• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Alternatif Produksi Bersih Pada Kawasan Industri Penyamakan Kulit

Kajian produksi bersih pada kawasan industri penyamakan kulit telah dilakukan melalui pengamatan terhadap tiga industri yang didasarkan pada hasil tinjauan di lapang serta wawancara dengan pakar (Dinas Industri dan Penanaman Modal Kota Garut, Dinas Pertamanan dan Lingkungan Hidup Kota Garut, dan pihak industri). Hasil pengamatan dan wawancara tersebut memperlihatkan beberapa alternatif produksi bersih terkait dengan kondisi kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang saat ini. Berdasarkan penggunakan Metoda Perbandingan Eksponensial (MPE) maka beberapa alternatif tersebut kemudian dipilih lima alternatif yang akan dikaji lebih lanjut, yaitu pengawasan pemakaian air, peternak binaan untuk keseragaman kualitas dan kontinuitas bahan baku, pajak atau retribusi limbah untuk pengelolaan IPAL, sosialisasi hasil penelitian penyamakan kulit yang ramah lingkungan, dan proses trimming sebelum chemical treatment.

4.3.1 Pengawasan Pemakaian Air

Berdasarkan kajian pada neraca massa PD Putra Setra, kebutuhan air mencapai 120,000 liter untuk memproses 1,000 kg kulit, dengan rincian air yang dibutuhkan, sebagai berikut; untuk proses

liming, proses deliming, pickling, tanning sebesar 96,000 liter, proses pencucian, netralisasi, pewarnaan, dan peminyakan sebesar 24,000 liter.

Menurut UNIDO (2000), rincian air yang dibutuhkan secara umum untuk proses penyamakan 32,200 L/ton sebagai berikut: untuk proses liming, proses deliming, proses pickling dan tanning sebesar 21,000 liter, proses pencucian, netralisasi, pewarnaan, dan peminyakan sebesar 11,200 liter.

Terlihat jelas selisih jumlah air yang digunakan PT Putra Setra dibandingkan dengan UNIDO sebesar 87,700 liter jika dibandingkan dengan referensi yang ada. Nilai selisih yang didapat sangat besar, hal ini terjadi kemungkinan dikarenakan di lapangan jumlah air yang digunakan sangat tidak sesuai dengan formulasi yang telah diberikan oleh perusahaan kepada operator. Para operator tidak memastikan jumlah debit air yang masuk sesuai dengan formulasi perusahaan, tetapi hanya memperkirakan jumlah air yang masukan ke dalam drum proses, dimana indikator kecukupan air ditentukan sebagai berikut jika kulit mengambang di permukaan air berarti air yang digunakan terlalu berlebih, kemudian jika kulit tenggelam maka air yang digunakan belum sesuai dan jika kulit mengambang di tengah-tengah air berarti air yang dimasukan telah cukup.

Kejadian ini terjadi pada 3 (tiga) perusahaan yang dikaji. Hal ini bisa atasi dengan pengadaan alat pengukur debit air (flowmeter) yang dipasang pada pipa air pada seluruh industri di kawasan atau bisa juga dilakukan pengawasan oleh supervisor, sehingga jumlah air yang masuk dapat dengan mudah terpantau dan pemanfaatan air yang optimal dapat menghemat air tanah serta meminimasi limbah cair pada lingkungan di kawasan industri penyamakan kulit.

4.3.2 Peternak binaan untuk keseragaman kualitas dan kontinuitas bahan baku

Bahan baku yang diperlukan oleh industri penyamakan kulit berupa kulit mentah yang belum diproses. Jaminan kualitas bahan baku sangat penting untuk memperoleh kualitas produk jadi. Dengan adanya peternak binaan, keseragaman kualitas bahan baku dapat diatur sedemikian rupa sehingga kawasan industri penyamakan kulit bisa memperoleh kualitas bahan baku dengan seragam. Manfaat lainnya yaitu tersediaanya bahan baku yang kontinu dimana keberadaannya menjadi sangat penting ketika ketika suatu saat terjadi kelangkaan bahan baku dan perusahaan tidak perlu khawatir akan kontinuitas bahan bakunya. Agar keseragaman dan kontinuitas bahan baku tetap terjaga perusahaan atau kawasan industri perlu menjaga hubungan dengan peternak, dengan cara pembinaan yang terus- menerus.

4.3.3 Pajak atau Retribusi Limbah untuk pengelolaan IPAL

Kawasan industri penyamakan kulit Sukaregang memiliki tiga unit IPAL. IPAL ini dibangun oleh pemerintah setempat dan dapat menampung dan mengolah semua limbah cair hasil penyamakan kulit. Namun kenyataan di lapangan, IPAL yang ada tak satupun berfungsi secara optimal. IPAL yang telah ada hanya berfungsi sebatas menampung dan mendistribusikan air limbah menuju ke sungai saja. Hal ini terjadi karena tak tersedianya dana pengoperasian IPAL, menurut informasi yang didapat dari Dinas Lingkungan dan Pertamanan Garut, dana yang dibutuhkan untuk mengoperasikan IPAL mencapai 1.7 Milyar rupiah per tahun. Dana sebesar ini tidak dapat dianggarkan dalam anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pada akhirnya keberadaan IPAL hanya sebatas alat penampung dan pendistribusian limbah cair ke sungai saja sehingga kandungan zat berbahaya tetap mengancam lingkungan. Oleh sebab itu, Pajak atau retribusi limbah sebagai solusi untuk aktifasi IPAL tampaknya perlu dilakukan agar IPAL yang ada bisa beroperasi kembali. Jika dikalkulasikan dengan asumsi masing-masing perusahaan membayar pajak dengan jumlah yang sama, maka setiap perusahaan wajib membayar retribusi sebesar 5 juta rupiah per tahun. Namun jumlah itu akan berkurang jika dilakukan perhitungan jumlah retribusi berdasarkan faktor beban limbah yang dihasilkan atau yang masuk ke dalam IPAL. Besaran Jumlah ini perlu dilakukan mediasi antar pihak industri, Dinas Perindustrian

Garut, Dinas Lingkungan dan Pertamanan Garut.

Instalasi limbah atau IPAL pada kawasan industri penyamakan kulit di Garut sebaiknya menyediakan instalasi daur ulang krom di masing-masing IPAL, disamping mengurangi pencemaran limbah krom, krom yang didapat dari pengolahan ini dapat dimanfaatkan kembali atau (reuse) dalam proses penyamakan. Menurut UNIDO (2000a), pada proses penyamakan menggunakan krom, 60% krom tersebut akan terserap dalam kulit, sedangkan 40%-nya akan tersisa di dalam limbah cair. Sisa krom dalam limbah tersebut dapat dilakukan proses recovery. Recovery krom dilakukan dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut: Pertama, Penyaringan. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran padat dengan cairan krom. Kedua, cairan krom yang bebas padatan tersebut diendapkan dengan penambahan basa sehingga pH naik menjadi 8-8.5. Ketiga, pemisahan cairan dan padatan dilakukan setelah krom mengendap kurang lebih 1 hari. Cairan dialirkan ke IPAL sementara padatan dipakai untuk penyamakan kembali tetapi sebelumnya dilarutkan dalam larutan asam.

4.3.4 Sosialisasi hasil penelitian penyamakan kulit yang ramah lingkungan

Perkembangan pesat industri kulit menyebabkan banyaknya institusi pendidikan yang mengkaji industri penyamakan kulit. Selain itu, pemerintah turut pula berkecimpung (Balai Kulit) dalam mengkaji seluk-beluk perindustrian kulit. Baik institusi pendidikan maupun balai milik pemerintah keduanya melakukan riset-riset terkini terkait dengan industri penyamakan kulit, namun hasil dari riset-riset tersebut belum sepenuhnya teraplikasikan di lapangan karena keterbatasan akses terhadap industri penyamakan kulit yang ada. Selain itu, penelitian mengenai industri penyamakan kulit yang ramah lingkungan pun masih jarang dilakukan, kalau pun telah tersedia kenyataannya pihak industri masih belum mengetahui informasi tersebut. Jika pihak industri dapat memperoleh akses terhadap hasil penelitian-penelitian tersebut, maka persoalan lingkungan akibat keberadaan industri penyamakan kulit bukan lagi menjadi persoalan yang rumit yang harus dihadapi.

4.3.5 Proses trimming sebelum chemical treatment

Proses trimming atau proses pemotongan tepi kulit yang bertujuan untuk merapihkan lembaran kulit agar mudah untuk diproses selanjutnya. Proses trimming ini sangat bermanfaat secara tidak langsung dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Setiap bahan kulit yang dimasukan ke dalam drum sebelumnya ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan jumlah zat kimia yang digunakan

Gambar 30. Diagram alir proses recovery krom UNIT CHROM RECOVERY IPAL TERPADU PROSES PENYAMAKAN LIMBAH KROM REUSE

untuk mengolah kulit. Jika proses trimming dilakukan sebelum proses penyamakan atau chemical treatment lainnya maka akan memperoleh penghematan anggaran zat kimia yang dipakai hingga 16,82% disamping itu pula bermanfaat mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Berikut contoh perhitungan penghematan yang dapat dilakukan.

Tabel 8. Data perhitungan penghematan anggaran bahan kimia melalui trimming

Keterangan Satuan Nilai

Zat kimia Rp/sq.ft 2,000*

Konversi satuan kulit sq.ft ke kg sq.ft/kg 5.33

Massa sisa trimming kg 18.49**

Kulit sebelum trimming kg 109.9**

*diasumsikan harga bahan kimia untuk proses dying, fat liquoring, za, dan washing. ** Merujuk pada neraca massa PT ELCO Indonesia

Biaya proses tanpa trimming

= biaya zat kimia × massa kulit sebelum trimming × konversi satuan kulit Biaya proses tanpa trimming = 2,000/ . × 109.9 × 5.33 . /

= 1,171,534 Biaya proses menggunakan trimming

= 2,000/ . × (109.9 − 18.49 ) × 5.33 . / = 974,430.6 Biaya proses yang dapat dihemat = 1,171,534 − 974,430.6 = 197,103.4

Biaya proses yang dapat dihemat = 197,103.4 1,171,534 × 100% = 16.82%