• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

7. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar-dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapta dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.36 Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu proses penyusunan, mengkategorikan data kualitatif, mencari pola atau tema dengan maksud memahami maknanya.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini menggunakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dimana pengolahan, analisi, dan konstuksinya dilaksanakan dengan cara penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang merupakan suatu cara penelitian yang menghasilkan dua data deskriptif dan komparatif.

Penelitian ini melakukan kegiatan inventarisasi bahan-bahan hukum sekaligus juga mengidentifikasikan berbagai peraturan dibidang Hukum Adat khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian orangtuanya.

Analisis data dilakukan dengan cara yaitu data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, kesimpulan diambil dengan menggunakan cara berpikir induktif

36Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,Remaja Roskdakarya, Bandung, 1991,

yaitu cara berpikir yang mendasar kepada hal-hal yang bersifat umum dan kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan pokok permasalahannya.37

Setelah analisi data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.38Dari hasil tersebut kemudian ditariklah kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

37Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Tarsito,

Bandung, 1994, hal. 17.

38 H. B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta,

BAB II

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA KRISTEN DI MEDAN

A. Perceraian dan alasan-alasan Perceraian

Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kehidupan perkawinannya dapat berlangsung dan bertahan sampai selama-lamanya. Namun kenyataan sering kali tidak sesuai dengan harapan. Adakalanya antara suami istri tidak saling memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga dan hal ini dapat menyebabkan pertengkaran bahkan perceraian.

Di zaman modern ini kita semakin sering mendengar perceraian dalam rumah tangga yang diakibatkan salah satunya adalah ketidakcocokan suami istri, dimana tragisnya yang menderita adalah justru anak-anak hasil pernikahan tersebut. Anak- anak menjadi kurang diperhatikan karena orang tuanya sibuk mengurus perceraiannya.

Perceraian merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami istri saja, melainkan pada kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya.39 Keluarga merupakan satu kesatuan yang tidak hanya menyangkut suami istri saja tetapi juga menyangkut anak-anaknya.

Adapun yang menjadi alasan-alasan perceraian pada umumnya adalah kerena adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menimbulkan

pertengkaran terus menerus yang tidak dapat dihindarkan, tidak adanya keturunan, suami suka mabuk-mabukan, serta alasan lainnya yaitu suami tidak memberikan uang belanja dan uang sekolah anak.

Menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menetapkan bahwa perkawinan yang telah di bentuk dapat putus, antara lain oleh karena :40

1. Kematian 2. Perceraian dan

3. Atas Keputusan Pengadilan.

Penyebab putusnya perkawinan karena kematian disebabkan oleh karena salah satu dari suami/isteri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan menjadi putus.

Putusnya perkawinan oleh karena perceraian disebabkan oleh karena adanya ketidakcocokan diantara para pihak suami/isteri dalam melanjutkan kehidupan rumah tangganya. Sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan ke pengadilan, diantaranya oleh karena salah satu pihak meninggalkan pihak yang lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin, salah satu pihak berbuat zinah, pemabuk, penjudi, penganiayaan, serta perselisihan terus menerus.

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusan perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh hakim pengadilan. Selain itu juga disebabkan oleh karena salah satu pihak dalam perkara perceraiannya tidak hadir dalam putusan perceraiannya.

Menurut Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan 4 (empat) alasan perceraian, terdiri atas :

1. Zinah

2. Meninggalkan pihak yang lain tanpa alasan yang sah dari salah satu pihak selama 5 (lima) tahun berturut-turut pasal 211 KUHPerdata

3. Dihukum penjara selama 5 (lima) tahun lamanya atau lebih setelah perkawinan terjadi

4. Menimbulkan luka berat atau melakukan penganiayaan, yang membahayakan hidup pihak yang lain.

Kemudian 4 (empat) alasan dalam pasal 209 KUHPerdata ini diperluas oleh yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/Sip/1968, tentang diterimanyaonheelbare tweespalt,sebagai alasan perceraian, yaitu dalam hal terjadi perceraian atau pertengkaran antara suami istri secara terus menerus dan tidak mungkin didamaikan lagi.41

Menurut pasal 39 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo pasal 19 PP Nomor 9/1975, alasan terjadinya perceraian adalah :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

41Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.42Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.43

Perkawinan dalam masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44 Adanya kesatuan antara suami istri akan menghasilkan keturunannya kelak. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip

42Rusdi Malik,Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas

Trisakti, Jakarta, 1990, hal. 11.

43Chainur Arrasid,Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.5. 44Raja Marpondang Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Penerbit CV.

keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki.45

Pada masyarakat Batak Toba tidak dianjurkan bercerai karena sifat perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah monogami, yaitu hanya ada satu istri dan satu suami. Namun pada jaman dahulu seorang suami diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu disebabkan karena alasan-alasan tertentu yaitu oleh karena tidak memiliki keturunan. Dalam masyarakat Batak Toba, anak merupakan penerus keturunan yang akan membawa marga keluarganya di tengah-tengah masyarakat.46

Menurut Bapak Sakti Silaen, tidak satupun hal yang mendukung namanya cerai, kecuali karena zinah. Oleh karena adanya zinah seorang istri bisa ditinggalkan, kalau tidak karena zinah maka ia tetap dianggap sebagai istri sah dalam adat. Dan apabila suami menikah lagi dengan orang lain, maka dalam adat Batak dianggap memiliki 2 (dua) istri. Pada jaman dahulu masyarakat Batak Toba banyak memiliki istri lebih dari satu, hal ini bisa dilakukan oleh karena tidak ada larangan dalam adat dan pada jaman dahulu ada anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki, istilahnya “maranakhon sapuluh pitu marboru sapuluh onom(memiliki 17 anak laki-laki dan 16 anak perempuan).” Namun hal ini terjadi sebelum kekristenan masuk ketanah Batak, setelah kekristenan masuk banyak orang Batak yang tidak melakukannya lagi.47

45Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberry, Yogyakarta, 1981, hal. 107. 46Hasil wawancara dengan Belsink Sihombing, Pendeta HKBP Sudirman Medan, pada

tanggal 25 Juli 2012, pukul 16.00 WIB.

47Hasil wawancara dengan Sakti Silaen, Panatua Adat Batak Toba, pada tanggal 25 Oktober

Dalam adat Batak Toba kata cerai disebut sirang. Katasirangataumarsirang

dikenal sebagai terjemahan cerai atau bercerai. Arti asli kata sirang adalah lepas. Sirang dalam bahasa batak toba tidak sepenuhnya sama dengan cerai menurut arti dari Undang-Undang. Kesamaan sirang dengan cerai menurut undang-undang ialah bahwa antara suami istri hidup terpisah (tidak serumah), suami istri tidak ada ikatan lagi, dan perbedaanya ialah cerai menurut undang-undang akan dikeluarkan bukti autentik yaitu akta cerai sementara sirang tidak ada dikeluarkan bukti apapun karena hanya berupa ucapan diantara para pihak, sehingga dengan demikian anak otomatis akan ikut dengan bapaknya kecuali anak yang masih menyusui akan ikut dengan ibunya dan begitu dia lepas menyusui dengan ibunya maka anak itu akan diambil kembali oleh bapaknya. Dan dalam batak toba sangat dimungkinkan sekali apabila suatu saat mereka kembali lagi menjadi suami istri.48

Ada juga kata dipaulak yang artinya dipulangkan atau dikembalikan. Dalam hal ini isteri dipulangkan kepada orang tuanya. Dipaulak maksudnya adalah seorang istri dikembalikan lagi kepada orang tuanya dengan maksud agar orang tuannya menasehati kelakuan dan mengajari lagi anak perempuannya tersebut untuk bersikap dan melakukan perbuatan yang menghormati suami dan keluarga suaminya. Umumnya dipaulak dilakukan karena istri tersebut sudah tidak menghormati dan mendengar kata-kata suami, misalnya istri yang suka keluyuran sehingga menelantarkan suami dan anak-anaknya di rumah. Dan apabila si istri sudah menyadari dan menerima kesalahannya serta mau berubah maka ia bisa kembali

pulang ke rumahnya serta tinggal dengan suami dan anak-anaknya lagi. Hal ini hampir sama dengan pisah meja dan ranjang tetapi perbedaanya dalam sirang tidak ditentukan berapa lama batas waktu sirang supaya dapat kembali lagi.49

Adapun alasan perceraian dalam adat yang diperbolehkan diantaranya adalah adanya pertengkaran antara suami/istri secara terus menerus, dan karena tidak memiliki keturunan.50

Masyarakat Batak Toba pada umumnya kebanyakan menganut agama Kristen. Agama dan budaya itu dalam Batak Toba hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya dengan adat perkawinan, setelah adanya pemberkatan dari gereja ada lagi acara yang meriah berupa pesta adat. Dalam perkawinan ini semua ikatan keluarga baik dari pihak laki-laki, perempuan, tulang (paman), dan semua keluarga memberikan berupa nasihat agar kelak nantinya keluarga itu menjadi keluarga yang rukun dan keluarga yang gabe (menjadi/mendapatkan) anak laki-laki dan anak perempuan yang baik/sehat. Dalam suku Batak Toba khususnya yang beragama Kristen, ikatan adat atau budaya itu masih melekat dan agama itu masih dijunjung tinggi.51

Dalam adat Batak Toba perceraian itu jarang terjadi, di mana dalam adat Batak Toba ada istilah “apapun akan dilakukan agar perceraian itu tidak terjadi”, ikatan budaya itu masih kuat. Namun dalam perkembangannya, banyak di temukan sekarang ini keluarga Batak Toba khususnya yang beragama Kristen sudah

49Op.Cit, Belsink Sihombing. 50Ibid.

melakukan perceraian, kebanyakan orang memilih melakukannya dengan menempuh jalur hukum di pengadilan. Sehingga dengan demikian tiap tahun semakin bertambah orang Batak Toba yang melakukan perceraian.52

Dengan adanya adat yang mengikat diharapkan akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu perkawinan harus diberkati digereja oleh Pendeta.53 Acara pemberkatan nikah tersebut dilakukan untuk memberi kepastian bahwa perkawinan itu sah menjadi suatu hubungan suami isteri antara kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Dalam acara pemberkatan tersebut, kedua mempelai sama-sama berjanji untuk sehidup semati, baik dalam suka maupun duka, seperti tertulis, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ( Markus 10 : 9).”

Pernikahan Kristen di pandang sebagai kontrak publik dihadapan para saksi dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dengan saling setuju dan dilakukan secara bebas membuat janji-janji tak bersyarat untuk setia seumur hidup satu kepada satu kepada yang lain dengan pertolongan Tuhan.54

Setelah adanya pemberkatan nikah di gereja maka perkawinan tersebut harus disahkan lagi dalam administrasi Negara yaitu di hadapan Pegawai Catatan Sipil yang

52Ibid 53Ibid 54Ibid

biasanya di laksanakan di salah satu ruangan gereja yang biasa disebut ruang biduk perhobasan (ruang persiapan). Kedua mempelai dan orang tuanya sebagai saksi dalam pencatatan perkawinan tersebut.55

Setelah adanya pemberkatan yang dilakukan di gereja, selanjutnya dilaksanakan upacara adat. Dalam upacara adat sebagaimana kebiasaaan pada masyarakat Batak Toba yang tujuannya untuk mensahkan perkawinan itu secara hukum adat. Dengan dilaksanakan adat tersebut, maka perkawinan tersebut telah sah dan kedua mempelai telah mempunyai kedudukan dalam masyarakat adat.

Dalam upacara tersebut dilakukan untuk manggarar utang (membayar utang) kepada kerabat yang bersangkutan sesuai dengan adat Batak Toba. Dalam hal ini peran dari Dalihan Na Tolu sangat di butuhkan. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta Catatan Sipil. Artinya segala perkawinanyang telah dilaksanakan, selanjutnya dilakukan pencatatn dikantor catatan sipil untuk mendapat kelengkapan administrasi negara.56

Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosialkulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah :57

55Ibid 56Ibid

57http;//id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu, diakses pada tanggal 1 Nopember 2012

1. Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya padasomberarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananyabayang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi, kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongantubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hulatidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.

2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu

borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati-hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran

Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral : saling menghargai dan menolong”.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekarabatan patrilineal atau garis kebapakan atau mempertahankan garis keturunan laki-laki yang melakukan perkawinan dalam bentuk perkawinan jujur (sinamot), dimana isteri setelah kawin masuk dalam kekerabatan suami dan termasuk anak-anak berada dibawah kekuasaan suami/bapak. Setiap perkawinan yang dilaksanakan seperti yang telah dijelaskan diatas, mengharapkan hubungan perkawinan itu kekal sampai selama-lamanya. Akan

tetapi tidaklah mudah untuk menjalaninya. Diperlukan usaha dan kerja sama yang baik antara pihak suami dan pihak isteri.

Setiap orang pasti menginginkan keluarganya tetap harmonis sampai beranak cucu, tidak jarang dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang gagal di tengah jalan. Dengan berbagai alasan yang diyakini bisa menjadi syarat untuk melakukan perceraian. Dalam hal putusnya perkawinan akibat perceraian, suami istri tidak leluasa untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk memutuskan hubungan perkawinan tersebut, melainkan terikat juga pada peraturan hukum dan adat yang berlaku.

Dalam masyarakat Batak Toba terjadinya perceraian sama halnya dengan perkawinan. Di mana dalam upacara perkawinan agar kedua mempelai tersebut sah menjadi keluarga dan kekerabatan dalam adat Batak Toba maka disahkan dengan cara adat yang berlaku dalam Batak Toba. Begitu juga halnya dengan perceraian yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, apabila terjadi perceraian, maka akan diselesaikan terlebih dahulu secara adat. Maka terlebih dahulu dikumpulkan pengetua-pengetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak. Disini Dalihan Na Tolu menanyakan kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha untuk mendamaikannya, akan tetapi apabila tidak dapat lagi didamaikan dan kedua belah pihak berkeras untuk bercerai, maka para penetua adat tersebut memutuskan

untuk bercerai. Perceraian secara hukum adat tetap dianggap sah sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku pada masyarakat setempat.58

Pada dasarnya masyarakat Batak Toba tidak menyetujui adanya perceraian, namun kenyataannya bahwa kerapkali terjadi ketidakcocokan antara suami istri yang berlangsung terus menerus. Tidak ada satupun alasan yang memperbolehkan terjadinya cerai kecuali karena zinah.59

Jika seorang suami atau istri meninggalkan suatu perkawinan karena sesuatu alasan selain perzinahan, mereka harus tetap membujang (tidak boleh kawin). Ada dalam Alkitab, “Terhadap mereka yang sudah kawin, inilah perintah saya: Seorang wanita yang sudah kawin janganlah meninggalkan suaminya. Tetapi kalau ia sudah meninggalkannya, ia harus tetap tidak bersuami, atau kembali kepada suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya” (1 Korintus 7:10-11). Kalau sudah kawin dengan seseorang yang tidak beriman kepada Tuhan bukanlah alasan yang dapat diterima untuk perceraian.60

Alasan perceraian pada masyarakat Batak Toba beragama Kristen di Kota Medan disebabkan oleh karena beberapa faktor yaitu :61

1. Faktor ekonomi

Adapun faktor ekonomi menjadi suatu faktor penyebab perceraian oleh karena adanya berbagai kebutuhan keluarga yang harus terpenuhi, sementara mata

58Ibid

59Op.Cit.Sakti Silaen. 60Op.Cit.Belsink Sihombing 61Ibid

pencaharian dari suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangga. Kehidupan dan pergaulan dikota menyebabkan keinginan istri untuk memiliki barang-barang seperti perhiasan, makan di mall, belanja di mall sementara untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah tidak terpenuhi. Istri sering menuntut lebih, sulit mengatur keuangan rumah tangga, sehingga hal inilah menyebabkan percekcokan di dalam keluarga.

Selain itu, adanya kesenjangan penghasilan yang di dapat oleh suami dan istri turut menjadi penyebab gagalnya perkawinan. Hal ini disebabkan oleh karena istri memiliki penghasilan lebih tinggi daripada suaminya. Suami penghasilannya kecil, atau bahkan tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran juga menjadi penyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga.

2. Faktor perselingkuhan/ zinah

Dari hasil wawancara dengan Amang Pendeta Belsink Sihombing dapat diketahui bahwa perceraian yang disebabkan oleh karena perselingkuhan/perzinahan banyak terjadi. Untuk alasannnya perselingkuhan/perzinahan itu sendiri Amang Pendeta tidak dapat mejelaskannya secara rinci, karena hal tersebut menyangkut masalah pribadi dari pasangan suami istri. Namun hal itu banyak terjadi, hal ini dapat dilihat dalam kenyataannya bahwa ada pasangan suami istri yang bertengkar, tidak lama berpisah, suami sudah jalan dengan wanita lain. Hal inilah yang menyebabkan suami istri terus bertengkar, dan menyebabkan istri meminta gugatan cerai kepada suaminya.

3. Faktor cara berpikir dan pertengkaran

Adapun cara berpikir turut menjadi penyebab perceraian, pemikiran yang negatif mengenai kelakuan pasangannya, mengenai pekerjaannya dan apa yang dilakukannya hingga larut malam menjadi bahan pertengkaran.

Dari hasil wawancara dengan Amang Pendeta Belsink Sihombing bahwa kebanyakan orang selalu berpikir negatif duluan daripada berpikir positif. Hal inilah yang menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga. Misalnya suami pulang hinga larut malam tiap harinya dalam kondisi mabuk, alasannya kerja namun tidak membawa duit sementara anak dan istri dirumah menunggu dan tidak makan. Saat pulang kerumah, hal inilah yang menyebabkan terjadilah

Dokumen terkait