• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.4. Analisa produk cair dengan GC-MS

Fraksi cair (minyak) hasil pirolisis pada kondisi optimum dianalisa dengan menggunakan instrumen GC-MS sebanyak 0,1 mL. Tiap variasi yang diperoleh juga dianaisis sebagai pembanding. Kondisi operasi dan spesifikasi alat GC-MS yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi operasi dan spesifikasi alat GC-MS yang digunakan

Merk / tipe Agilent / 7890A

Jenis kolom HP – 5MS (panjang 60 m, diameter 0,250 mm, ketebalan film 0,25 µm), 5% diphenyl / 95% dimethylsiloxane.

Gas pembawa Helium Split ratio 20: 1

Split flow 20 mL / menit Tekanan 19,35 psi

Oven program HP – 5MS (panjang 60 m, diameter 0,250 mm, ketebalan film 0,25 µm), 5% diphenyl / 95% dimethylsiloxane.

Solvent delay 0 menit Start mass 35 m/z End mass 600 m/z

Model [EI +] Electron Ionization Full scan

3.4.5 Uji densitas (Massa jenis)

Piknometer dibersihkan dengan HCl, lalu dibilas sebanyak 3 kali dengan aquades, sekali dengan alkohol dan kemudian dikeringkan di dalam oven selama 5 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator selama 10 menit, lalu piknometer ditimbang hingga diperoleh massa tetap (W1). Piknometer diisi dengan minyak pirolisis dampai batas garis, bagian luarnya dilap hingga kering

dan ditimbang hingga diperoleh massa yang tetap (W2). Massa jenis ditentukan dengan menggunakan rumus : ρ = m ÷ v

Keterangan : ρ = massa jenis (kg / m3)

m = massa (Kg) yang didapat dari berat W2 – W1 v = volume (m3)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Ekstraksi Lemak Sapi

Ekstraksi lemak sapi dilakukan untuk menghasilkan tallow yang akan digunakan sebagai bahan dalam prooses pirolisis. Ekstraksi lemak sapi dilakukan menggunakan metode rendeering. Metode Rendeering merupakan yang dilakuan dengan cara pemanasan. Pelarut yang digunakan pada proses rendeering yaitu air sumur sebanyak 1,5 L yang dipanaskan hingga mencapai suhu pada kisaran 80-1000.C. Massa lemak sapi yang dimasukkan sebanyak 1 Kg, proses rendeering dilakukan selama 90 menit hingga diperoleh lemak murni (tallow) yng telah terpisah dari jaringan otot dan daging. Proses rendeering yang dilakukan menyebabkan terpisahnya air, jaringan otot dan dagingt serta tallow dalam bentuk cair yang akan berubah fasa menjadi padat yang terletak diatas air (Gambar 11). Setelah proses pendinginan selama 1 jam. Hal ini menunjukkan bahwa tallow memiliki berat jenis lebih kecil dari air.

Gambar 11. Hasil rendeering setelah didinginkan

Proses ekstraksi lemak dengan rendeering digunakan karena lebih murah, mudah dan sederhana dibanding dengan metode pengepresan atau pemerasan dan metode ekstraksi solven. Proses rendering menyebabkan air akan menguap dan

rusaknya protein sehingga menyebabkan lemak terpisah dari bahan dasarnya dan berbentuk pada (Winarno, 2004). Senyawa yang terkandung dalam tallow sebagian besar oleat 40 % dan palmitat 28 %. Kandungan FFA dari tallow berkisar antara 0,75 % - 7,0 %, sedangkan titter tallow pada umumnya diatas 40

0

C. kandungan utama dari tallow yaitu asam oleat 40-45 %, asam palmitat 24-37 %, asam stearate 14-19 %, asam miristat 2-8 %, asam linoleate 3-4 %, dan asam laurat 0,2 % (Djatmiko, 1973).

Hasil tallow yang diperoleh dari proses rendeering 1 Kg lemak sapi dilakukan sebanyak 2 kali. Pada percobaan pertama dari lemak sapi diperoleh tallow seberat 474, 9435 g dan pada percobaan kedua dihasilkan seberat 464,2041 g. Sehingga dihasilkan ratarattta tallow sebesar (46,42%). Tallow yang dihasilkan lebih banyak dibandingkann penelitian Bambang (2017) yang menggunakan lemak sapi dari limbah fleshing cair dihasilkan tallow sebanyak 7 % akan tetapi lebih kecil dibandingkan penelitian Apriyan (2014) menghasilkan tallow sebanyak 48,43%. Faktor lamanya pemanasan, pemotongan lemak sapi yang lebih kecil dan penambahan garam dapat menambah rendemen tallow yang dihasilkan. Kandungan lemak pun berbeda yang dihasilkan dari setiap bagian tubuh sapi. Hasil metode rendering pada lemak sapi dapat dilihat pada Gambar 12.

Tallow memiliki daya simpan yang lebih tahan lama dibandingkan dengan lemak mentah dikarenakan kandunganair yang lebih sedikit. Selai it dapat disimpan refrigerator untuk menghindari dekomposisi sehingga mencair kembali dan dijaga dari udara bebas yang dapat menyebabkan tumbuhnya jamur yang diawali pada bagian bawah tallow. Penyimpananan dapat dimaksimalkan di kulkas selama 1 bulan lebih pada suhu 160C. Secara strukturl, tallow merupakan monoalkil ester dari rantai dari asam lemak rantai panjang yang serupa dengan kandungan lemak nabati. Lemak nabati telah banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan bionergi. Struktur yang sama tersebut, memungkinkan tallow memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif biodiesel (Yektha H et al., 2013). Bahkan dapat menjadi biogasolin yang nantinya akan menggantikn peran lemak nabati yang banyak digunakan pada pembuatan minyak, margarin, serta produk pangan lainnya.

Produksi biodiesel dari lemak hewan dapat menurunkan harga dari bahan baku. Hal ini disebabkan karena harga dari lemak hewan lebih murah dari lemak minyak nabati yang telah banyak digunakan untuk produksi minyak makan (Gashaw et al., 2014).

4.2. Rangkaian reaktor dan alat-alat yang digunakan pada saat pirolisis

Prosess perengkahan tallow yang dilakukan oleh peneliti, menggunakan reaktor jenis terbuka dari bahan stainless steel padat yang dilubangi dengan cara dibor, desain reaktor ini mengikuti reaktor yang dibuat oleh Kumar et al (2011). Selain penggunaan bahan bahan stainless steel dalam bentuk padat, dapat juga digunakan stainless steel bentuk pipa. Bahan tersebut tidak digunakan karena harus dilas juga bagian bawahnya. Apabila proses pengelasan pipa kurang kuat dapat

menyebabkan reaktor mudah bocor. Rangkaian gambar reaktor yang digunakan dirancang seperti Gambar 13.

Gambar 13. Rangkaian alat pirolisis

Penelitian Nuryati, 2015 yang menggunakan reaktor dari bahan stainless

steel 304 dengan ketebalan 5 mm. Rancangan reaktor tersebut hanya

menggunakan suhu maksimal 200 0C karena besar kemungkinan reaktor akan mengalami kebocoran ketika menerima panas lebih tingg dengan tekanan dalam reaktor berbanding lurus dengan kenaikan suhu. Kenaikan suhu berbanding lurus dengan naiknya tekanan pada reaktor. Reaktor yang digunakan pada penelitian Nuryati seperti Gambar 14 :

Reaktor yang baik untuk digunakan sebagai proses pirolisis yang tahan terhadap panas tinggi hingga 500 0C serta tahan karat. Suhu yang tinggi berbanding lurus dengan tekanan yang akan semakin lebih besar (Gunawan, 2010). Reaktor yang digunakan pada penelitian ini terhubung langsung dengan unit kondensor yang merupakan sistem pendingin yang tersambung dengan gelas ukur 15 mL sebagai wadah hasil pirolisis. Temperatur reaktor diukur menggunakan termometer digital merk K-thermocouple HI 9043 dengan akurasi satu dgit dibelakang koma yang ditempelkan pada ujung tutup reaktor.

4.3. Proses pirolisis menggunakan katalis

Perengkahan atau proses penguraian tallow digunakan proses pirolisis yang merupakan proses pemanasan menggunakan suhu tinggi tanpa kehadiran udara terutama oksigen. Prooses pirolisis memiliki kemiripan dengan proses termolisis yang merupakan proses dekomposisis kimia dengan menggunakan termal, pada umumnya proses ini menyebabkan molekul terbagi menjadi bagian kecil. Sampath, S,S (2005), menjelskan bahwsannya proses pirolisis merupakn proses dekomposisi yang terjadi dengan bantuan panas tanpa adanya kandungan okigen sama sekali. Proses dekomposisi pada proses ini sering disebut dengan devolatilisasi karena senyawa volatil (C1-C5) tidak akan terkondensasi menjadi produk cair dan biasanya bebrbentuk biogas. Pirolisis menghasilkan produk utama diantaranya adalah arang (char), minyak dan gas (senyawa volatil), gas yang terbentu dapat dibakar cara langsung karena memiliki ikatan rantai carbon yang pendek sehingga memiliki sifat mudah terbakar.

Penggunaan katalis pada proses pirolisis dapat meningkatkan hasil reaks

cracking, decarbonilasi, dekarbooksilasi, hydrocracking, dan hydrogenasi

(Mortensen et al., 2011). Penambahan katalis juga meningkatkan sifat dari bio-oil yang dhasilkan dengan cara menghilangkan senyawa teroksigenasi dengan merubahnya menjadi CO2 dan H2O, mereduksi molekul dan menggabungkan struktur kimia molekul senyawa, sehingga membentuk produk yang memiliki sifat petrokimiawi (Dickerson dan Soria 2013) Penempatan tallow sebanyak 20 g diletakkan dibagian bawah reaktor semi terbuka, sedangkan katalis diletakkan diatas wadah jarinng kawat alumunium ukuran 0,38 mm yang dibentuk mennyerupai cawan (Gambar 15). Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan tallow yang menguap menglami reaksi pirolisis katalitik yang terjadi karena melewati katalis yang berada di atasnya.

Gambar 15. Wadah katalis dalam reaktor

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pirolisis yaitu kecepatan suhu pemanasan. Berdasarkan penelitian M Herga Setyono, 2015 membuktikan bahwa kecepatan suhu maksimum pada proses pirolisis dengan bahan plastik HDPE, menghasilkan rendemen maksimum pada (3-5) 0C/menit. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menggunakan kenaikan suhu pada saat proses perengkahan tallow sebesar (3-5) 0C. Kontrol pada kenaikan suhu pemanasan

dilakukan dikarenakan jika kecepatan suhu telalu tinggi akan menyebabkan proses perengkahan katalitik yang terjadi dalam reaktor terlalu cepat, suhu dalam reaktor akan lebih tinggi dari yang tertera pada termometer. Hal ini akan menyebabkan uap keluar dengan cepat tanpa terkondensasi dengan baik, menghasilkan bio-oil dengan fasa liquid yang kental berwarna hitam menyerupai oli dan sebagian uap yang dengan cepat terkondensasi tanpa melewati kondensor membentuk padatan berwarna kuning cerah. Setelah dipanaskan padatan tersebut turun melalui kondensor mencair sesaat dan memadat kembali setelah memasuki wadah (Gambar 16). Resiko yang lebih berbahaya dapat menyebabkan kebocoran pada reaktor yang dapat menyebabkan menyambarnya api dari tungku pemanas dan gagalnya proses pirolisis yang akan memakan waktu lama untuk mengulang serta pemborosan dalam penggunaan bahan.

Gambar 16. Hasil pirolisis dengan kecepatan kenaikan suhu tinggi

Pada saat melakukan proses pirolisis, terjadi beberapa kali kebocoran pada reaktor. Hal ini disebakan karena poses pengelasan pipa yang kurang kuat dan bahan dasar yang digunakan untuk mengelas tidak menempel dengan sempurna sehingga pada suhu dan tekanan tinggi mudah terlepas yang mengakibatkan terjadinya kebocoran. Kebocoran juga terjadi pada saat proses pirolisis berlangsung, dikarenakan packing valqua (Gambar 17) yang digunakan memiliki limit suhu

hanya 2600C. Pada percobaan selanjutnya digunakan ring piston yamaha 4 tak tipe YZF R1 ukuran 78 mm (Gambar 18) yang memiliki ketahanan suhu lebih dari 400 0C. Kebocoran yang terjadi pada saat melakukan proses pirolisis juga dapat disebabkan karena pada saat penutupan reaktor terdapat salah satu atau seluruhnya tidak terkunci rapat.

Gambar 17. Packing valqua Gambar 18. Ring piston yamaha

Kegagalan yang mungkin terjadi, dapat dihindari dengan beberapa cara yang dapat digunakan. Salah satu cara yang peneliti gunakan yaitu dengan menambah pengganjal pada sekat antara badan dan penutup reaktor. Awal percobaan peneliti hanya menggunakan packing valqua. Berdasarkan keterangan dari Nippon Valqua Industri LTD, limit suhu bahan tersebut hanya mencapai 260

0

C. Penambahan ring piston sebagai pengganjal reaktor, menambah ketahanan reaktor hingga tidak memuai yang dapat mengakibatkan kebocoran pada saat proses pirolisis berlangsung, sehingga pemanasan dapat mencapai suhu 400 0C . faktor lain yang juga penting unuk menghindari bocornya reaktor pada saat proses berlangsung, yaitu dengan cara menutupnya serapat mungkin dan seimbang dengan cara melihat celah antar penutup dan badan reaktor.

Tallow yang menerima rambat panas dari reaktor, berubah fase menjadi

mengalir melalui selongsong pipa stainless steel yang kemudian menuju kondensor sebagai sistem pendingin yang dialiri oleh air. Saat proses dilakukan, peneliti menyiapkan 2 sumber air untuk kondensor, yaitu air dingin dan air hangat. Digunakan air dingin ketika uap yang keluar cukup banyak. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses kondensasi. Apabila uap tidak segera terkondensasi, uap yang dihasilkan akan keluar dari kondensor, hal ini akan membuat data yang dihasilkan tidak tepat. Selain itu digunakan juga air hangat ketika hasil yang keluar berbentuk padat (Gambar 16). Hasil in terjadi ketika proses pirolisis tanpa menggunakan katalis. Hasil berupa cairan keluar dari selongsong pipa kondensor dan berubah menjadi fasa padat ketika mencapai ujung kondensor. Hasil ini terbentuk pada suhu (270- 290) 0C dan berubah fasa menjadi fase cair ketika air yang dialirkan pada kondensor menggunakan air hangat. Akan tetatapi, sebagian kembali berubah fasa menjadi granula ketika mencapai wadah.

Gambar 19. Fase wax yang menempel pada kondensor

Setiap proses pirolisis dilakukan, asap yang terkondensasi dan berubah fasa menjadi cair, tetesan pertama keluar berkisar antara suhu (120-200) 0C. Cairan tersebut kemungkinan besar air, berwarna jernih dan terletak dibawah minyak hasil pirolisis (Gambar 20). Sebelum keluarnya tetesan pertama, terdapat asap yang keluar dari slongsong pipa kondensor. Asap ini keluar berkisar antara suhu (70-100) 0C dan

memilik bau tengik yang khas, dapat dipastikan bahwa asap tersebut merupakan senyawa volatil yang memiliki rentang panjang rantai karbon berkisar C1-C5 dan terbentuk melalui proses karbonisasi dengan adanya katalis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Basu Prabir, 2013 bahwa selain fasa padat, fase cair, terdapat pula gas yang tidak dapat terkondensasi seperti gas CO2, CO, CH4, C2H2, C2H4, atau gas lainya. Proses perengkahan akhir proses pirolisis, tedapat sisa katalis dan kerak yang menyerupai aspal dan terletk di dasar reaktor (Gambar 21).

Gambar 20. Kemungkinan air berada di bawah

yang Gambar 21. Sisa hasil pirolisis yang terletak di bawah

reaktor

Hal ini seperti yang terjadi pada proses perengkahan bahan bakar konvensional menghasilkan gas (asap) yang sulit terkondensasi dengan cepat untuk dapat berubah ke fase cair. Proses perengkahan bahan bakar konvensional juga menghasilkan rendemen berupa oli, parafin (lilin) serta aspal. Hal ini menunjukkan bahwa perengkahaan katalitik tidak terjadi secara maksimal. Faktor yang dapat menyebabkan diantaranya, kenaikan panas dan tekanan yang terlalu tinggi pada

dalam reaktor sehingga tallow tidak mengalami reaksi dengan katlis. (Gunawan, 2010).

Rangkaian proses pirolisis yang dilakukan yaitu pertama dengan dilkukan dengan membandingkan hasil asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis tanpa menggunakan katalis. Hal ini bertujuan untuk menguji akurasi alat dan ketelitian peneliti saat melakukan proses pirolisis. Faktor yang menjadi penentu yaitu dari jumlah asap cair yang dihasilkan dari tiga kali percobaan. Volum asap cair yang dihasilkan dari tiga kali percobaan pirolisis tanpa katalis dihasilkan volume asap cair berturut-turut yaitu 12 mL, 12,1 mL dan 12,5 mL. Perbedaan yang paling besar ada pada percobaan pertama dan ketiga yaitu sebanyak 0,5 mL. Perbedaan asap cair yang dihasilkan tersebut tidak tinggi yaitu hanya 2,5%.

Hasil proses pirolisis tallow sapi sebanyak 20 gram dengan

menggunakan katalis dan tanpa menggunakan katalis disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Proses Pirolisis

No Katalis % Suhu Suhu Volume ( % b/v )

katalis tetesan tetesan hasil Rendemen

pertama terakhir (mL)) (0C) (0C) 1 Zeolit 3 184 283 16,1 80,5 5 170 250 17,5 87,5 7 153 275 18,5 92,5 2 MgO 3 156 314 16,2 81 5 145 300 18 90 7 124 296 17,1 85,5 3 Tanpa 228 310 12 60 Katalis 205 297 12,1 60,5 217 329 12,5 62,5

Data hasil pirolisis diatas menunjukkan bahwa, pirolisis tallow dengan

katalis Zeolit Alam Lampung sebanyak 7 % dapat menghasilkan asap cair dengan

kuantitas terbanyak yaitu 18,5 mL atau setara dengan 92,5 % b/v dengan suhu maksimal 275 0C . Penggunaan katalis MgO dapat menghasilkan asap cair dengan

kuantitas terbanyak yaitu dengan menggunakan 5 % menghasilkan 17,5 mL asap cair yaitu setara dengan 90 % b/v dengan suhu maksimal 300 0C. Proses pirolisis

tallow tanpa katalis hanya menghasilkan rendemen maksimal sebanyak 12,5 mL

yaitu setara dengan 62,5 % dengan suhu maksimal 329 0C. Data pada tabel di atas juga membuktikan bahwa proses pirolisis menggunakan katalis selain memiliki selektifitas yang baik, dapat meningkatkan produksi asap cair (bio-oil), menaikkan laju reaksi, katalis juga mampu menurunkan energi aktivasi sehingga reaksi pada proses pirolisis dapat mengarah ke produk yang diinginkan. Hal ini menyebabkan proses pirolisis dapat berlangsung lebih cepat dan mengurangi jumlah kalor yang digunakan (Istadi, 2011). Katalis yang telah digunakan pada proses pirolisis berubah menjadi hitam pekat, seperti yang dapat dilihat dbawah ini (Gambar 22). Hasil pirolisis tallow sapi dengan kuantitas rendemen asap cair terbanyak dar asap cair pirolisis tanpa katalis, dengan katalis Zeolit Alam Lampung dan katalis MgO dianalisa menggunakan instrument GC-MS untuk mengetahui senyawa yang terkandung didalamnya.

Gambar 22. Katalis zeolit setelah digunakan pada proses pirolisis

4.4. Analisa produk cair dengan GC-MS

Hasil proses pirolisis dengan kuantitas terbanyak dianalisa menggunakan GC-MS. Instrumen ini untuk menentukan komposisi senyawa yang menyusun produk cair yang terdapat pada asap cair hasil pirolisis tallow sapi. Sampel asap cair

hasil pirolisis yang digunakan untuk menganalis kandungan menggunakan GC-MS hanya sebanyak 0,1 mL sampel cair yang kemudian diinjeksikan ke dalam kolom. Selanjutnya yang terjadi, sampel akan mengalami interaksi dengan fase diam berupa gas hidrogen yang terdapat dalam kolom sepanjang 60 meter, setelah itu fase gerak terbawa sampai ke detektor sehingga menghasilkan kromatogram dan dapat diketahui kandungan dan persentase senyawa melalui analisa MS (Harvey, 2000).

Produk hasil pirolisis lemak sapi yang akan diuji menggunakan instrumen GC-MS yaitu, proses pirolisis yang menghasilkan produk terbanyak. Sampel yang dianalisa, merupakan minyak hasil pirolisis proses menggunakan katalis zeolit 5 %, katalis MgO 7% dan tanpa katalis yang menghasilkan asap cair sebanyak 12,5 mL. Hasil analisa menggunaan instrumen GC-MS disajikan pada table 6, 7 dan 8. Produk asap cair yang diperoleh dari hasil proses pirolsis dklasifikasikan berdasarkan jumlah atom karbonnya. Bahan bakar bensin memiliki jumlah atom C nya antara C5 - C12, senyawa dengan jumlah atom karbon C13 - C17 merupakan bahan bakar jenis kerosin, bahan bakar diesel (solar) memiliki rentang panjang rantai karbon antara C18 – C28 dan minyak bakar memiliki ciri jumlah atom C antara C29 – C44 (Ortega et al., 2006).

Tabel 5. Hasil analisa GC-MS asap cair tanpa katalis No RT % Library ID % Area Kemiripan 1 4.894 2.29 Octane 86 2 5.54 3.45 Nonane 87 3 6.31 2.16 Decane 94 4 7.143 2.11 1-Heptyl-2-methylcyclopropane 95 5 7.218 3.35 Undecane 94 6 8.065 2.95 2-Dodecene, (Z) 96 7 8.149 3.55 Dodecane 96 8 8.996 3.79 1-Tridecene 98 9 9.072 8.38 Tridecane 97 10 9.886 4.41 Cyclopropane, nonyl 95 11 9.961 5.83 Tetradecane 98 12 10.733 3.65 1-Pentadecene 93 13 10.792 15.06 Pentadecane 98 14 11.538 4.23 1-Hexadecene 96 15 11.605 5.59 Hexadecane 98 16 12.251 5.19 8-Heptadecene 98 17 12.360 11.79 Heptadecane 99 18 12.436 2.34 Heptadecane 96 19 13.812 2.14 2-Pentadecanone 90 20 14.248 7.76 Hexadecanoic acid 99

Data pada table 6 menunjukkan bahwa pada asap cair hasil pirolisis tallow tanpa menggunakan katalis memiliki senyawa penyusun dengan panjang rantai karbon antara C8 – C16, jika dilihat dari rentang panjang rantai karbon, maka asap cair tersebut mengandung bahan bakar bensin sebanyak 16,31 % dan 80,16 % kerosin. Senyawa pada asap cair tersebut terdapat beberapa golongan senyawa, diantaranya

sebanyak 66,76 % senyawa alkana, 19,81 % senyawa alkena, 2,14 % senyawa keton

Tabel 6. Hasil analisa GC-MS asap cair menggunakan 7 % Katalis Zeolit Alam Lampung No RT % Library ID % Kemiripan Area 1 8.738 2.56 1-Dodecene 97 2 8.792 2.83 Dodecane 97 3 9.625 4.14 1-Tridecene 99 4 9.689 7.31 Tridecane 97 5 10.501 4.57 1-Tetradecene 99 6 10.554 3.84 Tetradecane 98 7 11.441 23.76 pentadecane 98 8 11.975 1.93 Pentadecane, 3-methyl 90 9 12.071 1.21 Cyclohexadecane 90 10 12.167 3.85 Cetene 99 11 12.199 3.90 Hexadecane 97 12 12.872 9.30 8-Heptadecene 98 13 13.022 19.17 Heptadecane 98 14 14.539 2.64 2-Heptadecanone 96 15 15.094 0.41 9,12-Octadecadienoic acid 93 16 15.735 1.11 9,12-Octadecadienoic acid 91 17 16.024 1.51 2-Nonadecanone 93 18 17.316 0.81 Cyclohexane, 1-(1,5-dimethylhexyl)- 4-(4-methylpentyl) 93 19 18.224 2.57 1-Docosene 97 20 20.435 1.22 9-Hexacosene 98

Data hasil analisa dari table diatas, telah menjelaskan bahwa pada asap cair hasil pirolisis katalitik tallow dengan 7 % katalis Zeolit Alam Lampung mengandung senyawa dengan panjang rantai karbon berkisar antara C9 – C17. Panjang rantai karbon ini setara dengan baan bakar bensin dan kerosin. Jika dilihat rentang dari panjang rantai karbon, asap cair hasil pirolisis tallow dengan

penambahan 7 % katalis Zeolit Alam Lampung, terdapat 59,9 % bensin dan sebanyak 38,74 % kerosin. Hasil analisa GC-MS memberikan informas gugus senyawa yan terkandung pada asap cair antara lain alkana 64,76 %, alkena 28 %, keton 4,16 %, dan asam lemak tersisa 1,52 %.

Tabel 7. Hasil analisa GC-MS asap cair menggunakan 5 % katalis MgO

No RT % Area Library ID % Kemiripan

1 4.442 1.66 Heptane 94 2 5.013 3.03 Octane 91 3 5.773 1.77 1-Nonene 97 4 5.858 2.10 Nonane 95 5 6.873 1.77 1-Decene 97 6 6.978 2.24 Decane 97 7 8.183 2.58 1-Undecene 95 8 8.289 3.43 Undecane 97 9 9.578 4.10 1-Dodecene 97 10 9.684 3.32 Dodecane 96 11 11.015 6.04 1-Tridecene 97 12 11.100 5.47 Tridecane 96 13 12.347 7.53 1-Tetradecane 98 14 12.431 3.16 Tetradecane 98 15 13.784 17.35 Pentadecane 98 16 14.841 7.31 Cetene 99 17 14.925 2.97 Hexadecane 98 18 16.130 13.64 Heptadecane 98 19 18.286 6.21 2-Heptadecanone 98 20 20.210 4.32 2-Nonadecanone 98

Data yang tersaji pada tabel 8 dapat disimpulkan bahwa, kandungan senyawa pada asap cair hasil perengkahan tallow menggunakan 5 % katalis MgO menghasilkan senyawa pada rentang panjang rantai karbon C6 – C19. Rentang panjang senyawa karbon yang terkandung didalamnya setara dengan bahan bakar bensin, kerosin dan solar. Bensin yang terkandung di dalamnya sebanyak 26 %,

sedangkn kerosin 69,68 % dan solar sebanyak 4,32 %. Jumlah gugus senyawa yang

terkandung sebanyak 56,13 %, alkena sebanyak 31,1 %, keton sebanyak 10,53 % dan tidak ada asam lemak yang tersisa.

Hasil asap cair pada proses pirolisis mengalami perubahan warna yang membuktikan bahwa asap cair memiliki stabilitas oksidasi yang rendah. Oksidasi Yang terjadi dapat disebabkan oleh oksigen yang terdapat pada reaktor dan terikat

pada minyak saat proses pirolisis dan oksigen yang terdapat di tempat penyimpanan.

serta dapat meningkatkann angka asam, kandungan air dan endapan. Stabilitas oksidasi yang rendah dapat ditingkatkan dengan menambahkan zat aditif anti oksidan (Restituta, 2015). Asap cair hasil pirolisis sebelum (Gambar 23) dan setelah teroksidasi (Gambar 24) yang menyebabkan perubahan warna.

(a)

Gambar 23.

(b) (c)

Warna asap cair sebelum teroksidasi (a) Tanpa katalis (b) MgO (c) Zeolit

(a)

Gambar 24.

(b) (c)

Warna asap cair setelah teroksidasi (a) Tanpa katalis (b) MgO (c) Zeolit

Dokumen terkait