• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

RIANDA GITA FETRISIA C3407

3.3 Metode Penelitian

3.3.3 Analisis asam lemak (AOAC 1999)

Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. Gas chromatography (GC) memiliki prinsip kerja pemisahan antara gas dan lapisan tipis cairan berdasarkan perbedaan jenis bahan (Fardiaz 1989). Analisis dengan kromatografi gas didasarkan pada partisi komponen-komponen

% Kadar lemak = W3 – W2 x 100% W1

dari suatu cairan di antara fase gerak berupa gas dan fase diam berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap yang melekat pada bahan pendukung inert. Komponen-komponen yang dipisahkan harus mudah menguap pada suhu pemisahan yang dilakukan, sehingga suhu operasi biasanya lebih tinggi dari suhu kamar dan biasanya dilakukan derivatisasi untuk contoh yang sulit menguap.

Dalam hal analisis asam lemak, mula-mula sampel lemak atau minyak dihidrolisis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak (FAME). Selanjutnya FAME dianalisis dengan alat kromatografi gas. Alat kromatografi gas yang digunakan adalah kromatografi gas Shimadzu GC 2010+.

Hasil analisis akan tertekan dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak. Identifikasi tiap komponen asam lemak dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan waktu retensi standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan. Luas puncak dari masing-masing komponen adalah berbanding lurus dengan jumlah komponen tersebut dalam contoh. Analisis asam lemak dilakukan melalui tahap ekstraksi, metilasi, injeksi, dan pembacaan sampel dengan kromatogram.

(a) Ekstraksi

Tahap pertama dilakukan ekstraksi soxhlet untuk memperoleh lemak. Sampel ditimbang sebanyak 20-30 mg lemak untuk dilanjutkan ke tahap metilasi (b) Pembentukan metil ester (metilasi)

Tahap metilasi dimaksudkan untuk membentuk senyawa turunan dari asam lemak menjadi metil esternya. Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas (Fardiaz 1989).

Metilasi dilakukan dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan menambahkan 1 ml NaOH 0,5 N dalam metanol dan dipanaskan selama 20 menit pada suhu 80 °C lalu diangkat dan dibiarkan dingin. Kemudian ditambahkan 5 ml

bourtiflourid-metanol pada sampel dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 20 menit pada waterbath, diangkat dan dibiarkan dingin. Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 20% dan dipanaskan lagi selama 20 menit. Kemudian didinginkan, dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh dan 1 ml isooctane dikocok dengan baik. Lapisan isooktan bagian atas larutan dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung reaksi yang berisi 0,1 gram Na2SO4 anhidrat, didiamkan selama 15 menit. Larutan disaring dengan mikrofilter untuk memisahkan fase cairnya sebelum diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Sebanyak 1 μl sampel diinjeksikan ke dalam Gas Chromatography. Asam lemak yang ada dalam metil ester akan diidentifikasi oleh Flame Ionization Detector (FID) atau detektor ionisasi nyala dan respon yang ada akan tercatat melalui kromatogram (peak).

(c) Identifikasi dengan kromatografi gas

Identifikasi asam lemak dilakukan dengan menginjeksikan metil ester pada alat kromatografi gas GC Shimadzu 2010+. Adapun kondisi alat saat analisis adalah sebagai berikut: Kolom: kolom kapiler Cyanopropil methyl sil (merek Quadrex). Dimensi Kolom: p = 60 m, diameter dalam 0,25 mm, tebal lapisan film 0,25 µm. Gas yang digunakan sebagai fase gerak adalah gas nitrogen dengan aliran bertekanan 30 ml/menit. Dalam proses pembakaran FID digunakan gas H2 dengan laju alir 40 ml/menit dan He dengan laju alir 30 ml/menit. Laju alir udara 400 ml/menit. Suhu injektor 220 °C, sedangkan suhu detektor 240 °C. Suhu oven yang digunakan adalah temperatur terprogram dengan laju kenaikan suhu yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Laju kenaikan suhu oven

Rate (°C/menit) Temperatur (°C) Hold time (menit)

- 125 5

10 185 5

5 205 10

3 225 7

Sebanyak 1 µl sampel yang sudah dipersiapkan disuntikkan secara manual ke dalam detektor. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan.

(d) Perhitungan jumlah asam lemak

Prinsip analisis komposisi asam lemak dengan kromatografi gas adalah dengan mengubah komponen asam lemak pada lemak/minyak menjadi seyawa volatil metil ester asam lemak yang akan dideteksi oleh detektor FID dalam bentuk respon berupa peak kromatogram. Jenis dan jumlah asam lemak yang ada pada contoh dapat diidentifikasi dengan membandingkan peak kromatogram contoh dengan peak kromatogram asam lemak standar yang telah diketahui jenis dan konsentrasinya, kemudian dihitung kadar asam lemaknya. Kadar asam lemak dalam sampel dapat dihitung dengan rumus:

Asam lemak = Ax Asx C standar x Vo lum contoh 100 x 100 gram contoh Keterangan:

Ax = Luas puncak komponen X As = Luas puncak standar Cs = Konsentrasi standar

3.3.4 Analisis kolesterol dengan spektrofotometer

Analisis kolesterol dilakukan menggunakan spektrofometer. Sampel kerang pisau sebanyak 0,1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge ditambah 8 ml (etanol:petroleum benzena) dengan perbandingan 3:1 dan diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan 2 ml larutan alkohol:petroleum benzena (3:1) kemudian disentrifuge 4000 rpm selama 10 menit.

Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100 ml dan diuapkan di penangas air. Residu dilarutkan dengan kloroform sedikit demi sedikit sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml) dan ditambahkan 2 ml acetic anhidrid ditambahkan juga 0,2 ml H2SO4 pekat atau 2 tetes. Selanjutnya dihomogenkan dengan vortex dan dibiarkan di tempat gelap selama 15 menit. Absorbansinya dibaca pada panjang gelombang 420 nm dengan standar yang digunakan 0,4 mg/ml.

Kadar kolesterol dalam sampel dihitung dengan rumus: Kadar Kolesterol = Absorbansi contoh

Absorbansi standar x

Konsentrasi standar Bobot contoh

3.3.5 Analisis Mineral dan Logam Berat

(a) Pengujian total mineral (K, Na, Ca, Mg, Se, Zn, Fe)

Sampel yang akan diuji dilakukan proses pengabuan basah. Pada proses pengabuan basah, sebanyak 10 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Selanjutnya ditambahkan 10 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam, kemudian dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam dan didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 0,8 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan kembali. Setelah terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning bening, sampel ditambahkan campuran HClO4 dan HNO3 (2:1) sebanyak 4 tetes dan dipanaskan kembali 15 menit. Selanjutnya sampel ditambahkan 4 ml akuades dan 1,2 ml HCl pekat dan dipanaskan kembali sampai larut kemudian didinginkan. Setelah larut, sampel diencerkan menjadi 50 ml didalam labu takar dan dilakukan analisis mineral menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Shimadzu AA-680. Kadar mineral pada sampel dihitung dengan memasukkan nilai absorban sampel ke dalam persamaan garis standar y = ax ± b, maka akan diperoleh nilai x yang merupakan konsentrasi sampel. Kadar mineral dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar mineral (mg/kg bb) = konsentrasi mineral ×FP berat sampel (g)

Keterangan: FP = faktor pengencer

(b) Pengujian fosfor

Sebanyak 10 g ammonium molibdat 10% ditambah dengan 60 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 28 ml H2SO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga 100 ml (larutan A). Tahap selanjutnya adalah membuat larutan B, sebanyak 10 ml larutan A ditambah dengan 60 ml akuades dan 5 g FeSO4.7H2O, kemudian dilarutkan dengan akuades hingga 100 ml. Sampel hasil pengabuan basah dimasukkan ke dalam tabung kuvet kemudian ditambah dengan 2 ml larutan B. Intensitas warna diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.

(c) Pengujian logam Hg

Sampel yang akan diuji dilakukan proses destruksi basah. Pada proses destruksi basah, sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam labu destruksi 100 ml. Selanjutnya ditambahkan 15 ml HNO3 pekat dan 5 ml HClO4 dan dibiarkan selama satu malam. Setelah satu malam, larutan didestruksi sampai jernih, didinginkan dan ditambahkan 10-20 ml akuades. Pemanasan dilanjutkan selama ± 10 menit, diangkat dan didinginkan. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian dibilas dengan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya dikocok dan disaring dengan kertas Whatman. Filtrat dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Shimadzu AA-680.

4.1 Karakteristik Kerang Pisau (Solen spp)

Kerang pisau yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Pantai Kejawanan, Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon. Kerang ini memiliki nama lokal antara lain ”lorjuk” untuk daerah Jawa Timur, ”ambal” untuk darah Sarawak dan ”embet” untuk daerah Cirebon. Kerang pisau ini memiliki ciri-ciri simetris bilateral dengan kedua cangkang yang panjang dan tubuhnya kecil memanjang. Salah satu ujung tubuhnya berbentuk runcing seperti mata pisau. Kulit cangkangnya berwarna kuning kehijauan. Bentuk morfologi kerang pisau dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Morfologi kerang pisau (Solen spp) hasil penelitian

Pengukuran morfometrik kerang pisau dilakukan terhadap 30 sampel. Pengukuran ini terdiri dari pengukuran panjang, lebar, tebal dan berat untuk menentukan rendemen. Hasil rata-rata pengukuran morfometrik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Morfometrik kerang pisau (Solen spp)

Parameter Nilai

Panjang (cm) 4,75 ± 0,61

Lebar (cm) 0,83 ± 0,11

Tebal (cm) 0,87 ± 0,15

Bobot utuh (gram) 2,27 ± 0,65

Hasil pengukuran morfometrik ini senada dengan hasil pengukuran yang dilakukan Trisyani dan Irawan (2008) yang menyatakan bahwa secara keseluruhan panjang cangkang lorjuk 1,8-6,9 cm dengan bobot 0,16-9,6 gram. Hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran penelitian

sebelumnya kerang pisau yang menyatakan ukuran panjang kerang pisau antara 3-4 cm dan lebar 0,5-1 cm (Nurjanah et al. 2008).

4.2 Rendemen

Rendemen adalah persentase antara berat suatu bagian yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan berat bahan utuh. Rendemen paling besar adalah bagian daging yaitu sebesar 41,02%, diikuti bagian cangkang sebesar 35,49%, dan bagian jeroan sebesar 23,49%. Nilai rendemen cangkang ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa rendemen kerang pisau bagian daging 60,79%, cangkang 34,50% dan sisa (air) 4,71% (Nurjanah et al. 2008). Rendemen daging kerang pisau pada penelitian ini lebih besar daripada rendemen kerang hijau yaitu sebesar 27,75% (Sobana 2005) dan simping sebesai 30,91% (Meida 2003). Perbedaan rendemen ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis, bentuk tubuh, dan umur (Suzuki 1981).

Bagian yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat adalah bagian daging kerang pisau sebagai bahan pangan, namun bagian cangkang juga dapat dimanfaatkan karena umumnya cangkang kerang kaya akan kalsium dan fosfor. Jenis-jenis kerang, udang, kerang, cumi-cumi, insekta dan fungi merupakan sumber kitin dan kitosan (Okuzumi dan Fujii 2000).

4.3 Komposisi Kimia

Komposisi kimia pada kerang pisau diperoleh melalui analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (secara by difference). Contoh perhitungan analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 3. Komposisi kimia daging dan jeroan kerang pisau dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia daging dan jeroan kerang pisau (Solen spp) Komposisi

kimia

Daging (%) Jeroan (%) Kandungan gizi kerang pisau* Kadar air 78,59 ± 0,06 75,49 ± 0,36 82,31 Kadar abu 1,53 ± 0,00 2,56 ± 0,01 2,63 Protein 14,48 ± 0,00 15,21 ± 0,17 9,79 Lemak 1,72 ± 0,06 1,95 ± 0,27 0,32 Karbohidrat 3,68 ± 0,11 4,79 ± 0,46 4,95

Terdapat perbedaan antara komposisi kerang pisau hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, hal ini dapat dikarenakan perbedaan habitat. Komposisi kimia ikan dapat bervariasi antar spesies, antar individu dalam satu spesies, dan antar bagian dari satu individu ikan. Variasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain umur, laju metabolisme, aktivitas pergerakan, makanan, dan kondisi sebelum dan sesudah musim bertelur (Suzuki 1981).

4.3.1 Kadar air

Hasil analisis proksimat untuk uji kadar air daging dan jeroan kerang pisau pada penelitian ini menunjukkan nilai masing-masing sebesar 78,59% dan 75,49%. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan kadar air kerang pisau yaitu 82,31% (Nurjanah et al. 2008), namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar air kerang darah (Anadara granosa) yaitu 74,37% (Nurjanah et al. 2005). Kandungan air pada kerang pisau hasil penelitian ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan beberapa jenis kerang lainnya yaitu kandungan air kerang Spisula solidissima sebesar 74,0%, Codacia orbicularis 74,8%, Panope generosa 78,8% dan Protothaca staminea 79,4% (Krzynowek dan Murphy 1987).

Perbedaan kadar air dalam suatu spesies dapat terjadi karena perbedaan habitat, spesies, umur, dan laju metabolisme. Air dalam tubuh berfungsi sebagai pelarut dan alat angkut zat-zat gizi, terutama vitamin larut air dan mineral. Air juga berfungsi sebagai katalisator, pelumas, fasilitator pertumbuhan, pengatur suhu dan peredam benturan (Almatsier 2006). Kadar air yang tinggi pada komoditas hasil perairan menyebabkan mudah mengalami kerusakan (highly perishable).

4.3.2 Kadar abu

Hasil analisis kadar abu pada daging dan jeroan kerang pisau masing- masing adalah 1,45% dan 2,61%. Nilai kadar abu kerang pisau pada penelitian ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang

menyatakan bahwa kadar abu kerang pisau adalah sebesar 2,63% (Nurjanah et al. 2008). Kandungan abu kerang pisau hasil penelitian ini juga lebih

rendah jika dibandingkan dengan kerang darah (Anadara granosa) yaitu sebesar 2,24% (Nurjanah et al. 2005).

Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi komponen anorganik, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing- masing bahan (Rusyadi 2006).

4.3.3 Kadar protein

Protein merupakan komponen kedua yang paling banyak terdapat pada kerang pisau setelah air. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar protein kerang pisau pada penelitian ini adalah 14,59% untuk daging dan 15,60% untuk jeroan. Nilai protein pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan protein kerang pisau hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 9,79% (Nurjanah et al. 2008). Namun lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein kerang darah (Anadara granosa) yaitu 19,48%. Perbedaan kadar protein ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi habitat tempat kerang berasal. Komposisi kimia kerang sangat bervariasi tergantung pada spesies, jenis kelamin, umur, dan habitat (Nurjanah et al. 2005).

4.3.4 Kadar lemak

Hasil uji kadar lemak pada penelitian ini masing-masing adalah sebesar 1,72% pada daging dan 1,95% sebesar pada jeroan. Nilai lemak pada penelitian ini lebih tinggi daripada kandungan lemak kerang pisau hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 0,32% (Nurjanah et al. 2008), namun lebih rendah bila dibandingkan dengan spesies lain misalnya kerang darah (Anadara granosa) yang memiliki kadar lemak 2,50% (Nurjanah et al. 2005). Perbedaan kandungan lemak antar spesies yang sama dapat terjadi karena perbedaan habitat tempat spesies tersebut berasal dan bergantung bagaimana kondisi hidup, laju metabolisme dan umur.

Lemak pada jeroan kerang pisau hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan lemak pada daging. Hal ini diduga karena sebagian besar lemak dalam tubuh organisme terdapat pada organ dalam (jeroan). Lemak pada tubuh makhluk hidup disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut

(Yuliani 2010). Pada tubuh hewan, lemak disimpan di bawah kulit dan di sekitar organ tertentu, misalnya lemak di sekitar ginjal (Gaman dan Sherrington 1992). 4.3.5 Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat pada penelitian ini dihitung berdasarkan metode by difference. Hasil perhitungan menunjukkan nilai karbohidrat pada daging dan jeroan kerang pisau masing-masing sebesar 3,68% dan 4,79%. Karbohidrat pada produk perikanan umumnya terdapat dalam bentuk glikogen. Kandungan glikogen pada produk perikanan sebesar 1% pada ikan, 1% pada krustasea, dan 1-8% pada kekerangan (Okuzumi dan Fujii 2000). Kadar karbohidrat kerang pisau hasil penelitian ini tidak begitu jauh berbeda namun sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan karbohidrat kerang pisau hasil penelitian sebelumnya yaitu 4,95%. Perbedaan kandungan karbohidrat ini dapat terjadi karena perbedaan habitat, jenis kelamin, umur dan laju metabolisme spesies.

4.4 Komposisi Asam Lemak

Injeksi asam lemak menghasilkan kromatogram. Masing-masing peak kromatogram menunjukkan jenis asam lemak tertentu. Kromatogram standar asam lemak disajikan pada Gambar 4. Kromatogram sampel kerang pisau disajikan pada Gambar 5-8.

Gambar 5 Kromatogram asam lemak daging kerang pisau (ulangan 1)

Gambar 7 Kromatogram asam lemak jeroan kerang pisau (ulangan 1)

Gambar 8 Kromatogram asam lemak jeroan kerang pisau (ulangan 2) Hasil analisis asam lemak kerang pisau baik pada daging maupun jeroan tergolong ke dalam asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid/MUFA) dan asam lemak tidak

jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acid/PUFA). Komposisi asam lemak kerang pisau dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi asam lemak kerang pisau (Solen spp)

Jenis asam lemak Hasil % b/b

Daging Jeroan SAFA Asam Laurat C12:0 0,02 0,03 Asam Miristat C14:0 1,28 2,63 Asam Pentadekanoat C15:0 0,30 0,38 Asam Palmitat C16:0 7,31 8,15 Asam Heptadekanoat C17:0 0,66 0,75 Asam Stearat C18:0 3,98 4,57 Asam Arakidat C20:0 0,15 0,18 Asam Heneikosanoat C21:0 0,05 0,05 Asam Behenat C22:0 0,14 0,10 Asam Trikosanoat C23:0 0,01 0,01 Asam Lignoserat C24:0 0,03 0 Total SAFA = 13,93 16,58 MUFA Asam Miristoleat C14:1 0,02 0,02

Cis 11-Asam Eikosanoat C20:1 0,77 0,81

Asam Palmitoleat C16:1 3,48 5,09

Cis 10 Asam Heptadekanoat C17:1 0,13 0,10

Asam Elaidat C18:1n9t 0,10 0,13 Asam Oleat C18:1n9c 3,72 3,64 Asam Erukat C22:1n9 0,04 0,04 Total MUFA = 8,26 9,83 PUFA Asam Linolenat C18:3n3 0,17 0,25 Asam Linolelaidat C18:2n9t 0,07 0,08 Asam Linoleat C18:2nc 0,33 0,42 v-Asam Linolenat C18:3n6 0,12 0,14

Cis11, 14 Asam Eikosedienoat C20:2 0,69 0,74

Cis 8,11,14 Asam Eikosetrienoat C20:3n6 0,33 0,33 Cis 11,14,17 Asam Eikosetrienoat C20:3n3 0,04 0,04

Asam Arakidonat C20:4n6 2,35 2,67

Cis 13,16 Asam Dokosadienoat C22:2 0,04 0,05

Cis 5,8,11,14,17 Asam Eikosapentaenoat

C20:5n3 9,61 12,11

Cis 4,7,10,13,16,19 Asam Dokosaheksaenoat

C22:6n3 7,28 6,79

Asam lemak jenuh paling tinggi yang terdapat pada kerang pisau adalah palmitat yaitu sebesar 7,31% (pada daging) dan 8,15% (pada jeroan). Asam lemak miristat, palmitat, dan stearat merupakan jenih asam lemak yang paling banyak terdapat di alam (Almatsier 2006). Nilai kandungan asam palmitat pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai palmitat pada kerang baji (Donax cuneatus) yang memiliki kandungan palmitat sebesar 0,35% (Shanmugam et al. 2007). Perbedaan nilai asam palmitat ini dapat disebabkan karena perbedaan kondisi perairan, selain itu dapat pula disebabkan oleh spesies, ketersediaan pakan, umur dan ukuran. Asam palmitat dapat meningkatkan risiko aterosklerosis, kardiovaskular dan stroke. Asam palmitat digunakan sebagai bahan baku shampo, sabun lunak dan krim (Jacquot 1962).

Kandungan asam lemak miristat daging dan jeroan kerang pisau berturut- turut adalah 1,28 % dan 2,63%. Jacquot (1962) menyatakan bahwa asam miristat terdapat dalam jumlah yang sedikit, tidak lebih dari kisaran 1-2%. Jika dibandingkan dengan spesies lain misalnya kerang baji (Donax cuneatus), kandungan asam lemak miristat kerang pisau pada penelitian ini lebih rendah. Shanmugam et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan miristat pada kerang baji adalah 7,15%. Keragaman komposisi asam lemak ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu spesies, ketersediaan pakan, umur, habitat dan ukuran (Ozogul dan Ozogul 2005), serta pergantian musim, letak geografis, dan salinitas lingkungan (Ozyurt et al. 2006).

Kandungan asam stearat pada kerang pisau bagian daging dan jeroan masing-masing adalah 3,98% dan 4,57%. Nilai ini agak lebih rendah bila dibandingkan dengan stearat pada kerang baji (Donax cuneatus) yaitu sebesar 15,68% (Shanmugam et al. 2007). Perbedaan nilai asam lemak disebabkan oleh perbedaan komposisi jenis lemak yang dikonsumsi dari lingkungan hidupnya (Leblanc et al. 2008). Asam stearat merupakan asam lemak jenuh dengan berat molekul tertinggi dan terdapat pada biji-bijian serta minyak hewan laut dalam jumlah yang sedikit (Jacquot 1962).

Berdasarkan Tabel 5, asam lemak tidak jenuh tunggal paling tinggi yang terdapat pada kerang pisau adalah palmitoleat pada jeroan dan oleat pada daging. Kandungan palmitoleat pada daging dan jeroan kerang pisau masing-masing 3,48

dan 5,09%. Kandungan oleat pada daging dan jeroan kerang pisau adalah 3,72 dan 3,64 %. Asam oleat lebih stabil dibandingkan dengan asam linoleat dan linolenat, terlihat dari peranannya dalam meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dan menurunkan LDL kolesterol di dalam darah (Muchtadi et al. 1993). Kandungan palmitoleat pada kerang baji (Donax cuneatus) adalah sebesar 12,71% dan kandungan oleatnya sebesar 11,18% (Shanmugam et al. 2007). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai asam lemak palmitoleat dan oleat yang terdapat pada kerang pisau. Hal ini diduga karena perbedaan spesies, makanan, dan habitat kerang tersebut.

Kandungan asam lemak tidak jenuh majemuk yang tinggi pada kerang pisau antara lain: EPA, DHA, dan arakhidonat, sedangkan kandungan linoleat dan linolenat lebih sedikit. Kandungan asam lemak linoleat daging dan jeroan kerang pisau masing-masing adalah 0,33% dan 0,42%, sedangkan kandungan linolenat daging dan jeroan kerang pisau masing-masing adalah 0,17% dan 0,25%. Nilai tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan linoleat kerang baji (Donax cuneatus) sebesar 2,41% dan kandungan linolenatnya sebesar 0,76% (Shanmugam et al. 2007). Perbedaan ini dapat terjadi karena perbedaan spesies, umur, ukuran, habitat, pergantian musim, dan kondisi lingkungan perairan serta makanan.

Sintesa EPA dan DHA pada hewan sangat rendah. Kandungan EPA dan DHA pada hewan diperoleh dari mikroorganisme melalui rantai makanan. Mikroorganisme utama yang menjadi produsen utama omega-3 adalah Daphnia, Chlorella, Synechoccus sp., Cryptomonas sp., Rhodomonas lacustris, Scenedesmus dan Chlamydomonas sp., yang merupakan plankton. Tingginya kandungan EPA dan DHA pada plankton tersebut dapat meningkatkan kandungan EPA dan DHA pada hewan (Gluck et al. 1996). Berdasarkan penelitian Supriyantini et al. (2007), perlakuan jenis pakan berpengaruh terhadap kandungan asam lemak omega-3 (asam linolenat) kerang totok (P. erosa). Perlakuan Tetraselmis chuii dengan konsentrasi 45x104 sel/ml memberikan hasil terbaik terhadap kandungan asam lemak linolenat yakni sebesar 0,79%-2,22%, dibandingkan pakan S. coastatum (0,51%-1,45%) dan pakan campuran (0,61%- 1,17%).

Kandungan arakidonat pada kerang pisau hasil penelitian adalah 2,35% (pada daging) dan 2,67% (pada jeroan). Nilai asam arakidonat pada kerang pisau ini lebih rendah jika dibandingkan dengan arakidonat pada tubuh remis air tawar Unio elongatulus yaitu sebesar 6,97% (Ekin dan Bashan 2010). Kandungan DHA kerang pisau bagian daging dan jeroan masing-masing adalah 7,28% dan 6,79%. Kandungan EPA kerang pisau bagian daging dan jeroan masing-masing adalah 9,61% dan 12,11%. Nilai EPA pada kerang pisau ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan EPA pada tubuh Unio elongatulus yaitu sebesar 7,21%. Kandungan asam lemak moluska dipengaruhi jenis dan habitat. Moluska yang hidup di air laut umumnya kaya akan asam lemak omega-3 (terutama C18:3ω3, C20:5ω3 dan C22:6ω3). Remis air tawar mengandung lebih banyak omega-6 (terutama C18:2 ω6 dan C:20:4ω6) (Ekin dan Bashan 2010).

4.5 Kolesterol

Kerang pisau merupakan salah satu bahan pangan oleh karena itu kolesterol yang berasal dari daging dan jeroan kerang pisau ini tergolong dietary cholesterol atau exogenous cholesterol. Kandungan kolesterol berbagai jenis makanan dan kandungan kolesterol kerang pisau dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kandungan kolesterol pada makanan (mg/100g)

Jenis makanan Kolesterol (mg/100g)

Kerang air tawar* 125

Tiram Jepang* 76

Remis* 50

Udang* 132

Kepiting* 53

Telur ayam (kuning telur)* 1030

Dokumen terkait