• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

5.3 Analisis Data

5.3 Analisis Data

Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Anak-anak tersebut dikendalikan oleh seorang perantara yang mengatur atau mengawasi transaksi tersebut atau oleh seorang pelaku eksploitasi yang bernegosiasi langsung dengan anak tersebut.

Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Semua perbuatan ini dapat terjadi di berbagai tempat yang berbeda seperti lokalisasi, bar, klub malam, rumah, hotel, atau di jalanan. Pelacuran anak kadang-kadang bukan sebuah aktivitas yang terorganisir (tetapi biasanya memang sebuah aktivitas yang terorganisir) baik dalam skala kecil melalui germo perorangan atau dalam skala besar melalui jaringan kriminal.

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka diperoleh beberapa faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan, yaitu:

73 5.3.1 Faktor Internal

Faktor internal adalah datang dari diri anak, yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Kondisi psikologis anak berperan penting yang menyebabkan anak terjebak dalam situasi prostitusi. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak terpuaskan secara sosial dapat menimbulkan efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi kritis pada diri anak tersebut. Dalam keadaan kritis ini akan timbul konflik batin, yang secara sadar atau tidak sadar anak akan mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dialaminya.

Dengan keadaan demikian, anak akan mudah terpengaruh apabila dalam keadaan jiwa yang labil, mengingat usia anak masih muda. Berbagai faktor internal secara psikologis yang menyebabkan anak terjebak dalam situasi prostitusi, antara lain moralitas yang tidak berkembang (tidak bisa membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan tingkat pendidikan anak yang rendah.

1. Gangguan Kepribadian

1.a Gangguan Cara Berpikir

Gangguan cara berpikir ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain; pandangan atau cara berpikir yang keliru atau menyimpang dari pandangan umum yang menjadi norma atau nilai-nilai hakiki dari apa yang dianggap benar oleh komunitasnya. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa informan I, II, III, dan IV merasa apa yang dilakukan tidak salah dan dianggap lumrah. Hal ini disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal mereka tidak memberi perspektif lain dari apa yang mereka anggap benar.

74

Membuat alasan-alasan yang dianggap benar menurut penalarannya sendiri guna membenarkan perilakunya yang menyalahi norma-norma yang berlaku. Dengan cara pandang dan cara berpikirnya yang keliru, biasanya individu yang mengalami cara berpikir distorsi ini akan menghalalkan segala tindakannya dengan mengemukakan alasan-alasan yang tidak wajar. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa informan II, IV, dan V menanggap kehidupan malam adalah salah satu cara untuk melampiaskan emosi yang mereka miliki. Selain itu, nge-pil mereka anggap sebagai salah satu solusi dari permasalahan yang mereka miliki. Apapun yang menjadi masalah yang sedang mereka hadapi, solusi terbaik yang mereka punya adalah ke tempat hiburan malam.

Jelas terlihat bahwa RS dan MA menganggap bahwa NZ adalah rumah dimana mereka bisa pulang dalam keadaan apapun dan mereka menganggap akan selalu ada orang yang mau menerima mereka apa adanya disana. Oleh karena itu, informan II, IV, dan V mengabaikan norma yang ada dan membenarkan dirinya atas perilakunya yang salah itu berlandaskan alasan-alasan yang dibuat-buat sekehendak hatinya. Prinsip asal ada alasan, maka tindakannya dapat dibenarkan. Selain itu, informan I dan III menganggap menjual diri kepada sesama laki-laki tidak merugikan diri mereka, malahan mendatangkan rejeki dan kenikmatan bagi mereka.

1.b Gangguan Emosi

Adanya gangguan emosi, antara lain emosi labil, mudah marah, mudah sedih dan sering kali putus asa, ingin menuruti gejolak hati, maka kemampuan pengontrolan atau penguasaan dirinya akan terhambat. Hal yang serupa, informan III terbawa romantika cinta sejenis yang dianggapnya sebagai ekspresi gender yang ia miliki. Dalam Theory of Genderbread, ada empat bagian dari gender. Yang pertama

75

adalah Identitas Gender, yaitu bagaimana seorang manusia mengidentifikasikan identitas gendernya di dalam pikirannya. Apakah dia woman (perempuan) atau man (laki-laki), atau bahkan nongendered (tidak memiliki identitas gender). Yang kedua adalah Ekspresi Gender, yaitu bagaimana seorang manusia mengekspresikan gender yang ia miliki melalui cara berpakaian, gerakan, bahkan cara berbicara. Apakah dia feminime (perempuan) atau masculine (laki-laki), atau bahkan agender (tidak mengekspresikan gendernya). Yang ketiga adalah Biological Sex, yaitu kelamin manusia sejak ia dilahirkan. Apakah dia female (perempuan) atau dia male (laki-laki) , atau bahkan dia asexual (tidak memiliki keduanya). Yang keempat adalah Identitas Seksual, yaitu bagaimana seorang manusia mengidentifikasi ketertarikannya baik secara spirit dan romantika. Apakah dia homoseksual (lesbian, gay, biseksual, transgender), atau dia heteroseksual, atau biseksual (menyukai keduanya). Dalam hal ini, AP mengidentifikasikan dirinya secara seksual sebagai seorang homoseksual.

Gangguan emosi juga dapat terwujud melalui perasaan rendah diri, tidak mencintai diri sendiri maupun orang lain, tidak mengenal cinta kasih dan simpati, tidak dapat berempati, rasa kesepian dan merasa terbuang. Tidak jarang orang yang mengalami gangguan emosi menjadi takut kehilangan teman walau tahu temannya memiliki niat jahat. Informan II yang memiliki latar belakang keluarga dengan orang tua yang telah bercerai dan pernikahannya yang masih sangat dini memicu gangguan emosi yang mendalam bagi dirinya. Jelas MA merasa tubuhnya bisa di nikmati siapa saja, agar ia tidak merasa kesepian dan mengulang luka mendalam yang pernah dialaminya.

76 1.c Gangguan Kehendak dan Perilaku

Kehendak dan perilaku seseorang selain dipengaruhi oleh fungsi fisiologis fisik, juga dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan. Jadi, kalau pikiran dan emosinya sudah mengalami gangguan, maka dapat dipastikan perilaku atau keinginannya juga mengalami dampak dari gangguan pada pikiran dan emosinya, sikap dan perilakunya akan terpengaruhi dan biasanya dapat terjadi kehilangan kontrol, sehingga bertindak tidak terkendali atau bertindak sesuai dengan norma yang ada di dalam lingkungan.

Dari hasil penelitian ini, informan I, II, III, dan IV memiliki kehendak berlebih untuk memiliki teman. Dengan pengalaman pertama menjadi PSK, membuat perilaku semua informan tidak terkotrol untuk tidak mengulanginya lagi.

2. Pengaruh Usia

Dengan mencapai usia mendekati masa remaja, maka kelenjar kelamin mulai menghasilkan hormon yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seksual anak yang meningkat pada usia remaja. Dalam akil baliqh ini banyak perubahan yang terjadi. Perubahan secara fisik jelas terlihat dari bertambah tinggi, besar badan, tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara pada wanita dan tumbuhnya jakun pada pria. Diikuti oleh perubahan emosi, minat, sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh perkembangan kejiwaan anak remaja itu. Pada saat-saat ini, remaja mengalami perasaan ketidakpastian, di satu sisi, merasa sudah bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi belum mampu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa karena memang masih sangat muda dan kurang pengalaman. Pada masa ini remaja lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya, ingin jadi anak gaul yang diterima di dalam lingkungannya dan mulai mencari identitas

77

dirinya. Ingin nge-tren dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Rasa ingin tahu besar, dan suka coba-coba hal baru, kurang mengerti resiko disebabkan kurangnya pengalaman dan penalaran. Dalam keadaan demikian, biasanya remaja mudah terjebak ke dalam kenakalan remaja ataupun penyalahgunaan narkoba.

Informan I, II, III, IV, dan V mengenal dunia prostitusi sejak berusia anak-anak. Informan I sejak kelas 2 SMP, informan II sejak usia 16 tahun, informan III sejak duduk di bangku kelas 6 SD, informan IV sejak SMA, dan informan V selaku germo sejak kelas 3 SMP. Usia yang masih sangat muda mempengaruhi semua informan memasuki dunia prostitusi. Anggapan bahwa masih muda, cantik/ganteng, dan kuat membuat mereka terlena dan terus bekerja sebagai PSK.

3. Pandangan atau Keyakinan yang Keliru

Banyak remaja yang mempunyai keyakinan yang keliru dan menganggap enteng akan hal-hal yang membahayakan, sehingga mengabaikan pendapat orang lain, mengganggap dirinya pasti dapat mengatasi bahaya itu, atau merasa yakin bahwa pendapatnya sendirilah yang benar, akibatnya mereka dapat terjerumus ke dalam tindakan kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba.

Dalam penelitian ini, semua informan merasa apa yang mereka lakukan hari ini tidak akan berlanjut di kemudian hari. Mereka menganggap pekerjaan ini hanya sementara selagi masih muda dan suatu hari nanti akan mendapatkan pekerjaan yang halal dan tidak terlibat prostitusi lagi. Nyatanya, Informan II dan III kini menjadi germo/mucikari.

78 4. Religiusitas yang Rendah

Anak yang bertumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang religiusitasnya rendah, bahkan tidak pernah mendapat pengajaran dan pengertian mengenai Tuhan-nya secara benar maka biasanya memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Dengan demikian tidak ada patokan akan nilai-nilai yang dianutnya untuk bertindak, sehingga berperilaku sesuka hatinya, tidak tahu masalah yang baik dan buruk dan tidak takut akan berbuat dosa.

Dalam penelitian ini hanya informan III yang mau menjawab pertanyaan peneliti mengenai religiusitas. Demi kenyamanan informan, peneliti tidak mempertanyakan kembali. Informan III menceritakan rutinitasnya sehari-hari mulai dari bangun tidur. Ia bangun saat sebelum subuh dan menjalankan salat subuh, setelah itu ia melakukan aktivitas seperti biasa. Menurut pengakuan AP, ia berusaha untuk tidak meninggalkan salat 5 waktu.

Sementara itu, informan V mengaku takut akan dosa dan karma. Karena RR memiliki adik perempuan, ia takut suatu saat ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada adiknya karena apa yang ia lakukan sebagai seorang germo/mucikari. Ia juga sering menasehati anak-anaknya agar takut akan Tuhan. Namun, karena RR juga bekerja sebagai germo, anak-anaknya tidak mendengar apa yang ia katakan. RR mengatakan bahwa akan menyelesaikan semua yang telah ia lakukan. Ia masih percaya akan neraka dan surga.

79 5.3.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah penyebab yang datang bukan secara langsung dari dalam diri anak, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pendidikan yang rendah, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan kegagalan percintaan.

1. Ekonomi

Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja membuat seseorang melakukan hal yang nekat, oleh sebab itu seorang anak terjebak dalam prostitusi dikarenakan adanya tekanan ekonomi. Yaitu kemiskinan yang dirasakan secara terus menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah. Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil. Sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh bantuan dan ganti rugi.

Dalam penelitian ini, kemiskinan bukan hal mutlak yang menyebabkan informan menjadi PSK. Kondisi sosial ekonomi keluarga informan-informan tersebut tidak dikategorikan miskin. Orang tua informan I berprofesi sebagai pegawai swasta dan memiliki penghasilan tetap setiap bulannya. Rumah yang ditinggali orang tuanya juga sudah memiliki hak milik, dan hanya memiliki tiga orang anak. Dalam hal ini, kebutuhan sehari-hari JS masih bisa dibiayai orang tuanya. Namun, JS merasa ada banyak yang harus ia beli dengan penghasilannya sendiri. Kalau bukan karena uang,

80

JS tidak mau menjual dirinya kepada laki-laki, karena secara seksualitas ia tidak tertarik kepada laki-laki.

Informan II, yaitu MA juga demikian. Meskipun orang tuanya sudah bercerai, ibu MA adalah seorang PNS. Situasi dan kondisi dimana MA merantau ke Kota Medan dan menghidupi dirinya sendirilah yang menjadikan ekonomi sebagai faktor penyebab MA masih berprofesi sebagai PSK. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, bukan masalah kemiskinan yang menyebabkannya, namun keinginan untuk menikmati penghasilan yang lebih tinggilah yang membuat MA bertahan. Selain menjadi PSK, secara ekonomi seharusnya ia masih memiliki sumber penghasilan sebagai SPG dealer kendaraan bermotor dan juga sebagai seorang germo/mucikari.

Informan III secara terbuka mengatakan bahwa ia memang membutuhkan uang selain ia memang tertarik dengan laki-laki. Orang tua AP berjualan bandrek di dekat rumahnya, dan masih membiayai AP hingga tamat SMA. Baginya, mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang tidak merugikan baginya adalah satu pencapaian tinggi saat ini meskipun penghasilannya kini tidak terlalu banyak dari profesinya sebagai PSK. Awal-awal ia berprofesi sebagai PSK, AP bisa melayani tiga hingga lima tamu dalam sehari. Artinya, dalam seminggu AP bisa menghasilkan jutaan rupiah dari pekerjaan yang ia lakukan. Kini, dalam seminggu paling banyak dua tamu yang dilayaninya. Hal ini disebabkan permintaan PSK laki-laki semakin menurun karena banyak yang bisa dinikmati secara gratis.

Informan IV tidak mengalami kesulitan ekonomi sama sekali. Sama dengan informan II, ia juga berprofesi sebagai SPG dealer kendaraan bermotor. Selain itu, ia juga memiliki usaha bersama orang tuanya, yaitu penjualan biji cokelat. Bukan soal

81

ekonomi, namun keinginan untuk menikmati penghasilan yang tinggilah yang menyebabkan RS bertahan dalam situasi prostitusi.

Informan V menuturkan bahwa tak jarang ‘anak-anak ayam’ yang ia tawarkan berasal dari keluarga kaya. Artinya, bukan permasalahan kesulitan ekonomi yang menyebabkan anak-anak tersebut menjadi PSK, namun permasalahan lain diluar itu. Namun tak bisa dipungkiri, ada anak-anak yang justru meminta pekerjaan kepada RR. Sebab, anak-anak tersebut tinggal dalam kos-kosan yang jauh dari orang tuanya. Mau tidak mau, anak-anak tersebut harus tetap bertahan hidup secara ekonomi di tengah-tengah kehidupan Kota Medan.

2. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan (Gunarsa, 2003:20). Kecenderungan melacurkan diri pada banyak anak untuk menghindari kesulitan hidup. Selain itu untuk menambah kesenangan melalui jalan pintas. Menjadi pekerja seks komersial dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin dimiliki.

Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari penghasilan sebagai seorang pekerja seks. Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan semakin jauhnya

82

norma-norma dari orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi. Pergeseran sudut pandang mengenai nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus dimiliki.

Dalam penelitian ini, gaya hidup merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak menjadi PSK di Kota Medan. Hasil wawancara dengan informan menyebutkan, Informan I ketagihan melayani tamu karena adanya iming-iming imbalan yang cukup besar untuk anak SMP. Karena terbiasa memiliki banyak uang, pergaulan JS semakin meningkat. Ada rasa ingin memiliki barang-barang mewah dari dalam diri JS dan ia harus memenuhinya. Informan II, yaitu MA mulai kecanduan gemerlapnya kehidupan malam di Kota Medan. Saat awal memulai pekerjaannya sebagai PSK, hampir setiap malam ia pergi ke diskotik. Dengan penghasilan yang ia dapatkan dengan menjadi PSK, kebutuhan yang ia perlukan semakin banyak. Informan III adalah pribadi yang tertutup dan pendiam. Ia tidak menyukai dunia malam dan lingkungan pergaulannya tidak seperti itu. Informan IV, yakni RS mulai mencari-cari kesenangan bersama teman-temannya dengan pergi ke diskotik saat akhir pekan. Padahal, ia tinggal di Lubuk Pakam waktu itu. Namun, dengan gaya hidup yang tidak bisa ditinggalkannya, ia selalu pergi ke diskotik. Selain itu, hobby berbelanja yang RS miliki membuatnya menghabiskan banyak uang yang telah ia hasilkan.

Dalam keseharian, informan V bersama teman-temannya senang dugem ke diskotik. Bahkan, ia bercerita sepulang dari diskotik mereka akan check-in di hotel dan bukan pulang ke kos atau rumah. Gaya hidup yang seperti inilah yang hampir setiap hari dilakukannya dengan ‘anak-anak ayamnya’. Meskipun tidak ada tamu,

83

yang penting bisa dugem sudah menjadi kesenangan sendiri bagi mereka. Sebab, ia mengenal anak-anaknya di diskotik, bar, KTV, dan tempat hiburan malam lainnya.

3. Kegagalan Kehidupan Keluarga

Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang perannya besar dalam perkembangan sosial, terlebih pada fase awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Di dalam keluarga ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang. Perilaku negatif dan sebagainya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang dialami anak dalam keluarga. Hubungan antara pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara orang tua, saudara, menjadi faktor yang penting munculnya perilaku yang tidak baik.

Kegagalan ini dialami oleh informan II, yaitu MA. Orang tua MA sudah bercerai saat ia masih SMP. Orang tuanya yang sering bertengkar di depan MA membuat trauma tersendiri dalam dirinya. Selain itu, ia juga mengalami kekerasan dari ayahnya. MA juga sudah pernah menikah saat usianya masih 16 tahun. Kegagalan kehidupan rumah tangganya ini jugalah yang menjadi satu tekanan baginya untuk menemukan kesenangan diluar keluarga ini. Ia merasa dengan menjadi PSK, ia menemukan keluarga baru.

Informan V sebagai seorang germo juga tak jarang mendengarkan curahan hati anak-anaknya. Kebanyakan, anak-anaknya menjadi PSK karena tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Orang tuanya yang sibuk bekerja dan tidak ada waktu bersama anak-anak menjadi penyebab ‘anak-anak ayam’ tersebut

84

mencari keluarga dan kesenangan baru. Menurut RR, ‘anak-anak ayam’-nya yang keseluruhannya perempuan merasa mendapatkan kasih sayang dari tubang yang dilayaninya seperti seorang ayah. Selain itu, tidak adanya peran keluarga yang menguatkan mereka untuk tidak mengalami kebosanan ketika berada di rumah menjadi penyebab juga mereka mencari hal baru dan tidak membuat mereka bosan di luar keluarga, yaitu dunia malam dengan dugem ke diskotik-diskotik yang ada di Kota Medan.

4. Teman Sebaya

Kelompok bermain atau yang sering disebut teman sebaya (peer groups) memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak. Teman sebaya berfungsi memberikan informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga.

Kontribusi sebuah persahabatan pada status teman sebaya memberikan banyak manfaat. Antara lain manfaat pertemanan, dalam persahabatan memberikan anak seorang teman yang akrab yang bersedia untuk menghabiskan waktu dan bergabung dalam aktivitas kolaboratif. Selain itu juga, seorang sahabat dapat memberikan bantuan kapanpun dibutuhkan, sahabat dapat memberikan dukungan sosial, dapat memberikan suatu hubungan yang hangat, penuh kepercayaan, sehingga timbul rasa nyaman dan adanya keterbukaan untuk berbagi informasi pribadi.

Dalam penelitian ini, setiap informan memberikan pernyataan yang sama mengenai peran teman sebaya berkaitan dengan pekerjaannya sebagai PSK. Informan I mengenal dunia prostitusi dari teman sebayanya. Berawal dari kegemaran bermain futsal, JS dikenalkan temannya kepada AP di lapangan futsal di daerah Sisingamangaraja. Diiming-imingi dengan sejumlah uang dan dorongan yang kuat

85

dari teman sebayanya membuat JS mau menjual dirinya. Rasa solidaritas yang ditunjukkan teman-teman sebayanya meyakinkan JS bahwa apa yang ia lakukan tidak salah, karena hampir semua temannya melakukan hal yang sama.

Informan II merasa senang dengan lingkungan barunya saat MA pertama kali pindah kos. Ia merasa memiliki teman-teman satu visi dan misi, yaitu bersenang-senang. Berawal dari pernikahan dini yang ia jalani, ia sudah tidak perawan. Teman-temannya mengetahui hal tersebut dan mendorongnya untuk mendapatkan penghasilan dari ketidak-perawanannya tersebut. Atas dorongan dan kenangan buruk di masa lalu tersebut, MA menjual dirinya untuk tujuan prostitusi.

Informan III tak jauh beda dengan informan I dan II. Ia pertama kali dikenalkan kepada Om Bobby oleh teman sepermainannya. Ternyata, menurut penuturan AP, kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun menurun dan sudah terjadi kepada beberapa angkatan sekolah mereka terutama yang hobby bermain futsal dengan mereka. Kegiatan yang terjadi secara terus menerus inilah yang membuat AP yakin akan apa yang dilakukannya baik karena semua teman-temannya

Dokumen terkait