KEMOTERAPI NEOADJUVANT
5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated.
Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom. Limfosit B yang terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA1, LMP1 dan 2. Ekspresi gen laten inilah yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan (Hu, et al., 1996).
Pada tabel 4.2. Ekspresi LMP1 sesudah pengobatan adalah 0,41 dengan standar deviasi 0,39 (rentang nilai 0,00 – 1,00), sedangkan ekspresi LMP1 sebelum pengobatan didapatkan nilai rerata ekspresinya 1,79 dengan standar deviasi 0,68 (rentang nilai 0,67 – 2,78). Hasil skor histologis ekspresi LMP1
commit to user
98 sesudah pengobatan lebih rendah atau mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum pengobatan secara signifikan (p=0,007). Perhitungan ekspresi LMP1 dengan menggunakan penjumlahan skor antara jumlah protein yang terekspresi dengan intensitasnya tidak selalu didapatkan bahwa LMP1 selalu terekspresi positif pada penelitian ini, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Khabir, et al., (2008) yang mendapatkan skor antara antara 2 sampai dengan 12 dengan rerata 7,6 dengan standar deviasi 2,6 dan semua protein LMP1 terekspresi.
Ekspresi LMP1 memang didapatkan hasil yang berbeda-beda, seperti yang dilaporkan oleh Lasniroha (2008) yang mendapatkan nilai rerata ekspresi LMP1 sebesar 11.76 %, Lin (2003) mendapatkan ekspresi LMP1 pada KNF jenis Undifferentiated sebesar 65 %, Gondowiarjo (1998) mendapatkan angka 50,61 % memberikan ekspresi LMP1 yang positif. Kim, et al., (2006) dalam penelitiannya terhadap 40 pasien KNF (yang terdiri WHO I : 5 pasien, WHO II : 20 pasien dan 15 pasien WHO III/undifferentiad) dengan menggunakan tehnik pengecatan imunohistokimia monoclonal antibodi untuk LMP1 (DAKO, clones CS1-4, CA, USA: dilution 1: 400) mendapatkan ekspresi LMP1 positif 12 (30%) pasien (yang terdiri dari 5 (25 %) pasien dari WHO II dan 7 (22%) pasien WHO III). Hariwiyanto (2009) yang melakukan penelitian terhadap 56 pasien KNF yang mendapatkan adanya perbedaan ekspresi LMP1 antara KNF dengan respon negatif dan KNF respon pengobatan positif secara signifikan (p=0,001). Hasil ekspresi LMP1 yang dibedakan menjadi kelompok dengan respon negatif mendapatkan hasil rerata ekspresi LMP1 adalah 9,149 (dengan rentang nilai 4,2 – 11,6) dan nilai rerata ekspresi LMP1 5,5037 (rentang nilai 3,0 – 7,6) pada pasien
commit to user
99 KNF dengan respon pengobatan positif. Perbedaan ini mungkin disebabkan pemeriksaan imunohistokimia dan penghitungan ekspresi protein dilakukan semikuantitatif dengan menghitung jumlah sel yang terekspresi dan intansitas warnanya, sedangkan pemeriksaan konvensional hanya menghitung jumlah sel yang terekspresi pada tiap lapang pandang dan tidak dilakukan penghitungan intensitas warna.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa setelah pengobatan kemoterapi neoadjuvant masih didapatkan adanya ekspresi LMP1 positif yaitu 7 sampel (70 %) dan sisanya (30 %) tidak menunjukkan ekspresi LMP1. Hal ini membuktikan bahwa angka keberhasilan terapi pada KNF Undifferentiated stadium lanjut cukup rendah berkisar 30-40 %, dan sangat mungkin adanya ekspresi LMP1 setelah terapi berkaitan dengan kemampuan kemoterapi neoadjuvant dalam eradikasi tumor primer, angka rekurensi dan kesembuhan pada pasien KNF. Kemoterapi neoadjuvant akan memacu proses apoptosis melalui mekanisme aktifasi terhadap komplek caspase dan menekan ekspresi LMP1 (Karen, et al.,1999; Weinrib, et al., 2001; Gerald, et al., 2005). Hariwiyanto (2009) dalam penelitiannya terhadap 56 pasien KNF mendapatkan bahwa adanya ekspresi LMP1 yang rendah < 7,2 (28 orang) maka 2 (6,89%) dan 26 (93,11 %) orang hidup dengan nilai ketahanan hidupnya mencapai 96 %, sedangkan pada pasien yang menunjukkan ekspresi LMP1 tinggi (> 7,2) didapatkan 11 orang (40,7 %) meninggal dan hanya 17 orang (59,30%) hidup dengan nilai ketahanan hidupnya mencapai 60 %.
Ekspresi LMP1 merupakan satu protein membran yang dapat mengaktifasi faktor transkripsi NFkB dan berakibat terhalangnya proses apoptosis, sehingga
commit to user
100 menyebabkan penurunan nilai ketahanan hidup pasien KNF. Ekspresi LMP1 positif merupakan produk onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa fungsi dan peran biologi penting karsinogenesis dan regulasi sitokin pada KNF yang ditandai adanya sel-sel inflamasi mononuclear. Transkripsi gen LMP1 membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan transkripsi genom virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan oleh EBV (Miller, et al., 1995; Kentjono, et al., 2000; Murono, et al., 2003; Raab-Traub, et al., 2005; Zheng, et al., 2007; Weinburg, 2007). LMP1 dapat mengiduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1 pada sel limfosit B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. sehingga sel tidak terkontrol (Miller, et al., 1995).
5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated.
Pada tabel 4.3. dapat diketahui Ekspresi CD4+ sebelum pengobatan adalah 2,06 dengan standar deviasi 1,31 (rentang nilai 0,33 – 4,00) dan ekspresi CD4+ sesudah pengobatan adalah 0,88 dengan standar deviasi 0,74 (rentang nilai 0,00 – 2,22 ). Apabila dianalisis maka dapat diketahui bahwa ada perbedaan ekspresi dan perbedaan ini bersifat penurunan ekspresi CD4+ sesudah pengobatan.secara signifikan (p=0,041). Hasil ini sesuai dengan penelitian Yunarti (2007) yang mendapatkan adanya penurunan secara signifikan (p=0,0001) jumlah limfosit dan monosit antara sebelum dan sesudah radioterapi. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Haryana, et al., (2009) yang mendapatkan hasil ekspresi CD4+
commit to user
101 5,12 dengan standar deviasi 5,48. Dari 10 sampel penelitian sesudah pengobatan hanya 8 (80 %) yang menunjukkan adanya ekspresi CD4+, sedangkan 2 sampel (20 %) ekspresi CD4+ tidak bisa diidentifikasi. Pada penelitian ini terjadi penurunan ekspresi CD4+ setelah 2 bulan kemoterapi neoadjuvant, hal ini mungkin disebabkan adanya efek imunosupresif radioterapi belum sepenuhnya hilang walaupun dalam beberapa kajian disebutkan bahwa efek ini terjadi 4 – 6 minggu setelah radioterapi. Menurut Maity, et al., (1994) penurunan limfosit ini dapat mencapai 50-60 % dibanding sebelum terapi. Sel-sel ini akan kembali normal pada 13 minggu setelah terapi. Disamping itu radioterapi menyebabkan penurunan imunitas seluler pada penderita KNF karena: (1) besarnya volume darah yang terpapar radiasi, (2) kelenjar timus masih tetap menerima radiasi sekalipun radiasi yang dipakai hanya 390 rads dan (3) malnutrisi dan menurunnya berat badan karena mukositis (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987). Penurunan sel CD4+ sesudah kemoterapi neoadjuvant menunjukkan bahwa sel CD4+ sensitif terhadap terapi dan proses pemulihannya lambat (Kuss, et al., 2005).
Pada kasus KNF ekspresi CD4+ akan meningkat dan lebih tinggi dari orang normal dan tidak tergantung pada jenis histopatologi dan stadium KNF, hal ini menunjukkan bahwa pada keganasan sel T CD4+ mungkin berperan pada progresifitas KNF. Progresifitas KNF terjadi oleh karena sel T CD4+ akan diaktifasi mulai dari kondisi premalignant sampai malignant dari infeksi EBV. (Budiani, et al., 2010). Ekspresi CD4+ yang tinggi sebelum terapi atau pada keganasan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan sistem imun dalam mengeliminasi pertumbuhan tumor. Mekanisme imunosupresif dapat disebabkan
commit to user
102 oleh adanya sekresi cytokine supresif (IL-2) yang akan menginduksi tolerogenik dendric cell (DC), disamping dalam beberapa kasus menyebabkan terjadinya lisis dari sel T atau APC. Keadaan imunosupresif juga dipicu oleh kemampuan sel tumor memproduksi TGF-β dan VEGF yang berakibat sel T menjadi Tregs baik langsung atau tidak langsung (Zou, et al., 2006). Hasil berbeda ditunjukkan oleh Kuss, et al., (2005) dalam penelitiannya tentang Imbalance in Absolute Counts of T Lymphocyte Subsets in Patients with Head and Neck Cancer and Its Relation to Disease mendapatkan adanya perbedaan signifikan (p=0.0001) dan ekspresi CD4+ lebih rendah pada tumor ganas kepala leher bila dibanding sel normal (670±412 (44 ±9) dibanding 1.005 ± 360 (47±9) ).
5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated .
Pada tabel 4.4 dapat diketahui Ekspresi CD8+ sebelum pengobatan adalah 1,96 dengan standar deviasi 0,92 (rentang nilai 1,00 – 3,67 ) dan ekspresi CD8+ sesudah pengobatan yaitu 0,23 dengan standar deviasi 0,26 (rentang nilai 0,00 – 0,67). Ekspresi CD8+ sesudah pengobatan ada perbedaan dengan sebelum pengobatan dan bersifat mengalami penurunan secara signifikan (p = 0,005). Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Haryana et al., (2009) yang mendapatkan hasil ekspresi CD8+ adalah 16,54 dengan standar deviasi 24,55. Penelitian lain yang dilakukan oleh Zhang, et al (2010) mendapatkan angka ekspresi CD8+ adalah 52,5 dengan standar deviasi 4,97 (rentang nilai 0,080 – 231,3 cell/HPF).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi CD8+ sesudah 2 bulan pengobatan kemoterapi neoadjuvant lebih rendah bila dibandingkan sebelum
commit to user
103 pengobatan. Beberapa obat kemoterapi dapat meningkatkan sekaligus menekan antigen-spesifik imun respon yang tergantung akan dosis, waktu pemberian obat dan paparan protein antigen (Nigam, et al., 1998; Emens, et al., 2001). Peranan kemoterapi dalam proses lisis sel tumor oleh CTLs melalui mekanisme perubahan epigenetik, merangsang kembali ekspresi antigen tumor dan molekul yang berperan dalam prosesing dan presentasi antigen. Radioterapi mempunyai efek imunosupresif sebab radiasi pengion menyebabkan sindrom hemopoitik yang ditandai penurunan jumlah dan kualitas sel darah tepi terutama limfosit. Sinar pengion yang dihasilkan radioterapi menyebabkan pemecahan kovalen antara hydrogen dan oksigen. Radikal bebas OH– mengoksidasi DNA sehingga rantai DNA pecah dan menyebabkan kerusakan kromosom sehingga terjadi perubahan metabolisme dan efek biologi sel pada tingkat mitosis (kerusakan struktur sel yang memicu apoptosis sel imun) (Syahrun et al., 1984). Reaktifitas radikal bebas sangat tinggi dengan waktu paruh sangat pendek(10–9 detik) sehingga dengan cepat merusak molekul didekatnya. Sebuah molekul OH– dapat merusak ratusan rantai PUFA menjadi lipid hidroperoksida yang akan berubah menjadi aldehid. Aldehid akan berikatan denga protein, menghancurkan integritas membran sel, merusak aktifitas transport protein, membuat kolaps ion gradien dan akhirnya memicu kematian sel. Sebuah penelitian membuktikan adanya hubungan negatif antara dosis dan lamanya radiasi dengan imunitas seluler penderita KNF. Semakin besar dosis dan semakin lama paparan radiasi akan semakin menurunkan sistem imun seluler (Syahrun, 1984).
commit to user
104 Sebuah penelitian lain melaporkan bahwa sekitar 75% penderita KNF mengalami penurunan cell mediated imunity ( CMI ) setelah radioterapi sebab radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai sel efektor imunologis, baik yang beredar di sirkulasi, jaringan limfoid mukosa hidung dan nasofaring serta tenggorok (ring of waldeyer’s) (Wolf, et al., 1987). Sebuah penelitian lain oleh Syahrun (1984) membuktikan bahwa setelah radioterapi terjadi penurunan jumlah total limfosit sebesar 50 - 60% dibandingkan dengan sebelum radioterapi. Penurunan sel-sel darah tepi ini karena terhambatnya produksi sel darah dalam sistem hemopoetik (hambatan mitosis pada sel induk) (Syahrun, 1984). Sel limfosit yang terpapar sinar pengion akan mengalami aberasi pada kromosomnya sehingga terjadi perubahan metabolisme dan efek biologis sel pada tingkat mitosis. Aberasi kromoson dapat terjadi pada sel induk sumsum tulang maupun sel limfosit matur pada nodus limfatikus dan pembuluh darah tepi. Sel-sel prekursor di sumsum tulang lebih radiosensitif dibandingkan sel limfosit matur. Aberasi kromosom ini menyebabkan penurunan jumlah limfosit, walaupun limfosit mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kerusakan melalui reparasi DNA. Apabila sistem ini gagal maka akan terjadi penurunan imunitas seluler dalam melawan kanker (Wang, et al., 1994).
Efek radiasi pada dosis 200 cGy yang diberikan 5 kali dalam seminggu pada daerah nasofaring akan menurunkan jumlah dan indeks transformasi limfosit dimana hitung limfosit terendah terjadi 4 minggu setelah penyinaran. 2 minggu setelah penyinaran, indeks transformasi dan hitung limfosit akan mulai meningkat (Syahrun, 1984)
commit to user
105 Monosit juga merupakan sel yang radiosensitif tetapi radiosensitifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan limfosit. Pada dosis radioterapi yang sama, monosit turun lebih lambat tetapi reparasi lebih cepat dibandingkan dengan limfosit. Reparasi limfosit terjadi 20 – 30 hari sedangkan monosit 6 hari setelah radioterapi (Syahrun, 1984; Early, et al., 1985)
Sel T CD8+ akan diaktifasi oleh antigen virus EBV melalui mekanisme yang tergantung MHC I. Peningkatan sel T CD8 + pada KNF bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan. Sel T CD8+ dari biopsi KNF tidak tergantung pada jenis histopatologi dan stadium KNF (Budiani, et al., 2010). Jumlah ekspresi sel T CD8+ pada KNF akan menggambarkan adanya defek pada sel aktifasi atau fungsinya pada tumor, yang barangkali ada kaitannya dengan konsentrasi IL-10 yang berfungsi menghambat proliferasi dan differensiasi dari sel T pada KNF.
Sel T CD8+ memainkan peran utama dalam mekanisme sistem imun terhadap sel tumor dan infeksi endogenous termasuk infeksi EBV. Protein virus endogenous dihasilkan oleh proteosome lumen endoplasmic reticulum oleh TAP 1,2 dan dihasilkan oleh MHC I. Molekul MHC akan mengekspresikan beberapa peptide terhadap sel T CD8+ yang akan diaktifkan oleh EBV. Sel T CD8+ memainkan peran utama dalam mengeliminasi sel yang terinfeksi virus dan sel tumor melalui jalur eksositosi granule (granule – exocytosis pathway). Perforin merupakan protein yang disimpan bersama sama dengan granzyme (serine protease) pada granule dari sel T CD8+ dan sel NK. Seksostosis granule terjadi manakala sel TCD8+ dan sel NK mengalami kontak dengan sel target. Dengan adanya produk granule ini maka terjadi aktifasi jalur apopoptosis dan eliminasi
commit to user
106 dari sel target. Mekanisme ini pernah dilakukan uji coba dengan menggunakan mencit yang mengalami supresi perforin akan mengalami pertumbuhan yang cepat dari sel tumor. Bahkan perforin dapat mediatori terjhadinya keruskan membrane dan granzyme penting untuk merangsang terjadinya apoptosis.
5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant diikuti Radioterapi pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated
Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa ada perbedaan Rasio CD4+/CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated antara sebelum dan sesudah terapi lengkap kemoterapi neoadjuvant. Rasio CD4+/CD8+ sebelum terapi adalah 1,06 dengan standar deviasi 0,62 (dengan rentang nilai rasio 0,33 – 2,07) dan Rasio CD4+/CD8+ sesudah pengobatan adalah 1,63 dengan standar deviasi 3,25 (dengan rentang nilai rasio 0,30 – 2,67). Peningkatan rasio yang terjadi tidak signifikan (p=0,646). Angka rasio yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa sebukan sel T CD4+ lebih tinggi bila dibandingkan sel T CD8+ dan mengindikasikan adanya penurunan fungsi dari infiltrasi subset sel T (Budiani et al., 2010). Jiang et al., (2004) mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+ pada orang dewasa sehat di Shanghai adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57 (rentang : 0,92 - 2,06) hampir sama dengan yang didapatkan oleh Cirino, et al., (2007) yaitu 0,90. Pada kasus keganasan nilai rasio sangat bervariasi, Heraberg, et al., (1997) dalam penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum terapi dengan vinblastin-IFN adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8), selama terapi vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3) dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi vinblastin-IFN., dan Cirino, et al., (2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru mendapatkan 1,74. Angka rasio
commit to user
107 CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan tingkat prognostik yang lebih baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian karsinoma nasofaring lebih efektif bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis oleh sel T CD8+ dibandingkan dengan respon immune humoral. Karena respon immune humoral hanya berperan pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk mengeliminasi sel malignant sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya perlu diteliti rasio CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring selama dan sesudah kemoterapi (Abbas, et al., 2007) .
Status imunologi cell mediated immunity (CMI) dilaporkan mempengaruhi respons KNF terhadap radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah sebelum terapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek (Susworo, 1990; Nana, 2001).
Subpopulasi limfosit T, limfosit T-helper dan T- sitotoksik sama-sama berperan dalam mengeliminasi antigen tumor. Sel yang mengandung antigen tumor akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC kelas I yang kemudian membentuk komplek melalui TCR (cell Receptor) dari sel T-sitotoksik (CD8), mengaktifasi sel T-T-sitotoksik untuk menghancurkan sel tumor tersebut. Sebagian kecil dari sel tumor juga mengekspresikan antigen tumor bersama molekul MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk komplek dengan limfosit T-helper (CD4) dan mengaktifasi sel T-helper terutama subset Th1 untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α di mana keduanya akan merangsang sel tumor untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I, sehingga akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T (CD8+).
commit to user
108 . Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+, yang secara fenotip dan fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL dapat melakukan fungsi survaillance dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutant atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (Tumor Infiltrating Lymphocyte = TIL) juga mengandung sel CTL yang memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Walaupun respon CTL mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, peningkatan respon CTL merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan dimasa mendatang. Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor secara langsung, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon antitumor dengan memproduksi berbagai sitokin misalnya IL-2 yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel T CD4+ yang diaktifasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFNγ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh sel CTL. Beberapa tumor yang antigennya diekspresikan bersama dengan MHC kelas II dapat mengaktifasi sel CD4+ spesifik tumor secara langsung, yang lebih sering terjadi adalah bahwa APC professional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II memfagositosis, memproses dan menampilkan protein yang berasal dari se-sel tumor yang mati kepada sel T CD4+, sehingga terjadi aktifasi sel-sel tersebut. Proses sitolitik CTLs terhadap sel target dengan mengaktifkan penggunaan enzim Perforin dan
commit to user
109 Gransim, ada beberapa langkah proses sitolitik CTLs terhadap sel target (Syahrun, 1984; Nana, et al.,1996; Prasad, et al., 2002).
5.6. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dan rasio CD4+/CD8+ pada
Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated .
Pada gambar 5.11 didapatkan model persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio ekspresi CD4+/CD8+ sesudah terapi, didapatkan model persamaan linier adalah Y = 1,91 - 0,51 X; dimana Y = Rasio CD4+/CD8+ dan X = Ekspresi LMP1, dengan confidence interval (CI) 95 % maka didapatkan
nilai β terletak 0,15 ≤ α ≤ 3,66 dan nilai α terletak -1,76 ≤ β ≤ 0,73, dengan demikian setiap pertambahan nilai ekspresi LMP1 sebesar 1 %, maka rasio CD4+/CD8+ akan berkurang antara -1,76 dan 0,73 dengan α= 0. Setelah dilakukan uji Spearman’s diperoleh korelasinya sangat lemah dan tidak signifikan secara statistic antara ekspresi LMP1 dengan rasio ekspresi CD4+/CD8+ (r = 0,17; p= 0,646). Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis R 2 = 0,04 yang mengindikasikan bahwa hanya sebesar 4 % seluruh hasil rasio dapat diterangkan dengan model ini, dan sisanya sebesar 96 % rasio CD4+/CD8+ akibat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model ini (lampiran 9).
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian oleh Haryana et al., (2009) dimana tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara LMP1 dan ekspresi CD4+ dan hubungan yang signifikan hanya antara ekspresi LMP1 dengan ekspresi CD8+ . Peranan LMP1 dalam respon imun melalui aktifasi MHC I dan II.
commit to user
110 Pada penelitian ini ekspresi LMP1 tidak terbukti dapat menyebabkan perubahan rasio ekspresi CD4+/CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated, sehingga pertumbuhan tumor semakin progresif. Gondowiarjo (1998) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan CD8+/CD4+ pada peningkatan proliferasi sel, meskipun ekspresi LMP1 ini meningkatkan pertumbuhan sel tumor. Hal ini diduga bahwa LMP1 berpengaruh pada penghambatan proses apoptosis. Pertumbuhan tumor merupakan hasil akhir proses proliferasi dan proses apoptosis. Asumsi ini diperkuat oleh Hu (1996) dengan hasil penelitian secara in vitro pada sel epitel terjadi gangguan proses apoptosis dengan keberadaan LMP1. Bahkan dijelaskan bahwa gangguan ini tidak terjadi melalui gangguan pada jaras bcl 2, yaitu jaras yang sering terganggu pada berbagai proses keganasan. LMP1 mempengaruhi proses keganasan melalui peningkatan ekspresi protein A-20. Protein A-20 adalah suatu substrat yang dapat meningkatkan resistensi sel terhadap tumor necrosis factor (TNF). TNF adalah sistim pro-inflammatory yang mempunyai kemampuan mengaktifkan mekanisme kemataian sel melalui proses apoptosis. Protein A-20 akan melindungi sel dari kerja TNF sehingga sel akan terlindung dari proses kematian sel. Jaikumar, et al., (2003) menyatakan ada korelasi antara ekspresi LMP1 dengan CTL dan tingginya respon sel T terhadap ekspresi LMP1 merupakan kunci sukses keberhasilan dalam mengeliminasi tumor.
Pemeriksaan ekspresi petanda molekuler menggunakan analisis immunobloting akan mendapatkan hasil yang lebih obyektif dan akurat dibanding dengan pewarnaan tehnik immunohistokimia. Pemeriksaan dengan pewarnaan
commit to user
111 tehnik immunohistokimia standrisasi gat dipengaruhi oleh reagen antibodi monoklonal yang dipakai, ketrampilan petugas laboratorium dan subyekifitas pemeriksa histopatologi. Selain itu, stanadarisasi pemeriksaan ekspresi petanda molekuler sampai saat ini belum ada. Beberapa hal di atas menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan oleh miller (Miller, et al., 1995).
Dalam penelitian ini penulis menyadari ada beberapa kelemahan atau kekurangan disamping tentunya ada beberapa kelebihan. Kelebihan penelitian ini adalah secara metodologi mudah diterapkan dan lebih murah dalam pembiayaan dan cocok digunakan pada penelitian dengan sampel angka dropout tinggi, atau pada populasi dengan angka keberhasilan pengobatan yang rendah. Beberapa kelemahan yang terjadi dalam penelitian ini diantaranya adalah subyek penelitian tidak dilakukan randomisasi, yang berakibat pengendalian terhadap faktor-faktor perancu kurang kuat sehingga sering timbul bias dalam analisa data.
commit to user
112
BAB VI