• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

5.1.3 Analisa Variabel Y

TABEL 26

Frekuensi Memperhatikan Produk Yang Digunakan Bintang Sinetron

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Pernah 18 25,7 2. Jarang 20 28,6 3. Sering 29 41,4 4. Sering Sekali 3 4,3 Total 70 100 Sumber: P.22/FC/24

Data tabel 27 menunjukkan bahwa responden tidak pernah memperhatikan produk yang digunakan bintang sinetron, yaitu sebanyak 18 orang (25,7%), responden yang menyatakan jarang, yaitu sebanyak 20 orang (28,6%). Namun sebanyak 29 orang (41,4%) menyatakan sering memperhatikan produk yang digunakan bintang sinetron, dan sebanyak 3 orang (4,3%) menyatakan sering sekali.

Tabulasi jawaban responden di atas menunjukkan bahwa tingkat sensitifitas para siswa dalam memperhatikan sesuatu hal yang beda dan baru yang sering ditampilkan dalam sinetron sangat tinggi. Biasanya perhatian yang diberikan oleh para pemirsa terhadap sesuatu hal yang disampaikan melalui media lewat seorang tokoh atau selebritis akan menjadi trend di kalangan para anak muda dan remaja khususnya. Hal ini merupakan salah satu gejala mulai bekerjanya efek dari konsumerisme terhadap sinetron. Seorang responden mengatakan: “...aku tertarik sama produk bintang sinetron bang..karena baju dan asesoris yang mereka pake bagus-bagus...”

TABEL 27

Ketertarikan Untuk Memperoleh Produk Bintang Sinetron

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Tertarik 24 34,3 2. Kurang Tertarik 22 31,4 3. Tertarik 19 27,1 4. Sangat Tertarik 5 7,1 Total 70 100 Sumber:P.23/FC.25

Dari tabel 28 menunjukkan bahwa responden tidak tertarik untuk memperoleh produk yang digunakan bintang sinetron, yaitu sebanyak 24 orang (34,3%), sebanyak 22 orang (31,4%) menyatakan kurang tertarik untuk memperoleh produk yang digunakan bintang sinetron. Namun sebanyak 19 orang (27,1%) menyatakan tertarik, dan sebanyak 5 orang (7,1%) menyatakan sangat tertarik untuk memperoleh produk yang digunakan bintang sinetron.

Dari tabel diatas dapat dilihat sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan dimana siswa sudah sampai pada tahap konsumsi barang-barang yang disaksikannya di televisi dan ini merupakan salah satu efek penayangan sinetron. Sekolah terkadang mereka jadikan menjadi ajang tempat memamerkan barang-barang mewah yang mereka beli.

TABEL 28

Frekuensi Responden Membeli Produk Yang Tidak Sesuai Dengan Uang Saku/Tabungan

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Pernah 33 47,1 2. Jarang 30 42,9 3. Sering 6 8,6 4. Sering Sekali 1 1,4 Total 70 100 Sumber: P.24/FC.26

Data tabel 29 menunjukkan bahwa responden tidak pernah membeli produk yang tidak sesuai dengan uang saku/tabungan, yaitu sebanyak 33 orang (47,1%), dan sebanyak 30 orang (42,9%) menyatakan jarang. Namun, sebanyak 6

orang (8,6%) menyatakan sering, dan sebanyak 1 orang (1,4%) menyatakan sering sekali membeli produk yang tidak sesuai dengan uang saku/tabungan mereka.

Berdasarkan kondisi di atas terlihat sebuah budaya konsumerisme yang mengarah kepemborosan dimana pada kondisi tertentu atau di sekolah-sekolah saat ini sering kita lihat fenomena siswa yang tampil begitu “wah”. Sebagian siswa sangat bangga jika bisa membeli dan menggunakan produk yang digunakan para bintang sinetron. Terkadang para siswa memaksakan menghabiskan tabungannya atau perihal yang paling buruk membohongi orang tua untuk mendapatkan uang untuk membeli produk tersebut. Seorang responden mengatakan: “....aku sering beli produk seperti baju, asesoris atau yang lainnya,

yang di pake kayak bintang sinetron itu bang..karena ngetrend gitu”.

TABEL 29

Tanggapan Responden Merasa Menyesal Karena Tidak Dapat Hidup Mewah

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Pernah 37 52,9 2. Kadang-kadang 20 28,6 3. Sering 12 17,1 4. Sering Sekali 1 1,4 Total 70 100 Sumber: P.25/FC.27

Dari tabel 30 menunjukkan bahwa responden meyatakan tidak pernah menyesali hidup karena tidak dapat hidup mewah, yaitu sebanyak 37 orang (52,9%), dan sebanyak 20 orang (28,6%) menyatakan kadang-kadang. Namun

sebanyak 12 orang (17,1%) menyatakan sering, dan sebanyak 1 orang (1,4%) menyatakan sering sekali menyesali karena tidak dapat hidup mewah.

Hal yang paling fatal dari efek sinetron adalah mengakinatkan para pemirsa terutama siswa yang masih kurang kritis dalam menanggapi dan mencerna isi sinetron yang berakibat mereka menjadi seorang penghayal dan menyesali keberadaan mereka dengan kondisi keluarga, ekonomi maupun fisik yang ada.

TABEL 30

Selera Responden Terhadap Gaya Hidup Mewah

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Sesuai 19 27,1 2. Kurang Sesuai 33 47,1 3. Sesuai 16 22,9 4. Sangat Sesuai 2 2,9 Total 70 100 Sumber: P.26/FC.28

Dari tabel 31 menunjukkan bahwa selera responden dengan gaya hidup mewah dalam tayangan sinetron menyatakan tidak sesuai, yaitu sebanyak 19 orang (27,1%), sebanyak 33 orang (47,1%) menyatakan kurang sesuai. Namun sebanyak 16 orang (22,9%) menyatakan sesuai, dan sebanyak 2 orang (2,9%) menyatakan sangat sesuai.

Berdasarkan tabulasi data di atas kita lihat pesona kemewahan – kemewahan yang ditebarkan pada sinetron telah membangkitkan selera dan minat untuk menikmatinya bagi para siswa. Hal ini bisa menjadi positif jika dijadikan

motivasi oleh mereka akan tetapi akan berdampak negatif bila mana mereka memaksakan diri dengan berbagai usaha yang buruk untuk mendapatkan kenikmatan hidup mewah tersebut. Sebagai contoh dalam fenomena sehari-hari dapat kita lihat bahwa banyak siswa yang sekarang ini menjadi peliharaan orang-orang tua yang sering dipanggil “om” oleh mereka. Fenomena ini sebagai efek lanjutan dari keinginan hidup mewah tadi.

TABEL 31

Tanggapan Responden Mengenai Tema Sinetron Percintaan Dengan Kehidupan Sosial

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Sesuai 18 25,7 2. Kurang Sesuai 29 41,4 3. Sesuai 20 28,6 4. Sangat Sesuai 3 4,3 Total 70 100 Sumber: P.27/FC.29

Data tabel 32 menunjukkan bahwa mayoritas responden menjawab tema sinetron percintaan yang sedang marak pada sekarang ini kurang sesuai dengan kehidupan sosial, yaitu sebanyak 29 orang (41,4%), dan sebanyak 18 orang (25,7%) menyatakan tidak sesuai. Namun, sebanyak 20 orang (28,6%) menyatakan sesuai, dan 3 orang (4,3%) menyatakan sangat sesuai tema sinetron percintaan dengan kehidupan sosial.

Akhir-akhir ini banyak pihak yakni para orang tua, pemuka agama, pendidik, dan warga masyarakat yang lain mengungkapkan kekhawatiran mereka

terhadap tayangan yang disajikan lewat sinetron dipandang mendatangkan bahaya instan dan dampak yang buruk kepada masyarakat luas. Dimana tema-tema sinetron Indonesia saat ini sangat disayangkan tidak “booming” dalam artian tidak merakyat dan minim akan aspek sosialnya. Tema-tema sosial sangat minim di usung dalam sinetron, malahan sebaliknya nilai kemewahan yang lebih diagung-agungkan.

Kondisi di atas harus segera diperbaiki ke depannya dimana masyarakat harus berperan aktif memberikan kritik kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan keberadaan dan pengaruh sinetron bagi masyarakat.

TABEL 32

Tanggapan Responden Bergaya Meniru Karakter Bintang Sinetron

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Termotivasi 24 34,3 2. Kadang-kadang Termotivasi 20 28,6 3. Termotivasi 26 37,1 4. Sangat Termotivasi - - Total 70 100 Sumber: P.28/FC.30

Dari tabel 33 menunjukkan bahwa responden termotivasi untuk bergaya meniru karakter bintang sinetron, yaitu sebanyak 26 orang (37,1%). Namun sebanyak 24 orang (34,3%) menyatakan tidak termotivasi, dan sebanyak 20 orang (28,6%) menyatakan kadang-kadang termotivasi. Dan tidak seorang pun yang menyatakan sangat termotivasi untuk bergaya meniru karakter bintang sinetron.

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa mayoritas responden berpendapat termotivasi untuk bergaya meniru karakter bintang sinetron yang di idolakan. Karena manusia adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Jadi, tidak heran kalau ada anak dan remaja sekarang kecenderungan untuk berpenampilan layaknya bintang sinetron/artis yang diidolakannya.

TABEL 33

Frekuensi Responden Mempraktekkan Adegan Percintaan Dengan Teman/Pacar

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Pernah 18 25,7 2. Jarang 20 28,5 3. Sering 30 42,9 4. Sering Sekali 2 2,9 Total 70 100 Sumber: P.29/FC.31

Dari tabel 34 diketahui bahwa setelah menonton sinetron percintaan remaja sering mempraktekkan adegan percintaan dengan pacar/teman, yaitu sebanyak 30 orang (42,9%), dan sebanyak 2 orang (2,9%) menyatakan sering sekali. Namun, sebanyak 18 orang (25,7%) menyatakan tidak pernah, dan sebanyak 20 orang (28,5%) menyatakan jarang mempraktekkan adegan percintaan dengan pacar/teman.

Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat

pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.

TABEL 34

Tanggapan Responden Terhadap Adegan Yang Dilakukan Dengan Pasangan

No. Kategori Jumlah %

1. Pegangan Tangan 35 50 2. Ciuman 27 38,6 3. Pelukan 5 7,1 4. Seks Bebas 3 4,3 Total 70 100 Sumber: P.30/FC.32

Data dari tabel 35 menunjukkan bahwa adegan yang sering dilakukan dengan pasangan adalah pegangan tangan, yaitu sebanyak 35 orang (50%), sebanyak 27 orang (38,6%) menyatakan ciuman, sebanyak 5 orang (7,1%) menyatakan pelukan dan sebanyak 3 orang (4,3%) menyatakan seks bebas.

Berdasarkan hasil penelitian hal ini menunjukkan adanya perilaku seks pelajar yang memprihatinkan. Rasanya, belum saatnya para pelajar mengenal urusan seks lebih jauh. Apalagi mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

TABEL 35

Tanggapan Responden Bahwa Sinetron Percintaan Dapat Merubah Perilaku

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Setuju 5 7,1 2. Belum Tentu 17 24,3 3. Setuju 37 52,9 4. Sangat Setuju 11 15,7 Total 70 100 Sumber: P.31/FC.33

Dari data tabel 36 diketahui bahwa responden menyatakan setuju bahwa sinetron khususnya sinetron percintaan dapat berdampak pada perubahan perilaku, yaitu sebanyak 37 orang (52,9%) menyatakan setuju, dan sebanyak 11 orang (15,7%) menyatakan sangat setuju. Namun, sebanyak 17 orang (24,3%) menyatakan belum setuju, dan sebanyak 5 orang (7,1%) menyatakan tidak setuju.

Disadari atau tidak disadari, lambat atau cepat pada dasarnya sinetron itu telah membawa dampak terhadap perubahan perilaku masyarakat Indonesia. Untuk fenomena sekolah dapat kita lihat dimana perilaku pelajar yang diperankanjuga cenderung permissif dan bebas dari aturan sekolah. Siswanya banyak yang memanjangkan rambut bagi yang laki-laki, memakai anting, gelang, atau berperilaku layaknya preman. Kancing baju bagian atas di buka dan kemeja lengan pendeknya digulung. Kata-kata kasar dengan nada celaan, cacian, makian, mereka lontarkan sebagai bentuk kebencian, iri hati, dan kedengkian kepada lawan mainnya. Pergaulan bebas di antara mereka menjadi menu utama. Segala hal yang berbau cinta menyita perhatian, waktu, tenaga, dan juga materi para

pemerannya sepanjang cerita. Seolah, urusan cinta adalah hidup-mati mereka. Sehingga dianggap wajar jika harus menelantarkan kepentingan sekolah.

TABEL 36

Tanggapan Responden Dalam Mengidentikkan Diri Dengan Tokoh Idola

No. Kategori Jumlah %

1. Tidak Suka 23 32,9 2. Kurang Suka 32 45,7 3. Suka 13 18,5 4. Sangat Suka 2 2,9 Total 70 100 Sumber: P.32/FC.34

Data tabel 37 menunjukkan bahwa responden menyatakan tidak suka mengidentikkan diri dengan tokoh idola dalam sinetron, yaitu sebanyak 23 orang (32,9%), sebanyak 32 orang (45,7%) menyatakan kurang suka. Namun, sebanyak 13 orang (18,5%) menyatakan suka, dan sebanyak 2 orang (2,9%) menyatakan sangat suka mengidentikkan diri dengan tokoh idola dalam sinetron.

Generasi muda dalam masa identifikasi mencari jati diri dengan mencari sosok yang baginya bisa jadi panutan. Yang dilakukan sang idola, baik atau buruk, bagi mereka patut ditiru, tanpa melihat segi negatifnya. Jika sesuatu dianggap menjadi trend, mereka mengikutinya. Generasi tua juga perlu idola. Banyak politikus yang sikap dan perilakunya tidak bisa jadi idola bagi orang yang sebenarnya bisa mengidolakan mereka. Bagi generasi muda biasanya sosok yang diidolakan mereka yang dikenal banyak orang atau public figure. Dalam keluarga, yang pertama menjadi idola anak-anak adalah orangtuanya. Krisis idola,

fenomena anak tidak mengidolakan orangtuanya, kini dirasakan banyak orang. Sekarang banyak bapak dan ibu bekerja diluar rumah. Ibu yang bagi mereka sosok di rumah yang bisa melindungi mereka, namun saat dibutuhkan ia tidak ada. Akhirnya anak mencari orang terdekta lain di luar rumah untuk jadi idolanya. Bisa saja orang lain jadi idola pengganti orangtua, namun tanggung jawab pendidikan dasarnya tetap orangtua. Orangtua harus punya porsi pendidikan, meski tidak 100%. Jika idola anaknya tokoh, orangtua tetap berperan mengarahkan, mana yang baik dan buruk. Biasanya anak berprinsip “karena orangtuaku berhasil aku juga harus berhasil. Aku ingin seperti mereka, dengan ingin seperti mereka, aku juga tidak ingin mengecewakan orangtuaku”. Dalam skup lebih mengglobal dari hasil penelitian mengenai kehidupan remaja saat ini, mereka kehilangan idola di rumah. Begitu banyak pengaruh dari media massa membuat mereka mencari yang lebih memuaskan. Seharusnya selebritis tahu bagaiman bersikap dan berperilaku baik, karena mereka public figure, namun banyak yang tidak demikian. Kemampuannya bagus namun emosinya kurang. Jika yang ditiru dari si artis sebatas pakaian atau cara bicara, tidak ada masalah. Yang dikhawatirkan meniru perilaku negatifnya. Artis yang dengan segala permasalahan negatifnya seperti kawin-cerai, berselingkuh, dan terlibat narkoba, sangat gampang berpengaruh ke dalam kepribadian remaja.

Dokumen terkait