• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data wawancara

Dalam dokumen Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa (Halaman 72-106)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Partisipan I

3. Data wawancara

Tina adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kedua orang tuanya telah tiada. Ia kehilangan Ibunya sejak ia berusia 12 tahun sedangkan Ayahnya sekitar satu tahun yang lalu, tepatnya tahun 2011. Ia adalah salah satu orang yang dilahirkan dengan kondisi fisik yang kurang sempurna. Saat usianya masih kecil kondisi ini tidak terlalu nampak, namun seiring bertambahnya usia kekurangan ini semakin terlihat. Kaki sebelah kanannya tidak tumbuh normal sama seperti orang-orang pada umumnya. Kakinya berukuran lebih kecil dan lebih pendek dari kaki sebelah kirinya. Kondisi ini menyebabkan ia tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Namun ia merasa sangat beruntung dan bersyukur karena masih bisa menjalani hidupnya walaupun dengan kondisi fisik yang kurang beruntung.

Saat ini Tina tinggal dan menetap di kota Binjai. Ia memilih merantau dari kampung halamannya ke kota dan hidup mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan

54

hidupnya sehari-hari ia bekerja sebagai penjahit. Atas bantuan sebuah komunitas tunadaksa, Ia bersama dua temannya membuka usaha menjahit bersama di rumah kontrakan mereka di Binjai. Ia juga mengisi hari-harinya dengan mengajar sebagai guru sekolah minggu di salah satu gereja. Kadang-kadang ia juga menjadi petugas ibadah sebagai singer yang diadakan setiap hari minggu di gerejanya.

Bukan hal yang mudah untuk menjalani hidupnya dengan kondisi fisik yang cacat. Banyak hambatan yang dialami dan bahkan kejadian yang menyakitkan. Sejak kecil sampai remaja kondisi kecacatannya belum terlalu mempengaruhi dirinya, Tina belum sepenuhnya menyadari bahwa ia berbeda dengan orang normal. Namun setelah beranjak dewasa, ia dengan segera menyadari bahwa dirinya berbeda dari orang lain, kondisi fisiknya tidaklah sempurna. Ia juga mengalami berbagai penolakan dan ejekan dari teman dan juga orang lain.

Kesadaran bahwa kondisi fisiknya berbeda dengan orang pada umumnya, menyebabkan Tina menjadi minder. Perasaan ini semakin kuat timbul ketika ia harus bergabung bersama dengan orang yang kondisinya normal. Ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya. Saat ia sedang keluar rumah, ia merasa tidak nyaman dan merasa semua orang menatapnya aneh. Bahkan saat ia melihat sekumpulan tentangganya sedang mengobrol yang ada dipikirannya adalah hal negatif, ia merasa bahwa mereka sedang membicarakan dirinya.

“Yahh waktu bersama dengan kawan perasaannya ga ada apa-apa, netral aja. Tapi perasaan yang apa itu, kalau bergabung sama, seperti kalian lah ga cacat, apalagi sama teman satu kampung itu minder. Ahh..”

“Yah itulah manusia kan perasaannya aja yang menjawab, kalau udh kutengok orang berkumpul-kumpul pas lagi lewat aku, ohh berarti lagi bicarain aku. Iya, dulu memang gitu kalau udah kumpul lah orang berarti lagi cakapin aku. “ (R1.W3/b.50-55/hal.42)

Perasaan minder yang sering dirasakannya membuat dirinya membatasi diri dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk yang pernah dialaminya saat remaja dengan salah seorang temannya yang kondisinya normal. Pernah suatu waktu temannya mengajaknya pergi ke acara Natal bersama, tentu saja ia sangat senang dan akhirnya menerima ajakannya. Namun setibanya di tempat acara temannya tersebut malah mengabaikan dan meninggalkan Tina sendirian untuk mengobrol bersama teman-temannya yang lain. Kejadian ini sangat membekas dan meninggalkan kekecewaan dihatinya. Ia merasa disepelekan. Sejak saat itu ia menjadi takut dan sangat berhati-hati dalam memilih teman. Ia tidak ingin kejadian yang sama akan terulang kembali. Kejadian ini membuat dirinya beranggapan bahwa mayoritas orang yang kondisinya normal memang memandang negatif terhadap penyandang cacat seperti dirinya.

“Aku dulu pernah di Siantar, dia udah gadis, jadi diajak gitu kita nonton acara natal gitu tapi setelah dia jumpa sama kawannya kita di tinggalin gitu. Ditinggalin, kecewalah gitu, karena dia kan yang ngajak kita tapi dia pula yang ninggalin. Kecewa... Jadi aku takut..,Langsung kubatasi...Eng, jujur yah secara apa, kalau kau dalam posisiku kau pun pasti seperti itu kubilang gitu.”

(R1.W1/b.180-185/hal.4)

“Ga kubilang semua orang normal kek gitu (memandang negatif pada penyandang cacat), tapi mayoritasnya...”

56

Tidak mudah melakukan berbagai aktivitas dengan kondisi fisik yang cacat. Hal inilah yang dialami oleh Tina, ia menghadapi banyak hambatan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-harinya. Salah satu hambatan yang dihadapinya adalah sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi ditengah-tengah persaingan kerja yang sangat berat saat ini. Walaupun saat ini Tina sudah memiliki pekerjaan namun ia pernah merasakan bagaimana susahnya mencari pekerjaan bagi penyandang cacat seperti dirinya. Kondisi fisik yang cacat juga mempengaruhi ketahanan tubuhnya dalam bekerja. Tubuhnya cepat merasa lelah dan menjadi lambat dalam bekerja. Tina juga tidak bebas beraktivitas dan melakukan hal-hal yang seharusnya bisa ia lakukan seperti layaknya orang normal pada umumnya.

“Ohh, kesulitannya kalau kerjakan orang cepat, kalau aku lambat gitu, lambat, trus yang kedua cepat capek gitu. Apa lagi....”

(R1.W1/b.296-298/hal.6)

“Mereka bisa lebih bebas kemana-mana, lebih gampang cari kerja. Itu aja, kami kan payah cari kerja. ”

(R1.W1/b.335-337/hal.7)

Meskipun begitu banyak hambatan yang dialami, hal ini tidak membuat dirinya menyerah. Tina sangat mensyukuri apa yang dimilikinya sekarang. Dengan kondisi fisiknya yang cacat ia masih bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia juga bersyukur dirinya masih bisa melakukan hal yang baik dan masih berguna bagi orang lain. Dia menyadari diluar sana masih banyak orang yang sempurna tapi tidak bisa bersyukur dengan kondisinya. Ini sudah menjadi takdirnya dan tidak perlu menyesalinya. Ia akan menerima dan menjalaninya dengan penuh keikhlasan serta melakukan yang terbaik. Kehidupan rohaninya banyak membantu dirinya untuk bisa menerima kondisinya kerena itu sehari-hari

ia pun sangat senang dan aktif mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan di gereja. Agamanya juga mengajarkan bahwa dirinya harus tetap bersyukur karena Tuhan punya rencana yang baik untuk hidupnya. Ia juga belajar dari kisah hidup orang lain, yang walaupun cacat namun bisa sukses dalam berbagai hal.

B.Pemilihan Pasangan

Diusianya yang sudah beranjak dewasa, Tina mulai dituntut untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Pada usia ini, pemilihan pasangan adalah salah satu tugas perkembangan yang penting yang akan dihadapi oleh semua orang, termasuk juga Tina. Baginya pemilihan pasangan adalah hal yang penting dilakukan sebelum menuju jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Karena itu ia pun tidak mau sembarangan dalam memilih pasangan. Sebagaimana orang pada umumnya mengartikan kata memilih, baginya memilih juga berarti mencari dan mendapatkan yang terbaik. Tina pun memahami hal yang sama, apalagi dalam hal memilih pasangan, seseorang yang akan menjadi akan menemani dirinya seumur hidup. Dengan melakukan pemilihan pasangan Tina juga berharap akan mendapatkan pasangan yang terbaik, yang nantinya bersama-sama dengan dia dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia.

“Pertamakan segala sesuatu harus dipilih. Kalau asal-asalan kan, pasti yang datangpun asal-asalan. Kalau ada pemilihan kan, ditanya dulu apa betul nie...Dengan memilih yang terharapkan kebaikannya, keluarga yang apa, yang baik-baik, keluarga yang bahagia. Itu artinya memilih supaya dapat kebahagiaan...”

(R1.W2/b.156-160/hal.30)

“...kalau memilih itu pasti memilih yang terbaik, artinya supaya jangan ada percekcokan dalam rumah tangga itu aja.”

58

“...karna kan memilih pasangan kan bukan hanya untuk satu tahun, dua tahun, tapi untuk seumur hidup kan, itu pengaruhnya. Makanya hati-hati memilih pasangan.”

(R1.W3/b.197-201/hal.45)

Memilih pasangan hidup bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Tina pernah merasakan dan menghadapi banyak hambatan dalam proses pemilihan pasangannya. Seperti yang sudah ia ungkapkan sebelumnya, ia menyadari kondisi fisik yang cacat memberikan banyak kerugian baginya terutama saat melakukan pemilihan pasangan. Ia sangat menyadari bahwa banyak orang yang tidak menginginkan penyandang cacat seperti dirinya untuk menjadi pendamping hidup karena pada umumnya seseorang akan cenderung memilih pasangan yang terbaik. Kenyataan bahwa ia cacat menyebabkan Tina bukanlah calon pasangan yang terbaik secara fisik. Ia menambahkan bahwa orang-orang pasti tidak akan memilih sesuatu yang sudah bercacat.

“Kan kadang-kadang kan kalau memilih pasangan itu mau yang cantik, yang sexy. Kayak awak mau sexy-sexy mana bisa. Itu aja kesulitannya. Contohnya kan banyak orang yang kalau boleh yang apalah. Memilih itu kan, arti memilih berarti memilih yang terbaik, padahal kita sudah tahu secara fisik tidak terbaik, yah jadi terbatas. Itu aja.”

(R1.W2/b.227-234/hal.32)

“Iyaa, sulitlah. Karena namanya memilih pasti yang baik kan, ga ada orang memilih yang ntah udah robek-robek, ga ada.”

(R1.W2/b.237-239/hal.32)

Banyak orang juga melihat bahwa penyandang cacat bukanlah yang terbaik, mereka juga tidak terlihat menarik. Kondisi fisik yang cacat menyebabkan daya tarik fisik mereka berkurang. Hal inilah juga yang dirasakan oleh Tina. Ia mengungkapkan bahwa cacat fisik yang dialami memang menyebabkan dirinya

terlihat tidak menarik bagi orang lain khususnya bagi orang normal. Tina mengungkapkan, bahwa ia meragukan ada orang normal yang tertarik padanya. Fisik memang bukan segalanya, namun rasa suka pada seseorang awalnya muncul dari ketertarikan secara fisik. Ia menyadari bahwa seseorang pada umumnya lebih memilih pasangan yang menarik, dan hal itu bukanlah seorang penyandang cacat seperti dirinya.

“Ohh, kalau aku sihh secara fisik kurang menariklah, karna orang kan memilih yang menarik. Tapi kalau sudah bergabung dengan sama-sama penyandang cacat, saya termasuk dalam golongan yang tertarik (menarik) itu aja....”

(R1.W2/b.299-304/hal.33)

Bukan hanya dianggap tidak menarik, tetapi penyandang cacat juga dianggap tidak mampu dalam kehidupan sosial. Hal ini sangat sering didengar oleh Tina. Kebanyakan orang beranggapan bahwa penyandang cacat seperti dirinya tidak akan mampu dalam kehidupan sosial. Banyak orang juga meragukan kemampuan penyandang cacat dalam mengurus rumah tangga, termasuk dalam mengurus anak-anak dan suaminya kelak. Hal ini menyebabkan dirinya menjadi minder dalam melakukan pemilihan pasangan.

“Ohh, ada, pasti ada. Hambatannya kan karna kita cacat, ohh hambatannya ga mungkinlah dia (dirinya sendiri) bisa nanti merawat anak-anak. Karna kan banyak orang melihat dari fisik itu aja, jadi yah karna kayak gitu hambatannya, yah jadi minder. “

(R1.W2/b.97-102/hal.29)

Tina juga merasa takut jika suatu saat dirinya akan menerima penolakan dari keluarga pasangannya. Ketakutan akan penolakan dari keluarga pasangannya menjadi salah satu hambatan yang ia hadapi dalam pemilihan pasangan. Memilih pasangan bukan hanya sekedar memilih seseorang yang sesuai dan mencintai

60

dirinya, namun ia juga harus memikirkan bagaimana tanggapan keluarga pasangannya. Ia sangat menyadari untuk mendapatkan persetujuan atau penerimaan dari keluarga pasangan bukanlah hal yang mudah. Banyak orang tua yang menentang anak mereka menikah dengan penyandang cacat dengan berbagai alasan, karena setiap orang tua dimanapun juga pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

“Sulitlah, karna kan, kenapa sulit karna setiap manusia atau setiap orang tua itu pasti memilih yang terbaik. Jadi menurut mereka kalau udah cacat itu tidak terbaik tapi bukan dibilang enggak baik, tapi tidak termasuk golongan yang terbaik dalam fisik, itu aja. Jadi itu membuat kesulitannya, itu tingkat kesulitannya. Semua orang memilih untuk yang terbaik, kalau yang baik banyaknya tapi kalau yang terbaik kan enggak, itu aja.”

(R1.W2/b.264-273/hal.32)

“Iyalah karna ditengok kan udah genjot-genjot jalannya. Pasti ada perasaan ditolak, karna ga percaya diri kadang dengan kondisi yang cacat, jadi ada perasaan ditolak.”

(R1.W3/b.480-483/hal.51)

Dalam proses pemilihan pasangannya, Tina sudah pernah berpacaran sebanyak tiga kali. Ia pernah berpacaran sekali dengan penyandang cacat dan dua kali dengan pasangan yang normal. Ia mengungkapkan perbedaannya ketika ia berpacaran dengan pasangan penyandang cacat dan normal adalah perasaan nyaman yang ia rasakan. Selama berpacaran dengan pasangan sesama penyandang cacat Tina merasa lebih nyaman daripada saat berpacaran dengan pasangan yang normal. Ia merasa pasangan penyandang cacat lebih mengerti dan lebih memahami kondisinya karena mereka sama-sama mempunyai cacat fisik. Pasangan juga tidak akan merasa minder dan merasa malu jika mereka sedang

jalan bersama, bahkan juga tidak minder memperkenalkan dirinya pada teman dan keluarganya.

Berbeda dengan pasangan yang normal, ia merasa kurang nyaman saat berpacaran. Ketidaknyamanan ini ia rasakan karena pasangan yang normal kurang mengerti dengan kondisinya yang cacat. Ia mengungkapkan bahwa pasangan yang normal seringkali merasa minder karena memiliki pasangan penyandang cacat. Ia juga merasa pasangannya seringkali merasa minder dan malu ketika mereka jalan bersama. Bukan hanya itu ia juga merasa bahwa pasangan yang normal juga merasa minder dan malu memperkenalkan dirinya sebagai pasangannya pada teman dan keluarganya. Hal inilah yang dialami oleh Tina saat ini.

“Kalau aku ga malu, dia yang malu. Masak aku ganteng, menggandeng cewek yang cacat. Dia yang malu, jadi karena untuk menghilangkan apanya, supaya dia jangan malu, terakadang cuman raun-raun aja, kalau singah-singah ga. Kalau hanya jalan aja kan, ga semua memperhatikan. Tapi kalau udah sampe singah kan semua memperhatikan kita. Tapi supaya dia jangan malu, yah udah ga usah singgah-singgah.”

(R1.W1/b.430-439/hal.9)

“Ohh, perbedaannya sama yang normal itu, bedanya kurang pede aja. Kurang pede itu untuk bertemu sama kawannya, sama orangtuanya. Tapi kalau sama tundaksa pede-pede aja, karena sama-sama gitu, itu aja.”

(R1.W1/b.1309-1313/hal.26)

“Kalau nyamannya sie, kalau menurut aku kan karena sama-sama tunadaksa, lebih nyaman sama tunadaksa, karena kan bisa lebih saling mengerti. Kalau sama yang normal kurang nyaman, karena dia ga mengerti apa yang aku alami.”

(R1.W1/b.1319-1324/hal.26)

Perasaan ini menimbulkan ketakutan pada diri Tina. Tina sering mendengar pengalaman dan cerita teman-teman penyandang cacat yang menikah dengan pasangan normal, mereka mengungkapkan bahwa mereka seringkali merasa tidak

62

nyaman saat berkumpul dengan keluarga. Perasaan ini muncul karena semua keluarganya adalam orang yang normal dan hanya ia sendiri yang kondisinya cacat. Hal ini menimbulkan ketakutan dalam diri Tina. Ia juga merasa takut jika kelak menikah dengan pasangan yang normal ia juga akan merasa ketidaknyamaan tersebut.

Iyaa, kalau dengar-dengar dari kawan ada yang normal jadi takut gitu. Kawanku kan ada yang nikah sama yang ga cacat, tapi kalau gabung sama keluarga perasaan kita jadi agak jangggallah, tapi kalau sama-sama yang cacat enak katanya gitu.

(R1.W3/b.550-555/hal.52)

Walaupun ada perasaan takut, namun dalam pemilihan pasangannya, Tina tetap lebih memilih pasangan normal sebagai pasangan hidupnya. Banyak hal yang ia pertimbangkan, terutama terkait dengan kondisi fisiknya yang cacat. Ia merasa kelak tidak bisa mengurus rumah tangga dengan kondisi fisiknya, apalagi ketika suatu saat ia akan mengandung dan melahirkan. Ia merasa akan kewalahan menghadapi situasi tersebut, karena itulah ia mengungkapkan lebih berharap memiliki pasangan yang normal daripada penyandang cacat.

“Kalau keinginanku sih, jangan yang cacat, supaya kayak yang kubilang itu pingin tampil beda. Tapi setelah dengar-dengar kawan kita ga bahagia, aku jadi ada rasa takut, tapi rasa pingin ada.”

(R1.W3/b.558-561/hal.52)

“Iya, kalau boleh sih gitu, supaya bisa gendong aku waktu aku hamil, karna kan banyak udah kita tengok kan, kewalahannya disitu waktu hamil atau waktu udah melahirkan.”

(R1.W3/b.567-570/hal.52)

“Iyaa, mengharapkan seperti itu, karna alasannya itu. Membantu dalam rumah tangga, nyuci piring, jangan dia yang nyuci piring yah kan, ngangkat piring aja ke kamar mandi, yang nyuci kain, tapi dia ngangkat ke jemuran, ga mungkin kita kan pake tongkat.”

Tina sering merasa minder dan kurang percaya diri dalam memilih pasangan. Dengan kondisi fisiknya yang cacat dan semua kesulitan yang dihadapi dalam pemilihan pasangan, ia mengungkapkan keraguaannya, apakah suatu hari nanti ia bisa menemukan seseorang yang bersedia menghabiskan seumur hidupnya bersamanya. Ia sempat berpikir untuk menerima saja siapapun calon pasangan yang datang kepadanya, tanpa perlu melihat kualitas calon pasangan, sesuai dengan kriterianya atau tidak. Namun banyak hal yang memotivasi dirinya untuk tidak menyerah dalam pemilihan pasangan. Tina tetap memiliki keyakinan bahwa ia akan memiliki pasangan hidup. Kondisi fisiknya yang kurang sempurna memang menyebabkan hambatan tapi hal itu tidak akan menghalanginya untuk tetap melakukan pemilihan pasangan.

“Yah dulunya seperti itu, yah udahlah asal cowok lah yang penting, tapi sekarang harus nyari yang berkualitas, karna ga ada yang mustahil. Tapi dengan syarat bayar harga dulu, bayar harganya gimana, kita harus berbuat baik. Tengok Nick kan, kalau Nick hanya duduk di rumah si cewek itu ga tertarik, tapi karna dia melayani jadi motivator keseluruh dunia. Makanya sekarang aku berdoa, maunya sih punya harapan seperti si Nick....”

(R1.W3/b.397-409/hal.49)

Sama seperti orang lain ia juga menginginkan yang terbaik untuk hidupnya kelak termasuk dalam memilih pasangan, menikah dan memiliki keluarga yang bahagia. Ia mengungkapkan bahwa Ia percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan jika dirinya tetap berusaha. Dan hal ini memang benar terjadi. Saat ini ia sudah mempunyai pasangan yang kondisi fisiknya normal, sesuai harapannya. Hubungan mereka sudah berjalan hampir setengah tahun lebih.

64

“Ya itu kembali lagi, karna ga ada yang mustahil. Karna sudah banyak contoh-contoh kan, kecilpun dia tapi bisa dapat suami yang ganteng, itu ajanya dek. Ohh yang diambil disini percaya aja, percaya diri, bahwa tidak ada yang mustahil sama Tuhan. Itu aja, makanya dia aja bisa, apalagi aku.”

(R1.W2/b.252-257/hal.32)

1. Proses Pemilihan Pasangan

Bagi Tina pemilihan pasangan merupakan proses yang penting dalam kehidupannya. Apalagi diusianya sekarang ini sudah menginjak usia dewasa, dimana ia dituntut untuk melakukan pemilihan pasangan. Sama seperti yang semua orang harapankan, ia berharap akan mendapatkan pasangan yang terbaik yang nantinya akan membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Pentingnya pemilihan pasangan ini membuat Tina tidak ingin sembarangan dalam memilih, karena itu ia terlebih dahulu menentukan kriteria atau syarat-syarat seperti apa yang ia inginkan ada dalam diri pasangan. Kriteria inilah yang ia gunakan dalam memilih dan menyaring pasangannya.

Dalam mencari pasangannya ada beberapa kriteria yang telah Tina tetapkan. Ia menyadari kekurangan dirinya, dengan kondisi fisiknya yang cacat banyak aktivitas yang tidak dapat dia lakukan seperti orang normal pada umumnya. Termasuk juga nantinya jika dirinya sudah berkeluarga, ia memikirkan bagaimana kelak dirinya akan mengurus rumah tangganya kelak dan keluarganya serta merawat anak-anaknya dengan kondisinya yang cacat. Hal ini lah yang membuat Tina dalam memilih pasangan lebih menginginkan pasangan yang kondisinya normal, agak kelak dapat membantunya.

“...kalau boleh kan aku kan ini udah cacat kayak gini, jadi supaya aku apa memilih pasangan itu, kalau boleh yah jangan yang cacat lagi lah.”

“Dari dulu iya, dari kecil, kalau boleh gitu yang normal... Kalau keinginanku sih, jangan yang cacat, supaya kayak yang kubilang itu pingin tampil beda. Tapi setelah dengar-dengar kawan kita ga bahagia, aku jadi ada rasa takut, tapi tetap pingin yang normal.”

(R1.W3/b.546-555/hal.52)

“Iyaa, melancarkan pekerjaan, makanya alasannya memilih pergumulannya yang normal, itu alasannya, supaya bisa melancarkan, kalau yang cacat kan ga bisa”

(R1.W3/b.589-592/hal.53)

Tina juga menginginkan pasangan mempunyai sifat yang jujur, yang tidak suka berbohong. Ia ingin hubungannya dengan pasangan nanti dilandasi dengan kejujuran, saling terbuka satu sama lain. Karena itu ia memasukkan hal ini sebagai kriteria dalam memilih pasangannya.

“Ohh, kalau pasangan itu kalau boleh jangan suka bohong, itu aja kuncinya. Kalau dia suka bohong kan berarti suka yang aneh-aneh. Yang pertama itu aja jangan bohong, kalau sudah ga mau bohong berarti yang lain baik gitu. Yahh kuncinya itu kalau ga bohong pasti ga melakukan yang lain-lain...”

(R1.W1/529-542/hal.25)

Dalam memilih pasangan, Tina sendiri kurang mempunyai ketertarikan untuk mengenal dan menjalin hubungan romatis dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Dalam proses pencarian pasangannya, ia lebih nyaman dan lebih ingin mencari pasangan dari lingkungan yang jauh dari tempat tinggalnya. Selain karena lebih nyaman, ia memiliki kekhawatiran sendiri akan ditolak oleh orang dilingkungannya. Dalam benaknya, lebih baik ia mencari pasangan di luar lingkungannya, sebelum ditolak oleh pria di lingkungannya. Ia merasa lebih baik melakukannya seperti itu.

“Ohh, pingin tapi bukan hubungan yang secara pribadi, hubungan secara kewarganegaraan aja. Karna kan didalam lingkungan ini kan ga sendiri-sendiri,

66

jadi pingin karna bagaimanapun lingkungan yang pertama kali tahu situasi kita

Dalam dokumen Gambaran Pemilihan Pasangan Pada Tuna Daksa (Halaman 72-106)

Dokumen terkait