• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ujian Tertutup:

C. Cara Kerja

4. Analisis Data

a. Kajian Komposisi Spesies Vegetasi

Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat saat pengamatan lapangan. Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Spesies tumbuhan yang tidak dapat diketahui namanya, diidentifikasi melalui herbariumnya di laboratorium. Proses yang dilakukan untuk kajian komposisi vegetasi adalah sebagai berikut:

(1) Menggunakan buku-buku kunci determinasi tumbuhan antara lain dari Backer & Bakhizen Van Den Brink (1963-1968); Balgooy (2001); Koorders (1922). Karakteristik bentuk batang, daun, bungan dan buah (jika ada) dari spesies yang diidentifikasi disesuaikan dengan spesies yang ada di buku kunci determinasi.

(2) Melakukan identifikasi dengan mencocokkan karakteristik spesies yang diidentifikasi dengan voucer spesimen.

(3) Memanfaatkan jasa teknisi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

(4) Identifikasi sampai tingkat spesies di lakukan di Herbarium Bogoriense, LIPI, Cibinong.

b. Penentuan Persentase Penutupan Tajuk Strata Vegetasi

Data dari kajian ini dimanfaatkan dalam klasifikasi vegetasi khususnya penentuan tipe vegetasi tingkat kelas. Untuk strata herba juga dimanfaatkan untuk

34

analisis vegetasi. Data dugaan persentase penutupan tajuk dari lapangan kemudian dikonversi ke skala Braun-Blanquet (Tabel 1).

Tabel 1. Kisaran penutupan tajuk Braun-Blanquet Kelas Penutupan

Tajuk

Kisaran Penutupan Tajuk (%) Rata-Rata 5 75 – 100 87,5 4 50 – 75 62,5 3 25 – 50 37,5 2 5 – 25 15,0 1 1 – 5 2,5 + < 1 0,1 r << 1 *

Keterangan: * Individu muncul hanya sekali, penutupan diabaikan. c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi

(1) Kemelimpahan Spesies Penyusun Vegetasi

Perhitungan kemelimpahan spesies di area kajian ditentukan berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang menyusun vegetasi dengan rumus-rumus berikut. Penentuan basal area pohon dihitung dengan rumus-rumus dari Mueller-Dombois & Ellenberg (1974a) sebagai berikut:

b a = (

½

d)2 π

keterangan : ba = basal area = luas penutupan; d = diameter batang setinggi dada (diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah); dan π = 3.142875.

Langkah-langkah yang diperlukan untuk menghitung indeks nilai penting setiap spesies dilakukan dengan menggunakan serangkaian rumus-rumus berikut :

Jumlah individu suatu spesies Kerapatan Mutlak =

Luas petak contoh

Kerapatan mutlak suatu spesies

Kerapatan Relatif = x 100 % Kerapatan total seluruh spesies

Jumlah sub petak contoh suatu spesies hadir Frekuensi Mutlak =

Frekuensi mutlak suatu spesies

Frekuensi Relatif = x 100%

Jumlah frekuensi seluruh spesies

Jumlah luas penutupan suatu spesies Dominansi Mutlak = Luas petak contoh

Dominansi mutlak suatu spesies

Dominansi relatif = x 100 % Jumlah dominansi seluruh spesies

(Cox, 1978; Hardjosuwarno, 1990; dan Kusmana, 1997). Ketentuan yang digunakan dalam penentuan indeks nilai penting setiap strata adalah, untuk pohon rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Indeks nilai penting = dominansi relatif + kerapatan relatif + frekuensi relatif. Untuk strata semak dan anakan pohon, indeks nilai penting dihitung dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif dengan rumus sebagai berikut:

Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif.

Selanjutnya untuk tumbuhan herba indeks nilai penting dihitung dari dominansi relatif dan frekuensi relatif, dan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Indeks nilai penting = dominansi relatif + frekuensi relatif

(2) Sebaran Kelas Diameter Pohon

Struktur tegakan horizontal dari strata pohon diketahui dengan mengkaji sebaran diameter setiap individu pohon di dalam blok pengamatan. Setiap pohon di dalam setiap blok pengamatan ditentukan kelas diameternya. Kelas diameter dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu: kelas 10–19cm, 20-29cm, 30-39cm, 40-49cm, 50-59cm, 60-69cm, 70-79cm, dan ≥ 80 cm. Jumlah individu pohon yang terdapat pada setiap kisaran kelas diameter kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi.

(3) Indeks Keanekaragaman Spesies

Berbagai parameter keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus-rumus berikut:

36

Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus Shannon-Wienner. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

H’ = - ∑ pi ln pi (Michael, 1984).

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman spesies; pi = n/N; n: indeks nilai penting suatu spesies; dan N: total nilai penting seluruh spesies.

(b) Indeks Kemerataan Spesies

Indeks kemerataan spesies dihitung dengan rumus dari Pilou dalam Odum H’

(1993), yaitu: e = log S

Keterangan: e = Indeks kemerataan; H’ = Indeks keanekaragaman spesies; s = Total kerapatan seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk pohon dan semak) atau total dominansi seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk herba).

(c) Indeks Kekayaan Spesies

Indeks kekayaan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Menhinick

dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut:

n S R =

Keterangan: R = Indeks kekayaan spesies; S = Jumlah spesies; dan n = Jumlah individu seluruh spesies (untuk pohon dan semak) atau jumlah dominansi seluruh spesies (untuk herba).

d. Analisis Data Tanah

Data jenis tanah diketahui melalui operasi tumpang susun antara peta jenis tanah kawasan Gunung Salak dengan peta administrasi kawasan gunung Salak. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor. Data tanah tersebut adalah: pH, kadar air, tekstur tanah yang ditentukan dengan analisis granular dengan cara pipet; unsur N total dengan formulasi Kjedahl; unsur P dengan metode Olsen, unsur K dengan metode cobalt nitrit, unsur Al dengan metode titrasi ekstrak KCL; dan unsur C organik dengan metode kimiawi yang dikembangkan oleh Walkley dan Black. Juga unsur Ca, Na dan Mg tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa.

(1) Penentuan Tipe Vegetasi Fisiognomi Struktural

Tipe vegetasi pada setiap blok pengamatan diklasifikasi dengan mengacu pada tipe vegetasi UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler & Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman

et al., 1994 ). Klasifikasi ini bersifat hirarki yang bermakna bahwa untuk setiap

komponen klasifikasi terdapat tingkat generalisasi dan pemisahan. Delineasi tipe vegetasi pada setiap tingkat dalam hirarki berdasarkan kriteria objektif yang diperoleh dari unit vegetasi.

Unit vegetasi dalam penelitian ini adalah unsur-unsur klasifikasi yang kurang lebih sama dan digunakan untuk pembentukan tipe vegetasi (Tabel 2). Pada tipe vegetasi 1 sampai 4 dari hirarki paling atas didasarkan pada kondisi fisiognomi struktural vegetasi.

Tabel 2. Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS No Tipe Vegetasi

UNESCO Tipe Vegetasi NVCS Kriteria Delineasi 1. Kelas Formasi Kelas Fisiognomi Penutupan Tajuk 2. Subkelas Formasi Subkelas Fisiognomi Morfologi

3. Kelompok Formasi Kelompok Fisiognomi Iklim Makro 4. Formasi Formasi 1. Zona Kehidupan

2. Ketinggian Tajuk

5. Aliansi Floristik, Struktural,

Fisiognomi

6. Asosiasi Floristik

(2) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi

Tipe vegetasi ke 5 adalah tipe vegetasi tingkat aliansi yang ditentukan berdasarkan fisiognomi, struktur, dan komposisi vegetasi. Tipe ini merupakan peralihan antara tipe vegetasi yang ditentukan secara fisiognomi struktural dan tipe yang murni ditentukan secara floristik, yaitu tipe vegetasi tingkat Asosiasi. Level unit ini dalam hirarki klasifikasi adalah level floristik. Acuan yang digunakan adalah NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994&1998). Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Pengelompokan blok pengamatan yang membentuk tipe vegetasi tingkat aliansi dilakukan melalui teknik ordinasi dengan Analisis Faktor. Data struktur

38

vegetasi berupa INP, dominansi, kerapatan, frekuensi, dan densitas dari spesies strata pohon dimanfaatkan untuk analisis ini. Perangkat lunak yang digunakan untuk perhitungan adalah SPSS. Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:

a. Melakukan standarisasi terhadap data ke bentuk Z score yang diperoleh melalui rumus berikut:

σ __ X x Z = − .

Keterangan: x = nilai data; X = nilai rata-rata; dan σ = standar deviasi

Hal ini dilakukan karena nilai data yang ada antara satu blok pengamatan dengan blok yang lain sangat bervariasi.

b. Menentukan apakah data-data yang terdapat pada setiap blok dapat diproses lebih lanjut. Dalam analisis faktor hal ini dapat di ketahui dengan mencari: (1) Nilai total Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy,

dengan kriteria bahwa data pada blok pengamatan dapat dimanfaatkan jika nilai yang diperoleh lebih besar 0,5.

(2) Barlett’s Test of Sphericity. Hipotesis untuk signifikansi melalui uji ini adalah sebagai berikut:

Ho = Data pada blok pengamatan belum memadai untuk dianalisis lebih lanjut.

Hi = Data pada blok pengamatan sudah memadai untuk dianalisis lebih lanjut.

Kriteria angka signifikasi atau probabilitas yang digunakan adalah: Jika angka signifikasi atau probabilitas > 0.05 maka Ho diterima. Jika angka signifikasi atau probabilitas < 0.05 maka Ho ditolak.

c. Mengekstraksi data-data sehingga dapat diketahui berapa kelompok blok pengamatan vegetasi atau faktor yang dapat terbentuk. Hal ini dilakukan dengan Principle Component Analysis. Faktor-faktor yang terbentuk akan diterima jika memiliki nilai eigenvalues di atas 2,45. Langkah berikutnya adalah melakukan rotasi dengan metode Varimax.

d. Banyaknya kelompok blok pengamatan yang terbentuk dapat dilihat pada nilai eigenvalues yang lebih besar atau sama dengan 2,45, juga dapat dilihat

pada Scree Plot yang terbentuk. Untuk mengetahui di kelompok mana suatu blok pengamatan berada, dapat dilihat melalui tabel Rotate Component

Matrix yang terbentuk. Suatu blok pengamatan masuk ke dalam kelompok

tertentu jika blok-blok tersebut memiliki nilai komponen loading yang tertinggi pada kelompok blok pengamatan tempat blok yang bersangkutan berada.

e. Melalui langkah-langkah di atas maka akan dapat diperoleh nilai-nilai

Communalities dan Eigenvalues dari masing-masing faktor atau kelompok

blok pengamatan yang terbentuk. Masing-masing kelompok blok pengamatan yang terbentuk ini selanjutnya akan dikelompokkan lagi berdasarkan kesamaan fisiognomi, sehingga akan diperoleh tipe vegetasi tingkat aliansi di Gunung Salak.

f. Untuk mengetahui apakah suatu komponen yang dalam hal ini kelompok blok pengamatan yang terbentuk sudah tepat, dapat dilihat pada tabel

Component Transformation Matrix. Dikatakan tepat jika matriks diagonal

yang menunjukkan hubungan korelasi antara komponen mempunyai nilai di atas 0,55. (Santoso & Tjiptono, 2001; dan Santoso, 2002).

g. Nama aliansi ditentukan dengan mengacu pada NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 & 1998) melalui cara berikut ini:

(g1) Pada setiap tipe vegetasi tingkat aliansi dilakukan kegiatan berikut ini: • Menyusun Tabel Dasar. Tabel ini disusun dengan mengurutkan seluruh plot

dalam suatu blok pengamatan menjadi kolum dan spesies yang terdapat pada setiap plot menjadi baris. Spesies yang menyusun bentuk tumbuh pohon diletakkan pada kelompok baris paling atas dari tabel, diikuti oleh bentuk tumbuh semak dan terakhir herba.

• Spesies yang terdapat pada Tabel Dasar kemudian diurutkan letaknya berdasarkan frekuensi kehadiran spesies tersebut dalam plot pengamatan. Spesies dengan frekuensi kehadiran tertinggi diletakkan pada baris teratas. Pengurutan dilakukan per bentuk tumbuh.

• Langkah berikutnya adalah membentuk Tabel Konstansi. Konstansi adalah jumlah kehadiran spesies pada seluruh strata dalam plot-plot yang menyusun kumpulan blok pengamatan yang dalam hal ini merupakan tipe vegetasi

40

tingkat aliansi. Untuk itu setiap spesies yang menyusun Tabel Dasar ditentukan konstansinya. Selanjutnya spesies-spesies yang ada dipisahkan menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat konstansi. Kelompok tersebut adalah:

(1) Kelompok spesies dengan konstansi > 60%, yang disebut kelompok spesies konstan atau spesies umum.

(2) Kelompok spesies dengan konstansi sedang, yaitu antara 10–60%. Kelompok spesies ini juga disebut spesies diferensial, yang mempunyai distribusi terbatas pada plot yang sedang dikaji. Kelompok spesies ini, merupakan spesies-spesies yang dimanfaatkan untuk penentuan nama Aliansi dan juga dalam pembentukan asosiasi dan penentuan nama asosiasi.

(3) Kelompok spesies dengan konstansi < 10% dan juga disebut spesies jarang. Kelompok spesies ini merupakan spesies yang kehadirannya dalam plot pengamatan bersifat kebetulan sehingga tidak banyak berperan dalam klasifikasi.

(g2) Inti dari pemberian nama suatu tipe vegetasi tingkat aliansi adalah spesies dominan yang dilihat berdasarkan Indeks Nilai Penting dan spesies diferensial. Jika ditemukan 2 atau lebih spesies dengan jumlah kehadiran yang sama sebagai spesies dominan atau sebagai spesies diferensial, maka yang dipilih adalah spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi.

(g3) Jumlah spesies yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi minimal 3 dan minimal terdiri atas 2 spesies dari strata yang berbeda yang ada pada suatu aliansi.

(g4) Nama spesies pertama yang menyusun aliansi diberikan berdasarkan spesies yang hadir paling banyak pada blok-blok pengamatan dengan INP tertinggi pada suatu aliansi. Spesies ini harus berada pada strata teratas atau strata dengan fisiognomi paling nyata di lapangan. Jika ditemukan 2 spesies yang serupa INP nya, maka dipilih spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi. (g5) Spesies kedua yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi tipe

tertinggi. Jika memungkinkan, merupakan spesies dominan, dan pada strata yang sama dengan spesies yang terpilih sebagai nama pertama suatu aliansi. (g6) Spesies ketiga yang dipilih untuk menyusun nama aliansi, harus merupakan

spesies diferensial. Jika memungkinkan merupakan spesies dominan. Spesies ini dipilih dari strata yang lebih rendah dari strata spesies yang menyusun nama pertama dari suatu aliansi tipe vegetasi.

(g7) Di antara 2 spesies yang berada pada strata yang sama diberi tanda ” – ” dalam penulisannya dan jika berada pada strata yang berbeda diberi tanda ”/” di antara kedua spesies dalam penulisannya.

(g8) Spesies dengan nama taksonomi yang kurang jelas dapat diberikan nama dalam bahasa daerah dan diletakkan dalam tanda kurung.

(g9) Pemberian nama aliansi vegetasi harus menyertakan unit vegetasi pada tingkat kelas dan sekaligus menyertakan sebutan aliansi pada awal nama dari aliansi yang ditentukan.

(3) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi.

Pada kegiatan ini spesies-spesies akan dikelompokkan berdasarkan kesamaan distribusinya pada plot pengamatan di suatu aliansi. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Menentukan Jarak kesamaan atau Indeks Similaritas antara spesies dengan metode squared euclidean distance berikut ini:

( )

= =

=

i n i ik ij jk

x x

D

1 2

Keterangan: Djk = Jarak atau disimilaritas antara klaster ke j dan k; xij = Nilai variabel ke i pada objek ke j; xik = nilai variabel ke i objek ke k.

b. Mengelompokkan spesies-spesies yang memiliki kesamaan jarak yang tinggi melalui analisis klaster menggunakan metode Ward sebagai berikut:

np + nr np + nr nr

dtr = dpr+ dqr - dpq

nt + nr nt + nr nt + nr

Keterangan: dtr merupakan jarak antara klaster t dengan klaster r, dengan mengandaikan bahwa 2 klaster p dan q akan membentuk klaster t yang merupakan merger p dan q, nt = np + nq. (Jaya, 1999).

42

Data-data yang digunakan untuk analisis adalah data biner, yaitu 1 menunjukkan kehadiran spesies pada plot pengamatan dan 0 menunjukkan ketidakhadiran. Hasil akhir analisis klaster ditampilkan dalam bentuk diagram dendogram, yang melalui diagram tersebut dapat diketahui spesies diagnostik yang membentuk tipe vegetasi tingkat asosiasi. Oleh karena dendogram yang ditampilkan merupakan visualisasi pengelompokan spesies diferensial melalui perangkat lunak SPSS, maka jarak yang ditampilkan tidak lagi dalam bentuk jarak euclidean, tetapi telah diskala ulang dengan nilai yang berkisar antara 0-25. Analisis klaster dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.

Pemberian nama asosiasi mengacu pada NVCS (The National Vegetation Classification Standard. FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 & Grossman et

al., 1998), sebagai berikut:

a. Spesies yang terpilih memiliki nilai konstansi terbesar pada asosiasi yang bersangkutan. Kecuali pada asosiasi dengan jumlah spesies kurang dari 3, maka nama asosiasi minimal terdiri atas 3 spesies yang menyusun asosiasi bersangkutan.

b. Jika asosiasi terdiri atas beberapa bentuk tumbuh tumbuhan maka penulisan nama asosiasi harus menyertakan minimal 2 bentuk tumbuh yang menyusun asosiasi tersebut dan penulisannya berdasarkan urutan bentuk tumbuh pohon, semak dan herba.

c. Jika ditemukan spesies dengan konstansi tertinggi memiliki bentuk tumbuh yang sama maka penulisannya dipisahkan oleh tanda ”-”, dan jika berbeda maka penulisannya dipisahkan dengan tanda ”/”.

d. Penulisan nama asosiasi pada suatu aliansi harus menyertakan nama dari unit vegetasi tingkat kelas tempat asosiasi tersebut ditemukan.

f. Pendugaan Lokasi Georafi Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi di Zona Sub Pegunungan Gunung Salak

Pada kegiatan ini, dilakukan pendugaan lokasi geografis setiap aliansi dengan menampilkan posisi dari masing-masing aliansi tersebut di atas peta. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

2. Membuat AOI (Area of Interest) dari lokasi penelitian pada citra Landsat dan kemudian memotong citra berdasarkan AOI.

3. Melakukan overlay data GPS dan Citra Landsat.

4. Menentukan training area berdasarkan data-data GPS pada citra landsat. Oleh karena data GPS yang ada tidak terlalu banyak akibat kondisi lapangan yang selalu tertutup awan maka training area juga ditentukan berdasarkan nilai spektral dari setiap aliansi yang dibuat. Dalam hal ini, blok-blok pengamatan dalam aliansi yang sama dicari kesamaan dan pola-pola nilai spektralnya. Acuan lain dalam pembuatan training area adalah berbagai peta kawasan Gunung Salak dalam bentuk hardcopy. Selain membuat kelas tipe vegetasi tingkat aliansi, juga dibuat kelas penutupan awan dan badan air.

5. Melakukan klasifikasi terbimbing dengan metode pengkelas kemiripan maksimum (maximum likehood classification). Dari proses ini akan diperoleh citra tipe vegetasi tingkat aliansi zona sub pegunungan Gunung Salak.

6. Menentukan nilai indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation

Index) dari citra Landsat. NDVI diperoleh dari rumus berikut:

NIR – RED NDVI = NIR + RED

keterangan: NIR : daerah panjang gelombang infra merah dekat (near infra

red), band 4 ; RED : daerah panjang gelombang merah, band 3.

7. Transformasi data raster ke vektor.

8. Operasi tumpang susun untuk mengetahui penyebaran kelas lereng, jenis tanah, dan NDVI di aliansi zona sub pegunungan Gunung Salak.

g. Kajian Perbedaan Faktor Abiotik, Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies, di antara Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi

Statistik U Mann-Whitney digunakan untuk menentukan faktor-faktor abiotik yang membedakan di antara aliansi. Data-data faktor abiotik dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor tanah (edafik) dan topografi. Statistik ini juga

44

dimanfaatkan untuk mengetahui perbedaan struktur vegetasi serta indeks keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan spesies antara aliansi.

Statistik U Mann-Whitney diperoleh dengan cara-cara berikut (Daniel, 1987; Santosa, 2000):

1. Hipotesis statistik yang digunakan adalah H0 : Mx = My yang berarti tidak ada perbedaan di antara kedua populasi; H0 : Mx / My

2. Hitung statistik U Mann-Whitney dengan rumus berikut:

( )

2 1 + = S n n T

Keterangan: T = statistik U Mann-Whitney; S = jumlah skor rangking pada sampel pertama. Penentuan sampel mana yang menjadi sampel pertama ditentukan dengan penetapan; n = jumlah hasil pengamatan pada sampel pertama.

3. Kriteria penolakan H0 jika T ≤ Wα/2 atau T > W1 - α/2; dimana Wα/2 = nilai kritis T untuk untuk n, m, dan α/2 sesuai dengan tabel Mann-Whitney ; m = jumlah hasil pengamatan pada sampel kedua; α = tingkat signifikasi yang dalam penelitian ini 0.05; dan W1 - α/2 = nm - Wα/2.

4. Jika jumlah pengamatan n atau m lebih dari 20 maka nilai kritis T yang diperoleh dari tabel U Mann-Whitney tidak dapat digunakan, maka digunakan rumus Z normal berikut dan hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi normal.

(

1

)

1/2 2 / + + = m n nm mn T Z

h. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan Faktor