• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA

3.9 Analisis Data .1 Komunitas Lamun

Pengamatan struktur komunitas lamun yaitu penutupan jenis lamun (%) dan frekuensi jenis lamun. Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya suatu

p i i i P P F 1

jenis dalam petak contoh. Frekuensi masing-masing jenis lamun pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1997) :

Keterangan : Fi = Frekuensi jenis ke-i

Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i

p i P 1

= Jumlah total petak contoh yang diamati

3.9.2 Tingkat keberhasilan lamun transplantasi

Analisis data tingkat keberhasilan lamun transplantasi berupa analisis komparatif, yakni membandingkan data setiap bulannya pada masing-masing metode transplantasi.

3.9.3 Pertumbuhan Daun Lamun

Gambar 7 . Teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun

Berdasarkan ilustrasi teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun yang ditransplantasi seperti Gambar 7 dibuat rumus pertumbuhan daun lamun sebagai berikut (Badria 2007) :

Keterangan : Kt = Pertumbuhan lamun t (mm/hari)

T = Waktu interval pengamatan (hari) at = Panjang total daun hari ke-t (mm)

bt = Panjang total daun di atas lubang penandaan hari ke-t (mm) Lubang Penandaan at bt Kt Kt = T bt at

3.9.4 Biomassa Lamun

Biomassa lamun dihitung dengan menggunakan berat kering lamun dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Azkab 2008):

A W

B

Keterangan : B = Biomassa lamun (gram/m2)

W = Berat kering (gram)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Fisika - Kimia Perairan

Kelangsungan hidup biota perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi lingkungan perairan yang mendukung. Pengamatan lingkungan perairan dilakukan dengan mengukur nilai kualitas perairan tersebut, meliputi parameter fisika – kimia. Nilai-nilai parameter fisika – kimia di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter fisika dan kimia perairan

Parameter Baku Mutu Pulau Pramuka Pulau Kelapa Dua Fisika

Suhu (°C) 28-301) 29 29

Kedalaman (cm) - 55-102 30-94

Kecerahan (%) - 100 100

Kecepatan Arus (m/detik) 0,66 2) 0,33 0,05-0,14

Kimia Salinitas (PSU) 33-34 1) 28-31 25-27 pH 7-8,5 1) 8 8 DO (ppm) >5 1) 9,33-10,55 9,13-10,14 Nitrat (mg/l) 0,008 1) 0,031-0,072 0,039-0,049 Orthofospat (mg/l) 0,015 1) <0,001 <0,001

Sumber : 1) KepMen LH No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3)

2) Baku mutu untuk metode Plugsmenurut Thorhaug 1976 in Azkab 1999

4.1.1 Parameter fisika a. Suhu

Suhu perairan pada kedua lokasi penelitian sekitar 29°C. Kisaran yang kecil menandakan perbedaan suhu antar lokasi penelitian kecil sehingga dapat dikatakan selama penelitian suhu cenderung homogen. Menurut Barber (1985)

in Badria (2007), pada kisaran suhu 10-35 °C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, dan pada kisaran suhu 25-30 °C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Jadi kisaran suhu pada saat penelitian berada pada kisaran yang optimum bagi tumbuhan lamun untuk berfotosintesis.

b. Kedalaman

Kedalaman membatasi penyebaran dan pertumbuhan lamun. Lamun hanya dapat tumbuh pada kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus sampai dasar perairan. Kedalaman perairan dan intensitas cahaya yang masuk ke perairan berpengaruh terhadap proses fotosintesis lamun.

Kedalaman perairan yang diukur pada saat surut di Pulau Pramuka berkisar antara 55 - 102 cm, dan pada Pulau Kelapa Dua antara 30 – 94 cm. Kedalaman yang terukur pada kedua pulau merupakan kedalaman ideal bagi lamun yang merupakan vegetasi perairan dangkal. Hal ini akan mendukung proses fotosintesis lamun yang optimal, karena pada kedalaman tersebut cahaya yang masuk ke dalam perairan akan sampai ke dasar perairan dimana lamun tersebut tumbuh. Hal ini juga didukung oleh kecerahan perairan yang tinggi.

c. Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Hal ini disebabkan lamun membutuhkan perairan dengan kecerahan tinggi agar cahaya matahari dapat menembus perairan sampai ke dasar agar tumbuhan lamun dapat tetap melakukan proses fotosintesis. Kondisi perairan di kedua pulau relatif jernih dan penetrasi cahaya mencapai seratus persen, karena lokasi penelitian merupakan perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman rata-rata 74,2 cm pada Pulau Pramuka dan 69,4 cm pada Pulau Kelapa Dua dan sedikitnya partikel tersuspensi pada perairan.

d. Kecepatan arus

Rata-rata kecepatan arus yang diukur pada Pulau Pramuka adalah 0,33 m/detik, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 0,10 m/detik. Pengukuran arus dilakukan ketika surut terendah menuju pasang, sehingga arah arus cenderung ke arah daratan. Pulau Pramuka memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua hal ini disebabkan lokasi Pulau Pramuka yang lebih terbuka dan tidak terlindungi seperti Pulau Kelapa Dua. Arus pada kedua tempat pengamatan masih berada di bawah kecepatan arus maksimum untuk transplantasi lamun yaitu 0,66 m/detik. Kecepatan arus yang

melebihi nilai ini akan dapat menghanyutkan semua transplantasi lamun metode

Plugsdalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999).

Kedua lokasi pengamatan ini tergolong memiliki arus yang tenang sehingga menyebabkan permukaan daun ditumbuhi alga epifit dan ditutupi oleh sedimen yang terperangkap. Pada Pulau Kelapa Dua memiliki arus yang lebih kecil sehingga penutupan epifit lebih besar yaitu 24,70% dan penutupan algae sebesar 0,03% (Tabel 4) dibandingkan Pulau Pramuka sebesar 12,36% (Tabel 7). Penutupan epifit mengurangi penyerapan cahaya matahari oleh daun sehingga mengganggu proses fotosintesis pada lamun. Penutupan ini mempengaruhi pertumbuhan lamun, khususnya pada bagian daun.

e. Substrat

Substrat tidak terdiri dari satu komposisi melainkan tersusun atas tiga komposisi yaitu pasir, debu dan liat. Dominasi salah satu dari ketiga ukuran tersebut menentukan tipe substrat suatu perairan. Hasil analisis di laboratorium menghasilkan nilai komposisi tekstur substrat dari masing-masing pulau dan nilai konsentrasi C-organik dari substrat tersebut yang dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata komposisi tekstur dan kandungan C-organik substrat (%)

Lokasi Tekstur Tipe Substrat C-organik Pasir Debu Liat

Pulau Pramuka 94,88 2,44 2,69 Pasir 0,32

Pulau Kelapa Dua 94,77 2,54 2,69 Pasir 0,39

Ukuran partikel substrat mempengaruhi kandungan oksigen dan bahan organik dalam sedimen. Substrat halus memiliki kandungan bahan organik lebih besar daripada substrat dengan ukuran partikel besar/kasar. Sebaliknya kandungan oksigen pada substrat berukuran partikel besar/kasar lebih banyak daripada substrat halus.

Tipe substrat di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua tergolong substrat pasir dengan komposisi pasir secara berurutan sebesar 94,88 % dan 94,77 %. Tipe substrat menentukan sejauh mana lamun tumbuh. Umumnya lamun tumbuh pada substrat pasir berlumpur meski ada pula yang dapat hidup pada

batu karang. Lamun yang hidup pada substrat berlumpur harus mengadaptasikan akarnya dengan kondisi anoksik dan mempunyai akar yang panjang dan dilengkapi akar rambut yang banyak. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan fotosintesis dan respirasi lamun. Sedangkan lamun yang hidup pada substrat kasar cenderung memiliki perakaran yang lebih kuat dibandingkan dengan substrat halus. Hal ini karena tingkat porositas pasir yang besar dan seragam sehingga akar perlu mencengkram kuat substrat supaya dapat bertahan dari arus dan gelombang.

Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan C-organik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat debu makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Dapat dilihat Pada Pulau Kelapa Dua memiliki komposisi pasir yang lebih rendah namun konsentrasi C-organik lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka. Hal ini juga dapat menandakan organisme yang hidup di substrat (bentos dan mikrobakteri) lebih padat di Pulau Kelapa Dua. Seperti diketahui bahwa C-organik terbentuk dari hewan dan tumbuhan yang telah busuk dan terakumulasi dalam substrat.

4.1.2 Parameter Kimia a. Salinitas

Nilai salinitas yang diukur pada Pulau Pramuka berkisar antara 28-31 PSU, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua antara 25-27 PSU. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, baku muku parameter salinitas bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara 33-34 PSU, namun nilai yang terukur berada jauh di bawah baku mutu. Perbedaan nilai salinitas ini disebabkan oleh faktor alam yaitu turunnya hujan sehingga mempengaruhi besarnya nilai salinitas di kedua pulau tersebut. Ada jenis lamun yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas (euryhaline) seperti jenis

Thalassia hemprichiiyang memiliki kisaran optimum untuk pertumbuhan antara 24-35 PSU, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi pengamatan.

b. Derajat keasaman (pH)

Nilai rata-rata derajat keasaman hasil pengukuran pada kedua pulau adalah 8. Nilai ini sesuai dengan baku mutu Keputusan Menteri Lingkungan

Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu pH optimal untuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5 Sehingga perairan pada ke dua pulau mendukung bagi kelangsungan hidup lamun.

c. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas bagi makluk hidup terutama bagi organisme laut yang tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas secara langsung. Oleh karena itu dalam air, oksigen ditemukan dalam keadaan terlarut. Berdasarkan pengukuran di lapang didapatkan nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut dalam perairan Pulau Pramuka sebesar 9,94 mg/l dengan kisaran antara 9,33 – 10,55 mg/l, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 9,63 mg/l dengan kisaran antara 9,13 – 10,14 mg/l. Secara umum kandungan oksigen terlarut pada kedua pulau memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu >5 mg/l, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Nilai kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.

Padang lamun merupakan habitat bagi berbagai macam organisme laut, baik yang hidup menempel di daun (kelompok epifit, termasuk alga) maupun di dalam sedimen (bentos dan mikrobakteri). Semua organisme laut ini memanfaatkan persediaan oksigen terlarut yang cukup besar untuk proses respirasi dan proses oksidasi (dekomposisi serasah daun lamun dan nitrifikasi). Sehingga diduga ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kandungan oksigen terlarut antara dua pulau tersebut, antara lain : (1) Proses fotosintesis oleh daun lamun dan (2) Kepadatan biota.

Proses fotosintesis dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kecerahan perairan dan kecepatan arus. Kecerahan perairan berperan dalam penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus menentukan proses sedimentasi dan penutupan alga epifit pada permukaan daun lamun. Kecepatan arus pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi sehingga diduga kondisi ini yang menyebabkan kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.

d. Nutrien

Salah satu ciri khas lamun yang membedakan dengan tumbuhan laut lainnya adalah kemampuan menyerap nutrien melalui daun, selain oleh akar. Lamun tidak memiliki stomata tapi digantikan oleh kehadiran kutikula yang tipis sehingga daun mampu mengabrsorbsi nutrien secara langsung dari perairan. Nitrat dan orthofosfat merupakan salah satu bentuk bahan anorganik, dimana nitrat adalah turunan dari nitrogen sedangkan orthofosfat adalah turunan dari fosfor anorganik terlarut. Seperti telah diketahui bahwa fungsi nitrogen pada tumbuhan adalah memacu pertumbuhan dan sintesis asam amino dan protein namun karena lamun adalah tumbuhan air maka nitrogen harus diubah menjadi bentuk anorganik berupa nitrat dan ammonium supaya dapat dimanfaatkan.

Besarnya kandungan nitrat di kolom perairan Pulau Pramuka berkisar 0,031-0,072 mg/l, sedangkan di Pulau Kelapa Dua sebesar 0,039-0,049 mg/l. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu 0,008 mg/l. Sehingga kebutuhan lamun untuk membentuk biomasanya dapat terpenuhi dengan kandungan nitrat di kolom perairan yang mencukupi. Kandungan nitrat di Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua. Perbedaan nilai ini diduga karena kondisi perairan tiap pulau berbeda. Pada Pulau Kelapa Dua konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah sehingga mengakibatkan laju dekomposisi atau mineralisasi nitrogen (proses perubahan nitrogen organik menjadi anorganik) menurun, sehingga konsentrasi nitrat dalam kolom perairan menjadi lebih rendah namun dengan adanya lokasi budidaya perikanan dalam bentuk Keramba Jaring Apung (KJA) di dekat lokasi rehabilitasi di Pulau Kelapa Dua diduga mengakibatkan kandungan nitrat di perairan menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan nitrat diduga akibat sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya yang kemudian terbawa arus perairan.

Orthofosfat digunakan oleh tumbuhan lamun dalam proses fotosintesis dan respirasi. Nilai orthofospat di kolom perairan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua terhitung sebesar <0,001 mg/l. Kedua pulau ini memiliki kandungan orthofosfat di kolom perairan yang sangat rendah dan berada dibawah nilai baku mutu. Akan tetapi rendahnya konsentrasi orthofosfat dalam kolom air bukan menjadi faktor pembatas pertumbuhan lamun namun menjadi indikator

bahwa perairan pada kedua pulau tergolong bersih, tidak tercemar limbah atau buangan rumah tangga. Pertumbuhan lamun di Pulau Kelapa Dua relatif lebih tinggi meski memiliki nilai konsentrasi orthofosfat yang rendah. Hal ini menandakan bahwa tumbuhan lamun memerlukan fosfor hanya dalam jumlah yang sangat sedikit.

Kandungan nutrien pada Pulau Kelapa Dua cenderung lebih tinggi dari pada Pulau Pramuka. hal ini yang menyebabkan pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi karena lamun mendapatkan pasokan unsur hara yang cukup.

4.2 Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua