• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa SEM (Scanning E lectron Microscopy) E dible F ilm Pati sukun dan Pati Asetat pH 8

Dalam dokumen MODIFIKASI PATI MENJADI EDIBLE FILM (Halaman 52-59)

2.6. E dible F ilm

4.1.8 Analisa SEM (Scanning E lectron Microscopy) E dible F ilm Pati sukun dan Pati Asetat pH 8

Gambar 4.6 Hasil SEM Edible Film Pati Sukun

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pati Hasil Isolasi Buah Sukun

Pati yang digunakan berasal dari hasil isolasi pati buah sukun. Buah sukun diperoleh dari Kecamatan Medan Denai dengan massa 1-3 kilogram per buah. Rata dari setiap 1 Kg buah sukun diperoleh pati sebanyak 680 g (6,8 %). Dalam isolasi pati sukun dilakukan blander hingga halus dengan tujuan untuk memperbesar luas permukaan dari bahan buah sukun yang sudah bebas dari getah. Menggunakan air sebagai pelarut disebabkan pati dalam jumlah tertentu menggunakan perlakuan mekanik dalam percobaan ini diperas dapat berinteraksi dengan air sedangkan komponen lainnya tidak ikut berinteraksi, selanjutnya terhadap ekstrak yang diperoleh bila didiamkan dalam waktu tertentu akan mengendap kembali sehingga air dan pati dapat dipisahkan.

Spektrum pati yang ditunjukkan dari hasil analisis spektrokopi FT-IR memberi dukungan bahwa pati yang diperoleh memiliki gugus O-H dengan munculnya puncak vibrasi pada daerah bilangan gelombang 3387 cm-1, didukung dengan munculnya gugus C-H  stretching  pada bilangan 2931 cm-1 dan 1157,29 cm-1 yang menunjukkan gugus C-O-C dari eter (Gambar 4.1).

4.2.2 Pembuatan Pati Asetat

Pati asetat yang dihasilkan merupakan reaksi antara pati sukun hasil isolasi dengan asetat anhidrat serta natrium hidroksida sebagai pengontrol pH yang  bertujuan untuk membentuk natrium pati. NaOH yang digunakan adalah NaOH 0,3 M merujuk kepenelitian sebelumnya (Arianti, 2009). Dalam hal ini apabila  NaOH ditambahkan terlalu encer menyebabkan kebanyakan kandungan air untuk

mencapai pH yang diinginkan dimana sebelumnya pH pati = 5 sehingga dapat mengganggu asetilasi dimana molekul air tersebut dapat menghidrolisis pati asetat yang diperoleh, sedangkan terlalu pekat disamping dapat memutus rantai glikosida membuat campuran kurang homogen.

Dalam hal ini baik molekul amilosa maupun amilopektin dari pati dimana gugus hidroksil (primer) yang terikat pada atom C-6, dalam molekul pati yang  bersifat kovalen polar (starch-O-H) diubah dengan NaOH menjadi pati natrium

yang bersifat ionik (starch-O- Na+), Sifat ionik tersebut mengakifkan pati untuk lebih mudah bereaksi pada suhu rendah, dimana gugus asetil (CH3COO-) dari anhidrida asetat yang hard base berikatan dengan ion Na+ yang lebih hard  acids menghasilkan natrium asetat sebagai hasil samping sedangkan gugus alkoksi (Starch-O(-)) dari pati yang merupakan  soft base berikatan dengan gugus asil (CH3CO) dari asetat anhidrat yang lebih  soft acid  menghasilkan pati asetat (Gamabar 4.8 dan Gambar 4.9). Variasi pH yang digunakan pada penelitian ini yaitu 6 ; 7 ; 8 dan 9. Tujuan melakukan variasi pH adalah untuk menentukan kondisi optimum terbentuknya pati asetat yang dipengaruhi oleh kondisi optimum pembentukan zat antara yaitu pati natrium, disebabkan amilum yang digunakan merupakan senyawa polimer, sehingga stokhiometri reaksi antara amilum dengan NaOH harus dikontrol membentuk pati-Na sebagai zat antara. Pati asetat yang dihasilkan berbentuk padatan, kemudian dihaluskan menjadi bentuk serbuk putih selama 1 jam diikuti pengeringan dalam desikator. Pati asetat yang diperoleh berturut-turut sebanyak 65,78 g, 60,20 g, 60,95 g, dan 65,31 g. Terbentuknya pati asetat berdasarkan hasil analisis spektroskopi FT-IR dari masing masing pati asetat hasil asetilasi dari berbagai variasi pH hasil asetilasi menghasilkan spektrum dengan munculnya serta melebarnya puncak vibrasi pada  pH 6 muncul puncak pada bilangan gelombang 1635,64 cm-1, pada pH 7 muncul  puncak pada bilangan gelombang 1651,07 cm-1, pada pH 8 muncul puncak pada  bilangan gelombang 1635,64 cm-1, pada pH 9 muncul puncak pada bilangan gelombang 1635,64 cm-1. Pada pH terbentuk 2 puncak di rentang bilangan gelombang 1600-1800 cm-1, yang menandakan hanya 1 gugus karboksilat yang menjadi gugus ester. Reaksi pembentukan pati asetat secara teoritis (Gambar 4.8) dan Gambar 4.9).

O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O +  NaOH H2O O O HO OH CH2ONa O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O + O O HO OH O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O + O O HO OH O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O + CH2ONa H3C C O O C O H2C O C CH3 O CH3  NaO C O CH3

O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2 O O HO OH CH2OH O O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2OH O +   NaOH O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2 O O HO OH CH2OH O O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2ONa O + H2O O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2 O O HO OH CH2OH O O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2ONa O + H3C C O O C O CH3 O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2 O1 O HO OH CH2OH O O O HO OH CH2OH O O HO OH CH2 O + O C CH3 O  NaO C O CH3

4.2.3 Penentuan Persen dan Derajat Asetilasi (DS)

Uji persen asetil dan DS digunakan untuk mengetahui berapa banyak gugus asetil yang tersubsitusi ke dalam pati sukun terasetilasi. Derajat Substitusi (DS) menunjukan berapa banyak jumlah gugus asetil yang dapat mensubstitusi gugus hidroksil (OH-) pada pati sukun (Teja, dkk 2008).

Pada penelitian ini hasil DS yang diperoleh berkisar antara 0,5255  –  1,0501 (Tabel 4.1). Dimana DS tertinggi yaitu 1,0501 berasal dari pati asetat dengan kondisi reaksi pH=8. Pengontrolan pH dengan penambahan NaOH untuk menghasilkan pati asetat dengan derajat substitusi yang tertinggi diperoleh pada kondisi reaksi pH=8 yang berarti pembentukan pati natrium sebagai zat antara dengan naiknya pH reaksi semakin sempurna, selanjutnya untuk kondisi reaksi  pH=9 NaOH yang digunakan pati asetat yang dihasilkan memiliki derajat asetilasi

rendah disebabkan NaOH yang digunakan masih banyak dalam keadaan bebas tidak sempurna membentuk pati natrium sehingga pati asetat yang dihasilkan dapat mengalami reaksi penggaraman dengan NaOH yang tidak ikut bereaksi membebaskan pati kembali.

4.2.4 Analisis Kekuatan

 Swelling

 Pati Asetat

Pengujian kekuatan  swelling   pati asetat dilakukan untuk mengetahui seberapa  banyak air yang dapat terserap (adsorbsi) terhadap pati asetat hasil sintesis. Daya

kembang pati atau swelling power  didefinisikan sebagai pertambahan volume dan  berat maksimum yang dialami pati dalam air.Swelling power   terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Sedangkan adsorbsi adalah suatu proses  penyerapan partikel suatu fluida (cairan maupun gas) oleh suatu padatan hingga

Dalam penelitian ini uji kekuatan  swelling   hanya dilakukan pada pati asetat dengan DS tertinggi yaitu pati asetat pH 8 dapat dilihat pada Tabel 4.2. Dari hasil pengujian yang dilakukan, persen berat absorbsi pati asetat semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya proses pengujian. Jumlah air yang masuk pada granula pati berkurang ketika sudah menjadi pati asetat dikarenakan semakin sedikitnya gugus hidroksil pati yang tersubstitusi oleh gugus asil dari asetat. Sehingga jumlah ikatan hidrogen dari pati pun berkurang.

4.2.5 Analisa Sifat Mekanik

E dible F ilm

 Pati Sukun dan Pati Asetat pH 8 a. Kuat tarik

Kuat tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film hingga terputus. Pengukuran kuat tarik berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai utuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk memanjang. Kuat tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa film yang  bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah (Sulistiana, 2015). Hasil analisis didapatkan hasil kuat tarik dari  pati sukun dan pati asetat pH=8 yaitu 2,1 MPa dan 11,2 Mpa (Tabel 4.3). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa edible film pati asetat pH 8 lebih kuat. Hal ini dikarenakan adanya muatan gugus asetil dalam pati, bahwa fraksi pati asetat memiliki sifat lebih elastis dibandingkan dengan pati sukun. Jadi penambahan gugus asetil pada pati akan mempengaruhi ikatan hidrogen yang terjadi /terdapat  pada pati asetat dimana pada pati asetat ikatan hidrogen lebih besar dari pada pati

alami akibatnya akan mempengaruhi sifat fisik pati asetat.

b. % Keregangan

Keregangan  film  adalah kemampuan bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami film. Nilai elongasi menggambarkan ukuran kemampuan  film untuk merenggang atau memanjang. Keregangan  film dinyatakan dalam kemuluran saat  putus dengan satuan % yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal. Sifat keregangan atau kemuluran ini sangat berguna mengingat sifat pembungkus harus mampu melindungi makanan yang ada didalam edible film. Berdasarkan hasil uji keregangan edible film  pati sukun

dihasilkan persen keregangan 6,17 % sedangkan pati asetat pH 8 dihasilkan keregangan 8,50 % (Tabel 4.3). Hal ini dapat disimpulkan semakin kuat suatu  film maka semakin kuat juga persen keregangan karena  film yang kuat tidak mudah  putus ketika terjadi tarikan (Yuliasih, 2014).

c. Ketebalan

Pengukuran ketebalaan  film dilakukan dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil dari pengukuran ketebalan edible film  pati sukun sebesar 0,11 mm sedangkan ketebalan edible film pati asetat pH 8 sebesar 0,14 mm (Tabel 4.3). Hal ini dikarenakan banyaknya padatan terlarut dan luas permukaan wadah. Nilai ketebalan yang berbeda disebabkan oleh banyaknya padatan terlarut yang merupakan komponen penyusun (Yuliasih, 2014).

4.2.6 Analisa WVTR (

Water Vapour Transmission Rate

)

E dible F ilm

Pati

Dalam dokumen MODIFIKASI PATI MENJADI EDIBLE FILM (Halaman 52-59)

Dokumen terkait