatif atau benar-benar mewakili fenomena yang akan diteliti. Hanya individu yang memenuhi kriteria dan mewakili fenomenalah yang diteliti (Poerwandari 2009).

Dasar teori yang digunakan untuk memilih sampel dalam penelitian ini adalah teori Hurlock (2009) untuk tentang dewasa awal yang menjelaskan rentang usia dewasa awal, serta teori klasifikasi tunadaksa oleh Koening.

4. Lokasi Penelitian

(54)

peneliti dengan partisipan. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan kesepakatan dan keinginan dari partisipan penelitian agar memberikan kenyamanan serta suasana yang kondusif sehingga proses penelitian dapat berjalan dengan lancar. Adapun lokasi pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di rumah partisipan, di rumah teman partisipan, di suatu pusat perbelanjaan/mall, dan di suatu ruang tunggu sebuah rumah sakit.

C. Metode Pengambilan Data

Penelitian kualitatif merupakan penelitan yang bersifat terbuka dan luwes, metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif disesuaikan dengan masalah penelitian, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Dalam pengambilan data, penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi sebagai metode pendukung.

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Banister (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan wawancara kualitatif dilakukan jika peneliti bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna partisipantif yang dipahami oleh individu berkaitan dengan topik yang diteliti, dan bertujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut, dimana hal ini tidak dapat dilakukan dengan metode lain.

(55)

36

berbagai segi kehidupan partisipan secara mendalam dan menyeluruh. Dalam proses wawancara ini, peneliti menggunakan pedoman wawancara, yang menampilkan topik-topik yang harus digali dari partisipan yang dapat dilakukan secara acak, tanpa harus menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara ini digunakan untuk membantu peneliti mengingat aspek-aspek yang harus dihahas dan digali secara mendalam dari diri partisipan, dan sekaligus menjadi daftar checklist untuk melihat apakah aspek-aspek yang relevan dengan topik yang diteliti telah dibahas atau ditanyakan.

(56)

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Instrumen yang terpenting dalam pengumpulan data pada penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri (Poerwandari, 2009). Peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendeteksi topik tersebut, mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian.

Dalam mengumpulkan data-data peneliti membutuhkan alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 alat bantu, yaitu :

1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari partisipan. Alat perekam ini juga berguna agar peneliti lebih mudah memutar dan mengulang kembali hasil rekaman proses wawancara yang sebelumnya telah dilakukan dan dapat menanyakan partisipan kembali bila masih ada hal-hal yang belum lengkap atau perlu untuk diperjelas. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari partisipan untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.

2. Pedoman wawancara

(57)

38

yang dapat dilakukan secara acak, tanpa harus menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan aspek-aspek tingkah laku, nilai maupun perasaan partisipan terkait dengan pemilihan pasangan. Pertanyaan ini mengungkap tentang apa yang dilakukan atau biasa dilakukan partisipan, proses pemahaman dan interpretasi partisipan serta untuk memperoleh pemahaman tentang aspek afektif atau perasaan dalam diri partisipan terkait dengan pemilihan pasangan. Pertanyaan yang digunakan dalam wawancara merupakan pertanyaan yang sifatnya terbuka (open-ended question) untuk dapat mendorong partisipan berbicara lebih luas dan dalam tentang topik yang diteliti, mengembangkan pemahaman tentang pemikiran dan perasaan partisipan. Untuk mendukung pengambilan data dalam wawancara, juga digunakan pedoman observasi selama wawancara.

3. Alat tulis dan kertas

Alat tulis yang digunakan dalam membantu penelitian ini seperti kertas, pulpen atau pensil untuk mencacat hal-hal penting yang ditemukan selama proses pengambilan data.

E. Kredibilitas Penelitian

(58)

menjelaskan kemajemukan atau kompleksitas aspek-aspek yangditeliti dan interaksi dari berbagai aspek merupakan salah satu ukuran kredibilitas dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2009).

Untuk meningkatkan kredibilitas dalam penelitian kualitatif, ada beberapa langkah atau upaya yang dapat dilakukan peneliti antara lain dengan :

1. Mencatat secara bebas hal-hal penting dengan serinci dan sedetail mungkin tentang pengamatan objektif terhadap setting, partisipan atau hal-hal lain yang terkait selama pengambilan data.

2. Mendokumentasikan data-data yang telah terkumpul dengan rinci, lengkap dan rapi. Data-data yang terkumpul berupa, data mentah berupa rekaman wawancara, transkrip wawancara, rekonstruksi data hasil wawancara, dan data hasil analisa wawancara dengan partisipan.

3. Memanfaatkan langkah dan proses yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya sebagai saran bagi peneliti sehingga pengumpulan data dapat terjamin berkualitas.

4. Mengikutsertakan pihak lain yang dapat memberikan saran-saran dan pembelaan (‘devil’s advocate’) serta akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terkait dengan analisis yang dilakukan peneliti. Dalam hal ini adalah dosen pembimbing bertindak sebagai professional judgment, selain itu juga senior dan teman peneliti.

(59)

40

mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai data. Membaca kembali transkrip wawancara sebelumnya dan mencatat hal-hal yang penting, yang perlu digali lebih dalam dari partisipan pada wawancara berikutnya.

F.Prosedur Penelitian

Dalam penelitian terdapat beberapa tahap penelitian yang harus dilakukan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pencatatan serta tahap analisis dan interpretasi data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mempersiapkan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, data awal tentang topik yang diteliti, dan berbagai teori yang berhubungan dengan topik yang diteliti yaitu tentang pemilihan pasangan, dewasa awal dan tentang tunadaksa serta data-data lain berupa jurnal dan artikel tentang tunadaksa dan pemilihan pasangan yang dapat mendukung penelitian.

b. Menyusun pedoman wawancara

(60)

akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, peneliti melakukan professional judgement dalam hal ini adalah dengan dosen pembimbing untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara. Demikian juga halnya dengan pedoman observasi. Hasil akhir dari pedoman wawancara dan observasi yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing akan ada dalam lampiran. c. Membuat informed consent (pernyataan pemberian izin oleh partisipan)

Pernyataan informed consent ini dibuat sebagai bukti bahwa partisipan telah menyepakati bahwa dirinya bersedia untuk berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian ini secara sukarela tanpa adanya paksaan dari siapapun. Dalam informed consent peneliti harus menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya secara ringkas.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Mempersiapkan alat-alat penelitan yaitu tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara dan pedoman observasi yang telah disusun, yang digunakan untuk amendukung proses pengumpulan data.

e. Mengurus izin pengambilan data

Mengurus ijin pengambilan data dengan meminta Surat Permohonan Izin Penelitian pada bagian Administrasi Fakultas Psikologi USU.

(61)

42

Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengumpulkan informasi tentang calon partisipan penelitian dan memastikan bahwa calon partisipan tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah mendapatkan calon partisipan yang sesuai, peneliti menghubungi calon partisipan untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

g. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan untuk berpartisipasi sebagai partisipan penelitian, peneliti melakukan komunikasi untuk membuat janji bertemu dengan partisipan dan berusaha membangun rapport yang baik dengan partisipan penelitian. Setelah itu, peneliti dan partisipan penelitian menentukan dan menyepakati bersama waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan pengambilan data lewat wawancara.

2.Tahap Pelaksanaan Penelitiaan

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

(62)

dengan tujuan untuk memastikan partisipan dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan serta siap untuk melakukan proses wawancara.

h. Meminta partisipan menandatangani Informed Consent (pernyataan pemberian izin oleh partisipan)

Sebelum memulai wawancara, peneliti meminta partisipan untuk menandatangani “informed consent” atau “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa partisipan mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Peneliti mulai melakukan proses wawancara sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dalam pedoman wawancara. Proses wawancara dilakukan beberapa kali untuk lebih mendapatkan hasil dan data yang maksimal sesuai dengan kebutuhan penelitian.

(63)

44

d. Melakukan analisa data

Setelah itu peneliti kemudian membuat salinan bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat. Pada tahap ini, peneliti menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip verbatim wawancara yang sebelumnya telah di koding menjadi sebuah bentuk narasi yang mengalir dan baik serta menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan. Data-data yang telah diperoleh dijabarkan kedalam faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan pada individu tunadaksa dan proses pemilihan pasangan yang mereka lakukan sesuai dengan landasan teori pemilihan pasangan Degenova (2008). e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah selesai melakukan analisa data, peneliti membuat atau menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan yang telah ditentukan. Peneliti kemudian menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian yang telah diperoleh. Setelah itu, peneliti memberikan masukan atau saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data Penelitian

(64)

untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam rekaman yang dipindahkan ke dalam bentuk tertulis atau ketikan di atas kertas.

4. Tahap Analisa dan Interpretasi Data a. Organisasi data

Data-data dalam penelitian kualitatif sangat beragam dan banyak, karena itu hal pertama yang wajib dilakukan peneliti adalah mengorganisasikan data-data yang diperoleh dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin, mendokumentasikan analisa, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian untuk mendapatkan kualitas data yang detail dan lengkap. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah yang merupakan hasil rekaman dan catatan lapangan penelitian yang berkaitan dengan bagaimana proses pemilihan pasangan pada dewasa awal tunadaksa, dimana data tersebut akan diproses sebagian dalam bentuk verbatim dari hasil wawancara yang telah dilakukan dan kemudian akan ditandai/dibubuhi kode-kode khusus untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data.

b. Koding dan analisa

(65)

46

akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Pemberian koding dan analisis pada data dapat dilakukan setelah membuat transkip wawancara dalam bentuk tabel, transkip tersebut perlu diperhatikan dan dibaca secara berulang-ulang dan jika pada transkip wawancara ditemukan materi yang diharapkan maka dapat dilakukan analisa awal dan kemudian dapat dikoding yang digunakan untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan.

c. Pengujian terhadap dugaan

Pengujian terhadap dugaan adalah pengujian untuk mendapatkan kesimpulan sementara. Sesuai dengan tema-tema dan pola-pola yang muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya sesuai dengan paradigma teoritis. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.

d. Analisis Tematik

(66)

Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena pemilihan pasangan pada tunadaksa.

e. Interpretasi

(67)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan partisipan penelitian dan analisa dari data yang diperoleh. Bab ini akan berisi deskripsi data partisipan, hasil analisa data dan pembahasan.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

NO Partisipan Hari/Tanggal Waktu Tempat

Pelaksanaan

Tabel 2. Deskripsi Data Partisipan 1

Gambar

Gambar 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan
Gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa?
Tabel 2. Deskripsi Data Partisipan 1
Gambar 2. Gambaran Proses Pemilihan Pasangan Partisipan I
+6

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa karakteristik personal wirausaha wanita seperti pendidikan, pelatihan, usia, pengalaman bisnis, dan latar belakang keluarga

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa karakteristik personal wirausaha wanita seperti pendidikan, pelatihan, usia, pengalaman bisnis, dan latar belakang keluarga

Berdasarkan observasi di lapangan kondisi siswa tuna daksa di YPAC Surakarta saat ini mengalami kecacatan ganda yaitu selain cacat fisik (polio) mereka

Dengan memiliki kesadaran agama atau religiusitas yang mantap pada penyandang cacat tubuh dapat menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai

Karakteristik keluarga yang terdiri dari indikator intruksi dan bimbingan orang tua, tingkat pendidikan keluarga, latar belakang ekonomi keluarga, dan lingkungan

Hasil penelitian menunjukkan tuna daksa juga memiliki keinginan untuk memilih pasangan dan menganggap proses pemilihan pasangan sebagai hal yang penting yang harus

Menurut Frankl (2003) karakteristik makna hidup meliputi tiga sifat, yaitu: 1) Makna hidup sifatnya unik dan personal. Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga, tugas