• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian diawali dengan isolasi virus VNN pada ikan kerapu tikus yang terinfeksi VNN asal dari perairan Situbondo. Ciri khas ikan yang terinfeksi VNN menunjukkan warna tubuh yang lebih gelap, kehilangan keseimbangan, lemah dan kehilangan nafsu makan. Secara umum, gejala klinis ikan terinfeksi VNN menurut Munday et al. (1992) adanya lesi pada otak dan retina ikan, abnormalitas

berenang (gerakan tanpa koordinasi), dan perubahan warna menjadi lebih gelap. Keberadaan virus VNN pada ikan dideteksi menggunakan PCR. Analisa PCR dari 4 sampel ikan kerapu tikus terdapat satu sampel (baris 1) yang terdeteksi VNN dengan tingkat serangan sedang. Produk PCR menunjukkan pita DNA pada 289 bp dan 479 bp sesuai standard kit IO2000 (Gambar 7). Standard positif 102

dengan jumlah 200 copi DNA menunjukkan sampel terinfeksi VNN tingkat serangan sedang dan ditandaidengan keberadaan pita di 289 bp dan atau 479 bp (Anonimous 2002).

Gambar 7. Penapisan ikan kerapu tikus terinfeksi virus VNN menggunakan metode PCR. (1) sampel positif VNN, (2, 3, dan 4) sampel negatif VNN, (5) kontrol positif, dan (6) kontrol negatif. (M) marker DNA.

Hasil isolasi virus dari retina mata dan otak ikan yang terinfeksi VNN diperoleh filtrat VNN sebanyak 1 mL dengan konsentrasi protein berkisar 298- 371 µg/mL. Filtrat VNN tersebut memenuhi syarat sebagai antigen yang imunogenik berdasarkan Goidl et al. (1968) dan Harboe et al. (1973) bahwa Ab

848 bp630 bp333 bp 479 bp 289 bp 1 2 3 4 5 6 M

30

poliklonal pada kelinci dapat diinduksi dengan penyuntikan antigen sebanyak 25- 50 µg//kg bobot badan. Menurut Tizard (1988) Suatu senyawa dapat menginduksi antibodi ditentukan oleh sifat antigenisitasnya, antara lain limitasi fisikokimiawi (ukuran molekul yang besar, kompleksitas susunan kimiawi, keteruraian/kelarutan tinggi dalam tubuh, dapat digradasi oleh mikro dan makrofag) dan derajat keterasingannya tinggi.

Pada produksi antibodi poliklonal anti VNN, kelinci diimunisasi dengan suspensi virus VNN dosis 33,5 µg/ kg bobot badan sebanyak 3 kali dengan rute

subcutan (SC). Keberadaan antibodi terhadap VNN diuji dengan agar gel

presipitasi (agar gel presipitation test/AGPT). Pada hari ke-3 pasca imunisasi

ketiga, serum kelinci belum menunjukkan reaksi positif terhadap antigen VNN (Gambar 8A). Hal ini diduga karena konsentrasi antibodi dalam serum kelinci masih rendah. Menurut Tizard (1988) bahwa antibodi minimal dalam serum yang mampu dideteksi menggunakan uji AGPT adalah 30 µg/mL

Kelinci menunjukkan reaksi positif terbentuk antibodi setelah 1-2 minggu pasca imunisasi ketiga. Menurut Baratawidjaja (2006), imunisasi berulang dengan selang waktu tertentu dapat meningkatkan respon imun suatu individu. Tizard (1988) juga menyatakan bahwa penyuntikan antigen kedua (booster) akan dapat

meningkatkan antibodi. Setelah diberikan booster pertama.

Terbentuknya garis presipitasi pada pengujian AGPT menunjukkan bahwa antibodi anti VNN pada kelinci mampu diinduksi oleh antigen VNN, yang diperlihatkan oleh garis presipitasi antara sumuran antigen dengan serum yang diuji (Gambar 8). Antibodi hanya berikatan khusus dengan antigen yang merangsang pembentukannya sehingga bila serum yang mengandung antibodi dicampur dengan antigen yang cocok, maka presipitat akan terbentuk sebagai akibat penggabungan antara antibodi dan antigen (Tizard 1988).

Gambar 8. Analisi hari se vaksina Serum kelinci poliklonal diperoleh suatu imunogen spesi multiple yaitu mampu berbeda pada antigen. R reaksi silang karena e yang secara struktur yang dikenali oleh ant antibodi poliklonal suspensi protein mata

Absorbsi dila Verifikasi ikan kerapu PCR. Netralisasi ser antara antibodi anti pr (1988) menjelaskan ba kombinasi reaktan da yang berupa aglutina padat dan cair bila potensial zeta atau menyebabkan partike

sis AGPT. (A) 3 hari setelah vaksinasi ketiga setelah vaksinasi ketiga, dan (C) 14 hari

inasi ketiga.

nci yang dihasilkan merupakan antibodi polikl h dengan cara melakukan imunisasi terhadap pesifik (Zola 1987). Antibodi poliklonal mempun

pu menangkap sejumlah epitop (antigen det

gen. Reaktivitas multiple antibodi poliklonal dapa na epitop yang sama dimiliki antigen yang berb

ur memiliki kemiripan dengan epitop dasar ( h antibodi (Smith 1995). Reaksi silang dari reakt

l dihilangkan dengan cara absobsi serum ata dan otak ikan kerapu sehat yang bebas infeks dilakukan untuk menetralkan antibodi terhada

rapu sehat yang bebas virus VNN dilakukan serum yang dilakukan merupakan reaksi serol nti protein ikan dengan partikel antigen (protei

n bahwa reaksi aglutinasi terjadi dalam dua n dan dilanjutkan fase agregasi kompleks antig inasi. Aglutinasi merupakan proses perlekatan la partikel-partikel tersebut saling bersentuha

u muatan negatif pada permukaan partikel ikel stabil dan aglutinasi tidak terjadi. Namun

tiga, (B) 7 ari setelah

poliklonal. Antibodi dap hewan dengan punyai reaktivitas

determinant) yang

dapat menimbulkan berbeda atau epitop r (priming epitop)

eaktivitas multiple kelinci dengan eksi VNN.

dap protein ikan. n dengan metode serologi aglutinasi otein ikan). Tizard dua fase yaitu fase ntigen dan antibodi tan antar partikel uhan. Keberadaan kel-partikel padat un muatan positif

dari permukaan imono potensial zeta sehingga

Serum yang te nya dengan uji AGP menetralkan antibodi presipitasi pada uji s Roitt dan Delves (2001) sekunder sebagai aki kompleks antibodi-ant Gambar 9. A ika Perbanyakan Perbanyakan b Nuryati et al. (2010)

manipulasi gen karena vector cloning karena kecil, sirkuler, yang b dan gen penanda seleks

copy yang tinggi (high c

Hasil kultur ba DNA diisolasi dar

imonoglobulin yang melapisi partikel pada ngga partikel menjadi rapat dan aglutinasi terjadi

telah diabsobsi kembali diuji keberadaan anti PT. Hasil uji menunjukkan bahwa perlakuan bodi anti VNN, hal ini terlihat dari tetap terbe

i serum terabsorbsi dengan antigen virus VN 2001) menjelaskan bahwa garis presipitasi m akibat interaksi primer antara antibodi dan a

antigen dipengaruhi konsentrasi relatif antibodi

. Analisis AGPT serum pasca absorbsi denga ikan sehat

an vaksin DNA

n bakteri Escherichia coli DH5α dilakukan m

2010). Bakteri E. coli umum digunakan da

rena jumlah dan ragam vectornya tinggi. Keun ena Plasmid E. coli merupakan DNA ekstrak

bereplikasi secara independen, mempunyai s leksi. Plasmid E. coli merupakan jenis plasmid high copy number) (Brown 1986)

ur bakteri E. coli mencapai 2,9-3,1x109 sel/mL.

dari bakteri menggunakan dua metode

32

dat menetralisasi jadi.

ntibodi anti VNN- kuan absorbsi tidak

terbentuknya garis NN (Gambar 9). merupakan reaksi n antigen. Ukuran bodi dan antigen.

ngan filtrat n menurut metode dalam percobaan eunggulan sebagai rakromosom yang i situs penyisipan, id dengan jumlah . Plasmid vaksin berbeda, yaitu

menggunakan kit illustra plasmidPrep Mini Spin (GE Healthcare), dan metode

konvensional (Sambrook et al. 2001). Hasil isolasi plasmid menggunakan metode

konvensional (72 µg/mL kultur) lebih tinggi dibanding menggunakan kit (6

µg/mL kultur). Pada pengukuran kualitas dan kuantitas DNA plasmid menggunakan genquant pada panjang gelombang 260 nm menunjukkan bahwa

konsentrasi DNA menggunakan metode konvensional (120,6 µg/mL) lebih tinggi dibandingkan menggunakan kit (1,3 µg/mL). Tingkat kemurnian DNA plasmid hasil isolasi menggunakan metode konvensional juga lebih tinggi daripada dengan kit (Tabel 4).

Tabel 4. Konsentrasi dan kemurnian vaksin DNA pmBA-PCV yang diisolasi menggunakan kit dan metode konvensional

Rendahnya konsentrasi DNA yang dihasilkan kit disebabkan karena kit mempunyai batasan maksimum dalam mengisolasi plasmid meskipun volume kultur bakteri dalam jumlah banyak. Satu kolom kit tidak dapat mengisolasi plasmit lebih dari kapasitasnya. Batasan maksimum dari kit illustra plasmidPrep Mini Spin yaitu 9 µg plasmit dalam 1,5 mL kultur bakteri, sedangkan

menggunakan metode konvensional dapat disesuaikan dengan banyaknya kultur bakteri pembawa plasmid yang akan diisolasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh efisiensi produksi vaksin DNA VNN. Dengan demikian metode konvensional berpotensi besar untuk digunakan dalam penyediaan vaksin DNA.

Keberadaan vaksin DNA selanjutnya dikonfirmasi menggunakan metode PCR. Verifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa hasil isolasi masih tetap mengandung vaksin DNA VNN. Hasil pemisahan produk PCR dengan elektroforesis pada gel agarosa 1% menunjukkan munculnya pita dengan ukuran sekitar 1 kb pada semua plasmid hasil isolasi (Gambar 10). Ini membuktikan

Metode Konsentrasi (µg/mL) Kemurnian (%) Kit 1,3 76 Konvensional 120,6 89

34

bahwa masing-masing plasmid dari kedua konstruksi vaksin tersebut mengandung DNA VNN.

Gambar 10. Verifikasi vaksin DNA pJfKer-PCV dan pMBA-PCV hasil isolasi menggunakan kit dan konvensional. (M) marker DNA, (1) kontrol negatif, (2) plamid pJfKer- PCV isolasi dengan kit, (3) plamid pJfKer-PCV isolasi dengan konvensional, (4) plamid pmBA-PCV isolasi dengan kit, (5) plamid pmBA-PCV isolasi dengan konvensional, dan (7) kontrol negatif. Tanda kepala panah menunjukkan posisi fragmen DNA VNN.

Ekspresi protein PCV dari virus VNN

Metode mikroinjeksi digunakan untuk mentransfer plasmid DNA VNN pada embrio ikan lele. Menurut Hackett (1993) metode mikroinjeksi adalah teknik transfer gen yang paling sering digunakan pada ikan. Sesuai Gusrina et al.

(2009) gen asing dimasukkan ke dalam embrio ikan dengan menggunakan injektor berdiameter sangat kecil (5-7 µm). Larutan plasmid DNA VNN diinjeksikan ke telur ikan lele sebanyak 10µL dan masing-masing mengandung konstruksi plasmid pJfKer-PCV dan pmBA-PCV konsentrasi 50 ng/µL. Larutan DNA diinjeksikan satu persatu pada telur lele yang telah dibuahi untuk memastikan DNA masuk kedalam sel. Injeksi DNA dilakukan ke dalam blastodisk embrio ikan lele pada fase 1 atau 2 sel karena pada saat sel membelah, maka semua sel turunannya akan membawa gen tersebut.

Pada setiap jam koleksi diambil 30 embrio ikan lele yang telah diinjeksi plasmid pJfKer-CP dan pMBA-CP. Embrio ikan lele selanjutnya diestraksi dan

10,0 -

6,0 -

3,0 -

1,0 -

0,5 -

0,3 -

kb

M 1 2 3 4 5 6 M

dipanen supernatannya. Konsentrasi protein dari supernatan embrio ikan lele diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Supernatan embrio ikan lele yang dihasilkan dari masing-masing jam koleksi memiliki konsentrasi berbeda-beda. Hasil isolasi protein dari embrio ikan lele berkisar antara 509-1.066 µg/mL. Konsentrasi protein yang dihasilkan menunjukkan nilai yang semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu koleksi (Tabel 5).

Tabel 5. Konsentrasi protein dari embrio ikan lele setelah mikroinjeksi dengan vaksin DNA VNN dengan konstruksi berbeda.

Waktu koleksi

(jam) Plasmid DNA VNN Konsentrasi protein (µg/mL)

promoter beta-aktin Plasmid DNA VNN promoter keratin

6 509 788 8 989 765 10 1021 869 12 547 982 14 1001 955 16 1066 932

Konsentrasi protein koleksi jam ke-12 dari perlakuan mikroinjeksi plasmid DNA VNN promoter beta-aktin lebih rendah dan mengalami penurunan dibandingkan jam koleksi berikutnya. Rendahnya konsentrasi protein tersebut disebabkan kematian embrio pada telur yang diinjeksi sebelum dilakukan ekstraksi yang diduga disebabkan kerusakan sel akibat injeksi. Resiko penggunakan metode mikroinjeksi terhadap derajat kelangsungan hidup embrio ikan, antar lain bila jarum mikro terlalu masuk ke dalam telur ikan dan mengenai kantong kuning telur sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian embrio ikan. Konsentrasi protein perlakuan mikroinjeksi plasmid DNA VNN promoter keratin lebih rendah dibandingkan dengan promoter beta-aktin. Rendahnya konsentrasi protein ini dapatdisebabkan adanya perbedaan jenis promoter yang mengendalikan proses transkripsi. Sesuai dengan pernyataan Alimuddin et al.

36

(2009) bahwa jenis promoter yang digunakan akan menentukan letak, waktu dan tingkat ekspresi transgen.

Deteksi dan karakterisasi protein CP (coat protein ) vaksin DNA yang

diinsersikan dalan gen embrio ikan lele dilakukan dengan metode SDS-PAGE. Metode tersebut umum digunakan untuk memisahkan dan mengkarakterisasi ukuran protein dengan memisahkan masing-masing protein berdasarkan berat molekulnya. Bedasarkan hasil SDS-PAGE dari supernatan embrio ikan lele diperoleh profil pita protein PCV berukuran sekitar 42 kDa (ditunjukkan dengan tanda kepala panah) terdapat pada sampel yang diinjeksi dengan vaksin DNA, sedangkan pada supernatan embrio ikan lele yang tidak divaksin tidak ditemukan pita protein berukuran 42 kDa (Gambar 11A ).

Gambar 11. Analisis SDS PAGE (gambar kiri) dan Western blot (gambar

kanan) protein dari embrio ikan lele yang diinjeksi dengan

vaksin DNA. Western blot dilakukan menggunakan antibodi

anti VNN dari kelinci. (M) Marker protein; (1) Protein pmBA- PCV 6 jam; (2) Protein pmBA-PCV 8 jam; (3) Protein pmBA- PCV 10 jam; (4) pmBA-PCV 12 jam; (5) protein embrio ikan lele non induksi 10 jam; (6) protein pJfKer-PCV 6 jam; (7) protein pJfKer-PCV 8 jam; (8) protein pJfKer-PCV 10 jam; (9) protein pJfKer-PCV 12 jam. Tanda kepala panah menunjukkan posisi protein CP VNN.

Keberadaan protein virus VNN yang terekspresi di embrio ikan lele ini dikonfirmasi dengan Western blot menggunakan antibodi yang bereaksi positif terhadap protein pengikat VNN (Gambar 11 B). Pada uji imunokimia dengan Western blot, protein CP memberikan reaksi positif karena protein CP difusikan

260 - kDa 70 - 50 - 35 - 15 - 10 - ⊳ M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M - 216 - 132 - 78 - 36,4 - 26,4 - 18 - 8,4

dengan protein pengikat VNN. Reaksi positif yang terjadi sebagai respons protein PCV terhadap antibodinya ditunjukkan pada Gambar 8B, spesifik protein CP terdeteksi pada ukuran sekitar 42 kDa. Ekspresi spesifik protein CP pada embrio ikan lele mulai terlihat pada fase blastula (jam ke 6 setelah fertilisasi) hingga fase akhir garstula (12 jam setelah fertilisasi). Ekspresi protein CP terkuat teramati dari embrio ikan lele yang diinjeksi konstruksi pmBA-CP daripada pJfKer-CP.

Ekspresi protein yang terdeteksi merupakan gambaran tingkat ekspesi gen

yang diinjeksikan pada embrio ikan lele. Menurut Iyengar et al. (1996) dalam

Alimudin et al. (2009) Tingkat ekspresi gen asing yang tinggi setelah fase mid- blastula hingga fase gastrula kemungkinan sebagai hasil dari akumulasi DNA

yang diinjeksikan berlanjut pada peningkatan replikasi selama fase pembelahan (cleavage) dan akumulasi dari RNA polymerase II yang menyebabkan dimulainya

transkripsi pada mid-blastula transition. Hal tersebut menunjukkan bahwa

ekspresi protein CP yang terjadi dipengaruhi proses transkripsi pada sel embrio ikan lele. Houdebine dan Chourrout (1991) dalam Durham (2004) menjelaskan bahwa ketika DNA asing diinjeksikan ke dalam sitoplasma, maka DNA asing tersebut mengalami proses replikasi dan dapat terekspresi dengan baik seiring dengan perkembangan embrio. Faktor lain yang menyebabkan ekspresi gen asing dapat tertranslasi menjadi protein menurut Yoshizaki et al. (2000) dalam

Alimudin et al. (2009) karena terdapatnya kontrol suatu urutan DNA yang disebut

promoter. Kemampuan promoter dalam mengendalikan ekspresi gen asing yang diintroduksi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan transgenesis

Hasil Western blotting belum memberikan tingkat spesifikasi protein CP yang terbaik, hal ini tampak dari masih terdeteksinya protein lain. Kondisi ini diduga karena protein ikan dan sub unit lainnya masih bereaksi dengan antibodi lain dalam Ab poliklonal yang digunakan. Dijelaskan oleh Burgess (1995) bahwa antibodi poliklonal mengandung campuran kompleks antibodi dengan spesivitas, afinitas dan isotop yang berbeda. Reaksi antibodi poliklonal anti VNN pada serum kelinci dengan filtrate VNN merupakan reaksi multiple yang dapat menyebabkan reaksi silang. Pengujian in vitro dengan terekspresikannya protein CP pada

embrio ikan lele, dapat dipastikan bahwa plasmid DNA VNN dapat ditranslasi menjadi protein CP dari VNN.

Vaksinasi dan Tingkat produks pMBA-CP lebih ting dalam penelitian selanj keberadaan vaksin D DNA pMBA-CP terda dosis vaksinasi 12,5 µ kerapu yang divaksi menunjukkan bahwa kerapu. Gambar 12. D te k ja ja pos Alimuddin et

otot daging biasanya tingkat transkripsi RN

VNN terdeteksi pada µg/ekor pada saat 24 mRNA CP VNN lebi mendeteksi keberadaa pada ikan flounder. Pe

an ekspresi mRNA CP

oduksi protein CP dari vaksin DNA menggun inggi daripada pJfKer-CP pada hasil uji Wes lanjutnya digunakan vaksin pMBA-CP. Hasil a n DNA pmBA-CP dengan teknik PCR menunj

erdapat pada jaringan otot ikan kerapu yang di 12,5 µg/ekor. Keberadaan DNA pmBA-CP di ja

ksin terdeteksi pada 6 dan 24 jam (Gamba a DNA pMBA-CP sudah terinsersi dalam jar

. Deteksi keberadaan pmBA-PCV dalam tubuh ik telah diinjeksi dengan vaksin DNA. (M) Ma kontrol positif, (2) Otot 24 jam (10 µg/ekor), (3) jam (12,5 µg/ekor), (4) Otot 6 jam (10 µg/ekor), ( jam (12,5 µg/ekor). Tanda kepala panah menunj posisi fragmen DNA VNN.

et al. (2009) menjelaskan bahwa metode injeks

ya memerlukan tahap lanjutan seperti RT-PCR RNA. Hasil RT-PCR menunjukkan bahwa ekspr pada ikan yang divaksinasi dengan pMBA-P

24 jam pascavaksinasi (Gambar 13). Kemunc lebih cepat dibandingkan penelitian Zheng et

daan mRNA vaksin DNA lympocystis disease

Penelitian tersebut berhasil mendeteksi distribus

38

unakan konstruksi estern blot, maka il analisa terhadap nunjukkan bahwa g divaksin dengan jaringan otot ikan bar 12). Hal ini jaringan otot ikan

ubuh ikan yang arker, (1) (3) Otot 24 ), (5) Otot 6 enunjukkan njeksi langsung ke CR untuk melihat kspresi mRNA CP PCV dosis 12,5 unculan ekspresi et al. (2006) yang ase virus (LCDV)

mRNA vaksin DNA pada ikan flounder, bekas suntikan, otot limpa, ginjal depan transkripsi merupakan enzim transkriptase s transkripsi dari DNA translasi protein pada mRNA) sudah selesai Pada penelitia konstruksi yang diinje dan selanjutnya mRN ini berarti bahwa vaks tersebut akan mentra VNN selanjutnya dike Gambar 13 Detek diinjek Marke 7,5 ug (7) 12 j jam-10 menunj Penelitian ini ditranskripsikan di da menjadi protein antig

A lympocystis disease virus (LCDV) setelah va

, plasmid yang mengandung vaksin terdistr otot berseberangan dengan bekas penyuntikan,

pan hati dan gonad. Yuwono (2005) berpe kan proses sintesa RNA dengan DNA sebagai

e sebagai pengkatalis reaksi. mRNA dibentuk A, mRNA berperan penting pada tahap ekspr da eukariot dapat berlangsung jika proses trans sai dilakukan.

itian ini, proses transkripsi diawali dengan njeksikan ke benih ikan kerapu sehingga terjadi

NA terdeteksi dengan PCR pada 24 jam pasca aksin DNA yang terekspresi pada 24 jam ntranslasi CP VNN menjadi protein PCV VNN dikenali oleh sistem imun ikan.

teksi ekspresi mRNA CP VNN dalam tubuh ikan y jeksi dengan vaksin DNA, dengan metode PC rker DNA, (1) Kontrol negatif, (2) Kontrol positif, (

ug, (4) 6 jam-10 ug, (5) 6 jam-12,5 ug, (6) 12 jam 12 jam-10 ug, (8) 12 jam-12,5 ug, (9) 24 jam-7,5 ug

10 ug, dan (11) 24 jam-12,5 ug. Tanda kepa nunjukkan posisi fragmen mRNA VNN.

ini menunjukkan bahwa vaksin DNA pMBA di dalam sel somatik ikan kerapu dan selanj

ntigenik PCV VNN. Keberhasilan DNA plas

h vaksinasi 7 hari stribusi pada otot kan, usus, insang, rpendapat bahwa ai cetakannya dan ntuk dengan cara kspresi gen. Proses ranskripsi (sintesis

n replikasi DNA adi sintesis mRNA sca vaksinasi. Hal m pasca vaksinasi NN. Protein PCV n yang telah PCR. (M) f, (3) 6 jam- jam-7,5 ug, 7,5 ug, (10) 24 pala panah BA-PCV mampu anjutnya disintesa plasemid dalam sel

somatik ikan juga te terinduksi dengan terd

Ekspresi mRN (Gambar 14) dan ti (Gambar 13). Hal ini promoter β-aktin ikan

Hasil tersebut sesua analisis RT-PCR pada gen GP25 terdeteksi s Gambar 14 D te (M V m Perbedaan ting (Gambar 14) diduga ukuran fragmen DN (Gambar 13) adalah Nuryati (2010), secara lebih mudah diamplif deteksi ekspresi gen m aktif dan Promoter β-

0,5 1,0

kb M

telah dilaporkan oleh Zheng et al. (2006).

erdeteksinya keberadaan protein imunogenik da RNA CP masih terdeteksi 2 minggu setelah inj

tingkat ekspresinya lebih tinggi dibandingka ini menunjukkan bahwa DNA pMBA-PCV dap kan medaka aktif pada otot sampai 2 minggu uai dengan penelitian yang dilakukan Nuryat pada ikan mas yang diinjeksi pAct-GP25 menunj

i setelah 14 hari injeksi pada semua jaringan ya

Deteksi ekspresi mRNA CP VNN dalam tubuh i telah diinjeksi dengan vaksin DNA, dengan metode (M) Marker DNA, (1) aktin otot D1 (2) aktin otot VNN D1, (4) VNN D14 (5) plasmid. Tanda kepa menunjukkan posisi fragmen mRNA VNN.

tingkat ekspresi antara jam 24 (Gambar 13) ga berhubungan dengan sensitivitas primer ya

NA target. Pada penelitian ini panjang DN ah 1 kbp sedangkan (Gambar 14) sekitar 0,2

ara umum target produk PCR yang berukuran plifikasi dibanding dengan DNA yang lebih be

n menunjukkan bahwa promoter β-aktin ikan

-aktin ikan medaka dapat mengekspresikan ge 0,5 1,0 kb M 1 2 3 4 5 40 . Antibodi dapat k dari CP VNN. h injeksi dilakukan kan pada jam 24 dapat bertahan dan gu setelah injeksi. yati (2010) bahwa nunjukkan ekspresi n yang diamati.

ubuh ikan yang etode PCR. tot D14, (3) epala panah

) dan hari ke 14 yang dipakai dan DNA target PCR 0,2 kbp. Menurut lebih kecil akan h besar. Hasil dari n medaka bersifat n gen CP VNN.

Substrat

Anti rabbit peroksidase

Antibodi anti VNN asalkelinci Antigen virus VNN

Sampel serum (Antibodi ikan Kerapu) Kemampuan vaksin DNA CP menginduksi antibodi

Kemampuan vaksin DNA CP dalam menginduksi pembentukan antibodi anti VNN ditunjukkan pada ikan kerapu ukuran panjang 8-10 cm. Ikan kerapu tikus divaksinasi dengan vaksin DNA CP dosis 12,5 µg/ekor. Keberadaan antibodi anti VNN dalam serum ikan diuji dengan ELISA sandwich dengan

prinsip seperti ditunjukkan pada Gambar 15. Model ELISA tidak langsung, yaitu menggunakan antibodi ikan kerapu yang divaksinasi sebagai antibodi penangkap dan antibodi anti VNN dari kelinci sebagai antibodi pendeteksi.

Gambar 15. Prinsip ELISA sandwich untuk mendeteksi

keberadaan antibodi anti VNN dalam serum ikan kerapu tikus.

Hasil optimasi pada pengenceran antigen, nilai absorbansi ELISA antigen VNN pada pengenceran 10-1 menunjukkan adanya reaksi positif terhadap antibodi anti VNN dari kelinci. Antigen VNN yang digunakan dalam uji ELISA selanjutnya adalah pengenceran 1:10. Pada pengenceran antibodi anti VNN dari kelinci, nilai absorbansi pada semua tingkat pengenceran yaitu 1:2; 1:10;1:50 menunjukkan reaksi positif terhadap antigen VNN. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sifat spesifisitas, dimana antibodi mampu bereaksi secara spesifik terhadap antigen VNN sehingga sampai pengenceran maksimal, antibodi masih menunjukkan reaksi yang positif. Sesuai hasil optimasi, antibodi anti VNN dari kelinci yang digunakan pada uji ELISA selanjutnya adalah 1:50. Pengenceran dilakukan untuk mengetahui pengenceran minimal yang masih bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti VNN pada ikan yang divaksinasi. Burgess (1995) menyatakan dalam hubungannya dengan deteksi antigen virus,

42

sensivitas dapat diartikan kemampuan untuk mendeteksi antigen dalam jumlah sedikit atau untuk mendeteksi respon imun yang kecil. Spesifisitas berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antigen atau membedakan respon imun terhadap antigen.

Berdasarkan nilai absorbansi hasil pengujian antibodi kontrol positif, kontrol negatif dan masing-masing sampel diperoleh nilai ratsio S/P dari serum ikan yang divaksin. Nilai rasio S/P ditampilkan pada Tabel 6. Hasil uji pada pengenceran antibodi (1:50) dengan antigen (1:10) pada serum ikan kerapu yang divaksinasi diperoleh nilai absorbansi yang menunjukkan angka diatas kisaran kontrol negatif. Hasil pengujian ELISA menunjukkan bahwa konsentrasi serum ikan kerapu vaksinasi menunjukkan nilai rasio S/P lebih tinggi dibandingkan ikan yang tidak divaksin pada pengamatan hari ke-21 hingga 35 setelah vaksinasi. Hal

Dokumen terkait