• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1. Karakteristik Responden

6.2.3. Analisis Deskriptif Variabel Peluang Usaha Lain

Keragaman usaha lain responden dapat dilihat dari kombinasi usaha yang dilakukan dan komoditi yang diusahakan. Kombinasi usaha yang dilakukan oleh responden telah diuraikan sebelumnya. Peluang usaha lain yang dilakukan oleh responden berdasarkan komoditi yang diusahakan dapat dilihat pada Tabel 40.

Tabel 40. Usaha Lain Responden Petani Lada Tahun 2009

Jenis Usaha Usaha Lain Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)

Pelaku Usaha Total

Pertanian Karet 29 30 96,67 Kelapa sawit 20 30 66,67 Ternak ayam 4 30 13,33 Nenas 2 30 6,67 Sayuran 2 30 6,67 Padi ladang 2 30 6,67 Nonpertanian Timah 3 30 10,00 Perdagangan 3 30 10,00 Penampung karet 1 30 3,33

138 Tabel 40 menggambarkan bahwa secara umum responden memilih bidang pertanian sebagai alih usaha lainnya. Peluang usaha lain pertanian yang paling banyak dikerjakan oleh responden adalah usaha kebun karet yang menghasilkan produk getah karet, yaitu sebanyak 29 orang (96,67 persen) dari seluruh responden. Selanjutnya adalah usaha kebun kelapa sawit dengan produk yang berupa tandan buah segar, sebanyak 20 orang (66,67 persen) dari seluruh responden. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa responden lebih tertarik mengusahakan komoditi karet dan kelapa sawit, selain mengusahakan lada. Usaha nonpertanian yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah timah dan perdagangan (membuka toko), yang masing-masing sebanyak 3orang (10 persen) dari seluruh responden.

Adanya peluang usaha lain yang dilakukan oleh petani lada memiliki pengaruh terhadap usaha lada mereka. Diversifikasi usaha yang dilakukan oleh petani lada tentunya telah membuat prioritas untuk mengusahakan lada terbagi dengan usaha lain. Terlebih lagi jika petani tersebut lebih memprioritaskan usaha lain, dibandingkan usaha ladanya. Beberapa contoh perilaku petani lada di Bangka Belitung yang tidak lagi memprioritaskan usaha ladanya antara lain pemeliharaan lada saat budidaya hingga diolah menjadi lada putih tidak dilakukan dengan optimal, penerapan teknologi budidaya lada yang rendah dan cenderung asal- asalan, alokasi permodalan dalam mengusahakan lada dikurangi atau didahulukan untuk usaha lain, curahan perhatian dan tenaga lebih banyak untuk usaha lain, serta tidak adanya keinginan untuk mengembangkan usaha ladanya.

Prioritas responden terhadap usaha lada mereka terlihat dari jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Jawaban responden mengenai prioritas pengusahaan lada dibanding dengan usaha lain yang mereka lakukan dapat dilihat pada Tabel 41.

139 Tabel 41. Jawaban Responden Mengenai Prioritas Pengusahaan Lada Dibanding

Dengan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009

Usaha Lain

Jawaban Responden Pelaku Usaha (Orang)

Jumlah Responden Pelaku Usaha (Orang) Persentase Jawaban (%) a B a b Karet 3 26 29 10,34 89,66 Kelapa sawit 13 7 20 65 35 Ternak ayam 3 1 4 75 25 Nenas − 2 2 − 100 Sayuran 2 − 2 100 − Padi ladang − 2 2 − 100 Timah 2 1 3 66,67 33,33 Perdagangan 2 1 3 66,67 33,33 Penampung karet − 1 1 − 100 Keterangan:

a = Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian/nonpertanian lain, dan memprioritaskan usaha pertanian/nonpertanian lain tersebut dalam pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada).

b = Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian/nonpertanian lain, tetapi masih memprioritaskan kebun lada dalam pengusahaannya

Tabel 41 Menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu 89,66 persen dari seluruh responden yang menjalankan usaha lada dan karet, menjawab

“b” atas perbandingan prioritas pengusahaan kedua usaha tersebut. Artinya sebagian besar reponden tersebut masih memprioritaskan pengusahaan lada mereka. Responden yang menjalankan usaha lada dan kelapa sawit sebagian besar

(65 persen) menjawab “a”, saat ditanya perbandingan prioritas pengusahaan

keduanya, yang artinya sebagian besar responden tersebut lebih memprioritaskan usaha kelapa sawit mereka.

Responden yang mengusahakan lada dan nenas, seluruhnya menjawab “b” saat ditanya perbandingan prioritas pengusahaan kedua usaha tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka masih memprioritaskan pengusahaan ladanya. Begitupula dengan responden yang mengusahakan lada dan padi ladang. Sebagian besar responden yang mengusahakan lada dan penambangan timah ataupun lada dan perdagangan menyatakan bahwa mereka cenderung lebih memprioritaskan pengusahaan timah, bagi yang mengusahakan timah dan lebih memprioritaskan usaha dagang, bagi yang memiliki usaha perdagangan. Sementara itu, responden yang bekerja sebagai penampung karet sekaligus mengusahakan lada menyatakan tetap memprioritaskan usaha ladanya.

140 Berdasarkan gambaran tersebut, maka secara umum dapat disimpulkan perbandingan prioritas pengusahaan atas usaha lada dengan usaha lain yang responden jalankan. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 42.

Tabel 42. Perbandingan Prioritas Pengusahaan Responden Atas Usaha Lada dan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009

No Usaha yang Diperbandingkan Prioritas

1. Antara lada dan karet Lada masih diprioritaskan

2. Antara lada dan kelapa sawit Kelapa sawit lebih diprioritaskan

3. Antara lada dan ternak ayam Ternak ayam lebih diprioritaskan

4. Antara lada dan nenas Lada masih diprioritaskan

5. Antara lada dan sayuran Sayuran lebih diprioritaskan

6. Antara lada dan padi ladang Lada masih diprioritaskan

7. Antara lada dan timah Timah lebih diprioritaskan

8. Antara lada dan perdagangan Perdagangan lebih diprioritaskan

9. Antara lada dan penampung Karet Lada masih diprioritaskan

Beberapa tahun terakhir, kelapa sawit menjadi primadona di kalangan petani, khususnya petani lada responden. Mereka beranggapan bahwa mengusahakan kelapa sawit lebih mudah dari pada mengusahakan lada, yang biaya produksinya tinggi, bahkan sulit mencari input produksinya, misalnya untuk input produksi junjung (panjatan). Tingginya serangan hama dan penyakit pada tanaman lada yang belum diketahui pasti cara penanggulangannya juga semakin mengurangi minat responden dalam mengusahakan lada. Selain itu, program- program pengembangan komoditas kelapa sawit mulai dilaksanakan oleh pemerintah daerah, seperti pengadaan bibit kelapa sawit berkualitas dari luar Bangka Belitung untuk petani, contohnya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, serta peningkatan keterampilan dan kualitas petani melalui pembentukan kelompok tani mandiri. Oleh sebab itu, petani lebih memilih mengembangkan (memprioritaskan) usaha kelapa sawit mereka.

Pendapatan dari usaha ternak ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan lebih cepat diperoleh, karena masa produksinya lebih pendek dibandingkan usaha lada. Responden lebih cepat memutarkan modal mereka melalui usaha-usaha tersebut. Bahkan, dari kegiatan usaha tersebut mereka dapat menyisihkan keuntungan sebagai modal untuk mengusahakan lada. Usaha ternak

141 ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan membutuhkan modal yang cukup besar dan tidak dapat ditunda penyediaannya. Oleh sebab itu, responden lebih memprioritaskan terlebih dahulu usaha ternak ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan yang mereka miliki.

Beberapa peluang usaha lain yang dijalankan responden berdampak pada ketersediaan input produksi usaha lada, yaitu luasan areal tanam (lahan), khususnya saat melakukan budidaya tanaman lada. Semakin berkurang luasan areal pertanian yang dimiliki atau dikelola oleh petani lada, khususnya yang sesuai untuk ditanami lada, maka semakin besar peluang terjadinya penurunan produksi lada tersebut. Dampak pengusahaan usaha lain bagi ketersediaan areal tanam lada responden selama tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel 43.

Tabel 43. Dampak Pengusahaan Usaha Lain Bagi Ketersediaan Areal Tanam Lada Responden Selama Tahun 2009

Usaha Lain Jawaban Responden Pelaku Usaha (Orang) Jumlah Responden Pelaku Usaha (Orang) Persentase Jawaban (%) b.1 c.1 d b.1 c.1 d Karet 23 6 − 29 79,31 20,69 − Kelapa sawit 9 1 10 20 45,00 5,00 50,00 Ternak ayam 1 1 2 4 25,00 25,00 50,00 Nenas − 2 − 2 − 100,00 − Sayuran − 1 1 2 − 50,00 50,00 Padi ladang 1 1 − 2 − 50,00 50,00 Timah − − 3 3 − − 100,00 Perdagangan − − 3 3 − − 100,00 Penampung karet − − 1 1 − − 100,00 Keterangan:

b.1 = Menumpangsarikan atau mengusahakan tanaman lada dengan usaha pertanian atau nonpertanian lain pada areal yang sama.

c.1 = Membuka usaha pertanian atau nonpertanian lain pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi).

d = Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada.

Tabel 43 menggambarkan bahwa pengusahaan karet, pada responden yang menjalankan usaha lada dan karet, berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada mereka. Sebanyak 79,31 persen dari seluruh responden pelaku usaha yang menjalankan usaha lada dan karet menumpangsarikan tanaman karet pada areal yang sama dengan areal tanam lada. Dalam jangka pendek, pola ini

142 mempengaruhi luas areal tanam lada, khususnya mengurangi luasan tanam lada per batang. Untuk jangka panjang, pola seperti ini akan semakin besar dampaknya mengurangi areal tanam lada, karena di masa yang akan datang, saat tanaman lada sudah menua, tanaman karet lah yang menjadi tanaman utama. Pada kondisi seperti ini, lahan tersebut tidak dapat lagi ditanami oleh lada. Selain itu, 20,69 persen responden tersebut menyatakan bahwa mengusahakan karet menghambat perluasan areal tanam lada mereka, karena jika suatu lahan telah ditanami karet, terlebih lagi jika batang karet sudah tinggi dan usianya pun sudah cukup tua, maka tanaman lada tidak dapat diusahakan lagi di areal tersebut.

Sebanyak 50 persen dari seluruh responden yang menjalankan usaha lada dan kelapa sawit menyatakan bahwa pengusahaan kelapa sawit tidak berdampak terhadap ketersediaan areal lada mereka, karena kelapa sawit tersebut ditanam di luar areal yang ditanami lada atau areal baru yang memang tidak sesuai atau tidak cocok untuk ditanami lada. Responden tersebut memiliki kecenderungan memilih lahan yang tidak terlalu subur untuk menanam kelapa sawit, sedangkan lahan yang subur lebih diprioritaskan untuk menanam tanaman lain, seperti lada. Akan tetapi, bukan berarti pengusahaan kelapa sawit sama sekali tidak mengurangi ketersediaan areal tanam lada responden, karena sebanyak 45 persen dari seluruh responden tersebut menyatakan bahwa mereka menumpangsarikan tanaman kelapa sawit pada areal yang sama dengan areal tanam lada. Sama halnya dengan mengusahakan karet, dalam jangka pendek, pola ini mengurangi luasan tanam lada per batangnya. Dampak jangka panjangnya adalah saat tanaman lada sudah menua, maka usaha kelapa sawit lah yang akan dijadikan sebagai usaha utama. Lahan tersebut tidak dapat ditanami kembali dengan lada karena tanaman lada akan kalah bersaing dengan tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa. Sementara itu, 5 persen responden menyatakan bahwa mereka menanam kelapa sawit pada areal baru yang sebenarnya sesuai dan cocok untuk menanam lada, sehingga menghambat perluasan areal tanam lada. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa 50 persen responden yang mengusahakan kelapa sawit dan lada menyatakan bahwa pengusahaan kelapa sawit berdampak pada ketersediaan areal tanam lada mereka.

143 Sebanyak 50 persen responden yang beternak ayam, disamping mengusahakan lada, menyatakan bahwa pengusahaan ternak ayam tidak berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada mereka. Walaupun demikian, 50 persen sisanya menyatakan bahwa ternak ayam berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, dimana 25 persen menyatakan bahwa ternak ayam berdampak secara tidak langsung (ternak ayam dan budidaya dilakukan pada areal yang sama) dan 25 persen yang lain menyatakan menghambat perluasan areal tanam lada (membuka peternakan ayam pada areal yang sesuai ditanami lada). Seluruh responden yang mengusahakan lada dan nenas, menyatakan bahwa mereka menanam nenas pada areal baru, di luar areal lada, dimana areal yang ditanami nenas tersebut sebenarnya sesuai dan cocok pula untuk menanam lada. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengusahaan nenas tersebut menghambat perluasan areal tanam lada.

Responden yang mengusahakan lada dan sayuran, 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan sayuran menghambat perluasan areal tanam lada, karena areal tempat menanam sayur tersebut juga sesuai dan cocok untuk menanam lada. Sementara itu, 50 persen responden lainnya mengatakan bahwa pengusahaan sayuran tidak berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, karena areal untuk tanaman sayuran tersebut cenderung berair, sehingga tidak sesuai dan cocok untuk membudidayakan lada. Seluruh responden yang mengusahakan lada dan padi ladang menyatakan bahwa pengusahaan padi ladang berpengaruh pada ketersediaan areal tanam lada mereka. Sebanyak 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan padi ladang berdampak tidak langsung terhadap ketersediaan areal tanam lada, karena mengurangi luas areal tanam lada per batang. Sebanyak 50 persen responden lainnya menyatakan bahwa mereka menanam padi ladang tersebut pada areal yang sebenarnya sesuai untuk ditanami lada, sehingga menghambat perluasan areal tanam lada.

Seluruh responden yang bekerja sebagai penampung karet, selain mengusahakan lada menyatakan bahwa usaha penampung karet yang dilakukan tidak berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada, karena tidak diusahakan di areal yang ditanami lada, bahkan di luar areal pertanian yang mereka miliki atau kelola. Begitupula untuk responden yang mengusahakan lada dan timah.

144 Tidak ditemukan responden yang mengganti seluruh atau sebagian areal tanam ladanya untuk dijadikan tambang timah, bahkan usaha timah yang dilakukan pun cenderung di luar areal pertanian yang dimiliki atau dikelola. Responden yang mengusahakan lada dan usaha perdagangan juga menyatakan bahwa usaha perdagangan yang dijalankan tidak berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, karena tidak ditemukan responden yang mengganti seluruh atau sebagian areal tanam ladanya untuk usaha lain tersebut. Responden umumnya melakukan usaha perdagangan di rumah mereka sendiri.

Berdasarkan Tabel 40 dan 43 dapat disimpulkan bahwa usaha yang paling dominan berpengaruh terhadap ketersediaan areal tanam lada responden adalah usaha karet dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena 96,67 persen seluruh responden (29 orang) mengusahakan lada dan karet, dan dari 96,67 persen tersebut, seluruhnya menyatakan bahwa pengusahaan karet berdampak pada ketersediaan areal tanam lada mereka, baik secara tidak langsung (23 orang atau 79,31 persen), maupun karena menghambat perluasan areal tanam lada (6 orang atau 20,69 persen). Sedangkan, 66,67 persen dari seluruh responden (20 orang) yang mengusahakan lada dan kelapa sawit, 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan usaha kelapa sawit berdampak terhadap ketersedian areal tanam lada mereka, dimana 9 orang (45 persen) menyatakan berdampak secara tidak langsung dan 1 orang (5 persen) menyatakan menghambat perluasan areal tanam lada.

Pengusahaan karet dan kelapa sawit memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap ketersediaan areal tanam lada reponden. Dalam jangka pendek, pola tumpangsari yang mereka lakukan terhadap tanaman lada mengurangi luas tanam lada per batangnya. Sedangkan untuk jangka panjang lahan yang semula ditumpangsarikan tersebut akan berubah menjadi lahan monokultur tanaman karet atau kelapa sawit yang awalnya ditumpangsarikan dengan lada tadi. Hal ini disebabkan karena umur produktif tanaman lada lebih pendek dari tanaman karet dan kelapa sawit yang dapat mencapai puluhan tahun.

Saat tanaman lada mati, maka tanaman karet dan kelapa sawit sudah beranjak dewasa, dan tanaman-tanaman tersebutlah yang akan menjadi tanaman utama menggantikan lada. Lahan yang pada akhirnya menjadi areal tanam karet

145 atau kelapa sawit tersebut tidak dapat lagi ditanami lada, karena tanaman lada akan kalah bersaing dengan tanaman karet dan kelapa sawit tersebut. Selain itu, petani lada juga tidak akan mau mengorbankan tanaman karet dan kelapa sawit dewasa mereka yang bahkan sudah dapat menghasilkan. Akhirnya, dalam jangka panjang, areal lada responden akan berkurang secara permanen.

Dokumen terkait