• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dan Pembahasan

Dalam dokumen Pengujian EfisiensiI Pasar Modal dI Asean (Halaman 103-131)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Analisis dan Pembahasan

Uji Kolmogorov-Smirnovtermasuk dalam uji nonparametrik untuk kasus satu sampel. Uji ini digunakan untuk menguji asumsi normalitas data. Tes dalam uji ini adalah tes goodness of fit yang mana tes tersebut untuk mengukur tingkat kesesuian antara distribusi serangkaian sampel (data observasi) dengan distribusi teoritis tertentu.

Berikut ini adalah hasil dari uji kolmogorov smirnov dari ke enam indeks di ASEAN yang dapat dilihat pada tabel 4.1.

88 Tabel 4.1

Hasil Uji Kolmogorov Smirnov

JKSE KLSE STI PSI SETI VNI

N 1298 1298 1298 1298 1298 1298

Normal Parametersa,b

Mean ,000193 ,000172 ,000084 ,000485 ,000175 ,000591 Std. Deviation ,0108890 ,0055796 ,0065862 ,0153605 ,0102375 ,0109569 Most Extreme Differences Absolute ,080 ,075 ,055 ,146 ,070 ,071 Positive ,069 ,062 ,044 ,139 ,051 ,047 Negative -,080 -,075 -,055 -,146 -,070 -,071 Kolmogorov-Smirnov Z 2,894 2,711 1,988 5,248 2,537 2,561

Asymp. Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,001 ,000 ,000 ,000

Sumber: Data diolah menggunakan SPSS 24

Pada tabel di atas hasil uji Kolmogorov Smirnov dari ke enam indeks menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Asymtotic Signifikan dari ke enam indeks adalah 0.00 yang artinya lebih kecil dari α = 5% (0,05). Sedangkan hipotesis nol diterima ketika nilai Asymtotic Signifikan > α (0,05). Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan hipotesis nol (H0) ditolak yang artinya data harga saham indeks Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam tidak mengikuti distribusi normal.

2. Run Test

Analisis Run Test termasuk dalam statistik nonparametrik. Uji ini digunakan untuk menguji pada kasus satu sampel. Sampel yang diambil dari populasi, apakah sampel yang diambil berasal dari sampel acak atau bukan. Pengujian ini untuk kasus satu sampel. Prosedur pengujian

89 dilakukan dengan mengurutkan data sampel dan mencari letak nilai mediannya.

Uji Run Test adalah uji hipotesis yang merupakan bagian dari uji satu sampel. Tujuan hipotesis untuk menguji apakah data dari sampel yang ada sudah cukup kuat untuk menggambarkan populasinya, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi.

Run Test adalah alat statistik untuk menguji apakah sampel yang mewakili sebuah populasi telah diambil secara acak (random). Jika tidak, maka sampel tersebut tidak bisa digunakan untuk perlakuan lebih lanjut, seperti untuk menggambarkan isi populasi.

Berikut ini adalah hasil dari uji Run Test dari ke enam indeks di ASEAN yang dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Uji Run Test

JKSE KLSE STI PSI SETI VNI

Test Valuea ,0004 ,0001 ,0001 ,0003 ,0002 ,0002

Cases < Test Value 649 649 649 649 649 649

Cases >= Test Value 649 649 649 649 649 649 Total Cases 1298 1298 1298 1298 1298 1298 Number of Runs 662 590 654 576 611 615 Z -2,149 -3,332 -2,025 -4,110 -2,166 -2,328 Asymp. Sig. (2- tailed) ,032 ,001 ,043 ,000 ,030 ,020

90 Tabel 4.2 di atas menunjukkan hasil Run Test dari ke enam (6) indeks di enam negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand dan Vietnam untuk jangka waktu 2011-2015. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan besar Asymp. Sig masing- masing indeks dengan nilai absolut (α = 5%. atau 0.05). Jika Asymp. Sig > α, maka menunjukkan bahwa pola harga saham bersifat acak (random walk). Begitu pula sebaliknya bila Asymp. Sig < α, maka pola harga saham tidak bersifat acak atau tidak random walk.

Pada tabel di atas terlihat bahwa Asym.Sig pada indeks JKSE, KLSE, STI, PSI, SETI, dan VNI menunjukkan pola harga saham tidak

bersifat random karena Asym.Sig < α dengan perolehan nilai masing-

masing 0.032, 0.001, 0.043, 0.000, 0.030, dan 0.020.

Pada indeks JKSE, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Indonesia belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks KLSE, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Malaysia belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks STI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar

91 modal di Singapura belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks PSI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Filipina belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks SETI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasilingam (2014) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Thailand belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks VNI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoa Cuong (2014), Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Vietnam belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Dari uraian hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasar modal di ASEAN tidak efisien dalam bentuk lemah yang artinya bahwa harga saham hari ini ada hubungannya dengan harga saham sebelumnya.

3. Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi korelasi antara variabel pengganggu (error) pada periode t dan periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi muncul karena observasi yang

92 berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya (Imam Ghozali, 2005: 95).

Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data observasi menjadi berkurang 1.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengujian sederhana terhadap stasioneritas data yaitu dengan menggunakan uji Breusch- Godfrey. Perhatikan nilai Obs*R-squared dan nilai Probability disebelah kanannya. Nilai Obs*R-squared berasal dari koefisien determinasi (yaitu R-square) dikalikan dengan banyaknya observasi. Jika nilai probabilitynya lebih besar daripada α = 5%, mengindikasikan bahwa data tidak mengandung masalah autokorelasi. Sebaliknya, jika nilai probabilitynya lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi.

Berikut ini adalah hasil dari uji Autokorelasi dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey dari ke enam indeks di ASEAN yang dapat dilihat pada tabel 4.3.

93 Tabel 4.3

Hasil Uji Autokorelasi

Variabel Obs*R-squared Prob Kesimpulan

JKSE 8.857877 0.0119 Terdapat Autokorelasi

KLSE 16.18218 0.0003 Terdapat Autokorelasi

STI 6.923467 0.0314 Terdapat Autokorelasi

PSI 38.18482 0.0000 Terdapat Autokorelasi

SETI 22.69873 0.0000 Terdapat Autokorelasi

VNI 8.135807 0.0171 Terdapat Autokorelasi

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa ke enam indeks memiliki masalah autokorelasi. Pada indeks JKSE nilai hitung Obs*R-square sama dengan 8.857877 dengan probabilitas 0.0119 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi. Pada indeks KLSE nilai hitung Obs*R-square sama dengan 16.18218 dengan probabilitas 0.0003 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi. Pada indeks STI nilai hitung Obs*R-square sama dengan 6.923467 dengan probabilitas 0.0314 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi. Pada indeks PSI nilai hitung Obs*R-square sama dengan 38.18482 dengan probabilitas 0.0000 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi. Pada indeks SETI nilai hitung Obs*R-square sama dengan 22.69873 dengan probabilitas 0.0000 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi. Pada

94 indeks VNI nilai hitung Obs*R-square sama dengan 8.135807 dengan probabilitas 0.0000 atau α lebih kecil daripada α = 5%, maka mengindikasikan bahwa data mengandung masalah autokorelasi.

Pada indeks JKSE, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Indonesia belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks KLSE, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Malaysia belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks STI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Singapura belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks PSI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Filipina belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Pada indeks SETI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasilingam (2014) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Thailand belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

95 Pada indeks VNI, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoa Cuong (2014), Francesco Guidi (2011) dan Kashif Hamid (2010) yang menyatakan bahwa pasar modal di Vietnam belum efisien dalam bentuk lemah karena harga saham tidak mengikuti random walk.

Dari uraian hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasar modal di ASEAN tidak efisien dalam bentuk lemah yang artinya bahwa harga saham hari ini ada hubungannya dengan harga saham sebelumnya karena hasil analisis menunjukkan bahwa data pada keenam indeks tersebut mengandung masalah autokorelasi.

4. Model ARIMA

a. Uji Stasioneritas Data

Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik atau memeiliki tren yang tidak stasioner. Artinya data tersebut merupakan data yang mengandung akar unit (unit root). Untuk dapat mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas, apabila data yang digunakan tidak stasioner maka sulit untuk mengestimasi suatu model dengan menggunakan data tersebut karena tren data tersebut cenderung berfluktuasi dan tidak disekitar nilai rata-ratanya. Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan cenderung untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata- ratanya. (Gujarati, 2003: 816)

96 Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller Test. Bila nilai statistik lebih besar dari pada tingkat kritis McKinnon, pada tingkat kritis (critical value) yang telah ditentukan yaitu, 1%, 5%, atau 10%, maka H0 diterima yang berarti data mengandung akar unit atau tidak stasioner. Sebaliknya bila nilai statistik lebih kecil dari nilai kritis McKinnon maka H0 ditolak yang mengindikasikan bahwa data tersebut adalah data stasioner. Pada tingkat level ada beberapa variabel yang tidak stasioner sehingga perlu dilakukan differencing, hasilnya akan terlihat bahwa data stasioner pada first difference atau second difference dengan berbagai kondisi.

Penerapan model autoregresif mensyaratkan bahwa data yang digunakan adalah data yang stasioner. Data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan varian dari data tersebut tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu.

Berikut ini hasil pengujian stasioneritas data penelitian dengan Augmented Dicky Fuller Test dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut :

97 Tabel 4.4

Hasil Uji Unit Root

Variabel

t-statistik

Prob. Kesimpulan

ADF Critical Value

1% 5% 10% JKSE -23.35677 -3.435188 -2.863564 -2.567897 0.0000 Stasioner KLSE -32.15429 -3.435180 -2.863561 -2.567895 0.0000 Stasioner STI -34.95879 -3.435180 -2.863561 -2.567895 0.0000 Stasioner PSI -22.75552 -3.435192 -2.863566 -2.567898 0.0000 Stasioner SETI -35.13476 -3.435180 -2.863561 -2.567895 0.0000 Stasioner VNI -33.37830 -3.435180 -2.863561 -2.567895 0.0000 Stasioner

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Berdasarkan tabel di atas, hasil uji unit root menunjukkan bahwa data ke enam Indeks adalah stasioner. Hal ini ditunjukkan dengan nilai statistik ADF lebih kecil dari pada tingkat kritis McKinnon, pada tingkat kritis (critical value) yang telah ditentukan yaitu, 1%, 5%, atau 10%, maka H0 ditolak yang mengindikasikan bahwa data tersebut adalah data stasioner.

b. Identifikasi Model

Setelah mendeteksi masalah stasioneritas data maka selanjutnya adalah identifikasi model ARIMA. Berdasarkan gambar yang terdapat pada tabel, terlihat bahwa koefisien ACF dan PACF data return dari ke enam indeks yakni JKSE, KLSE, STI, PSI, SETI, dan VNI menurun

98 secara eksponensial menuju ke nol. Sehingga model awal yang dapat diidentifikasi adalah model ARMA(p,q) karena tidak mengalami tahap pembedaan (differencing).

c. Estimasi Parameter Model

Untuk mengetahui apakah model sementara yang telah diidentifikasi telah cocok atau belum, perlu dilakukan estimasi parameter dari model tersebut dengan melihat nilai Akaike Info Creterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SIC). Model-model dari data aktual return indeks JKSE, KLSE, STI PSI, SETI, dan VNI yang akan diestimasi adalah ARMA (1,1), ARMA (1,2), ARMA (1,3), ARMA (2,1), ARMA (2,2), ARMA (2,3), ARMA (3,1), ARMA (3,2), dan ARMA (3,3).

Estimasi dilakukan menggunakan software Eviews. Model terbaik yang akan dipilih untuk melakukan peramalan adalah model dengan dengan melihat nilai AIC dan SIC paling kecil. Berikut adalah tabel model peramalan ARIMA terbaik dengan nilai AIC dan SIC terkecil untuk setiap parameter model.

99 Tabel 4.5

Model Peramalan ARIMA Terbaik

Variabel Parameter Model AIC SIC

JKSE ARMA (1,3) -6.224742 -6.212789 KLSE ARMA (3,1) -7.551138 -7.539170 STI ARMA (1,1) -7.213156 -7.201203 PSI ARMA (3,2) -5.553455 -6.314861 SETI ARMA (2,2) -6.326821 -6.314861 VNI ARMA (1,3) -6.193536 -6.181583

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Setelah dilakukan estimasi dari beberapa model ARIMA tersebut maka terpilihlah model terbak untuk masing-masing indeks yang dapat dilihat pada tabel 4.5 di atas. Berdasarkan tabel tersebut, model terbaik untuk indeks JKSE adalah ARMA (1,3) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil terdapat pada model ARMA (1,3) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. Model terbaik untuk indeks KLSE adalah ARMA (3,1) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil terdapat pada model ARMA (3,1) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. Model terbaik untuk indeks STI adalah ARMA (1,1) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil terdapat pada model ARMA (1,1) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. Model terbaik untuk indeks PSI adalah ARMA (3,2) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil terdapat pada model ARMA (3,2) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. Model terbaik untuk indeks SETI adalah ARMA (2,2) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil

100 terdapat pada model ARMA (2,2) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. Model terbaik untuk indeks VNI adalah ARMA (1,3) hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria AIC dan SIC terkecil terdapat pada model ARMA (1,3) dibandingkan dengan orde ARIMA lainnya. d. Uji ARCH Effect-LM

Untuk mengetahui keberadaan ARCH dari model ARIMA yang telah dipilih maka dilakukan uji Langrange Multiplier. Jika terdapat efek ARCH atau data heteroskedastisitas maka model estimasi dapat dilakukan dengan model ARCH/GARCH, tetapi jika tidak terdapat efek ARCH atau data homoskedastisitas maka tidak dapat dilanjutkan dengan model ARCH/GARCH. Pengujian tersebut dilihat dari nilai probabilitas yang lebih kecil dari 5% sehingga H0 ditolak, yang berarti bahwa terdapat heteroskedastisitas dan estimasi dapat dilakukan dengan model ARCH/GARCH, tetapi jika nilai probabilitas yang lebih besar dari 5% maka data homoskedastisitas dan tidak dapat dilanjutkan dengan model ARCH/GARCH. Selengkapnya mengenai hasil pengujian ARCH Effect dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.6 sebagai berikut :

101 Tabel 4.6

Hasil Pengujian ARCH Effect Variabel Obs*R-squared Prob. Chi-

Square

Kesimpulan

JKSE 43.64863 0.0000 Terdapat ARCH Effect

KLSE 36.29711 0.0000 Terdapat ARCH Effect

STI 17.01333 0.0000 Terdapat ARCH Effect

PSI 11.12461 0.0009 Terdapat ARCH Effect

SETI 5.403354 0.0201 Terdapat ARCH Effect

VNI 30.52896 0.0000 Terdapat ARCH Effect

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Dari tabel 4.6 di atas jika nilai prob. < nilai α (5%) maka dengan demikian ada unsur ARCH dalam model atau data heteroskedastisitas. Hasil pengujian ARCH Effect dari ke enam indeks penelitian menunjukkan bahwa ke enam indeks memiliki nilai probabilitas yang

lebih kecil dari α (5%) artinya terdapat efek ARCH apada permodelan

peramalan ke enam indeks tersebut. Sehingga Indeks JKSE, KLSE, STI, PSI, SETI, dan VNI dapat dilanjutkan dengan model ARCH/GARCH.

5. Model ARCH dan GARCH

a. Estimasi Model ARCH/GARCH

Permodelan GARCH dilkaukan untuk memperoleh estimasi model yang optimal ditingkat variance. Karena variance pada waktu t

tergantung dari mean, informasi lampau tercermin pada lag

correlogram squared residuals, dan error term (GARCH-term) periode sebelumnya (t-1), maka permodelan ini disebut permodelan conditional variance.

102 Estimasi model yang paling umum adalah GARCH (1,1) atau dapat juga orde yang lebih tinggi GARCH (p,q). Dalam permodelan ARCH/GARCH, persamaan mean juga harus dimasukan ke dalam model.

Setelah diketahui keberadaan efek ARCH yang signifikan, dilakukan estimasi ARCH/GARCH dengan menggunakan ordo ARIMA sebagai input pada estimasi ARCH/GARCH. Pemeilihan model ARCH/GARCH dengan ordo yang berbeda-beda untuk mengetahui model yang paling tepat. Karena estimasi model ARCH menggunakan metode maximum likelihood maka evaluasi garis regresi tidak berdasarkan R2 tetapi berdasarkan log likelihood. Sebagaimana model ARCH, model GARCH tidak bisa diestimasi dengan metode OLS, tetapi dengan menggunakan metode maximum likelihood. Model yang terbaik dilakukan dengan melihat Log Likelihood terbesar serta kriteria AIC dan SIC terkecil dari masing-masing model.

Dalam penelitian ini telah dilakukan estimasi model ARCH/GARCH. Diantaranya model ARCH (1), GARCH (1) dan GARCH (1,1).

Estimasi dilakukan menggunakan software Eviews. Model terbaik yang akan dipilih untuk melakukan peramalan adalah model dengan dengan melihat Log Likelihood terbesar serta kriteria AIC dan SIC terkecil dari masing-masing model.

103 Tabel 4.7

Model ARCH/GARCH Terbaik

Variabel Model Log

Likelihood AIC SIC JKSE GARCH (1,1) 4182.152 -6.439711 -6.415804 KLSE GARCH (1,1) 4976.504 -7.676454 -7.652518 STI GARCH (1,1) 4761.815 -7.333563 -7.309656 PSI GARCH (1,1) 3839.117 -5.919872 -5.895936 SETI GARCH (1,1) 4231.639 -6.521048 -6.497126 VNI GARCH (1,1) 4088.337 -6.295045 -6.271139

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Berdasarkan tabel 4.7 hasil estimasi model terbaik yang terpilih dari ke enam indeks adalah model GARCH (1,1). Model time series yang diperoleh kemudian diolah dengan software Eviews 8.0. model GARCH (1,1) adalah model terbaik untuk peramalan indeks JKSE, KLSE, STI, PSI, SETI, dan VNI dilihat dari nilai maximum Log Likelihood terbesar serta nilai AIC dan SIC terkecil. Perolehan nilai Log Likelihood indeks JKSE adalah 4182.152 dan untuk nilai AIC dan SIC masing-masing -6.439711 dan -6.415804. Pada indeks KLSE nilai log likelihood adalah 4976.504 dan untuk nilai AIC dan SIC masing- masing -7.676454 dan -7.652518. Pada indeks STI nilai log likelihood adalah 4761.815 dan untuk nilai AIC dan SIC masing-masing - 7.333563 dan -7.309656. Pada indeks PSI nilai log likelihood adalah 3839.117 dan untuk nilai AIC dan SIC masing-masing -5.919872 dan - 5.895936. Pada indeks SETI nilai log likelihood adalah 4231.639 dan untuk niali AIC dan SIC masing-masing -6.521048 dan -6.497126.

104 Pada indeks VNI nilai log likelihood adalah 4088.337 dan untuk nilai AIC dan SIC masing-masing -6.295045 dan -6.271139.

Berdasarkan output hasil pengujian ARCH dan GARCH diperoleh persamaan sebagai berikut :

Indeks JKSE = 0.000516 + 0.030256 AR(1) – 0.084312 MA(3) Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

= 0.00000623 + 0.174758 + 0.777679

Indeks KLSE = 0.000439 - 0.046941 AR(3) + 0.088451 MA(1) Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

= 0.00000495 + 0.208265 + 0.642920

Indeks STI = 0.000119 + 0.855828 AR(1) - 0.829534 MA(1)

Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

= 0.00000106 + 0.074872 + 0.899643

Indeks PSI = 0.001405 – 0.204351 AR(3) + 0.006916 MA(2)

Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

= 0.0000473 + 0.802367 + 0.296971

Indeks SETI = 0.000754 – 0.704295 AR(2) + 0.662319 MA(2) Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

= 0.00000260 + 0.112152 + 0.867335

Indeks VNI = 0.000695 + 0.094283 AR(1) + 0.064568 MA(3)

Sedangkan persamaan Variance Equationnya adalah sebagai berikut :

105 b. Evaluasi Model

Tabel 4.8

Hasil Pengujian ARCH Effect Variabel Obs*R-squared Prob. Chi-

Square

Kesimpulan

JKSE 1.643758 0.1998 Tidak Terdapat ARCH

Effect

KLSE 0.711649 0.3989 Tidak Terdapat ARCH

Effect

STI 0.146530 0.7019 Tidak Terdapat ARCH

Effect

PSI 0.199265 0.6553 Tidak Terdapat ARCH

Effect

SETI 2.089454 0.1483 Tidak Terdapat ARCH

Effect

VNI 0.028064 0.8670 Tidak Terdapat ARCH

Effect

Sumber: Data diolah menggunakan Eviews 9.0

Pengujian kembali dengan uji ARCH-LM dari ke enam indeks. Hasilnya dapat diketahui bahwa pada indeks JKSE nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan 1.643758 dengan probabilitas 0.1998 atau α lebih besar dari 1%. Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada indeks KLSE nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan 0.711649 dengan probabilitas 0.3989 atau α lebih besar dari 5%. Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan

106 model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada indeks STI nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan 0.146530 dengan probabilitas 0.7019 atau α lebih besar dari 5%. Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada indeks PSI nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan 0.711649 dengan probabilitas 0.6553 atau α lebih besar dari 5%. Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada indeks SETI nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan

2.089454 dengan probabilitas 0.1483 atau α lebih besar dari 5%.

Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada indeks VNI nilai hitung X2 yakni (obs*R2) sama dengan 0.028064 dengan probabilitas 0.8670 atau α lebih besar dari 5%.

107 Dengan demikian secara statistik signifikan sehingga dapat dikatakan model yang digunakan sudah tidak mengandung unsur ARCH. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa model yang digunakan sudah baik dan terbebas dari unsur heteroskedastisitas.

Pada pasar saham Indonesia, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Penelitian yang dilakukan oleh Wenty Yolanda, dkk (2014). Penelitian ini menggunakan model GARCH untuk menguji efisiensi pasar pada saham Indeks LQ 45. Hasil penelitian dengan penerapan model GARCH (1,1) menunjukkan bahwa pada harga penutupan harian (closing price) saham pada Indeks LQ 45 periode 2009-2011, harga pada periode 3 hari dan 4 hari

Dalam dokumen Pengujian EfisiensiI Pasar Modal dI Asean (Halaman 103-131)

Dokumen terkait