• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

3.4. Tahapan Penelitian

3.4.5. Analisis data akhir

Pada tahapan ini, pertama-tama dilakukan koreksi terhadap data yang tidak benar atau salah dalam interpretasi, seperti lereng, data bentuklahan dan kedua berdasarkan data yang sudah terkoreksi tersebut dan data primer dilakukan analisis akhir berupa penilaian tingkat bahaya dan resiko longsor di daerah penelitian.

a. Analisis bahaya longsor di lokasi penelitian

Pada penelitian ini, parameter bahaya longsor disesuaikan dengan ketersediaan data dan skala yang dapat dihasilkan. Parameter bahaya longsor meliputi suseptibilitas (kemiringan lereng, bentuklahan, kondisi tanah) dan aktifitas manusia yang direpresentasikan dalam penggunaan lahan. Faktor dinamis

lain, seperti curah hujan atau gempa, tidak digunakan untuk menilai bahaya longsor karena data yang tersedia kurang mencukupi. Data curah hujan untuk Kota Ternate hanya terdapat pada satu titik stasiun saja, yaitu di Bandara Kota Ternate (Lampiran 1). Dengan demikian data yang ada tidak memungkinkan untuk dapat membuat peta persebaran curah hujan, sedangkan pemodelan curah hujan berdasarkan elevasi tidak dilakukan dalam penelitian ini dikarenakan di wilayah penelitian diperkirakan terdapat wilayah yang mempunyai curah hujan yang lebih besar (hujan orografis) dan yang lebih kecil (daerah bayangan hujan) pada elevasi yang sama, sehingga pemodelan dimaksud di atas dianggap kurang mewakili kondisi yang sebenarnya. Selain itu terdapat pertimbangan lain bahwa masyarakat Pulau Ternate yang terancam oleh longsor (wilayah permukiman) berada pada ketinggian antara 0 mdpl – 300 mdpl dimana pada ketinggian tersebut diperkirakan atau diasumsikan mempunyai curah hujan yang relatif sama (merata di Pulau Ternate). Demikian pula dengan parameter kegempaan, walaupun data tersebut sesungguhnya tersedia (Lampiran 2), namun tidak data yang ada tidak dapat digunakan untuk alat analisis penentuan bahaya longsor, dikarenakan penulis tidak menemukan metode dari penelitian-penelitian sebelumnya yang memanfaatkan data gempa untuk menilai bahaya longsor. Walaupun telah diketahui dengan banyak bukti bahwa gempa berpengaruh terhadap longsor, seperti yang terjadi di beberapa tempat di tanah air.

Metoda untuk menilai bahaya longsor mirip dengan suseptibilitas, yaitu dengan pembobotan dan skor dari masing-masing parameter. Parameter yang digunakan untuk menganalisis bahaya longsor yaitu suseptibilitas longsor ditambah dengan parameter penggunaan lahan. Pembobotan untuk parameter bahaya longsor juga menggunakan rumus 1, dan nilai bobot tiap parameter yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Urutan parameter bahaya longsor dan bobot yang dinormalkan

Parameter bahaya longsor Urutan (rj) (n- rj+1) Bobot (Wj)

Kemiringan lereng 1 4 0,4 Bentuklahan (Landform) 2 3 0,3 Tekstur tanah 3 2 0,2 Penggunaan lahan 4 1 0,1 Jumlah 10 1 Ket: n = 4

Urutan parameter bahaya longsor sama dengan suseptibilitas, namun dalam urutan ini parameter penggunaan lahan diletakkan pada urutan ke empat. Hal ini dengan pertimbangan bahwa parameter ini bersifat dinamis, artinya parameter ini secara fisik dapat berubah dalam waktu singkat, sedangkan sifatnya dapat sebagai pemicu longsor atau bahkan sebaliknya sebagai penghambat terjadinya longsor. Selaras dengan sifat ini, maka skor untuk penggunaan lahan yang tidak memicu longsor diberi nilai nol, seperti danau, pelabuhan, dan kawasan reklamasi yang terletak di pantai, sedangkan permukiman, perkebunan tahunan, dan bandara diberikan skor satu, artinya sangat rendah pengaruhnya sebagai pemicu longsor (tidak menyebabkan shear stress pada lereng). Semak belukar diberi skor dua karena pengaruhnya rendah terhadap longsor dan lahan terbuka diberi skor tiga, artinya mempunyai pengaruh sedang sebagai pemicu longsor. Hal ini dikarenakan aliran air permukaan yang terbentuk pada lahan terbuka, terutama jika berada pada lereng yang miring atau curam, akan mudah mengerosi tanah hingga dapat menghasilkan longsor. Penambangan pasir dan penambangan batu vulkanik di beri skor empat atau tertinggi, karena penambangan pasir dan batu melakukan pemotongan lereng. Dampak dari kegiatan ini adalah menurunkan kestabilan batuan penyusun lereng dan berakibat menyebabkan longsor.

Operasi tumpang tindih (overlay) GIS dapat dilakukan dengan menggunakan rumus 2, yaitu antara peta suseptibilitas dengan peta penggunaan lahan, sedangkan Tabel 9 berikut menyajikan bobot dan skor dari masing-masing parameter.

Tabel 9. Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian

Parameter Bobot Skor Nilai (Bobot x skor)

Lereng (%): 0 – 8 8 – 15 15 – 30 30 – 45 >45 0,4 0 1 2 3 4 0 0,4 0,8 1,2 1,6

Lanjutan Tabel 9. Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian

Parameter Bobot Skor Nilai (Bobot x skor)

Bentuklahan:

Kawah, dataran pantai anthropogenik, gisik, Maar dan Lereng kaki fluvio vulkanik

Aliran lava

Lereng bawah kerucut vulkanik Lereng atas kerucut vulkanik

Lereng tengah dan lereng puncak kerucut vulkanik 0,3 0 1 2 3 4 0 0,3 0,6 0,9 1,2 Tekstur tanah Pasir (sand)

Lempung berpasir (sandy loam)

Lempung (loam)

Lempung berliat (clay loam), Lempung berdebu (silt loam)

Liat (clay) 0,2 1 2 3 4 5 0,2 0,4 0,6 0,8 1 Penggunaan lahan

Danau, bakau dan hutan

Pemukiman, perkebunan tahunan dan bandara

Semak belukar Lahan terbuka

Penambangan pasir dan penambangan batu vulkan 0,1 0 1 2 3 4 0 0,1 0,2 0,3 0,4

Keterangan: 0 = tidak berpengaruh; 1 = sangat rendah; 2 = rendah; 3 = sedang; 4= tinggi; 5 = sangat tinggi

Selanjutnya bahaya longsor dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu aman, rendah, sedang dan tinggi. Penentuan kelas berdasarkan nilai interval bahaya longsor yang dihitung sesuai rumus 3. Berdasarkan hasil perhitungan maka nilai tertinggi adalah 4,2 dan terendah adalah 0,2 sehingga interval LH adalah 0,9 (Tabel 10).

Tabel 10. Nilai interval kelas bahaya longsordi lokasi penelitian

Nilai interval Kelas bahaya longsor

0,2 – 1,2 Aman

1,3 – 2,3 Rendah

2,4 – 3,4 Sedang

3,5 – 4,2 Tinggi

Sumber: Hasil analisis, 2012

b. Analisis kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian

Pada penelitian ini pengertian kerentanan (vulnerability) merujuk pada definisi Varnes (1984) yang menyatakan bahwa kerentanan adalah suatu kondisi ketidakmampuan suatu komunitas atau masyarakat dalam menghadapi ancaman. Dalam hal ini kerentanan dapat ditinjau dari aspek fisik dan sosial, namun secara substansi kerentanan suatu masyarakat terhadap bahaya tertentu cukup bervariasi. Sebagai contoh kerentanan masyarakat terhadap bahaya longsor akan berbeda dengan bahaya banjir, dimana untuk yang pertama masyarakat yang tinggal pada lereng-lereng yang miring lebih rentan.

Aspek fisik infrastruktur

Dalam penelian ini yang dimaksud dengan aspek fisik infra-struktur jenis bangunan. Jenis bangunan pada penelitian ini dikategorikan berdasarkan fungsi bangunan yaitu sebagai rumah penduduk dan sebagai fasilitas umum. Rumah penduduk merupakan bangunan yang digunakan masyarakat sebagai tempat tinggal, sedangkan fasilitas umum merupakan bangunan yang digunakan bukan sebagai tempat tinggal, seperti sarana ibadah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana olahraga, kantor dan lainnya.

Dalam hal ini penilaian kerentanan aspek fisik infra-struktur dilihat dari kualitas struktur bangunan dan dampak yang ditimbulkan jika terkena longsor. Struktur bangunan rumah penduduk pada umumnya tidak bertingkat atau hanya satu lantai dan umumnya mempunyai kualitas menengah ke bawah, tergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikian dampak yang dapat ditimbulkan jika rumah penduduk terkena longsor adalah kerusakan fatal. Apalagi rumah tersebut bersifat hunian atau tempat tinggal, sehingga berpotensi banyak menimbulkan korban jiwa dan harta. Hal lain adalah lahirnya dampak sosial

berupa pengungsian serta dampak sosial lainnya. Dampak yang muncul agak berbeda jika longsor menimpa bangunan fasilitas umum. Selain umumnya mempunyai kualitas menengah ke atas atau lebih kokoh, juga kerugian jiwa dan harta akan lebih sedikit. Berdasarkan hal ini, maka rumah penduduk akan diberi bobot lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas umum.

Aspek fisik infrastruktur juga ditinjau dari kepadatan bangunan. Menurut Rusli (2010) kepadatan merupakan suatu kondisi atau keadaan yang menggambarkan suatu perbandingan antara jumlah dengan satuan luasan wilayah tertentu. Pada penelitian ini kepadatan bangunan merupakan jumlah bangunan per satuan luas lahan terbangun pada suatu kecamatan.

Pada penelitian ini tingkat kepadatan bangunan dikategorikan menjadi 3 kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi, sedangkan penentuan tingkat kepadatan bangunan dilakukan dengan menentukan nilai interval (rumus 3). Dari hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai kepadatan bangunan yaitu 309. Untuk menentukan bobot kepadatan bangunan, penilaian didasarkan pada potensi kemungkinan menimbulkan kerusakan dan korban lebih banyak. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian.

Kecamatan

Luas area (Km2)

Jumlah bangunan (Unit) Kepadatan

bangunan (Unit/Km2) Tingkat kepadatan bangunan Rumah Fasilitas umum

Ternate Utara 1,03 919 23 915 Sedang

Ternate Selatan 2,03 2.724 52 1.367 Tinggi

Ternate Tengah 1,76 2.186 43 1.266 Tinggi

Pulau Ternate 2,25 969 21 440 Rendah

Sumber: Hasil analisis, 2012 Aspek Sosial

Kepadatan penduduk adalah jumlah jiwa per satuan luas lahan. Pada penelitian ini kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk per satuan luas lahan terbangun pada suatu kecamatan. Jumlah penduduk dapat dihitung dari jumlah rumah penduduk dikalikan jumlah anggota keluarga per kepala keluarga.

Rataan jumlah anggota keluarga merupakan jumlah penduduk per jumlah kepala keluarga. Jumlah penduduk di lokasi penelitian terhitung sebanyak

176.084 orang dan 37.430 kepala keluarga (BPS Kota Ternate, 2011), sehingga rataan jumlah anggota per kepala keluarga adalah 5 orang. Dari angka-angka tersebut dapat dihitung tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian.

Kecamatan Luas area

(Km2) Jumlah penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) Tingkat kepadatan Penduduk

Ternate Utara 1,03 4.595 4.461 Sedang

Ternate Selatan 2,03 1.360 6.709 Tinggi

Ternate Tengah 1,76 10.930 6.210 Tinggi

Pulau Ternate 2,25 4.845 2.153 Rendah

Sumber: Hasil analisis, 2012

Dalam penilaian ini kepadatan penduduk dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu kepadatan penduduk rendah, sedang dan tinggi, dimana kepadatan tinggi diberi bobot lebih tinggi karena jika terjadi longsor pada area tersebut, maka kemungkinan akan menimbulkan korban lebih babnyak, dan begitu juga sebaliknya.

Ketika tingkat kerentanan elemen resiko per wilayah kecamatan telah diketahui, maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan terhadap bobot kerentanan elemen resiko. Bobot kerentanan (vulnerability) elemen resiko dihitung berdasarkan rumus 1, dan hasilnya tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13. Nilai bobot kerentanan (vulnerability) elemen resiko longsor di lokasi penelitian

Parameter Urutan (rj) (n- rj+1) Bobot (Wj)

Bangunan

Rumah penduduk 1 2 0,7

Non rumah 2 1 0,3

n = 2 3 1

Kepadatan bangunan dan penduduk

Tinggi 1 3 0,5

Sedang 2 2 0,33

Rendah 3 1 0,17

Peta kerentanan selanjutnya dapat dibuat berdasarkan operasi tumpang tindih (overlay) GIS antara peta jenis bangunan, peta kepadatan bangunan, dan peta kepadatan penduduk. Dari hasil perhitungan, kerentanan elemen resiko dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi berdasarkan rumus 3. Adapun nilai kerentanan elemen resiko tertinggi yaitu 0,175 dan terendah 0,00867 sehingga nilai intervalnya yaitu 0,05 (Tabel 14).

Tabel 14. Nilai interval kelas kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian

Nilai interval Kelas kerentanan

0,0087 – 0,058 Rendah

0,059 – 0,109 Sedang

0,11 – 0,175 Tinggi

Sumber: Hasil analisis, 2012

c. Analisis kapasitas masyarakat di lokasi penelitian

Kapasitas masyarakat dianalisis berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan kuesioner. Terdapat 11 pertanyaan panduan sebagai variabel untuk menilai kapasitas masyarakat dimana jika jawaban responden “Ya” maka diberi nilai satu dan jika “Tidak” diberi nilai nol. Untuk pertanyaan yang jawabannya lebih dari satu diberi nilai 0,25. Kemudian hasilnya dideskripsikan sesuai hasil wawancara guna memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi masyarakat di lokasi longsor.

d. Analisis resiko longsor di lokasi penelitian

Paradigma penanggulangan bencana saat ini telah berkembang menjadi paradigma holistik dimana penanggulangan bencana dipandang sebagai suatu upaya pengurangan resiko bencana. Resiko bencana merupakan interaksi antara bahaya (hazard) yang ada dan tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat terhadap bencana serta kapasitas yang dimiliki masyarakat dalam menghadapi bencana. Jika masyarakat cukup tinggi dalam menghadapi bencana, maka kapasitas bersifat mengurangi resiko. Sumber data yang dibutuhkan untuk menentukan resiko longsor di lokasi penelitian menggunakan data bahaya longsor, kerentanan elemen risko dan kapasitas masyarakat yang telah dibuat.

Menurut Bakornas PB (2007) resiko bencana merupakan perpaduan dari unsur bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) dimana kapasitas juga

merupakan faktor penting untuk menentukan resiko bencana. Secara matematis resiko dapat dirumuskan sebagai berikut;

R = H x V C

dimana R adalah resiko (Risk), H adalah bahaya (Hazard), V adalah kerentanan (vulnerability) dan C adalah kapasitas (capacities).

Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, dalam penelitian ini penilaian resiko longsor tidak memperhitungkan kapasitas masyarakat, dikarenakan jumlah sampel yang diperoleh terlalu sedikit sehingga kurang dapat mencerminkan kondisi masyarakat dalam arti menyeluruh. Namun kapasitas tetap dideskripsikan sebagai gambaran kondisi masyarakat yang tinggal di lokasi terjadinya longsor. Nilai resiko kemudian dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi sesuai dengan rumus 3. Berdasarkan hasil perhitungan resiko, nilai resiko tertinggi mencapai 0,47 dan terendah yaitu 0,006 sehingga nilai interval kelas resiko yaitu 0,15 (Tabel 15).

Tabel 15. Nilai interval kelas resiko longsor di lokasi penelitian

Nilai interval Kelas Resiko

0,006 – 0,156 Rendah

0,16 – 0,31 Sedang

0,32 – 0,47 Tinggi

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN