• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

F. Analisis data wawancara

Analisis wawancara dilakukan untuk mengetahui proses berpikir siswa serta faktor-faktor siswa dalam menentukan representasi yang digunakan diketahui lewat wawancara.

1. Representasi visual

Peneliti menduga pada soal nomor 2 dan 3 akan ada siswa yang menggunakan representasi visual. Ternyata tidak ada siswa yang menggunakan representasi visual. Siswa beranggapan dengan menggambar justru membingungkan. Bukti

P : “Gak nyoba digambar gitu?” S2 : “Enggak nanti malah bingung”

Penyelesaian soal nomor 2 bisa lebih dari satu. Namun, semua siswa hanya bisa menemukan satu penyelesaian. Bentuk akuarium baru tidak hanya berbentuk kubus saja tetapi bisa berbentuk balok. Siswa mulai menemukan penyelesaian lainnya ketika dipancing pertanyaan oleh peneliti. Siswa diberikan kesempatan untuk mengerjakan ulang dengan representasi lain.

P : “Dicoba gambar juga boleh”

S3 : “Ehhh... biasanya sih kalau bingung banget aku gamba”r P : “Lah sekarang bingung banget gak”

S3 : “Tadikan gak kepikiran digambar soalnya yang ditanyakan ukuran jadi langusng itung aja”

P : “Coba sekarang gambar kubus 8 dengan susunan yang berbeda” S3 : (siswa menggambar)

P : “Terus 8 kubus itu digimanakan? Biar bentuk akuarium baru” S3 : “Hmmm.... digabungin”

P : “Gabungin gimana biar bentuk akuarium baru? Bentuknya jadi apa?Terus ukurannya berapa aja?”

S3 : “Oh jadi balok”

S3 : “Ukurannya kalau jadi balok, belum tahu sih.... kalau jadi balok bisa sih, hasilnya ini dibagi bagi biar jadip, l, t”

S3 menggambar kubus sebanyak delapan tetapi belum membentuk akuarium baru. Dari gambar tersebut dia mulai menemukan penyelesaian lain selain bentuk kubus. Sedangkan S4 mampu menggambarkan bentuk akuarium baru yang terdiri dari 8 kubus yang berukuran 0,3 m sehingga dia lebih mudah mendapatkan ukuran akuarium yang baru.

P : “Ini kan akuarium barunya ada 8 kali akuarium lama. Bentuk akuarium lamanya kubus. Berarti ada 8 kubus kan? Dari 8 kubus itu bisa disusun bentuk kubus atau bentuk lain gak? Bisa digambar dibawahnya”

S4 : “Bisa”

P : “Jadi bentuknya balok ya? Terus ukurannya berapa aja?” S4 :“0,30,61,2”

Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa dengan sketsa gambar siswa dapat memecahkan masalah.

Awalnya peneliti tidka menduga siswa akan menggunakan representasi visual, S1 menggunakan representasi visual geometris sebagai simbol pada nomor 1, seperti pada gambar 4.1. Peneliti menduga siswa akan menggunakan variabel untuk memisalkan tinggi persegi panjang dan tinggi segienam. Justru siswa menggunakan gambar untuk menyatakan tinggi persegi panjang dan segienam.

Gambar 4.1. Hasil Pekerjaan S1

Namun, S1 tidak menuliskan proses penyelesaian bagaimana menemukan tinggi persegi panjang dan segienam.

P : “Tadi kamu bilang gak suka dimisalkanx, y, gitu kan? Nah, tapi di pengerjaanmu ini ada persamaan pakai gambar, apa kamu lebih suka menyimbolkan pakai gambar?”

S1 : “Enggak juga, pake gambar karna kepikirannya gitu, enggak kepikiran pake x, ygitu”

P : “Kok bisa kepikiran pake gambar?”

S1 : “Ya biar lebih jelas aja, persegi panjang yang mana, segienam yang mana. Jadi gak harus nulis keterangan x apa, yapa”

Hal ini menunjukkan bahwa siswa menggunakan gambar sebagai simbol supaya terlihat lebih nyata daripada menggunakan variabel.

2. Aritmatika

Peneliti menduga pada soal nomor 1, ada siswa yang menggunakan bentuk aritmatika. S2 dan S3 menyelesaikan dengan melakukan perhitungan tanpa variabel tetapi siswa belum bisa menggunakan simbol matematika dengan tepat dan kurang teliti. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.2, S2 menuliskan “tower 1”, segienam, dan persegi panjang tanpa kata “tinggi”.

Gambar 4.2. Hasil Pekerjaan S2

Pekerjaan S3 pada awalnya kurang jelas dalam menuliskan proses penyelesaiannya. Pada gambar 4.3, baris ke tiga, tidak jelas bagaimana bisa ditemukan tinggi segienam sama dengan 5.

Gambar 4.3. Hasil Pekerjaan S3

Setelah dikonfirmasi, sebelum menemukan tinggi segienam, siswa mencari tinggi persegi panjang. Kemudian dari tinggi sepasang persegi panjang dan segienam dikurangi tinggi persegi panjang.

Gambar 4.4. Hasil Pekerjaan S3 Setelah Dibenarkan.

S3 juga kurang teliti dalam menuliskan keterangan satu pasang, segienam, I, II, dan III tanpa kata “tinggi”. Dari hal tersebut, diketahui siswa belum dapat menuliskan proses pemecahan masalah mereka dengan jelas. Kelemahan siswa dalam memcahkan masalah dengan berpikiran aritmatika adalah siswa tidak dapat merepresentasikan pemikirannya ke dalam kalimat matematika.

Wawancara dengan S1

P : “Kalau ngerjain soalnya biasa digambar gak? Walaupun gak disuruh. Misalkan cuma buat sketsanya doang.”

S1 : “Enggak, gak bisa gambar juga soalnya. Aku lebih seneng pakai kalimat matematikanya.”

Wawancara dengan S2

P : “Gak nyoba digambar gitu?” S2 : “Enggak nanti malah bingung” P : “Loh... digambar kok malah bingung?” S2 : “Iya, gak tahu, nanti jadinya bingung” Wawancara dengan S3

P : “Dicoba gambar juga boleh”

S3 : “Ehhh... biasanya sih kalau bingung banget aku gambar” P : “Lah sekarang bingung banget gak?”

S3 : “Tadikan gak kepikiran digambar soalnya yang ditanyakan ukuran jadi langusng itung aja”

Wawancara dengan S4

P : “Kalau mengerjakan soal biasa gambar gak?” S4: “Kadang”

Pada soal nomor 2, 3, dan 4, semua siswa langsung menghitung untuk memecahkan masalah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa siswa tidak berpikiran untuk menggambar atau dengan cara lain karena tidak terbiasa dan terbiasa langsung mengoperasikan bilangan yang diketahui ketika mengerjakan soal matematika.

3. Aljabar

Soal yang memungkinkan siswa untuk menggunakan variabel adalah soal nomor 1 dan 3.c. Namun tidak semua siswa menyelesaikan dengan melibatkan variabel.

Soal nomor 1 memungkinkan siswa menyelesaikan dengan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) tetapi hanya S4 saja yang menyelesesaikannya dengan SPLDV. S4 menganggap jika dengan menggunakan SPLDV akan lebih mudah dalam menuliskan ide atau gagasannya. Bukti.

Wawancara dengan S4

P : “Baik, yang nomor satu kamu pakai SPLDV ya? Kenapa kok gak pakai nalar?”

S4 : “Kesusahan”

P : “Kesusahan kenapa?”

S4 : “kesusahan karena nalarku gak sampai. Ya sampai sih tapi cuman bingung aja”

P : “Bingungnya dimana?”

S4 : “Gak bingung juga sih, kalau pakai SPLDV kan lebih enak” P : “Kalau pakai nalar justru kesusahan ya? Kesusahan nulisnya atau

gimana?”

S4 : “Dari nalar ke nulisnya itu susah”

Namun ketika peneliti bertanya kepada siswa jika soal nomor 1 diubah menjadi soal cerita. Ternyata S2 dan S3 menjawab menggunakan SPLDV. Bukti.

Wawancara dengan S2

P : “Misalkan yang nomor satu ini diganti soal cerita. Misal Kamu beli 3 pensil dan 3 buku harganya 21 ribu terus Tata beli 2 pensil dan 3 buku harganya 19 ribu. Aku beli 2 pensil dan 1 buku. Berapa yang harus aku bayar? Caranya tetep pakai nalar atau pakai SPLDV?”

S2 : “Pakai SPLDV kalau kayak gitu.” P : “Kok gak pakai nalar?”

S2 : “Soalnya pakai kalimat jadi pakai persamaan.”

P :“Jadi kalau ngelihat soal Cuma pakai kalimat doang, gak pakai gambar, malah pakai SPLDV ya.”

S2 : “Iya”

P : “Udah tertanam dipikiran kayak gitu ya?: S2 : “Iya”

Wawancara dengan S3

P : “Misalkan Inggar membeli 3 buku dan 3 pensil harganya 21 ribu. Kamu beli 2 pensil dan 3 buku harganya 19 ribu, terus aku beli 2 pensil 1 buku. Berapa yang harus aku bayar? Kalau kayak gitu penyelesainnya pakai?”

S3 : “Pakai SPLDV”

P : “Berarti gak langsung pakai nalar ya?”

S3 : “Enggak, kalau dah rumit gitu pakai SPLDV, soalnya kan dah ada rumusnya.”

Hal ini juga membuktikan bahwa bentuk representasi yang dibuat siswa dipengaruhi juga oleh bentuk soal. Siswa sudah terbiasa menggunakan SPLDV untuk mengerjakan soal cerita yang memungkinkan diselesaikan dengan SPLDV.

4. Representasi visual dan aritmatika

Pada awalnya siswa merepresentasikan bingkai foto yang ada dipikirannya dengan gambar kemudian siswa mulai menghitung potongan kertas dengan konsep keliling. Bukti.

Wawancara S3

P : “Jadi kamu pakai konsep keliling.”

S3 : “Itu kan kelihatan dari sininya. Awalnya mau ngitung luas tapi gak mungkin. Terus nyoba tak gambar kotak kotak. Teruskan potongan kertas kan 1 x 1, otomatis banyaknya potongan kertas

yang bawah ada 10 potongan terus yang samping ada 16. Terus ditambah 4 dibagian sudutnya.”

P : “Kalau yang bagian b gimana?”

S3 : “Sama pakai konsep keliling juga tapi dibagi 2 dulu. Potongan kedua kan 2 cm.”

Hal ini menunjukkan bahwa dengan gambar siswa dapat menemukan ide penyelesaian selanjutnya. Siswa menentukan langkah penyelesaian selanjutnya dengan aritmatika.

5. Teks tertulis

Bagian 3.c ini sebenarnya diharapkan siswa dapat menjelaskan dan membuat sebuah persamaan dengan melihat pola pada bagian 3.a dan 3.b. Namun, siswa hanya merepresentasikan ide mereka dengan teks tertulis saja tanpa membuat persamaan matematikanya, itupun susunan kalimat masih tidak teratur.

Wawancara dengan S3

P : “Kamu jawabnya, bisa dibuat persamaan terus ini ada penjelasannya. Dari penjelasan ini kamu buat persamaannya.” S3 : “Buat persamaannya dari penjelasannya?”

P : “Ini kan kamu dah nulisrumus keliling persegi panjang terus kamu lanjutin dibagi dengan panjang potongan kertas.”

S3 : “Lah itu tadikan ada 2 ukuran potongan kertas terus pakai yang mana?”

Dari hasil wawancara dengan S3 tersebut juga menunjukkan bahwa siswa kurang memahami soal dan pengertian persamaan.

Wawancara dengan S2

P : “Terus yang c ini maksudnya gimana? Bisa karena ditambah 4? Keliling kok dibagi keliling?”

S2 : “Ditambah 4 karena dari pojok pojoknya itu. Keliling fotonya itu dibagi keliling potongan kertas itu. Terus banyaknya kertas disesuaikan dengan panjang keliling potongan persegi itu biar bisa dibikin bingkai.”

Siswa hanya menuliskan ide mereke dengan kalimat biasa karena kesulitan merepresentasikannya ke dalam kalimat matematika sehingga mereka hanya menjelaskan apa yang mereka pikirkan dengan teks tertulis. 6. Aritmatika dan teks tertulis

Siswa menentukan perbandingan antara jumlah kelereng biru dan merah kemudian siswa menjelaskan peluang terambilnya kelereng biru yang paling besardengan teks tertulis. Bukti.

Wawancara dengan S3

P : “Terus yang nomor 4, kamu membandingkan antara apa dan apa?: S3 : “Perbandingan anatara kelereng merah dan biru .”

(sambil menulis)

P : “Kamu menentukan peluang terambilnya kelereng biru yang paling besar ada di kantong kedua. Kok bisa?”

S3 : Itukan kalau dilihat dari kantong lainnya, peluang terbesar itu ada di kantong kedua, terus jumlah kelereng merah lebih sedikit dari kantong lainnya.”

P : “Dan?”

S3 : “Dilihat dari jumlahnya itu, paling besar.” P : “Jumlah apa?”

S3 :“Eh pecahannya yang paling besar.” P : “Ini kok kamu nulis 3/11/3?”

S3 : “Ini aku balik soalnya yang ditanyakan kelereng biru.” P : “Terus?”

S3 : “Terus milihnya yang ½ karena peluangnya setengah lebih besar.”

P : “Lebih besar?”

S3 : “Maksudnya peluang terambilnya paling besar.” P : “Kenapa pakai perbandingan? Gak yang lain?”

S3 : “Pake perbandingan karena menurutku biar lebih mudah ngira- ngiranya.”

P : “Kamu jawab kantong kedua karena berisikan kelereng merah paling sedikit dan jika dibandingkan peluangnya lebih besar. Kenapa pake perbandingan kalau alasannya kelereng merah paling sedikit? Apa pake perbandingan gak cukup jelas?”

S3 : “Biar lebih... jelas alasannya, gak cuma pake perbandingan aja.” P : “Lebih jelas gimana?”

P : “Berarti kalau soalnya gak nyuruh jelasin, kamu gak jelasin pake kalimat biasa?”

S3 : “Iya, hehehe” Wawancara dengan S2

P : “Kalau gitu kita lanjut yang nomor 4, ini pekerjaanmu gimana?” S2 : “Itu kan yang diketahui itu kan.... Yang ditanyakan peluang

kelereng birunya semua. Pertamanya kan ngelihat jumlah kelereng semuanya tanpa ngelihat kelerengnya ada apa aja. Kantong

pertama ada 100, 25 kelereng biru, 75 kelereng merah. Jadinya perbandingan jadi 25 per 75. Kantong lain cara bandinginnya juga kayak gitu. Terus ketemu pecahan yang besar itu 1 per 3. Jadi jawabannya kantong kedua.”

P : “Kok bisa milih yang 1:3?” S2 : “Soalnya yang terbesar 1/3” P : “Kok gak milih yang terkecil?”

S2 : “Soalnya yang ditanyain peluangnya, jadi yang terbesar.” P : “Kenapa pakai perbandingan? Knapa gak pake persentase ato yg

lain gitu?”

S2 : “Hmmm... kalau pakai persentase bingung”

P : “Kamu jawab kantong kedua karena berisikan kelereng merah paling sedikit. Lah kenapa pake perbandingan kalau alasannya kelereng merah paling sedikit?”

S2 : “Hmmm... ya biar lebih jelas aja.” P : “Lebih jelas gimana?”

S2 : “Ini suruh jelasin, jadi aku jelasin pake kalimat kayak gitu, biar lebih jelas alasannya knapa milih itu.”

P : “Menurutmu kalaupakai kalimat biasa lebih jelas daripada pake kalimat matematika, gitu?”

S2 : “Iya.”

Dari hasil wawancara diketahui bahwa menurut siswa dengan teks tertulis atau kalimat biasa akan lebih jelas pemecahan masalahnya. Selain itu menggunakan teks tertulis karena dari soal menyuruh menjelaskan maka siswa menjelaskan dengan kalimat biasa.

Dokumen terkait