• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biofisik

2. Analisis Finansial Usaha Budidaya Perikanan di Tambak

Usaha budidaya rumput laut di tambak yang dilakukan oleh masyarakat Kota Palopo telah berkembang dengan sangat pesat sejak 3 tahun terakhir. Setiap lahan tambak yang dijumpai saat penelitian berlangsung semuanya melakukan usaha tersebut. Berkembangnya usaha budidaya ini tidak terlepas dari hasil yang diperoleh cukup memuaskan dari segi pendapatan.

Berdasarkan pola pengusahaan lahan, bentuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. yang dilakukan petambak dibagi menjadi tiga yaitu usaha sendiri, sistem bagi hasil dan sewa lahan. Ketiga bentuk usaha ini memberi gambaran mengenai ketersediaan modal yang dimiliki petambak, sehingga turut memberikan hasil pendapatan yang berbeda pula. Beberapa pemilik lahan yang tidak memiliki cukup modal untuk usaha biasanya menyewakan tambaknya untuk beberapa tahun (umumnya 5 tahun), kemudian setelah memiliki cukup modal kemudian mengelolanya sendiri. Sebaliknya bagi beberapa orang yang tidak memiliki lahan namun mempunyai modal kemudian menyewa lahan milik orang lain. Adapun masyarakat yang tidak memiliki tambak sedangkan modalnya tidak cukup untuk menyewa tambak dapat menggarap tambak orang lain dengan sistem bagi hasil.

Usaha sendiri berarti kegiatan usaha itu dilakukan oleh pemilik lahan itu sendiri yang biasanya dibantu oleh pekerja sebanyak 2 atau 3 orang yang berasal dari anggota keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara, biaya investasi yang dikeluarkan oleh petambak untuk memulai usaha ini adalah sebesar Rp6.868.700,00 setiap hektarnya. Investasi tersebut digunakan untuk perbaikan tambak, perbaikan pintu air, pembuatan rumah jaga, pembelian rakit serta alat penunjang usaha seperti waring sebagai alas untuk menjemur hasil panen, cangkul dan lain sebagainya. Nilai investasi ini tidak termasuk biaya pembelian tanah karena lahan ini telah menjadi milik sendiri sejak lama dan sebelumnya telah dimanfaatkan untuk usaha budidaya udang.

Usaha budidaya yang berbentuk sistem bagi hasil adalah suatu bentuk usaha dimana ada perjanjian antara pemilik lahan dengan pekerja lahan untuk membagi hasil/keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha. Pihak pemilik lahan mengeluarkan

biaya poduksi dan menyediakan lahan yang telah siap dimanfaatkan, sedangkan pihak penggarap merupakan tenaga petambak yang diberikan hak untuk mengelola tambak tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, biaya setiap masa produksi yang dikeluarkan pemilik lahan adalah Rp2.820.000,00 setiap hektarnya. Biaya produksi ini termasuk pemeliharaan tambak, pembelian bibit, pupuk dan pajak. Sedangkan pihak penggarap mengeluarkan biaya konsumsi harian seperti makan, minum, rokok dan lain-lain. Namun demikian, beberapa responden menjelaskan bahwa mereka selaku penggarap menyediakan sendiri beberapa peralatan penunjang untuk usaha seperti waring, rakit ataupun peralatan masak di rumah jaga. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya persentase bagi hasil antara pemilik dengan penggarap lahan adalah 75 : 25. Pembagian keuntungan ini merupakan hasil kesepakatan antara pihak pemilik lahan dengan tenaga penggarap.

Sistem sewa lahan digambarkan sebagai usaha sewa menyewa lahan untuk beberapa tahun yang ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara pemilik lahan dan pihak penggarap. Menurut hasil wawancara dengan responden, besarnya nilai sewa lahan tidak bergantung kepada luas lahan, namun hanya berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dan pihak penyewa. Dalam sistem kontrak ini, pihak penyewa mengeluarkan biaya seperti halnya sebagai pemilik lahan yang berarti mereka menyediakan modal untuk perbaikan tambak hingga biaya produksi, namun hasil panen sepenuhnya juga menjadi milik pihak penyewa.

Berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan yang dilakukan, maka dapat terlihat perbedaan dari segi pendapatan antara bentuk usaha sendiri, sistem bagi hasil dan sistem sewa lahan. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang pernah melakukan usaha budidaya udang windu maka dapat juga dilakukan perbandingan antara kedua jenis usaha ini. Analisis finansial ini didasarkan pada hasil perhitungan menggunakan cashflow selama 5 tahun serta nilai discount factor 12%. Penetapan berbagai nilai biaya dan pendapatan termasuk harga jual rumput laut digunakan nilai terendah selama setahun (Shang 1990).

Tabel 11. Hasil analisis finansial usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo

No Model usaha NPV (rupiah per hektar)

Net B/C (per hektar)

IRR per hektar (%)

1. Rumput laut a. Pemilik 7.559.140,00 2,08 36 b. Penyewa 12.571.370,00 1,45 29,8 c. Bagi hasil 8.261.571,07 2,3 57,54 2. Udang a. Pemilik 13.896.929,64 2,21 49,09

Berdasarkan Tabel 11 dapat dijelaskan bahwa usaha budidaya rumput laut yang dilakukan petambak berbeda-beda sesuai dengan bentuk usaha yang dijalankan. Bentuk usaha dimana pemilik yang mengolah langsung tambaknya memiliki nilai net B/C sebesar 2,08; NPV Rp 7.559.140,00 dan nilai IRR adalah 36%. Nilai NPV menunjukkan bahwa selama 5 tahun usaha budidaya rumput laut ini setiap hektarnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 7.559.140,00 untuk nilai uang saat ini. Net B/C sebesar 2,08 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,08 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR sebesar 36% menunjukkan kegiatan ini layak untuk dilanjutkan.

Pada sistem sewa lahan, net B/C sebesar 1,45 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 1,45 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Adapun keuntungan bersih yang diperoleh selama 5 tahun itu adalah Rp 12.571.370,00. Nilai IRR sebesar 29,8% menunjukkan batas suku bunga tertinggi yang masih memberi keuntungan terhadap usaha yang dilakukan.

Sistem bagi hasil memberikan nilai net B/C sebesar 2,3 dengan NPV sebesar Rp 8.261.571,07. Ini menunjukkan bahwa sistem bagi hasil memberikan manfaat 2,3 kali dari 1 unit biaya yang dikeluarkan selama 5 tahun dan memberikan keuntungan bersih sebesar 8 juta lebih untuk usaha yang dilakukan selama 5 tahun tersebut. Nilai IRR yaitu 57,24% lebih besar daripada nilai suku bunga riil, sehingga dapat dikatakan bahwa usaha kegiatan ini bisa dilaksanakan.

Sebagai analisis pembanding usaha budidaya rumput laut maka digunakan analisis finansial udang windu. Namun pada saat penelitian berlangsung tidak ditemui usaha budidaya udang windu yang dilakukan oleh petambak. Oleh karena itu data input-output usaha udang windu yang digunakan adalah data terdahulu dengan menggunakan harga input-output pada saat sekarang. Pada usaha budidaya udang windu, berdasarkan hasil wawancara dengan petambak yang pernah melakukan usaha budidaya ini maka pada setiap hektarnya diperoleh nilai NPV sebesar Rp 13.896.929,00 dengan nilai Net B/C

sebesar 2,21 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,21 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR yang tinggi yaitu 49,09% menunjukkan usaha ini layak dilaksanakan. Besarnya nilai pendapatan dari usaha budidaya udang ini tidak terlepas dari tingginya harga udang windu di pasaran jika dibandingkan dengan harga rumput laut Gracilaria sp. dengan bobot yang sama. Pada setiap hektarnya, produksi udang windu dapat mencapai 150 kg pada sistem usaha tradisional, yaitu dengan jumlah bibit yang dipelihara sekitar 1500 ekor. Sedangkan untuk usaha budidaya Gracilaria sp. pada setiap hektarnya dapat dipanen sekitar 500 kg dengan jumlah bibit yang ditebar sekitar 1 ton.

Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan karakteristik usaha antara kedua usaha ini. Pada usaha budidaya rumput laut, bibit rumput laut tersebut digunakan hingga 7 siklus produksi. Pada beberapa lahan tambak yang diobservasi, bibit digunakan hingga 9 siklus produksi namun hasil panen sudah semakin menurun secara kuantitas dan kualitas. Hal ini berbeda dengan budidaya udang dimana setiap produksi memasukkan biaya penyediaan bibit udang (benur).

Perbedaan lain yang terlihat adalah dari penilaian kualitas hasil panen. Kualitas panen mencakup kadar air dari rumput laut serta bobot panen yang dihasilkan. Jika tidak memenuhi kadar air yang ditetapkan, maka harga rumput laut akan turun drastis dimana harga ini kemudian ditentukan sendiri oleh pihak pengumpul yang membeli rumput laut petambak. Sedangkan bobot panen mencakup penampakan rumput laut yang dihasilkan juga mempengaruhi harga jual.

4.3 Kondisi Sosial Masyarakat 1. Karakteristik Responden

Guna mengetahui pelaksanaan pengelolaan usaha budidaya tambak yang berada di Kota Palopo maka dilakukan inventarisasi keinginan masyarakat dan aspirasi masyarakat perikanan budidaya terhadap apa yang dibutuhkannya pada saat ini yang terkait dengan pengembangan usaha budidaya perikanan tambak di wilayah penelitian. Untuk mendapatkan prioritas keinginan masyarakat tersebut, maka dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada sejumlah responden.

Responden yang diambil terbatas hanyalah para petambak yang berada di lokasi tambak. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya kemungkinan responden

berdomisili di wilayah penelitian namun lokasi tambaknya tidak di Kota Palopo. Pengambilan sampel responden dilakukan di setiap kecamatan dengan jumlah responden dianggap mewakili persentase jumlah petambak di daerah tersebut. Adapun klasifikasi responden berdasarkan domisilinya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Klasifikasi responden berdasarkan domisili

Profesi utama responden sebagian besar adalah sebagai petambak rumput laut yaitu sebanyak 35 orang. Hal ini disebabkan wawancara umumnya dilakukan langsung di lokasi pertambakan sehingga responden yang didapatkan memiliki profesi yang sejenis. Sedangkan responden yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul rumput laut berjumlah 4 orang. Selama pengambilan sampel di lapangan tidak ditemukan tambak udang yang beroperasi sehingga untuk mendapatkan data mengenai kondisi usaha budidaya udang dilakukan wawancara terhadap beberapa responden yang pernah menjadi petambak udang. Jumlah responden ini adalah 13 orang. Umumnya mereka masih memiliki lahan tambak namun disewakan kepada orang lain untuk dimanfaatkan sebagai tambak rumput laut. Adapun klasifikasi profesi responden yang diwawancara disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Klasifikasi profesi responden

No Pekerjaan Jumlah

(orang) Persentase Keterangan

1. Petambak rumput laut 35 67,30

2. Pedagang pengumpul 4 7,69 3. Petani (sawah/kebun) 8 15,38 4. Peternak 2 3,64 5. Wiraswasta 3 5,76 Nomor 3,4 dan 5 sebelumnya adalah sebagai petambak udang

windu Total 52 100 Domisili responden 4 12 16 20 Wara Wara Selatan Wara Utara Tellu Wanua

Jika ditinjau dari kisaran umur, maka seluruh responden memiliki kisaran umur antara 25 – 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para responden masih berada pada usia produktif. Secara lebih detil maka klasifikasi responden berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Klasifikasi Umur Responden

No Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 20 – 29 4 7,69 2. 30 – 39 14 26,92 3. 40 – 49 22 42,30 4. 50 – 59 10 19,23 5. > 60 2 3,84 Total 52 100

Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa responden paling banyak yang berumur antara 40 – 49 tahun yaitu 22 orang (42,30%). Jumlah responden paling sedikit yang berusia diatas 60 tahun yaitu 2 orang (3,84%). Dari data ini dapat dijelaskan bahwa struktur umur petambak di lokasi penelitian berkisar antara 30 – 59 tahun dengan puncaknya pada kisaran 40 – 49 tahun, di luar kisaran tersebut jumlahnya tidak banyak.

Berdasarkan tingkat pendidikan, maka sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu hanya sampai pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat. Dari 52 orang responden yang diwawancara sebanyak 27 orang (51,92%) hanya sampai ke tingkat SD atau tidak menyelesaikannya, kemudian 16 orang (30,77%) mampu bersekolah hingga ke pendidikan menengah pertama (SMP), dan sebanyak 9 responden (17,30%) berhasil menempuh pendidikan hingga ke pendidikan menengah atas (SMA dan yang sederajat). Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa rata-rata para responden memiliki pendidikan formal, walaupun relatif masih rendah. Kondisi ini didukung dengan keberadaan kota Palopo yang memiliki fasilitas pendidikan yang cukup lengkap sejak dulu. Persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 4.

Persentase (%) 51.92 30.77 17.3 Sekolah Dasar SMP SMA

Gambar 4. Persentase klasifikasi tingkat pendidikan responden

Berdasarkan hasil pengolahan data primer maka dapat diketahui bahwa para responden umumnya telah bekerja di bidang perikanan lebih dari 10 tahun. Jika lama bekerja dibidang ini diurai lebih jauh, maka diperoleh responden yang telah bekerja 10 – 20 tahun berjumlah 35 orang, sedangkan yang telah memiliki masa kerja di atas 20 tahun sebanyak 9 orang. Sedangkan responden yang baru memiliki pengalaman kerja di bawah 10 tahun adalah 8 orang. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden telah memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai usaha perikanan. Tabel 14 menunjukkan klasifikasi responden berdasarkan lama berusaha di bidang perikanan.

Tabel 14. Klasifikasi responden berdasarkan lama berusaha di bidang perikanan

No Lama Usaha (Tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. <10 8 15,38

2. 10 - 20 35 67,30

3. >20 9 17,30

Total 52 100,00

Hasil wawancara dengan responden yang berprofesi sebagai petambak rumput laut menunjukkan umumnya mereka belum lama menekuni usaha budidaya rumput laut ini. Sebanyak 3 responden baru menekuni usaha ini selama setahun, sedangkan 11 responden telah bekerja di bidang budidaya rumput laut di tambak lebih dari 5 tahun. Responden yang lain (31 orang) umumnya telah menekuni usaha ini antara 2 – 5 tahun. Dengan demikian jika dihubungkan dengan lamanya mereka berusaha di bidang perikanan maka dapat diketahui bahwa sebelum memulai usaha budidaya rumput laut ini sebenarnya mereka telah bekerja di bidang perikanan, khususnya di bidang perikanan budidaya. Adapun gambaran lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Klasifikasi responden petambak rumput laut berdasarkan lama berusaha di bidang budidaya rumput laut

No Lama Usaha (Tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. <2 3 8,57

2. 2 - 5 21 60,00

3. >5 11 31,43

Total 35 100,00

Lahan yang dimanfaatkan oleh para petambak tidak semuanya merupakan milik sendiri. Berdasarkan hasil wawancara maka ada juga lahan yang merupakan lahan yang disewa dari pemiliknya serta ada juga yang bukan hak milik dan tidak disewa melainkan sistemnya adalah bagi hasil. Responden yang memiliki lahan sendiri adalah sebanyak 16 orang (45,71%), responden yang menyewa lahan tambak sebanyak 11 orang (31,41%), kemudian responden yang memakai sistem bagi hasil sebanyak 8 orang (22,85%). Umumnya responden yang menyewa lahan atau memakai sistem bagi hasil merupakan pendatang dari luar kota Palopo, sedangkan yang merupakan pemilik adalah penduduk asli di wilayah tersebut. Tabel 16 memperlihatkan pengelompokan status lahan yang dimiliki oleh responden.

Tabel 16. Status pengusahaan lahan tambak yang dikelola responden petambak rumput laut

No Status Lahan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Hak milik 16 45,71

2. Sewa 11 31,42

3. Bagi hasil 8 22,85

Total 35 100,00