• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERLAKSANANNYA PEMBAGIAN WARISAN

A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Bidang Pertanahan Hak Atas Tanah Menurut UUPA

1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan ( Litigasi )

Penyelesaian sengketa tanah yang diketahui dan dipraktekkan selama ini adalah melalui lembaga peradilan umum, karena secara umum ke sanalah setiap permasalahan mengenai kasus-kasus tanah dibawa oleh masyarakat pencari keadilan. Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan pada umumnya. Kekuasaan di lingkungan peradilan umum dijalankan oleh:114

a. Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama, b. Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding,

c. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung RI sebagai pengadilan negara tertinggi, dengan tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Pengadilan Negeri berkedudukan di Kabupaten/Kota. Daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi. Daerah hukumnya meliputi daerah provinsi. Dalam penyelesaian perkara sengketa tanah di Pengadilan Umum berlaku ketentuan-ketentuan Perdata seperti KUHPerdata dan ketentuan lain di luarnya, seperti UUPA. Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara pihak yang berperkara.

Penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan di pengadilan umum, walaupun terhadap hakim masih merdasarkan hukumnnya, sesuai Buku II KUHPerdata. Walaupun buku II KUHPerdata sudah dihapus setelah pemberlakuan UUPA, hingga saat ini belum ada hukum acara yang berfungsi untuk mempertahankan UUPA tersebut. Jadi HIR/RBg masih dipakai.115 Selain itu HIR/RBg digunakan sebagai hukum acara penyelesaian sengketa pertanahan karena tanah itu mencakup status dan

114Ibid, Hal 226

hak sekaligus, keduanya tak mungkin dipisahkan. Juga tidak mungkin diselesaikan dengan memisahkan subjek (pemegang haknya) dan objeknya (tanahnya).

Sengketa mengenai hak adalah sengketa perdata jadi merupakan kewenangan pengadilan umum.116 Semua perselisihan mengenai hak milik atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata (artinya hak-hak yang berdasarkan hukum perdata atau hukum sipil) adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim atau pengadilan perdata. Hakim atau peangadilan ini merupakan alat perlengkapan dalam satu negara hukum yang ditugaskan menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan tadi.117

Apabila usaha-usaha penyelesaian sengketa tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pangadilan. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi instansi agraria untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan sesuatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Jadi pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan /prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Pada

116Ibid, Hal.234

akhinya penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan/selalu berdasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan- kepentingan para pihak, memegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus tuntas.

Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari kepala BPN karena pengadaan serta merta (peninjauan kembali) atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan, tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.118 Apabila setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh pejabat BPN sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka kepala BPN dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh pejabat BPN tersebut, sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan setempat.119

Sementara menunggu putusan pengadilan, sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi pejabat Tata Usaha Negara yang terkait untuk mengadakan mengalihakan tanah yang bersangkutan. Hal ini dimaksud untuk

118Ali Achmad Chomzah,Op.Cit, Hal.32 119Ibid, Hal.33

menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak ketiga, untuk itu Pejabat Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang terkait harus menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (In Kracht Van Gewijsde).120

Kemudian apabila sudah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat mengusulkan permohonan pembatalan/pencabutan suatu keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan yang telah diputuskan tersebut.121

Kewenangan administratif untuk mencabut/membatalkan suatu surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah adalah menjadi kewenangan kepala BPN termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non eksekutable). Semua ini agar diserahkan kepada kepala BPN untuk menilainya dan mengambil keputusan lebih lanjut.122 Akan tetapi satu hal perlu dipertimbangkan bahwa penyelesaian dengan cara melalui lembaga peradilan umum ini, memakan waktu yang sangat lama. Sebagaimana di kemukakan oleh Nia Kurniati, bahwa Penyelesaian sengketa di pengadilan diprediksi harus mengorbankan banyak hal seperti :123

120Ibid 121Ibid 122Ibid, Hal.34

a. Waktu yang relatif lama, jika pihak yang kalah tidak puas dengan putusan pengadilan, dalam hal ini dapat menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tingggi (PT), pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), Peninjauan Kembali (PK);

b. Biaya yang tidak terukur, karena Penyelesaian sengketa melalui pengadilan terikat oleh prosedur penyelesaian yang rumit dan membutuhkan waktu panjang sehingga biaya menjadi tidak terprediksi;

c. Putusan pengadilan seringkali tidak dapat langsung dieksekusi;

d. Seringkali putusan pengadilan diwarnai campur tangan pihak lain yang bersifat non-yuridis yang mengakibatkan pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan,124 dan dalam pengambilan keputusan terkadang pertimbangan non yuridis menjadi dominan.125

Kewenangan Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa tanah dapat dilihat dari yurispudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 701 K/Pdt/1997 tanggal 24 maret 1999, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1816 K/Pdt/1989 Tanggal 22 Oktober 1992. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal penyelesaian sengketa atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), Pasal 51. Sedangkan yurispudensi dapat 124 Maria Sumardjono,Kebijakan Pertanahan,: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:

Kompas, 2001), hal. 175-176

dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/TUN/1999 tanggal 14 Desember 29 2000 dan Putusan mahkamah Agung Ri Nomor 1687 K/Pdt/1998 tanggal 29 September 1999.

Penyelesaian melalui peradilan dilakukan apabila usaha-usaha musyawarah tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian dari Kepala BPN karena mengadakan peninjauan kembali atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkannya tidak dapat diterima oleh pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui Peradilan.

Penyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur pengadilan sering memakan waktu yang lama. Lamanya berperkara ini banyak disebabkan karena kemungkinan berperkara sekurang-kurangnya 3 sampai 4 tahap.126Dalam Pasal 53 UU No.9 Tahun 2004 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa disebutkan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.127

Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

126Op. cit,. Bernhard Limbong,Politik Tanah, hlm.. 123-124.

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pada Pasal 2 UU No.9 Tahun 2004 tentang Abritrase dan alternatif penyelesaian sengketa, disebutkan yang Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, antara lain :128

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum;

c) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

Dokumen terkait