BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
4. Analisis Data
Analisis data adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar.”63 Pada penelitian hukum yuridis normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.”64
Analisis data dapat digolongkan menjadi dua macam, yang meliputi analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.65 Dalam penelitian ilmiah ini, analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data secara kualitatif yaitu “suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang
63 Lexy J, Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal.103.
64 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Op.Cit., hal. 251-252.
65 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op.Cit., hal. 19.
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.”66Analisis kualitatif merupakan “analisis data yang tidak menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data, dan bukan kuantitas.”67
Penelitian ini menggunakan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu “penarikan kesimpulan dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.”68dengan menggunakan pendekatan normatif sehingga memberikan jawaban atas permasalahan dalam tesis ini.
66 Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2004, hal. 250.
67 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Loc.Cit.
68 Bambang Sunggono, Op.Cit, hal.11
34 BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) TERHADAP AKTA JUAL BELI TANAH WARISAN
YANG DI BUAT DI HADAPANNYA YANG DI BATALKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG
A. Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Jual Beli
Menurut ketentuan pasal 1457 KUHPerdata, “jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” “Sedangkan dalam UUPA, Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat.”69
Menurut Boedi Harsono, Pengertian jual beli dalam Hukum Adat adalah
“perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai.”70 Menurut pendapat lain, Jual beli tanah dalam hukum adat merupakan “proses peralihan hak dengan menggunakan prinsip dasar yaitu terang dan tunai.71 Terang artinya “jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, pejabat umum yang berwenang seperti Kepala Adat, Camat dan PPAT.”72 Tunai artinya “harga jual
69 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Peralihannya,Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal.76.
70 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria ,Isi Dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional Jilid I,Djambatan, Jakarta 2003, hal. 333.
71 Ferri Adhi Purwantono, Akhmad Khisni,“Tinjauan Yuridis Implikasi Perjanjian Jual Beli dalam Keluarga yang dibuat oleh Notaris terhadap kedudukan ahli waris”, Jurnal Akta, Volume 5, No.1, Maret 2018, hal.99.
72 Irma Devita Purnamasari, 2010, Kiat – Kiat Cerdas, Mudah, Dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung, hal.16
belinya harus di bayarkan secara tunai.”73 sehingga dapat diartikan jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dan di lakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Maka dengan “penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang hak yang baru.”74
Menurut Subekti, jual beli adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”75 sehingga Perjanjian Jual Beli adalah “persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik (en eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) pembeli mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan.”76 Karena jual beli adalah merupakan perjanjian, maka dalam hal ini berlakulah syarat-syarat untuk sahnya perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
73 Ibid
74 Cici Fajar Novita,“Tinjauan Hukum terhadap Jual Beli Tanah tanpa Akta PPAT (wilayah kecamatan Tinombo)”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion,Volume 2, No. 3, 2014, hal.15
75 Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,1998,hal.79.
76 Salim,H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.48
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian dan jika syarat subyektif dilanggar maka aktanya dapat dibatalkan, sedangkan syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka aktanya batal demi hukum.
Dalam proses jual beli tanah terdapat 2 (dua) syarat yakni syarat materil dan syarat formil.77
1. Syarat Materil78
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Yang berarti bahwa pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya.
b. Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.79 Apabila tanah merupakan harta warisan maka seluruh ahli waris harus setuju untuk mejual tanah warisan tersebut.
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam keadaan sengketa.
Jika salah satu syarat materil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.80 Jual beli tanah
77 Adrian Sutedi,Op.Cit.hal.77.
78 Ibid
79 Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,hal.2.
80 Baharudin, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Proses Jual Beli Tanah”,Jurnal Keadilan Progresif Volume.5, No.1, Maret 2014, hal.91.
yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.81
2. Syarat Formil
Syarat formil adalah “syarat – syarat yang harus dipenuhi setelah syarat materil terpenuhi.” Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas transaksi jual beli tersebut. Formalitas tersebut meliputi “akta yuridisnya yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut.”82 Syarat ini berupa pembuatan akta jual beli. Menurut pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli harus dibuat oleh PPAT sebagai suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah . Adapun syarat - syarat formil yakni:83
a. Dalam pembuatan akta dihadiri oleh pihak – pihak yang melakukan transaksi jual beli dan 2 (dua) orang saksi.
b. Akta asli dibuat dalam 2 (dua) rangkap dimana 1 (satu) di arsip di kantor PPAT dan sisanya akan diberikan kepada Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah.
c. Setelah ditandatangani, PPAT wajib menyerahkan akta beserta dokumen yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan.
Ketentuan jual beli dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata yang berbunyi “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Sehingga dapat diartikan jual beli menurut pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana
81 Ibid, hal.3.
82 Clara Helmy Sihite,“Analisa Kasus Atas Jual Beli Tanah Warisan (Studi Kasus Putusan MA Nomor 680K/PDT/2009) Antara Aston Purba dkk melawan Patar Simamora dan Gomar Purba”, Jurnal USU, 2011, hal.7.
83 Adrian Sutedi,Op.Cit.hal.77.
pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.84
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata mengatakan : “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang – orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun keberadaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.” Kemudian dalam ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata yang berbunyi: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.” Sehingga dapat diartikan jual beli merupakan “suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.”85
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang diperjual belikan beserta harganya walaupun benda belum diserahkan dan harga belum dibayarkan”86 Dalam perjanjian jual beli, penjual dan pembeli memiliki hak dan kewajiban yang bertimbal balik dimana bagi si penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan serta menjamin kenikmatan tentram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi dan terhadapnya berhak untuk
84 R. Subekti,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014,hal.1.
85 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003, hal.7.
86 Adrian Sutedi, Sertifikat Hak atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.hal.127.
menerima pembayaran harga barang, sedangkan kewajiban si pembeli yang utama adalah membayar harga yang berupa sejumlah uang pada saat pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana yang ditetapkan menurut perjanjian, sedangkan haknya adalah menerima barang yang diperjualbelikan dari penjual tersebut.87
Setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria seperti dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah PPAT. Dalam proses peralihan hak atas tanah oleh PPAT akan dibuat Akta jual beli yakni “surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa jual beli, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan jual beli yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”88 yang harus dibuat oleh PPAT sesuai dengan wilayah kerjanya dan dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu. “Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi – sembunyi).”89 Dengan pembuatan akta di hadapan PPAT maka dapat dijadikan sebagai bukti telah terjadinya perbuatan hukum tersebut yang juga disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi akta. Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan PPAT tersebut merupakan “bukti telah
87 R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,1985, hal.135.
88 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia,Liberty, Yogyakarta,2009, hal.106.
89 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal.77
terjadi peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum melalui jual beli dan salah satu syarat untuk pendaftaran peralihan hak melalui jual beli.”90
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta autentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan. Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta autentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta autentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta autentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut.
B. Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Pewarisan
Selain karena Jual Beli, Hak atas tanah juga dapat beralih karena pewarisan.
Warisan ialah “semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang
90 Nur Aisah,“Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah (Jual Beli) Dalam Mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan Di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung”, Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta,2013, hal.3.
lain.”91 Pewarisan terjadi ketika pewaris meninggal dunia dan harta warisan akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya yaitu keturunan terdekat dari yang meninggal dunia dan atau orang yang ditunjuk untuk menerimanya yang disebut juga ahli waris. “Jatuhnya harta warisan berupa hak atas tanah dari pewaris kepada ahli waris bukan karena perbuatan hukum, melainkan berpindah karena suatu peristiwa hukum.”92
Menurut pasal 832 KUHPerdata, dinyatakan bahwa “Menurut Undang – Undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.” Ada 4 (empat) golongan dalam keluarga sedarah, yakni:93
1. Golongan I, yakni keturunan dari yang meninggal dunia ialah anak, suami atau istri yang hidup terlama dan cucu sebagai ahli waris pengganti.
2. Golongan II, yakni orang tua, saudara – saudara sekandung dan keturunannya dari yang meninggal dunia.
3. Golongan III, yakni leluhur dari yang meninggal dunia, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri.
4. Golongan IV, Keluarga sedarah sampai derajat ke enam.
Dalam hukum adat, untuk menentukan ahli waris pada umumnya digunakan 2 (dua) macam garis keturunan pokok, yaitu:94
1. Garis keturunan pokok utama, adalah garis hukum yang menentukan urutan – urutan utama dari golongan – golongan keluarga pewaris. Pengertiannya bahwa golongan yang pertama didahulukan dari golongan berikutnya.
Golongan – golongan itu terdiri dari:
91 Maulana Rialzi,“Analisis Kasus Tentang Jual Beli Tanah Warisan Yang Belum Dibagi (Studi Putusan Mahkamah Syar’iyah Sigli Nomor: 291/PDT-G/2013/MS-SGI)”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 2016, hal.1.
92Chindy.F. Lamia, “Peralihan Hak Atas Tanah Warisan”, Jurnal Lex Privatum, Vol.II No.3, Agustus – Okober 2014, hal.95.
93 R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia,RajaGrafindo Persada,Jakarta,2007, hal.165.
94 Ibid, hal.167.
a. Golongan I : keturunan pewaris;
b. Golongan II : orang tua pewaris;
c. Golongan III : saudara – saudara pewaris dan keturunannya;
d. Golongan IV : kakek dan nenek pewaris;
e. Golongan V : leluhur pewaris.
2. Garis keturunan pokok pengganti, adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukkan orang – orang dalam golongan – golongan pokok utama yang akan menjadi ahli waris.
Dalam pelaksanannya, sistem pewarisan yang digunakan tergantung pada kehendak dari para ahli waris yang mana para ahli waris berhak menentukan sistem pewarisan yang hendak digunakan dalam pembagian warisan yang dapat berupa sistem pewarisan menurut KUHPerdata, sistem pewarisan menurut hukum adat maupun menurut hukum Islam.
C. Peranan PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Warisan
Menurut A.P Parlindungan, PPAT adalah “pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta – akta yang diterbitkan merupakan akta autentik.”95 Sedangkan menurut pendapat lain, PPAT adalah “pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian – perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.”96
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tertera bahwa PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
95 A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, bagian I, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal.131.
96 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,1994, hal.3.
membuat akta – akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.97
Pengertian PPAT lebih ditegaskan lagi dalam Undang – Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah yaitu bahwa PPAT sebagai “pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.”98 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah yang diberi kewenangan untuk membuat akta – akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan akta – akta lain yang diatur dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta – akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 juncto Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Presiden Republik Indonesia bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
97 Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 juncto Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
98 Pasal 4 Undang – Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tangungan Atas Tanah beserta Benda – benda yang berkaitan dengan tanah.
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi:99
1. Jual beli, 2. Tukar menukar, 3. Hibah,
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), 5. Pembagian hak bersama,
6. Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, 7. Pemberian Hak Tanggungan,
8. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang PPAT berwenang untuk
“membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.”100 Sehingga tugas dan wewenang PPAT adalah membuat akta autentik peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya peralihan hak dan dasar untuk pendaftaran perubahan data tanah di Kepala Kantor Pertanahan dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuat oleh PPAT adalah sebagai akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Akta PPAT dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu tanggal, para pihak, tanda tangan dan peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa, artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari.
99 Surachman, Kewenangan PPAT Dalam Bidang Pertanahan, Mitra Aditya Bakti, Bandung,2010, hal. 69
100 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 juncto Peraturan Pemerintah 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
D. Kekuatan Pembuktian Akta PPAT
Berdasarkan asal usul kata, istilah akta berasal dari bahasa latin ”acta” yang berarti geschrift atau surat,101 A. Pitlo berpendapat bahwa “akta adalah suatu surat yang ditandatangani,diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.102 R. Subekti berpendapat bahwa “akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani”.103 Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa “akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu, hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. Jadi, “untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda tangani.”104
Pada umumnya akta itu adalah “surat – surat yang ditandatangani, memuat tentang kejadian – kejadian atau hal – hal yang merupakan dasar suatu perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah tulisan dengan dinyatakan sesuatu perbuatan hukum.”105 Menurut Sudikno Mertokusumo, fungsi akta adalah sebagai berikut:106
1. Akta dapat mempunyai fungsi formil yang berarti bahwa untuk sempurnanya sebuah perbuatan hukum haruslah dibuat oleh suatu fakta yang ada sehingga merupakan syarat formil suatu perbuatan hukum.
2. Akta berfungsi sebagai alat bukti maksudnya adalah bahwa itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya
2. Akta berfungsi sebagai alat bukti maksudnya adalah bahwa itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya