• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan dan interpretasi data

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

3.4. Tahapan Penelitian

3.4.2. Pengolahan dan interpretasi data

3.4.2. Pengolahan dan interpretasi data

Pada tahapan ini, data yang terkumpul kemudian diolah dan untuk citra satelit dilakukan interpretasi, yaitu suatu kegiatan penafsiran terhadap objek-objek pada citra (satelit atau foto udara) tanpa adanya sentuhan fisik terhadap obyek yang ditafsir (Lillesand dan Kiefer, 1990). Untuk mengolah dan interpretasi data digunakan software sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcGIS 9.3. Pada tahapan ini dihasilkan peta-peta tentatif kemirngan lereng, bentuklahan dan penggunaan lahan.

Gambar 3. Diagram alir penelitian Hillshade

I Persiapan

II Pengolahan dan interpretasi data

III Analisis data awal

IV Kerja Lapang

V Analisis data akhir

IV

Persiapan

SRTM DEM

Peta Penggunaan lahan (jpeg)

Skor dan bobot 1. Peta lereng 2. Peta bentuklahan 3. Peta penggunaan lahan Peta Lereng Peta Bentuklahan Peta Penggunaan lahan Reklasifikas Majority Registrasi Digitasi Interpretasi Deliniasi Peta Tekstur tanah Validasi lapang

Peta unit lahan

Tekstur tanah overlay overlay 1. Kepadatan bangunan 2. Jenis bangunan 3. Kepadatan penduduk

Kerentanan Kapasitas masyarakat

1. Pengetahuan bencana 2. Pengalaman bencana 3. Sosialisasi Pembobotan (weighting) Peta longsor tentatif/peta kerja

Peta Kerentanan longsor Peta kapasitas masyarakat

1. Peta lereng 2. Peta bentuklahan 3. Peta tekstur tanah 4. Peta penggunaan

lahan

Peta bahaya longsor

overlay

Peta Resiko Longsor

Penulisan Tesis Google Earth

a. Kemiringan Lereng

Data kemiringan lereng Pulau Ternate diperoleh dari data SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) resolusi 90 m yang kemudian diolah menjadi DEM (Digital Elevation Model). SRTM DEM 90 m ini equivalen dengan skala 1:32.000 (Suleman, 2012). Prosedur pengolahan datanya yaitu, pertama data SRTM 90 m dipotong sesuai dengan batas area yang akan digunakan (area of interest), dalam hal ini yaitu Pulau Ternate, kemudian dilakukan konversi proyeksi data ke sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yaitu Zone 52 North. Dengan software GIS data tersebut kemudian dianalisis menggunakan tools surface analysist, slope dan dipilih satuan kemiringan lereng dalam persen. Hasil yang diperoleh kemudian direklasifikasi menjadi lima klas yaitu 0 – 8%, 8 – 15%, 15 – 30%, 30 – 45% dan >45%. Hasil yang diperoleh ini kemudian dikonversi menjadi data vektor berupa shp.

b. Bentuklahan (Landform)

Data bentuklahan diperoleh dari interpretasi data DEM dari citra SRTM. Pertama, data disajikan dalam visualisasi Hillshade agar dapat menonjolkan morfologinya, kemudian dilakukan interpretasi secara visual. Citra Geo Eye yang diunduh dari Google Earth dipakai pula untuk interpretasi ini terutama untuk membantu melihat katerkaitan antara bentuklahan dan penutupan lahan. Bentuklahan di lokasi penelitian diidentifikasi berdasarkan aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi. Dalam hal ini, aspe k morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran bentuklahan; aspek morfogenesis terkait dengan proses pembentukan bentuklahan; aspek morfokronologis terkait dengan tahapan atau kronologi pembentukan bentuklahan; dan litologi terkait dengan material penyusun maupun struktur yang membentuk morfologi bentuklahan.

c. Penggunaan/tutupan lahan

Data tipe penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Peta Tutupan Lahan Kota Ternate skala 1 : 25.000 tahun 2010 dari Bappeda Kota Ternate. berhubung data ini dalam bentuk file jpeg, maka perlu dilakukan proses registrasi dan penyesuaian sistem proyeksi dan digitasi dengan sofware GIS. Data yang diperoleh selanjutnya di-update dengan citra Geo Eye dari Google Earth tahun

2010 dan selanjutnya dilakukan validasi untuk mengetahui kebenaran hasil interpretasi pada saat kerja lapangan.

d. Kondisi Tanah

Dalam penelitian ini penetapan kondisi tanah dibatasi hanya pada penetapan tekstur tanah dengan metode penetapan kualitatif. Penetapan kelas tektur tanah di lapang didasari oleh pedoman Soil survey staff (1975) yaitu merasakan butiran bahan tanah dengan tangan atau dipirid dengan jari (Rachim, 2007). Beberapa kelas tekstur utama diuraikan sebagai berikut;

Pasir (Sand); Bahan tanah lepas dan berbutir tunggal dapat segera dilihat dan dirasakan. Jika kering, piridan di tangan menyebabkan bahan jatuh sebagian bila tekanan dihentikan. Jika lembab, piridan dapat membentuk lapisan yang jika disentuh akan hancur.

Lempung berpasir (Sandy loam); bahan tanah banyak mengandung pasir, cukup debu dan sedikit liat. Jika kering diremas, bahan akan membentuk lapisan yang segera akan jatuh sebagian. Bila lembab dipirid, lapisan dapat terbentuk dan bertahan baik tanpa pecah.

Lempung (loam); bahan mengandung pasir, debu dan liat relatif sama. Bila kering, jika dipirid akan membentuk lapisan yang bertahan baik. Jika lembab, lapisan terbentuk dan terpelihara tanpa pecah.

Lempung berdebu (silt loam); bahan tanah mengandung pasir sedang dan sedikit liat. lebih dari setengah partikel debu. Jika kering bahan akan tampak menggumpal tapi mudah dipecahkan. Jika basah, bahan dapat bergerak bersama dan membubur. Jika lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk tidak terbentuk pita, dan nampak pecah-pecah.

Lempung berliat (clay loam); Bila lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita tipis yang mudah pecah. Jika lembab, dapat membentuk lapisan yang bertahan baik, jika diremas dalam telapak tangan akan mudah pecah. Liat (clay); Bila kering membentuk gumpalan sangat keras dan bila basah akan plastis hingga sangat plastis dan lekat sampai sangat lekat. Jika lembab, dipirid dengan ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita yang panjang dan fleksibel.

Titik sampel tanah yang digunakan untuk menentukan tekstur tanah, diambil pada setiap unit bentuklahan, kemiringan lereng dan lokasi jejak longsor, namun

karena kondisi topografi Pulau Ternate pada bentuklahan lereng atas kerucut vulkanik yang memiliki lereng curam sulit ditempuh (tidak ada aksesibilitas) maka sampel tekstur tanah hanya diambil pada batas antara lereng tengah dan lereng bawah kerucut vulkanik. Untuk lereng atas digunakan pendekatan dengan memakai data sekunder, yaitu data tanah dari Peta Sistem Lahan skala 1: 250.000. Pada lokasi longsor, sampel tekstur tanah diambil dari bagian bawah penampang longsor, dimana pada kondisi alami sebelum longsor bagian tersebut merupakan horison bawah permukaan dari lapisan tanah. Pada saat penentuan tekstur di lapang, bagian ini terkadang sulit diambil secara ideal, karena seringkali sudah tercampur dengan tanah bagian atas, sehingga ada kemungkinan tercampur antara tekstur permukaan tanah dan bawah permukaan.