• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.2.1. Analisis SDS_PAGE

Protein merupakan molekul yang bersifat amfoter yang mengandung asam dan basa pada sekuen asam amino sehingga muatan protein akan bervariasi berdasarkan pHnya. Elektroforesis mampu memisahkan protein berdasarkan titik isoelektrik dan berat molekul (Hansson 2008). SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel electrophoresis) merupakan metode cepat dalam

identifikasi protein dan sering digunakan untuk memperkirakan berat molekul serta menentukan komposisi subunit dari suatu protein murni (Deutscher 1992).

Mekanisme kerja SDS-PAGE sama seperti pada elektroforesis, tetapi ditambahkan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebelum dilakukan elektroforesis.

SDS merupakan bahan detergen anionik yang akan mendenaturasi protein dan melekat pada molekul yang diuraikan. Satu molekul SDS mampu mengikat dua asam amino. Selanjutnya molekul SDS menutupi permukaan protein dan membentuk muatan negatif dari gugus sulfat pada molekul SDS. Protein akan bermuatan negatif dengan berat jenis yang sama dan hanya dapat dipisahkan berdasar ukurannya (Hames 1998). Protein dengan berat molekul rendah akan bergerak lebih cepat di dalam gel. Berdasarkan prinsip tersebut berat molekul suatu protein dapat diperkirakan dengan memasukkan penanda protein standar yang sudah diketahui berat molekulnya dalam gel yang sama (Ahmed 2005).

Deteksi protein dalam gel dilakukan dengan berbagai macam pewarnaan seperti coomassie blue, silver nitrat, dan amido black (Ahmed 2005). Coomassie blue merupakan pewarna yang cepat dan sering digunakan untuk visualisasi

protein pada gel poliakrilamid (Ahmed 2005; Bonner 2007). Protein dapat terdeteksi oleh coomassie blue apabila konsentrasi sampel protein dalam gel

sebanyak 500 mikrogram sampai 1 mg (Blot 2003). Pewarna silver nitrat jauh lebih sensitif dengan penggunaan konsentrasi sampel protein nanogram, akan tetapi membutuhkan waktu lebih lama ( Blot 2003; Ahmed 2005) .

16

1.2.2. Western Blotting

Western blot merupakan teknik untuk mendeteksi makromolekul (protein spesifik) dari medium gel ke atas membran setelah proses elektroforesis (Sally et al. 1988 dalam Burgess 1995). Teknik ini mampu mendeteksi suatu protein dalam

kombinasinya dengan banyak protein lain, serta memberikan informasi ukuran dan ekspresi protein tersebut. Protein spesifik terdeteksi berdasarkan kemampuan protein tersebut berikatan dengan antibodi. Bloting elektroforesis merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk bloting protein dengan memisahkan protein berdasarkan ukuran polipeptida. Teknik ini cepat, efisiensi pemindahannya tinggi dan beberapa gel dapat dipindahkan dalam waktu yang sama (Towbin et al. 1979; Burnette 1981)

Mekanisme kerja Western blot meliputi proses pemindahan protein dari gel elektroforesis ke nitroselulosa, sehingga protein yang tercetak pada membran dapat dideteksi secara visual atau fluoresensi. Nitroselulose adalah filter yang paling umum digunakan untuk bloting, nitroselulosa lebih fleksibel daripada gel (Beisiegel 1986). Filter ini mempunyai kapasitas mengikat protein sebesar 80 µg/cm2 dan tersedia dengan ukuran pori dari 0,1; 0,2 dan 0,45 µm. Protein dilacak menggunakan antibodi spesifik terhadap protein target.

Deteksi ekspresi protein organisme dapat dilakukan dengan prinsip imunologi menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder yang sudah dikonjugasi dengan enzim. Antibodi terhadap protein yang menjadi tujuan penelitian digunakan sebagai detektor spesifik Penggunaan SDS pada elektroforesis berpengaruh terhadap integritas konfigurasi antigen, yang memungkinkan antibodi tidak mengenal antigen. Penghilangan SDS melalui pencucian dapat mengembalikan konfigurasi protein awal sehingga dapat dikenali oleh antibodi (Tsang et al. 1983).

Pada deteksi imuno secara langsung, antibodi dilabel dengan enzim atau zat fluoresen. Antibodi sekunder (konjugat) yang berlabel enzim dapat mengurai substrat yang ditambahkan sehingga terjadi perubahan warna (Burgess 1995). Deteksi secara visual dilakukan setelah pemberian antibodi sekunder dengan melihat perubahan warna kromogen atau fluoresensi.

1.3. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

ELISA digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur antibodi atau antigen. Prinsip dasar ELISA adalah mengukur interaksi antara antigen dengan antibodi menggunakan enzim sebagai indikatornya (Burgess 1995). Keberadaan antibodi menunjukkan adanya paparan antigen dalam tubuh inang yang diperiksa (Tizard 1988).

ELISA tidak langsung adalah konfigurasi sederhana yang digunakan untuk mengukur titer antibodi dan merupakan uji serologik yang cepat, sederhana dan relatif murah (Pardede dan Ginting 1996). Ikatan antigen dan antibodi pada ELISA tidak langsung ada dua macam, yaitu ikatan antigen-antibodi primer dan ikatan antibodi primer-antibodi sekunder. Ikatan antigen-antibodi primer bersifat spesifik, terjadi antara epitop antigen dengan paratop pada rantai Fab antibodi. Antibodi primer tidak berlabel dapat diperoleh dari serum hewan uji. Ikatan antibodi primer-antibodi sekunder bersifat non spesifik, artinya ikatan antara antibodi dan anti-antibodi dapat terjadi pada semua macam antibodi. Antibodi sekunder (konjugat) terikat pada enzim (berlabel enzim). Enzim dapat mengurai substrat yang ditambahkan sehingga terjadi perubahan warna larutan. Kekuatan warna tergantung dari banyaknya substrat yang terurai. Banyaknya substrat yang terurai tergantung dari banyaknya enzim dalam larutan. Kekuatan ini menunjukkan jumlah ikatan antigen-antibodi primer (Burgess 1995).

1.4. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Reaksi berantai polimerase atau PCR (Polymerase Chain Reaction)

merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Yuwono 2006). Terdapat empat

komponen utama pada proses PCR, yaitu (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen

oligonukleotida pendek (18-24 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) enzim DNA polymerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer.

18

Proses PCR memerlukan sejumlah siklus untuk mengamplifikasi suatu sekuen DNA spesifik. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi,

annealing (hibridisasi), dan ekstensi (polimerasi). Denaturasi dilakukan pada suhu

90-95°C, sehingga terjadi pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. DNA menjadi cetakan (template) tempat penempelan primer dan tempat kerja

DNA polimerase. Pada tahap annealing, suhu diturunkan sampai mencapai

kurang lebih 55°C atau sesuai melting temperature (Tm) dari primer

oligonukleotida untuk penempelan primer oligonukleotida pada sekuen yang komplementer pada molekul DNA cetakan (Glick & Pasternak 2003). Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu 72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap ini

enzim Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan mononukleotida

pada primer yang sesuai dengan utas DNA komplemen yang berada di sebelahnya (Erlich 1989).

Metode umum dalam penganalisaan produk reaksi PCR adalah elektroforesis gel agarosa yang bertujuan menganalisis komposisi dan kualitas dari sampel asam nukleat. Untuk itu diperlukan kalibrasi terhadap gel dengan penanda (marker) standar yang mengandung fragmen dari ukuran DNA yang

diketahui ukurannya (Dale dan Schantz 2002; Yuwono 2005). Pewarna etidium bromida dapat digunakan untuk menduga jumlah DNA (atau RNA) sampel hasil elektroforesis. Etidium bromida memiliki struktur cincin datar yang mampu menumpuk (stack) di antara basa-basa dalam asam nukleat; atau sebagai intercalation. Pewarna dapat dideteksi melalui pendaran spektrum merah-oranye,

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait