BAB I. PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
5. Analisis data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik berdasarkan studi pustaka maupun lapangan selanjutnya data tersebut akan dilakukan secara kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode deduktif dengan mengamati hal-hal yang umum untuk kemudian menarik kesimpulan pada hal-hal yang khusus.
51Didalam penelitian dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau
bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Lihat : Soerjono Soekanto., Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, hal 66.
BAB II
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA CABANG KABANJAHE
A. Perjanjian Kredit Bank
Hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai perjanjian kredit, baik dari segi bentuk maupun materil yang luas di muat dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu ketentuan hukum yang sebagai acuan dalam perjanjian kredit tersebut adalah ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.
a. Dasar Hukum Perjanjian Kredit Harus Tertulis
Dari pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam (debitur).
Pembuatan perjanjian kredit tersebut diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan.
Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian kredit, setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing-masing
tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang perjanjian kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Baik di bawah tangan ataupun di hadapan Notaris.
Sebelum ketentuan ini terdapat ketentuan yang sama dalam instruksi Presidium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 dan Surat Bank Indonesia kepada semua bank devisa No.3/1093/UPK/KPD angka 4 tanggal 29 Desember 1970.52
Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian kredit tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada beberapa perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan kredit bagi bermacam-macam usaha debitur yang masing-masing membutuhkan pelayanan yang spesifik. Syarat- syarat tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur sehingga tidak mungkin dibuatkan formulir perjanjian yang sama untuk semua debitur.
b. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Pokok
Mengingat belum ada kejelasan dalam peraturan perundang-undangan, maka para pakar hukum perbankan di Indonesia belum ada persamaan pendapat, mengenai bentuk hukum, hubugan antara bank dengan nasabah/debitur maka akan
52Widjanarto., Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Umum Grafiti,
dikemukakan beberapa pendapat yakni sebagai berikut :
Marhainis Abdul Hay berpendapat bahwa : Perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata, sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini, harus dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.53 Sedangkan pendapat R. Subekti menyatakan bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan dan semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.54
Menurut Mariam Darus, perjanjian kredit tersebut adalah “Perjanjian Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang, ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat Konsensual obligatoir, sedangkan penyerahan uang bersifatriil.55
Dengan demikian, bentuk hukum perjanjian kredit tergantung pada sudut pandang mana pendekatan dilakukan. Dilihat dari materi dan isi perjanjian kredit merupakan perjanjian baku atau perjanjian standart, karena hampir dari seluruh klausul-klausul yang dimuat dalam perjanjian kredit tersebut sudah dibakukan oleh bank, pada dasarnya isi dari perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu tanpa diperbincangkan dengan pemohon dan hanya pemohon dimintakan pendapat apakah
53Marhainis Abdul Hay.,Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal
67.
54R.Subekti., Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 3.
55Mariam Darus Badrulzaman., Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
dapat menerima syarat-syarat yang tercantum didalam perjanjian tersebut.
Bila dilihat dari sifatnya, perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual artinya dengan ditanda tanganinya perjanjian kredit oleh bank dengan nasabah debitur tidaklah langsung nasabah debitur dapat menarik kredit melainkan harus memenuhi syarat-syarat penarikan terlebih dahulu. Misalnya nasabah debitur harus menyerahkan barang jaminan yang telah diikat sesuai ketentuan yang berlaku, dapat pula perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir karena dengan ditanda tangani perjanjian kredit tersebut sebelum kredit cair, para pihak harus memenuhi kewajibannya yaitu bank harus menyediakan sejumlah dana dalam waktu tertentu, sedangkan debitur wajib menyerahkan jaminan yang cukup.
Perjanjian kredit dapat dikonstuksikan sebagai perjanjian pokok, karena di dalam perjanjian dapat terlaksana dengan adanya jaminan maka tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit tersebut pada umumnya selalu diikuti dengan perjanjian ikutan (accessoir) berupa perjanjian jaminan.56
Kredit berasal dari kata Yunani “Credere” yang berati kepercayaannya (truth atau faith).57 Karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Dengan demikian sesorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan, artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.58 Baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontra – prestasinya. Dengan
56Eugenia Liliawati Moejono.,Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvavindo, 2003, hal 18.
57Thomas Suyatno,dkk.,Op.Cit, hal 12. 58Ibid., hal 13.
demikian kredit berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang dan jasa kepada pihak lain, sedangkan kontra prestasi akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).
Dalam praktek perbankan istilah kredit tidak asing lagi dunia bisnis, apabila bagi mereka yang selalu berhubungan baik dengan bank. Namun demikian definisi mengenai kredit sangat beragam meskipun bila disimak subtansi yang terkandung dalamnya adalah sama. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa definisi tentang kredit.
Muchdarsyah Sinungan memberikan definisi bahwa : “Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga”.59
Pengertian kredit yang rumuskan pada pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan : penyediaan yang dan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.60
B. Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian Kredit.
Bank merupakan salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Dari segi fungsinya, bank merupakan perantara dari dan kepentingan masyarakat dibidang dana, yaitu kepentingan dari masyarakat yang
59Muchdarsyah Sinungan.,Op.Cit, hal 11.
berkelebihan dana dengan kepentingan dari masyarakat yang membutuhkan dana. Cara menghimpun dana dari masyarakat luas dengan menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit yang merupakan dua fungsi utama bank dari ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam rangka menyediakan dana bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi atau bagi masyarakat untuk malakukan kegiatan yang produktif, bank membantu dalam menyediakan dana tersebut, yang dilakukan antara lain melalui usaha pemberian kredit. Karena itu tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa kredit merupakan salah satu usaha untuk yang sangat vital. Mengingat kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko maka “pemberian kredit oleh bank harus dilandasi oleh keyakinan bank atas kemampuan debitur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.61Oleh karena itu untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya dan tidak mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat dalam setiap pemberian kredit.
Bila Undang–Undang Perbankan diteliti, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bank untuk menjalankan kegiatan usahanya dibidang perkreditan yakni akan diuraikan sebagai berikut :
1. Keharusan pemberian kredit berdasarkan analisis 5C dan 7P.
Dalam pelaksanaannya untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Dalam hal ini pihak bank harus melakukan penilaian yang umum untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar membutuhkan dan beritikad baik, maka dilakukan dengan analisis lima 5C dan selanjutnya penilaian suatu ktedit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:
1) Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu maslah dan menyelesaikannya.
2) Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu,
berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang berbeda dari bank.
3) Perpose yakni menilai usaha tujuan nasabah dalam mengambil kredit sesuai
dengan kebutuhan.
4) Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang
menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.
5) Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengemabalian
kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur ini semakin baik karena jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain.
6) Profitabilityyakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya tambahan kredit yang diperoleh.
7) Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit
yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminan asuransi.62
Dengan penilaian tersebut di atas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka waktu panjang.
2. Batas maksimum pemberian kredit
Berdasarkan Pasal 11 penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatakan :
Pemberian kredit pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit tersebut bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah atau kelompok nasabah debitur tertentu.63
Dalam hal ini untuk mengantisipasi hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 yang mengatur tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum dengan tujuan untuk dilakukan penyebaran resiko dalam pemberian kredit.64
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi peminjam yang merupakan pihak terkait :
a. 10 % dari modal bagi pihak terkait sebagai satu pinjaman atau kelompok peminjam.
b. 10 % dari modal untuk jumlah seluruh pihak terkait. 2. Batas maksimum Pemberian Kredit bagi pihak tidak terkait
a. 30 % dari modal sejak berlaku SK s/d akhir 2001. b. 25 % dari modal selama tahun 2002.
c. 20 % dari modal sejak 1 Januari 2003.65
Oleh karena itu, praktek pemberian kredit oleh bank sebaiknya bagi pihak terkait perlu dihindarkan atau sekurang-kurangnya sangat dibatasi, begitu juga bagi
63Pasal 11 Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang No.10 tahun 1998, tentangPerbankan. 64Suharno.,Op.Cit, hal 36.
pihak tidak terkait hendaknya pemberian kredit jangan terlalu berlebihan yang berakibat bank dalam keadaan beresiko tinggi. Untuk itu perlu ada ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit yang harus dipatuhi oleh setiap bank.
3. Kegiatan Bank Tidak Merugikan Nasabah Penyimpan Dana
Sebagaimana diketahui bahwa pemberian kredit dari sisi bank merupakan sumber pendapatan bank itu sendiri.66 Oleh karena itu evaluasi dan seleksi terhadap objek yang akan dibiayai bank sangat penting, baik guna kelangsungan bank itu sendiri maupun perlindungan terhadap nasabah yang menitipkan dananya pada bank.
Hal ini merupakan perwujudan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 3 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa : dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.67
Dengan demikian peningkatan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit, mutlak diperlukan meskipun disadari bahwa persaingan bisnis perbankan di bidang penyaluran kredit sangat ketat. Bank harus tetap selektif, komitmen kredit yang diberikan hendaknya dapat dibiayai oleh sumber dana yang cukup, tanpa harus berlomba-lomba secara kurang wajar dalam menghimpun dana masyarakat. Karenanya bank seharusnya tidak hanya mengejar target pertumbuhan
66Suharno.,Op.Cit, hal 2.
kredit yang tinggi, tetapi juga tetap memperhatikan pula dampaknya terhadap kesehatan bank.
Haruslah dibedakan antara hak penggunaan dana, selama dana berada dalam simpanan bank atas resiko pihak bank sendiri, dengan hak milik dana oleh karenanya menjadi alas hak bagi penarikan kembali oleh si penyimpan dana pada bank. Dengan pengertian ini, adalah suatu sikap melawan hak atau melawan hukum bila bank menggunakan dana secara semena-mena, tidak berhati-hati dengan melawan substansi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Pasal 37 B ayat 1 dan menempatkan deposan pada resiko yang tidak semestinya.68 Dalam hal dana yang dipakai untuk pemberian kredit, bank hanya boleh memberikan kredit apabila bank benar-benar telah meyakini bahwa debitur mempunyai kemampuan, kesanggupan dan beritikad baik untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila tidak demikian resiko yang dihadapi oleh bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian.
4. Restrukturisasi Kredit
Seperti halnya dengan ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan ketentuan tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), ketentuan restrukturisasi kredit ini pun dikeluarkan pada tanggal 12 November 1998, dengan Surat Keputusan Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR. Surat Keputusan ini kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PB/2000tanggal 12 Juni 2000. Perubahan mana hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 12 ayat (1) huruf b.
Dalam pasal 1 huruf c Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan restrukturisasi kredit adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui :
1. Penurunan suku bunga kredit;
2. Pengurangan tunggakan bunga kredit; 3. Pengurangan tunggakan pokok kredit; 4. Perpanjangan jangka waktu kredit; 5. Penambahan fasilitas kredit;
6. Pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
7. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur; Dengan Restrukturisasi kredit ini debitur dapat diberi keringanan dalam rangka upaya pelaksanaan kewajibannya sebagai debitur, yaitu untuk melunasi hutang- hutangnya dari bank. Namun demikian, tidak semua debitur dapat diberikan keringan karena permasalahan dalam kredit perbankan dapat terjadi berbagi hal termasuk didalamnya kemampuan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang bersumber dari usahanya. Dalam Surat keputusan Bank Indonesia tersebut bahwa restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha yang baik dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit. Oleh karena itu, kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas dan bagi kredit yang diberikan kepada pihak terkait yang akan
direstrukturisasi, wajib dianalisis oleh konsultan atau tanaga ahli yang independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik.
Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari :
1. Penusuran penggolongan kualitas kredit; atau
2. Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang lebih besar; atau
3. Penghentian pengakuan pendapatan bunga secara aktual.69
Untuk itu bank diwajibkan membuat kebijakan restrukturisasi kredit secara tertulis. Kemudian, direksi bank wajib terlibat langsung dalam perumusan kebijakan restrukturisasi kredit tersebut dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang pelaksanaannya wajib diikuti secara saksama oleh Komisaris/Badan Pengawas bank yang bersangkutan.
Untuk menjaga objektivitas, restrukturisasi kredit dilakukan oleh satuan kredit yang terpisah dari satuan kerja pemberian kredit, dan pejabat atau pegawai dalam satuan kerja restrukturisasi kredit tidak terlibat dalam pemberian kredit yang akan direstrukrisasi. Satuan kerja restrukturisasi kredit ini dipimpin oleh pejabat yang berpengalaman dalam restrukturisasi kredit serta memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi dengan debitur dalam setiap tahapan restrukturisasi kredit.
Didalam kebijakan restrukturisasi kredit tersebut termuat penjabaran ketentuan restrukturisasi kredit yang tertuang pada pasal-pasal Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000, antara lain sebagai berikut;
1. Penggolongan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturiasasi tergolong diragukan dan macet.
b. Kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong lancar, dalam perhatian khusus atau kurang lancar.
2. Kualitas kredit yang telah diubah tersebut, selanjutnya dapat berubah menjadi: a. Lancar, apabila tidak terjadi tunggakan angsuran pokok dan bunga selama
tiga kali pembayaran dan secepat-cepatnya dalam waktu tiga bulan.
b. Kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi atau yang sebenarnya apabila lebih buruk, jika debitur tidak memenuhi kriteria dalam huruf a dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian restrukturisasi kredit.
3. Kualitas tambahan kredit dalam rangka restrukturisasi digolongkan lancar apabila diberikan sesuai dengan prosedur yang ketat dan memiliki agunan yang cukup.
4. Pendapatan bunga dan penerimaan lain dari kredit yang direstrukturisasi hanya boleh diakui apabila telah diterima secara tunai sebelum kualitas kredit menjadi lancar.
5. Restrukturisasi kredit dalam bentuk penyertaan hanya dilakukan untuk kualitas kredit kurang lancar atau diragukan atau macet, dan wajib ditarik kembali apabila:
a. Telah melebihi jangka waktu paling lama lima tahun; atau
b. Perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba bersih selama dua tahun buku berturut-turut dan wajib dihapusbukukan dari neraca bank apabila telah melebihi jangka waktu lima tahun.70
Selain itu, dalam pedoman Umum Restrukturisasi Kredit disebutkan bahwa penyusunan pedoman restrukturisasi kredit hendaknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;
1. Analisis dan Dokumentasi
Informasi dan dokumentasi yang diperlukan dalam menganalisis kredit-kredit yang akan direstrukturisasi sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Evaluasi terhadap permasalahan debitur, meliputi:
1) Penjelasan rinci mengenai penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas laporan keuangan, arus kas (cash flow), proyeksi keuangan, kondisi pasar, serta faktor-faktor lain yang berkaitan dengan usaha debitur.
2) Perkiraan pengambilan seluruh pokok dan bunga kredit berdasarkan akad kredit sebelum dan setelah restrukturisasi kredit. Perkiraan tersebut hendaknya didasarkan pada rasio-rasio keuangan yang mencerminkan kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya.
3) Peninjauan efisiensi manajemen debitur untuk menentukan diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, misalnya dengan penggantian pemegang saham, direksi, dan pendekatan manajerial lainnya. Jika diperlukan dapat digunakan bantuan tenaga ahli dari luar untuk melakukan restrukturisasi organisasi tersebut. Dalam hal debitur merupakan debitur perorangan harus dipersyaratkan adanya agunan tambahan baru atau jaminan perorangan (personal guarantee) yang terpercaya.
b. Kriteria kredit yang akan direstrukturisasi sesuai kebijakan yang telah ditetapkan bank, misalnya jenis penggunaan kredit serta sektor ekonomi yang dibiayai.
c. Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam menetapkan proyeksi arus kas (projected future cash flows) debitur serta dalam memperhitungkan nilai tunai (present value) dari angsuran pokok danbunga yang akan diterima.
d. Analisis, kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan kredit seperti penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga, perubahan jangka waktu, dan penambahan fasilitas. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan bunga hingga jatuh tempo.
e. Tujuan dan penggunaan tambahan kredit apabila restrukturisasi kredit dilakukan