• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DAN TEMUAN KAJIAN

5.1 Analisis Gap

5.1.1 Prona

Program sertifikasi tanah melalui Program Nasional (Prona) dapat dikatakan sebagai program andalan BPN karena diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah dengan kriteria yang telah ditetapkan dan telah dimulai sejak tahun 1981. Jika dihitung sejak 1981 hingga tahun 2010, penerbitan sertipikat melalui Prona mencapai 4.979.920 bidang tanah dan khusus tahun 2010 mencapai 222.652 bidang

tanah.22 Sedangkan dari target untuk tahun 2011 yang mencapai 560.160 bidang

tanah.

Adapun enam peringkat tertinggi realisasi Prona per kantor pertanahan pada

tahun 2010 adalah sebagai berikut:23

 Propinsi Bengkulu (realisasi 134,33 %)

 Propinsi Papua Barat ( 105,74 %)

 Propinsi NTT (realisasi 101,71 %)

 Propinsi Sumatera Utara (realisasi 101,56 %)

 Propinsi Jateng (realisasi 100,49 %)

 Propinsi Kaltim (100,48 %)

Dalam pelaksanaan, banyak peserta PRONA yang notabene menerima subsidi dari APBN tidak memiliki kriteria yang sesuai. Dalam hal ini, peserta PRONA tidak semuanya masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, biaya yang harus dibayar oleh masyarakat masih cukup besar dan proses sertifikasinya kurang transparan. Di sisi lain, belum adanya mekanisme monitoring dan evaluasi apakah

22

Majalah Bhumi Bhakti BPN RI edisi 09 tahun 2011, hal. 8.

23

PRONA yang merupakan program nasional telah mencapai target sesuai dengan yang diharapkan.

Kajian ini mendapatkan berbagai data dan informasi mengenai PRONA yang perlu dikaji lebih mendalam mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu dipertajam dalam pengumpulan data di lapangan mengenai kriteria masyarakat miskin atau golongan ekonomi lemah yang dilakukan oleh Kantah setempat. Tidak adanya mekanisme yang jelas atau standard dalam penentuan lokasi PRONA dan siapa yang akan menjadi peserta PRONA akan menentukan apakah sasaran yang hendak dicapai oleh PRONA dapat diwujudkan.

2. Mengenai biaya yang dibebankan kepada peserta Prona. Mengingat bahwa BPN sendiri mengharapkan bagi para penerima Prona dibebaskan dari segala biaya yang timbul atasnya kecuali BPHTB. Namun demikian, masih dimungkinkan adanya biaya lain yang dikeluarkan atau yang yang timbul selama proses sertifikasi berlangsung seperti biaya transport dll. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai kriteria biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta Prona jika memang harus mengeluarkan biaya atas proses pelaksanaan Prona.

3. Mengenai penentuan target jumlah bidang dalam setiap pelaksanangan Prona di masing-masing Kantah. Dalam hal ini perlu adanya satu SOP yang standard apakah ditetapkan oleh Kantah atau Kanwil Pertanahan atau ada mekanisme lain untuk memastikan bahwa sasaran PRONA sudah sesuai dengan maksud dan tujuan PRONA itu sendiri.

4. Perlu diinventarisasi data mengenai data bidang tanah yang terdapat di seluruh wilayah kerja kantor pertanahan sebagai dasar perencanaan pendaftaran tanah masing-masing Kantah.

5.1.2 Sertifikasi Massal Swadaya (SMS)

Dalam pelaksanaan kegiatan SMS ini, pada kenyataannya ditemukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Biaya sertifikasi tanah yang dikeluarkan oleh masyarakat melalui program SMS tidak lebih murah.

2. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian sertifikat juga belum tentu lebih cepat dibandingkan sertifikasi sporadis oleh masyarakat sendiri.

Oleh karena itu, perlu lebih diperdalam pelaksanaan SMS ini pada hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah SMS dilaksanakan secara rutin oleh Kantah setempat.

2. Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan oleh Kantah agar masyarakat dapat berinisiatif untuk ikut serta dalam SMS ini.

3. Berapakah biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang mengikuti program ini dan dibandingkan dengan persertifikatan tanah secara mandiri.

4. Apakah memang biaya dalam SMS ini lebih murah dibandingkan sertifikasi tanah secara sporadis.

5. Apakah ada target tertentu dalam pelaksanaan SMS ini. 5.1.3 Sertifikasi Tanah Lintas Kementerian/Lembaga 5.1.3.1 Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja

Dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Kementerian Transmigrasi ternyata pengembangan daerah transmigrasi tidak sesuai dengan tata ruang serta penggunaan lahan tidak sesuai dengan RTRWP setempat. Pelaksanaan transmigrasi juga terkendala dengan kurangnya infrastruktur didaerah tujuan transmigrasi. Selain itu, belum semua daerah menyelesaikan peraturan daerah tentang tata ruang sesuai amanat UU Penataan Ruang. Belum selesainya sinkronisasi peraturan dari berbagai kementerian/lembaga dengan UU No. 26 tahun 2007 seperti sektor kehutanan, pertanian, pertambangan, trasportasi, pengairan, penanaman modal, pertanahan.

Di sisi lain, dalam rangka menjadikan tanah sebagai salah satu sumber perbaikan kesejahteraan masyarakat, terdapat masalah mendasar pertama, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T). Dimana dalam hal ini pada tahun 2011 yang lalu BPN mengindikasikan adanya tanah terlantar seluas 7,3 juta Hektar tetapi disisi lain banyak petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga petani yang jauh dari memadai untuk mencapai skala usaha pertanian.

Ketidaksesuaian antar peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanah menjadi kendala utama baik dalam mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah maupun dalam penyelesaian serta mencegah kasus pertanahan. Kelemahan penyelenggaraan transmigrasi masa lalu juga masih menyisakan berbagai persoalan

sehingga masih terdapat 400 ribuan sertifikat hak atas transmigrasi yang dapat diselesaikan yang disebabkan oleh adanya bidang tanah transmigran di permukiman transmigrasi yang berada di kawasan hutan, adanya okupasi berbagai kepentingan lain setelah pemukinan tumbuh dan berkembang, dan adanya bidang tanah yang subjek dan objeknya berbeda. Dapat dikatakan sebagian besar permasalahan tanah karena tidak terpenuhinya hak transmigran, tuntutan penduduk dan tumpang tindih dengan investor. Pada kenyataannya, daerah-daerah transmigrasi belum sesuai dengan harapan dimana dalam rangka membangun daerah-daerah tertinggal dengan berbagai kendala dan permasalahan yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, perlu dilakukan penataan yang arif untuk mengurangi kesenjangan penguasaan tanah, memperkecil resiko sengketa tanah, serta menanggulangi kemiskinan terutama di pedesaan.

Selain itu, upaya redistribusi tanah perlu dilakukan dengan memperhatikan tata ruang yang efisien melalui persiapan yang matang sebelum tahap sertifikasi. Dengan demikian, akan diperoleh adanya jaminan akses terhadap sumber daya produksi setelah diperolehnya sertifikat tanah. Dalam konteks ini, diharapkan adanya upaya penertiban dan pendayagunaan tanah sebagaii aset produksi bagi masyarakat.

Jika disederhanakan, maka terdapat gap antara desain dengan kenyataan dilapangan sebagai berikut:

1. Ketidaksesuaian daerah transmigrasi dengan rencana tata ruang setempat. 2. Penyediaan infrastruktur yang tidak memadai di daerah transmigrasi.

3. Ketiadaann peraturan teknis sebagai pelengkap pengaturan tentang tata ruang 4. Belum sepenuhnya hasil sertipikasi dapat dijadikan sebagai alat untuk

menembus permodalan dari perbankan.

Oleh karena itu, kajian ini akan perlu dianalisis dan diperdalam hal-hal sebagai berikut:

1. Mengenai apakah kantah setempat telah memiliki rencana tata ruang yang menjadi dasar bahwa objek kegiatan apakah telah sesuai atau tidak dengan tata ruang setempat.

2. Mengenai bagaimana proses penetuan dalam menentukan subjek dan objek kegiatan.

3. Mengenai apakah subjek dan objek kegiatan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

4. Mengenai apakah pelaksanaan sertipikasi telah berhasil 100 persen (kesesuaian antara rencana dan pelaksanaan).

5. Mengenai apakah subjek sertipikasi telah mendapatkan akses ke permodalan dari perbankan pasca sertipikasi.

5.1.3.2 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Adapun program pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program Sertifikasi Hak Atas Tanah Nelayan (SeHAT) telah dimulai sejak tahun 2009 yang lalu berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan pada tahun 2008. Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan jaminan kepada nelayan untuk meningkatkan kualitas permukiman yang layak, permanen dan sehat, meningkatkan kepastian usaha nelayan dan meningkatkan minat dan kepercayaan lembaga keuangan untuk menyalurkan kredit kepada nelayan kecil.

Periode 2009-2010 diketahui sebanyak 4489 sertifikat diberikan kepada nelayan dari sebanyak 4500 sertifikat yang ditargetkan. Sedangkan pada periode tahun 2010-2014 ditargetkan sebanyak 47.000 sertifikat tanah yang akan disampaikan kepada nelayan. Program ini merupakan kerjasama antara KKP dengan

Deputi Bidang Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat (BPN).24

Dalam pelaksanaan pendaftaran Kementerian Kelautan dan perikanan, ditemukan kondisi yang lebih khusus seperti Pertama, Objek tidak sesuai dengan RTRW. Selain itu, objek terkendala dengan kurangnya syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk ikut dalam program ini. Kedua, subjek juga tidak tepat sasaran. Ketiga, penentuan subjek peserta program tidak melibatkan Bank pelaksana. Hendaknya Dinas setempat melibatkan juga bank pelaksana untuk melihat kemampuan untuk mengakses modal setelah pasca sertipikasi. Ketiga, permasalahan teknis juga menjadi kendala dimana tenaga ukur sangat minim. Keempat, siapakah yang berwenang untuk menentukan kriteria penerima subsidi. Kelima, ketidaktahuan para nelayan terhadap program ini sehingga para nelayan cenderung ogah-ogahan dalam pensertipikatan tanah yang dimilikinya. Keenam, tidak adanya sosialisasi yang terpadu dari instansi berwenang setempat. Ketujuh, pencairan dana subsidi yang sering terlambat bahkan pada tahun anggaran berikutnya.

24

http://www.antaranews.com/berita/327522/kkp-targetkan-47-ribu-sertifikat-tanah-nelayan, diakses pada 15 Novemver 2012.

5.1.3.3 Kementerian Koperasi dan UMKM

Program pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat pada tahun 2011 yang lalu dimana hasil program sertifikasi hak atas tanah terhadap lahan milik pelaku usaha mikro dan kecil yang digunakan sebagai agunan kredit mencapai 84,19 persen dimana 20.000 pelaku usaja mikro dan kecil yang diseleksi dan berasal dari 30 provinsi.25

Menurut laporan yang diberikan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM dari sampel keberhasilan program ini pada tahun 2011 yang lalu yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Dimana prosentase keberhasilan di Sumatera Barat mencapai 100 %

(142) sedangkan di Jawa Barat mencapai 86 % (122 orang).26

Selain itu, dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah Kementerian Koperasi dan UMKM yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 hingga 2011 ini belum dapat dilaksanakan secara baik di kabupaten/kota target hal ini disebabkan PMK tidak dapat memenuhi persyaratan.

Pada umumnya target tidak tercapai disebabkan beberapa hal sebagai berikut: a. Tanah UMK yang akan disertipikat masih bermasalah, dan masih dalam

sengketa

b. Salah subjek, karena subjeknya masih di bawah umur dan salah sasaran (bukan UMK)

c. Permasalahan teknis yang terjadi di kementerian sehingga dana bantuan sertipikasi tanah baru dapat cair pada akhir tahun anggaran (sekitar bulan november) sehingga kegiatan baru dilaksanakan tahun berikutnya.

d. Persyaratan untuk melaksanakan sertifikasi tanah tidak atau belum dilengkapi oleh UMK baik meliputi alas hak, BPHTB dan formulir daftar isian

Selain itu, dalam pelaksanaannya, kriteria objek dapat dipenuhi oleh peserta, kecuali luas tanahnya. Dimana luas peserta UMK di pulau jawa kurang dari 200 meter persegi dan diluar Jawa relatif lebih luas. Luas tanah UMK yang disertipikatkan ini adalah tanah non pertanian.

Selain itu, dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh UMK, maka BPHTB merupakan salah satu persyaratan yang banyak memberatkan PMK terutama yang

25

http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-negara-koperasi-a-ukm/485-ukm/11454-progra,-sertifikasi-tanah-diklaim-bantu-modal-ukmhtml diakses pada 15 November 2012.

berada diluar pulau Jawa karena tanahnya luas-luas sehingga biaya BPHTBnya juga cukup besar akibanya banyak UMK yang tidak mampu membayarnya mengingat biaya BPHTB ini melebihi besarnya subsidi sertipikasi tanah dan walaupun dinas KUKM telah meminta keringanan sampai dengan 75 persen namun masih banyak PMK yang tidak mampu untuk membayarnya.

Selain itu,ada daerah yang tidak melibatkan bank pelaksana untuk menentukan peserta UMK sehingga hal ini tidak sesuai dengan juknis. Pelaksanaanya UMK penrima bantuan yang telah diseleksi oleh Bank Pelaksana dan atau Dinas KUKM yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan, kemudian diajukan kepada Dinas KUKM untuk diseleksi kembali dan ditetapkan menjadi peserta program ini.

Apabila seleksi dilakukan oleh Bank Pelaksana, maka Bank Pelaksana akan meneruskan hasil identifikasi dan seleksi kepada Kantor Pertanahan yang kemudian akan melakukan verifikasi atas hasil seleksi Bank BRI. Kantor Pertanahan akan melihat kelayakan subjek dan objek tanahnya yang kemudian hasil verifikasi yang terdiri dari daftar nama calon peserta program yang dilengkapi dengan rincian perhitungan perkiraan biaya pembuatan sertifikat, dan dokumen kelengkapan yang harus dipenuhi UMK. Hasil verifikasi kemudian disampaikan kepada Bank Pelaksana dan Pokja Kota untuk disampaikan kepada masing-masing UKM untuk memastikan keikutsertaanya dalam program.

Apabila seleksi dilakukan oleh Bank Pelaksana kemudian diseleksi kembali oleh Dinas KUKM, maka dinas KUKM Kabupaten/kota yang meneruskan hasil identifikasi dan seleksi kepada Kantor Pertanahan. Yang kemudian disampaikan kembali kepada dinas KUKM kabupaten/kota untuk disampaikan kepada masing-masing UMK peserta program untuk memastikan keikutsertaannya dalam program ini.

Dapat dikatakan bahwa program ini berjalan lancar dan tidak berbelit-belit karena hanya dilaksanakan oleh Kantah setempat.

Untuk beberapa daerah seperti Konawe Selatan, pernah mendapatkan bantuan untuk pembebasan biaya tambahan sertifikasi atau tidak ada penambahan biaya untuk pensertifikatan tanahnya dalam program ini.

Adapun kendala yang ditemui dilapangan adalah sebagai berikut:

b. Surat-surat tanah yang ada hanya berupa fotokopi, karena tidak semua bank mensyaratkan agunan dengan surat asli.

c. Alas hak masih bermasalah berupa letter C, SPPT sedangkan PP No.24 tahun 1997 mensyaratkan adanya akta.

d. Persyaratan yang diperlukan untuk sertipikasi tanah tidak diurus dengan cepat oleh peserta, bahkan enggan untuk mengurusnya.

e. Pemilik tanah tidak ditempat (merantau), sehingga waktu pengukuran tidak ada yang bertanggung jawab untuk menunjukkan batas-batas tanahnya.

f. Peserta sulit ditemui, karena tidak mampu menambah biaya pensertipikatan tanah

g. Pemahaman peserta terhadap pentingnya sertipikat tanah masih kurang, sehingga animo masyarakat untuk mensertipikatkan tanahnya pun kurang. h. Lokasi tanah terpencar-pencar sehingga jarak antara lokasi satu dengan yang

lainnya berjauhan akibatnya biaya transportasi lokasi menjadi mahal. i. Masyarakat dapat memperoleh modal dalam jumlah tertentu tanpa agunan. j. Data subjek dan objek kurang lengkap.

k. Sertipikat tanahnya sedang diagunkan kepada Bank

l. Nilai agunan tanah yang lebih menentukan dibandingkan sertipikat tanah. Adapun kendala yang ditemui dari sisi pelaksana adalah sebagai berikut:

a. Pendaftaran tanah ke kantah dilaksanakan secara bertahap.

b. Bantuan, pembiayaan pensertipikatan tanah relatif kecil, dan tidak ada biaya untuk transport petugas ke lapangan.

c. Pencairan dana sertipikasi oleh Dinas setempat lambat d. Petugas ukur terbatas sehingga pengukuran terhambat. e. Pokja Kabupaten dan Kota tidak aktif melaksanakan tugasnya.

f. Koordinasi dalam pelaksanaan program pensertipikatan tanah kurang, sehingga pokja belum berjalan seperti yang diinginkan

g. Kurangnya sosialisasi program ini

h. BPHTB cukup tinggi bagi peserta sehingga memberatkan dan peserta tidak sanggup membayarnya. Hal ini disebabkan karena NJOPnya kecil dan penguasaan tanah non pertanian di luar pulau Jawa pada umumnya lebih besar dari 200 meter, sehingga banyak yang terkena BPHTB

i. Agunan tidak harus berupa sertipikat, bahkan dalam jumlah tertentu tidak pakai agunan.

j. DinasKUKM menyerahkan anma peserta dan alamat yang tidak lengkap ke Kantah sehingga menyulitkan petugas saat mencari UMK dan bidang tanahnya. k. Tanah di luar pulau Jawa merupakan tanah negara,sehingga diproses melalui

pemberian hak sehingga biaya bertambah dan memberatkan PMK l. Bank pelaksana kurang aktif dalam melengkapi persyaratan

m. Pembuatan akta jual beli (AJB) memberatkan, akrena biaya untuk PPAT cukup besar bagi peserta

Hal terpenting adalah apakah para peserta program ini yang pada akhirnya telah mendapatkan sertipikat, dapat mengakses permodalan ke perbankan yang akan digunakan untuk kemajuan modal usahanya atau untuk keperluan pribadinya yang lain, misalnya.

Namun demikian, masih banyak yang tidak bisa mengakses biaya permodalan ke perbankan karena ternyata syarat yang harus dipenuhi cukup memberatkan dan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh PMK.

5.1.3.4 Kementerian Pertanian

Selanjutnya, dalam pelaksanaan program pendaftaran tanah Kementerian Pertanian bahwa pada tataran teknis, banyak petani yang tidak mengetahui dan tidak mampu untuk memperoleh hak kepemilikan lahan mereka. Selain itu, kesesuaian antara target subjek dan objek juga belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, apakah memang bagi subjek program ini sesuai dengan ketentuan yang ada. Begitu juga dengan objek. Selain itu, seringkali tanah yang dimiliki oleh petani tidak sesuai dengan RTRW setempat. Hal yang menarik adalah biaya BPHTB dibebankan kepada petani, mengapa demikian? Begitu juga dengan biaya-biaya lainnya yang timbul akibat atas proses sertifikasi ini.

5.1.3.5 Kementerian Perumahan Rakyat

Program yang dilaksanakan berdasarkan pada nota kesepahaman sertifikasi rumah swadaya yang bertujuan untuk membantu pengadaan sertifikasi rumah swadaya atau rumah yang dibangun oleh warga tanpa campur tangan pengembang yang telah dimulai sejak tahun 2010 yang lalu yang tertuang dalam Perjanjian

Kerjasama No.70/PKS/DS/2010 dan No.13/SKB-500/XII/2010 yang menarget 30.000 unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah periode 2010-2014.

Hingga November 2010 ada sekitar 3,5 juta unit rumah swadaya dan baru 20 % atau sekitar 700.000 unit yag bersertifikasi. Ke depan ditargetkan ada sekitar 7500 unit per tahun yang akan disertifikasi sehingga pada tahun 2014 sudah ada 30.000 unit rumah swadaya yang memiliki sertifikat. Adapun realisasi sertifikasi rumah swadaya sepanjang semester I-2012 (Juli 2012) mencapai 4.100 unit dari 7.500 unit tiap tahunnya. Realisasi tahun 2012 telah mencapai 84 % atau sebanyak 6314 unit rumah sedangkan tahun 2011 terjadi peningkatan realisasi prasertifikasi sebanyak 86 % atau sekitar 6511 unit.27

Program untuk sertifikasi rumah swadaya ini meliputi biaya sertifikasi tanah, surat izin penunjukkan penggunaan tanah, izin mendirikan bangunan, pajak pertambahan nilai, penyambungan listrik dan gambar instalasi listrik serta pembebasan beban biaya unuk pengembangan air minum

Adapun secara umum, Dalam program sertipikasi tanah yang dilaksanakan oleh Kementerian (apapun kementeriannya), ternyata dalam tataran aplikasi dapat ditemukan permasalahan sebagai berikut:

a. Bahwa objek sertipikasi seringkali tidak sesuai dengan RTRW daerah setempat. Hal ini mengakibatkan objek menjadi tidak clear karena bisa jadi subjek telah sesuai, akan tetapi objek tidak sesuai. Sehingga, jika proses persertipikatan ini dilanjutkan maka akan menimbulkan masalah kedepannya seperti objeknya digusur atau direlokasi karena tidak sesuai dengan RTRW setempat.

b. Permasalahan kesesuaian antara target subjek dan objek juga menjadi kendala, karena bisa jadi ada kesulitan dalam penentuan target sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan atau diharapkan

c. Jangka waktu juga tidak jelas ditentukan dalam pengaturannya.

d. Dan objek sertipikasi tidak semuanya dapat menembus permodalan dari perbankan dalam rangka peningkatan kesejahteraan bagi subjek sertipikasi. Mengapa demikian ?

27

http://nasional.kontan.co.id/news/kemenpera-dan-bpn-tandatangani-nota-kesepahaman-sertifikasi-e. Kejelasan waktu pencairan dana yang sering terlambat juga menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan kegiatan ini.

f. Dalam tataran teknis, seperti misalnya penentuan kriteria penerima bantuan yang ternyata salah sasaran karena seleksi yang kurang ketat.

g. Bagaimana keberhasilan pasca sertipikasi yaitu dapat menembus kepada akses permodalan dari perbankan.

h. Bagaimana usaha kantah setempat dalam penentuan target baik dari subjek dan objek serta usaha kementerian dalam rangka membantu subjek sertipikasi dalam menembus permodalan dari perbankan

5.1.4 LARASITA

Dikatakan bahwa terobosan terbaru dari BPN adalah adanya pelayanan kantor pertanahan bergerak yang telah dimulai sejak tahun 2008 yang lalu dalam rangka mendekatkan kantor pertanahan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya, diketahui Larasita dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pada tahun 2008, Larasita menangani 48 berkas. Tahun 2009 mencapai 20.087 berkas, tahun 2010

mencapai 33.074 berkas dan sampai dengan Maret 2011 mencapai 7317 berkas.28

Adapun enam peringkat tertinggi Legalisasi Aset melalui Larasita adalah

sebagai berikut (BPN,2011):29

 Jateng : 33.558

 Jabar : 19.862

 Jatim : 12.617

 DKI : 6168

 Bali : 5361 (pertama kali program Konsolidasi Tanah dilaksanakan )

 Lampung : 389

Dengan demikian, perkembangan penanganan berkas melalui larasita dikatakan sangat membantu dalam proses pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.

Kemudian, dalam pelaksanaan kegiatan Larasita yang dianggap sebagai terobosan dalam akselerasi pendaftaran tanah yang dilakukan oleh BPN, namun demikian misi besar yang diharapkan pada program LARASITA belum dapat tercapai sepenuhnya, seperti:

28

Majalah Bhumi Bhakti BPN RI edisi 09 tahun 2011, hal. 8.

29

a. Data peta tanah seluruh Indonesia belum tersedia.

b. Belum adanya teknologi informasi yang disertakan dalam mobil dan terkoneksi secara langsung dengan server utama data base BPN. Dilapangan, masih banyak mobile LARASITA masih menggunakan pelayanan secara manual. Asumsinya, ketika mobile LARASITA mengedepankan teknologi informasi, maka seharusnya teknologi informasi ini juga berada dalam tingkat Kantah setempat.

c. Belum meratanya pola penyebaran LARASITA.

d. Belum sepenuhnya petugas-petugas LARASITA melaksanakan tugas dan amanat yang diharapkan oleh misi besar LARASITA.

e. Penugasan empat orang SDM plus satu orang koordinator untuk menjalankan tugas kantor pertanahan apakah suatu hal yang realistis atau tidak.

f. Hal terpenting, apakah LARASITA dengan sarana manual dan hanya bermodalkan 5 SDM, dapat mampu menjalankan tugas seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Kepala BPN No.18 tahun 2009.

g. Apakah penggunaan teknologi dalam LARASITA juga didukung dengan sarana yang ada di Kantah setempat ? karena seringkali hal ini tidak demikian, pelaksanaan LARASITA seringkali masih bersifat manual dan Kantah setempat juga masih menggunakan sistem secara manual.

Diantara berbagai evaluasi mengenai LARASITA, yang cukup mengemuka adalah persoalan alokasi anggaran program yang cukup besar terutama untuk pengadaan kendaraan operasional LARASITA. Namun pada kenyataanya masih banyak yang mempersoalkan adanya ketidaksesuaian anggaran yang dikeluarkan dengan pengadaan mobil atau kendaraan LARASITA yang ada serta dukungan teknologi informasi yang seharusnya menjadi basis kerja dari LARASITA.

Pelaksanaan LARASITA yang seharusnya mendekatkan Kantah setempat

Dalam dokumen Kajian Evaluasi Strategi Sertifikasi Tanah (Halaman 74-86)

Dokumen terkait