• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Biofisik

2. Perubahan Kualitas Air Tambak Rumput Laut Gracilaria sp

Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa umumnya konstruksi tambak memiliki satu pintu yang berfungsi sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran. Selama masa pemeliharaan, pergantian air yang dilakukan petambak yaitu 3-4 hari sekali sebanyak 25-50 %. Pergantian air ini dilakukan petambak jika dianggap kondisi air dalam tambak sudah tidak bagus kualitasnya dengan melihat tingkat kekeruhan dan intensitas hujan. Jika intensitas hujan tinggi, maka frekuensi pergantian air juga meningkat menjadi 2 hari sekali karena dianggap dengan tingginya curah hujan akan menurunkan salinitas perairan. Pergantian air ini memanfaatkan pasang surut air laut. Pada waktu pengamatan, pengeluaran air dari dalam tambak dilakukan pada malam hari ±3 jam sebelum air pasang naik.

Berdasarkan hasil wawancara, untuk tambak seluas 1 hektar maka bibit yang ditebar sebanyak ±1 ton. Metode pemeliharaan yang digunakan adalah sistem tebar dasar, yaitu rumput laut ditebar secara merata di dalam tambak yang telah terisi air.

Rumput laut dalam pertumbuhannya memerlukan nutrisi antara lain berupa fosfat, nitrogen dan kalium yang diserap (nutrient uptake) dari perairan sebagai media pertumbuhannya (Glenn dan Fitzsimmons 1991). Namun menurut Miller dan Connell (1995) bahwa fosfat dan nitrogen yang tersedia di perairan jumlahnya sedikit dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat menjadi faktor pembatas. Penyerapan nutrisi oleh rumput laut akan menyebabkan terjadinya perubahan kualitas air. Pada Tabel 8 disajikan beberapa parameter kualitas air yang diukur menunjukkan perubahan nilai setelah dimanfaatkan dalam kegiatan pemeliharaan.

Tabel 8. Hasil pengukuran air yang masuk ke tambak dan air buangan dari tambak rumput laut di Kota Palopo

Parameter Waktu pengamatan Desa Sampoddo Desa Balandai Desa Mancani

Air masuk (pasang) 0,0098 0,0189 0,0422 Ammonia (ppm)

Selisih -0,0042 -0,0080 -0,0052

Air masuk (pasang) 0,5662 1,0937 0,0437 Air keluar (surut) 0,0513 0,5581 0,0401 Nitrat (ppm)

Selisih -0,5149 -0,5355 -0,0036

Air masuk (pasang) 0,0767 0,0571 0,0215 Air keluar (surut) 0,0115 0,0376 0,0060 Fosfat (ppm)

Selisih -0,0652 -0,0195 -0,0155

Ammonia adalah produk primer dari degradasi microbial N organik dan jika tidak digunakan secara langsung oleh alga ototrofik untuk pertumbuhan akan dapat teroksidasi melalui nitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat. Kadar ammonia (NH3) di perairan tambak perlu diperhitungkan karena keberadaannya mempengaruhi aktivitas metabolisme rumput laut yang dibudidayakan.

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa kisaran nilai ammonia (NH3) air yang masuk ke tambak adalah di Desa Sampoddo (0,0098 ppm), Desa Balandai (0,0189 ppm) dan Desa Mancani (0,0422 ppm). Nilai ini masih dalam kisaran kualitas air yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Patadjai (1993) kadar ammonia yang tinggi atau melebihi 1 mg/liter menyebabkan perairan menjadi toksik dan tidak bisa dimanfaatkan oleh biota perairan. Selain itu juga mempengaruhi penyerapan nitrat dan nitrit oleh rumput laut karena pada konsentrasi 1,0 ppm N-NH4 ammonium hampir secara sempurna menekan penyerapan nitrat dan nitrit.

Kadar ammonia di perairan dipengaruhi oleh proses amonifikasi yang terjadi di badan air. Menurut Effendi (2003) proses amonifikasi adalah proses dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati kemudian mengendap di dasar perairan) dengan memanfaatkan oksigen terlarut di perairan oleh mikroba dan jamur. Kemudian ditambahkan oleh Miller dan Connell (1995) bahwa seiring meningkatnya proses amonifikasi akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut yang mendorong terjadinya perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen organik menjadi nitrogen anorganik berupa ammonia oleh sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan ataupun feses dari ikan atau biota hidup lainnya.

Pengukuran pada buangan air tambak menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar ammonia jika dibandingkan dengan kadar ammonia pada air yang masuk ke tambak. Penurunan kadar ammonia di Desa Sampoddo mencapai 76%, di Desa Balandai mencapai 42% dan di Desa Mancani sebanyak 12%. Penurunan kadar ammonia ini kemungkinan disebabkan terjadinya penyerapan (nutrient uptake) ammonia oleh rumput

laut untuk dimanfaatkan dalam pertumbuhannya. Menurut Miller dan Connell (1995), pada kondisi ini terjadi perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik yang disebut asimilasi ammonia.

Nitrat merupakan bentuk nitrogen anorganik yang menjadi sumber nitrogen terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut (Susanto 1997). Tabel 8 memperlihatkan pada dua lokasi pengamatan kadar nitrat tinggi yaitu di Desa Sampoddo (0,5662 ppm) dan Desa Balandai (1,0937 ppm). Di Desa Mancani diperoleh nilai kadar nitrat 0,0437 ppm. Menurut Effendi (2003) kandungan nitrat dalam perairan yang dapat ditolerir oleh organisme adalah 0,2 ppm, karena lebih dari nilai tersebut dapat terjadi eutrifikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming).

Hasil pengukuran pada air buangan tambak (Tabel 8) menunjukkan nilai kadar nitrat yang tinggi di Desa Balandai (0,5581 ppm). Sedangkan untuk di Desa Sampoddo (0,0513 ppm) dan Desa Mancani (0,0401 ppm). Jika dibandingkan dengan nilai kadar nitrat air yang masuk ke dalam tambak maka diketahui bahwa terjadi penurunan nilai kadar nitrat. Persentase penurunan nilai kadar nitrat tertinggi di Desa Sampoddo sebesar 89%, kemudian di Desa Balandai terjadi penurunan sekitar 48% dan di Desa Mancani terjadi penurunan nilai 8,23%. Terjadinya proses asimilasi nitrat oleh rumput laut berperan dalam penurunan kadar nitrat air tambak. Menurut Effendi (2003), nitrat sebagai sumber nitrogen bagi tumbuhan selanjutnya dikonversi menjadi protein.

Perbedaan persentase penurunan kadar ammonia dan nitrat menunjukkan tingkat penyerapan nitrogen oleh rumput laut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Hasil penelitian Xiu (2001) dalam Cordover (2007) menunjukkan bahwa tingkat penyerapan nitrogen maksimun terjadi pada intensitas cahaya antara 320–1600 iM photon/m2/detik pada pH 8 dan kisaran suhu antara 21 – 26 oC. Selain itu Patadjai (1993) menyatakan bahwa penyerapan nitrat dan nitrit oleh alga dipengaruhi konsentrasi ammonium dalam medium. Selanjutnya ditambahkan oleh Philips dan Hurd (2003) bahwa laju penyerapan ion nitrogen seringkali berlangsung sepanjang waktu dan biasanya dipengaruhi oleh status psikologi dari rumput laut tersebut. Sebagai contoh, fase awal penyerapan terjadi sebagai respon dari kosongnya kandungan N internal sebagai pelaparan N alga. Pada pengisian N internal, pencegahan arus balik dari proses transport membrane bisa menghasilkan penurunan sementara nilai penyerapan selanjutnya.

Fosfat dalam laut hanya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan dalam bentuk orthofosfat (PO4). Menurut Rees (2003), kandungan fosfat yang berada di perairan berasal dari berbagai proses pencampuran, sedimentasi serta hasil ekskresi

hewan dan mikroorganisme; secara umum bukan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan rumput laut. Berdasarkan hasil pengukuran pada air yang masuk ke tambak menunjukkan kisaran nilai kadar fosfat di Desa Sampoddo (0,0767 ppm), Desa Balandai (0,0571 ppm) dan Desa Mancani (0,0215 ppm). Nilai kadar fosfat ini masih berada dalam kisaran nilai optimum untuk mendukung pertumbuhan rumput laut. Menurut Fritz (1986) batas terendah konsentrasi fosfat untuk pertumbuhan optimum alga berkisar antara 0,018 – 0,09 ppm P-PO4 dan batas tertinggi berkisar antara 8,90 – 17,8 ppm P-PO4

apabila nitrogen dalam bentuk nitrat. Sedangkan jika nitrogen dalam bentuk ammonium maka batas tertinggi berkisar pada 1,78 ppm P-PO4.

Pengukuran kadar fosfat pada air buangan tambak menunjukkan bahwa di Desa Sampoddo (0,0115 ppm), Desa Balandai (0,0376 ppm) dan Desa Mancani (0,006 ppm). Jika dibandingkan dengan kadar fosfat pada air masuk ke tambak diketahui terjadi penurunan nilai yaitu di Desa Sampoddo (14,8%), Desa Balandai (33,27%) dan Desa Mancani (46,5%). Penurunan nilai ini kemungkinan disebabkan oleh penyerapan nutrisi oleh rumput laut untuk pertumbuhannya. Menurut Susanto et al. (1997), tumbuhan menyerap fosfat sebagai nutrisi essensial secara langsung dari lingkungan selama proses fotosintesis. Peningkatan konsentrasi fosfat dari 1 ke 2 µM menghasilkan peningkatan nilai penyerapan sebanyak 38% pada kisaran 12 – 84% (Rees 2003).

4.2 Analisis Ekonomi 1. Kegiatan Sektor Perikanan

Letak Kota Palopo yang berada di pesisir Teluk Bone menyebabkan kota ini memiliki potensi perikanan yang cukup besar berasal dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Pada tahun 2004, produksi perikanan tangkap mencapai 707,575 ton dengan nilai Rp3.473.299.500,00. Hasil produksi perikanan tangkap ini berasal dari beragam jenis alat tangkap seperti bagan apung (47 buah), bagan tancap (40 buah), purse seine (25 buah), gillnet (81 buah), pancing (58 buah). Sedangkan produksi perikanan budidaya mencapai 4.873,94 ton pada tahun 2004 dengan nilai produksi sebesar Rp14.378.630.000,00. Dengan demikian diketahui bahwa sektor perikanan Kota Palopo didominasi perikanan budidaya. Adapun perincian jenis komoditas yang dibudidayakan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Produksi dan nilai produksi budidaya perikanan di perairan umum Kota Palopo tahun 2004

1. Rumput laut 4.488,70 6.279.480.000

2. Udang 118,90 5.647.750.000

3. Bandeng 128,00 1.024.800.000

4. Kepiting 40,50 1.012.500.000

5. Ikan mas 61,84 414.000.000

Sumber : Dinas KPP Kota Palopo (2005)

Pada Tabel 9 terlihat bahwa rumput laut merupakan komoditi yang memiliki tingkat produksi yang tertinggi. Namun demikian, nilai produksinya tidak terlalu jauh dari nilai produksi udang meski hanya memiliki tingkat produksinya sedikit yaitu hanya 118,90 ton. Hal ini disebabkan harga pasaran udang yang cukup tinggi yaitu sekitar Rp50.000/kg. Usaha budidaya perikanan ini didukung oleh luas areal budidaya yang cukup besar. Untuk budidaya tambak, potensi luas area mencapai 1.047 hektar, lahan kolam 18,15 hektar dan sawah seluas 123,75 hektar. Area tambak terluas berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Tellu Wanua (355 hektar) dan Kecamatan Wara Utara (349,15 hektar). Menurut Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, selain budidaya tambak pada tahun 2005 diproyeksikan potensi budidaya laut berupa rumput laut Euchema cottoni sebesar 1.200 hektar sedangkan untuk budidaya ikan kerapu memiliki luas area budidaya 200 hektar. Adapun jenis komoditi yang dibudidayakan di pertambakan setiap kecamatannya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis komoditi perikanan yang dibudidayakan di area tambak setiap kecamatan di Kota Palopo tahun 2004

Luas area budidaya tambak (hektar) No Kecamatan

Udang Udang + Bandeng Rumput laut

1. Wara 5 20 128

2. Wara Selatan 10,5 40 151,3

3. Wara Utara 10 27 208,8

4. Tellu Wanua 10 50 219

Total 35,5 137 707,1

Sumber : Dinas KPP Kota Palopo (2005)

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pada tahun 2004 sebagian besar area tambak di Kota Palopo didominasi untuk kegiatan usaha budidaya rumput laut, yaitu sekitar 80,39%, dengan kemampuan produksi lahan setiap hektar adalah 6,34 ton setiap tahunnya. Kemudian usaha polikultur yaitu budidaya udang dan bandeng sekitar 15,57%. Untuk budidaya udang hanya sekitar 4,03% dengan keseluruhannya menggunakan sistem

tambak tradisional. Dengan demikian dapat diketahui bahwa produksi udang setiap hektarnya mampu menghasilkan 689 kg udang setiap tahunnya.