• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, pertimbangan hukum adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau meberatkan pelaku. Setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat

tertulis terhadap perkara yang sedang di periksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Dalam sebuah putusan bagian pertimbangan adalah bagian yang dimulai dengan tentang pertimbangan hukumnya atau tentang hukumnya yang memuat :95

1. Gambaran Tentang bagaimana hakim mengkualifisir, yaitu mencari dan menemukan hukum yang harus diterapkan pada suatu fakta dan kejadian yang diajukann.

2. Penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan.

3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari pihak penggugat maupun tergugat.

4. Dasar Hukum yang digunakan hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara, hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Pertimbangan Hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermit. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.96

95Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Cet VI, (Yogyakarta : Pustaka

Belajar, 2005), hal, 263-264.

Pengadilan Mahkamah Syariyah Takengon dalam memeriksa Perkara telah sesuai dengan hukum yang berlaku dengan melihat:

1. Bukti P.1 bukanlah akta authentik yang mempunyai kekuatan sempurna dan menentukan, karena itu ia hanya dipandang sebagai bukti awal yang memerlukan kepada alat-alat bukti yang lain sehingga dapat ditetapkan bahwa benar harta yang yang diperkarakan tersebut adalah milik dari Rafiah Inen Mustafa;

2. Bukti P. 2 hanya membuktikan bahwa pihak Kecamatan pernah mencoba untuk menyelesaikan persoalan ini namun tidak berhasil, bukan menjelaskan kebenaran bahwa objek terperkara adalah benar milik alm. Rafiah Inen Mustafa;

3. Bukti P.3 (Surat keterangan ahli waris yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung Simpang Kemili, tanggal 18 Maret 2013) dan bukti P. 4 ( Silsilah keluarga), karena itu bukti P.3 dan P.4 dipandang sebagai bukti pelengkap terhadap kebenaran tentang pewaris dan ahli waris yang sebelumnya telah diakui oleh Tergugat ;

4. Bukti T.1 (Foto copy Sertifikat yang telah dicocokkan dengan aslinya) yang diajukan oleh Tergugat, pada dasarnya merupakan akta autentik karena dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang (ketentuan pasal 285 R.Bg) sehingga mempunyai nilai pembuktian yang sempurna (volledeg) dan mengikat(bindende)dan tidak memerlukan kepada alat bukti lainnya, dengan

ketentuan bahwa proses lahirnya sertifikat tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan tidak cacat hukum;

Proses lahirnya sertipikat ini berdasarkan jawaban Turut Tergugat/Kuasanya melalui jawaban tertulis tanggal 10 Juli 2015, sebagaimana diterangkan pada angka 2 dan 3. Pada angka 2 disebutkan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Milik Nomor 98 Tahun 1994 atas nama Bantasyani diproses melalui kegiatan Sertifikat Massal Program Proyek Nasional (PRONA) tahun 1993/1994 telah memenuhi syarat-syarat penerbitannya yaitu syarat data fisik dan data yuridis serta tahapan-tahapan proses penerbitan selama yaitu satu tahun kegiatan. Sedangkan pada angka

diterangkan bahwa adapun syarat-syarat yuridis yaitu Alas Hak Pemohon, berupa Surat Warisan Tanggal 03 januari 1992 (bukti T.2) dan Surat Keterangan Tanah No. 80/SKT/1993 tanggal 02 Juli 1993 (bukti T.3). Bukti T.2 dan T.3 dijadikan sebagai dasar yuridis lahirnya Sertifikat bukti Pemilikan oleh Tergugat terhadap objek perkara ini;

5. Bukti T. 2 (foto copi surat warisan tanpa ditunjukkan aslinya) yang diajukan oleh Tergugat, terdapat keganjilan dimana pada foto copi surat tersebut nampak ada rekayasa sehingga pada foto copi tersebut bukanlah menunjukkan surat keterangan warisan yang sesungguhnya, nama Bantasyani (Tergugat ) ditulis pada nomor 5 yang yang turut mengesahi warisan dan disebelah kiri sejajar dengan namanya ditulis yang menerima, begitu juga pada bagian bawah sudut kiri dan kanan terdapat ada hal yang janggal, karena itu menurut

Majelis Hakim bahwa bukti T.2 adalah cacat baik materil dan formil, sehingga surat-surat lainnya yang lahir atas dasar bukti T. 2 ini adalah cacat hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti sehingga tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

6. Bukti T. 3 (foto copy surat keterangan tanah tanpa ditunjukkan aslinya) yang diajukan oleh Tergugat adalah lahir atas dasar bukti T. 2, karena bukti T.2 adalah cacat hukum maka bukti T. 3 juga dipandang cacat hukum dan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

7. Bukti T.2 dan T.3 merupakan persyaratan yuridis lahirnya Sertifkat Tanah Nomor 98 Tahun 1994 adalah cacat hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa sertifikat No. 98 Tahun 1994 meskipun asli dan autentik, tetapi ia cacat hukum karena lahir dari proses yang salah yaitu tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal 24 dan 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Karena hal demikian maka keberadaan sertifikat tersebut dianggap cacat hukum dan tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat, sehingga untuk membuktikan kebenaran bahwa objek terperkara adalah miliknya memerlukan bukti bukti lainnya;

8. Tergugat tidak mengajukan bukti-bukti selain bukti T.1, T.2, T.3 dan T.4, sementara bukti-bukti surat tersebut belum dapat menerangkan bahwa benar tanah objek terperkara tersebut adalah miliknya, bukti-bukti yang Tergugat ajukan tersebut belum dapat mengalahkan bukti-bukti yang diajukan oleh para

Penggugat, karena itu keterangan Tergugat yang menyatakan bahwa tanah objek terperkara adalah miliknya belum terbukti;

9. Dengan telah terbuktinya Sertifikat No. 98 Tahun 1994 (T.1) adalah cacat hukum, maka alat bukti tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan dan tidak bernilai sehingga keberadaan sertifikat tersebut sebagai bukti pemilikan harus dikesampingkan;

Berdasarkan pertimbangan hakim dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, maka dalam pengambilan putusan hakim atas perkara tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu menguatkan kepemilikan semua ahli waris dan menyatakan masih sebagai hak bersama setelah pengambilan putusan hakim atas perkara tersebut, dinyatakan bahwa sertipikat di dasarkan atas alas hak yang cacat hukum, dengan ditemukannya ada bagian yang di rekayasa dalam pembuatannya, apalagi tidak dapat menunjukan bukti asli, alas hak oleh karenannya menyebabkan sertipikat tersebut menjadi cacat dan tidak dapat pula di katakan sebagai alat bukti yang kuat.

BAB IV

SOLUSI HUKUM ATAS PENYELESAIAN HARTA WARISAN DAN

Dokumen terkait