commit to user
i
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI
LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
T E S I S
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama : Ilmu Biomedik
OLEH :
SUNARDO BUDI SANTOSO NIM S500907029
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
commit to user
ii
PENGESAHAN
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI
LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh :
Sunardo Budi Santoso S500907029
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Em. DR. Muhardjo, DHA, dr.Sp. THT-KL(K) ...
NIP. 030 124 167
Pembimbing II Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si ... NIP. 1967 0215 199403 2 001
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK NIP. 19480313 197610 1 001
commit to user
iii
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI
LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh :
Sunardo Budi Santoso S500907029
Telah disetujui oleh Tim Penguji Rabu, 27 Juli 2011
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK ………
NIP. 1948 0313 197610 1 001
Sekretaris Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc., PhD ... NIP. 1955 1021 199412 1 001
Anggota Penguji
1. Prof. Em. DR.Muhardjo, DHA, dr. Sp. THT-KL (K) ……… NIP. 030 124 167
2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si ……… NIP. 1967 0215 199403 2 001
Mengetahui,
Direktur Ketua Program Program Pascasarjana Studi Kedokteran Keluarga
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Sunardo Budi Santoso NIM : S500907029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated adalah betul - betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar , maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2011 Yang Membuat Pernyataan
Sunardo Budi Santoso NIM. S500907029
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kepada Allah SWT yang Maha kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya karya ilmiah akhir ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD. dr Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:
1. Prof. Emeritus. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp THT-KL (K), selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, dan bimbingan pada penelitian ini.
2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si, yang telah membimbing dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini.
3. dr. Made Setiamika, Sp THT-KL sebagai pembimbing Sub. Bagian Ongkologi dan selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit THT di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
vi 4. dr. Mochamad Arief TQ, MS, yang telah membimbing dalam bidang statistik
dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini.
5. dr. Sarwastuti Hendradewi, Sp.THT-KL. Msi.Med, selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta .
6. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki. MMR, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis.
8. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. DR. Zaenal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis.
9. Direktir Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan Magister Kedokteran Keluarga.
10. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PPDS I IK. THT-KL) dan program pendidikan Magister kedokteran keluarga. 11. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf THT-KL FK UNS
yang kami hormati :
commit to user
vii b. dr. Sudarman, Sp THT-KL (K)
c. dr. Sutomo Sudono, Sp THT-KL (K)
d. Almarhum dr. Chairul Hamzah, SP THT-KL(K) e. dr. Sudargo, Sp THT
f. dr. Bambang Suratman, Sp THT-KL (K) g. dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med. h. dr. Imam Prabowo, Sp.THT-KL
i. dr. Vicky Eko Nurcahyo H, Sp. THT-KL. M.Sc. j. dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp.THT-KL
k. dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes
yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis dan penyelesaian penelitian ini.
12. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
13. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. DR. Ambar Mudigdo, dr. Sp. PA (K), selaku Kepala laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian di bagian Laboratorium Biomedik.
14. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc, PhD, selaku Kepala laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Staf
commit to user
viii Pengajar Pascasarjana Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu menganalisis hasil penelitian. 15. Teman sejawat residen THT, seluruh paramedis RSUD dr.Moewardi dan
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
16. Kedua orang tua (Bpk. Radiwan dan Ibu Supiyah) / mertua (Bpk H. KRT. Joko Paryanto dan almarhum Ibu Kusumawati) dan Kakak – Kakakku (Suwarno, Suwaryo, Suwarni, Surati, Sudiyah, Suciatun dan Wawan) serta adik-adikku (Sukardiyo dan Eva Dona Susanti) dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat serta biaya kepada penulis.
17. Khususnya untuk istri tersayang dan membanggakan (Betti Falentina) dan anakku tercinta (Bella Sofiyana Kusuma) , terima kasih yang tidak terhingga atas segala keiklasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat, curahan kasih sayang dan doa tulusnya untuk penulis sehingga penelitian ini selesai.
Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan dan mohon kiranya dapat mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat.
Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulus-tulusnya kepada semua dosen, teman sejawat, paramedis dan karyawan di lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
commit to user
ix Surakarta atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan Dokter Spesialis dan Magister Kesehatan.
Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien
Surakarta, April 2011 Penulis
commit to user x DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ... i LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
SURAT PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
DAFTAR SINGKATAN ... xxi
ABSTRAK ... xxiii-xxiv BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.3.1. Tujuan Umum ... 6
1.3.2. Tujuan Khusus ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
commit to user xi 2.1.. Karsinoma Nasofaring ... 8 2.1.1. Anatomi ... 8 2.1.2. Histologi ... 9 2.1.3. Epidemiologi ... 9 2.1.4. Etiologi ... 11 2.1.4.1. Genetik ... 11 2.1.4.2. Lingkungan ... 12
2.1.4.3. Virus Epstein Barr ... 13
2.1.5. Diagnosis ... 14 2.1.5.1. Gejala Klinis ... 14 2.1.5.2. Pemeriksaan Nasofaring ... 16 2.1.5.3. Radiologi ... 16 2.1.5.4. Serologi ... 17 2.1.5.5. Pemeriksaan Patologi ... 18 2.1.6. Klasifikasi ... 19 2.1.7. Penentuan Stadium... 20 2.1.8. Pengobatan ... 22 2.1.8.1. Radioterapi ... 22 2.1.8.2. Kemoterapi ... 31 2.1.8.3. Kemoterapi neoadjuvant... 38 2.2. Virus Epstein-Barr ... 43
2.2.1. Struktur Genom dan Molekuler EBV ... 43
commit to user
xii
2.3. Respon Imun terhadap Tumor ... 48
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun ... 50
2.3.2. Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap Respon Imun ... 51
2.3. 3. Antigen Sel Tumor ... 53
2.3. 4. Respon Imun Seluler Terhadap Tumor ... 54
2.3. 5. Respon Imun Humoral Terhadap Tumor ... 55
2.3. 6. Mekanisme Efektor Melawan Tumor ... 55
2.3.6.1. Sel T CD8 + (CTL Cytotoxic T Lymphocytes)... 55
2.3.6.2. Sel T CD4 + ... 60
2.4. Kerangka Teori ... 62
2.5. Kerangka Konsep ……… 66
2.6. Hipotesis Penelitian ... 66
BAB III. METODE PENELITIAN ... 67
3.1. Rancangan Penelitian ... 67
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 67
3.3. Populasi dan Sampel ... 68
3.3.1. Sampel ... 68
3.3.2. Besar Sampel ... 69
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel ... 69
3.4. Variabel Penelitian ... 70
commit to user
xiii
3.6. Alat Penelitian ... 72
3.7. Cara Kerja ... 72
3.8. Teknik Analisis Data ... 77
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 78
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian ... 79
4.1.1. Data Dasar Umur Sampel Penelitian ... 79
4.1.2. Data Dasar Jenis Kelamin Sampel Penelitian ... 79
4.1.3. Data Dasar Ukuran Tumor Primer Sebelum dan Sesudah Pengobatan ... 80
4.1.4. Data dasar kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan sesudah Pengobatan ... 80
4.1.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit Sebelum dan Sesudah Pengobatan Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated ... 81
4.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi LMP1, ekspresi CD4+ ,CD8+ danRasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ……… 83
4.2.1. Hasil Pemeriksaan LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated….……….. 84
4.2.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 85
commit to user
xiv 4.2.3. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 87 4.2.4. Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated……….. 88 4.3. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 90
BAB V. PEMBAHASAN ... 93
5.1. Data dasar sampel penelitian ... 94 5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 97 5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 100 5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 102 5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 106
commit to user
xv 5.6. Analisis Hubungan antara Ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 109
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 112
6.1. Kesimpulan ... 112
6.2. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA ... 114
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1. Potongan sagital anatomi Nasofaring ... 8
2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring ... 9
2.3. Mekanisme kerja kemoterapi pada siklus sel ………... 33
2.4. Infeksi EBV pada penderita carrier ... 46
2.5. Induksi respon sel T terhadap tumor ... 49
2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun ... 52
2.7. Struktur kristal dari perforin ... 57
2.8. Mekanisme sel T CD8+ melalui perforin dan granzime dalam proses Apoptsis ... 59
3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok .. 67
4.1. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur ... 79
4.2. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin 79
4.3. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran tumor Primer (T) sebelum dan sesudah Pengobatan.. ... 80
4.4. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran kelenjar getah bening leher (N) sebelum dan sesudah Pengobatan ... 80
commit to user
xvii 4.5. Boxplot Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan
Trombosit (AT) selama menjalani Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated ... 83 4.6. Boxplot hasil ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ... 85 4.7. Boxplot Hasil ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 86 4.8. Boxplot Hasil ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated... 88 4.9. Boxplot Hasil Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 89 4.10. Korelasi antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 91 4.11. Resume gambar boxplot expresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio
CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ... 92
commit to user
xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1. Formula Digby ... 14
2.2. Performance status ... 39
3.1. Nilai P (prosentase jumlah sel) ... 76
3.2. Penilaian Intensitas Warna ... 76
4.1. Perbedaan kadar hemoglobin (Hb), leukosit (AL) dan trombosit (AT) sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ... 81
4.2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ... 84
4.3. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ... 86
4.4. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ... 87
4.5. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ... 89
commit to user
xix 4.6. Analisis Model Persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. ... 90 4.7. Resume tabel statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi LMP1, CD4+,
CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated ... 92
commit to user
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Ethical Clearance ... 1
Lampiran 2. Jadual Penelitian ... 1 Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan ... 1 Lampiran 4. Status Penelitian ... 1 – 3 Lampiran 5. Foto Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ ... 1 – 2 Lampiran 6. Data dasar sampel penelitian penderita karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated ……….. 1 Lampiran 7. Hasil pemeriksaan LMP1, staging T dan N, dan
status imunologi sampel penelitian penderita karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated sebelum dan sesudah kemoterapi neaodjuvant ….. 1 Lampiran 8. Hasil analisis deskriptif dan uji Wilcoxon Signed
Ranks Test dengan α = 0,05 ………... 1 – 2 Lampiran 9. Analisis hubungan antara LMP1 dan rasio
CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis
commit to user
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AJCC : american joint committee on cancer APAF-1 : apoptotic protease-activating factor-1 APC : antigen presenting cell
BAX : BCL -2 –assosiated protein Bcl-2 : B-cell leukemia – 2
BID : BH3-interacting domain death agonist CAD : caspase-activated dnase
CD : cluster of differentiation CR : complete response
CT : computerized tomographic CTL : cytolitic T lymphocyte CTX : cyclophosphamide DNA : deoxyribonucleic acid EA : early antigen
EBNA : epstein-barr nuclear antigen EBV : epstein-barr virus
ECOG : eastern cooperative oncology group FNAB : fine nedle aspiration biopsy
Gp : glikoprotein
ICAD : inhibitor caspase-activated Dnase IFN-γ : interferon – γ
commit to user
xxii JAK : janus kinase
KNF : karsinoma nasofaring LMP1 : laten membran protein 1
MHC : major histocompatibility complex MRI : magnetic resonance imaging mRNA : messenger ribonucleic acid MTX : metotrexate
N : nervus
NF-kB : nuclear factor-kappa B lymphocyte NR : no response
PA : posterior-anterior PD : progresive disease PR : partial response
ROS : reactive oxygen species TGF : tumor growth factor TNF-α : tumor necrosis factor – α
UICC : union international contre cancer VCA : viral capsid antigen
commit to user
xxiii
ABSTRAK
Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Pembimbing I : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Pembimbing II : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si. Tesis : Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar belakang : Epstein-Barr Virus mengekspresikan protein LMP1 dan
memacu hadirnya sel-sel imunokompeten (CD4+ dan CD8+). Rasio CD4+/CD8+ menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel dan sel tumor. Kemoterapi neoadjuvant akan menekan siklus sel dan kerusakan sel imunologis yang berefek pada penurunan imun seluler.
Tujuan : Mengetahui pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap tingkat ekspresi
LMP1, system imun dan hubungan antara ekspresi LMP-1 dan rasio CD4+ / CD8+ .
Metode dan bahan : desain penelitian one group before and after intervention,
menggunakan 10 sampel biopsi karsinoma nasofaring undifferentiated sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant dilakukan pemeriksaan imunohistokimia. Antibodi menggunakan mouse antibodi antihuman LMP1, antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ dan anti human CD8+. Data penelitian dianalisis dengan Wilcoxon Signed Ranks test, Regresi Linier dan Spearman’s dengan program SPSS. 15.0 under windows.
Hasil : Setelah kemoterapi neoadjuvant terjadi penurunan signifikan secara
statistik baik ekspresi LMP1 (0,41±0,39 /1,79 ± 0,68) (p=0,007); CD4+ (0,88 ± 0,74/2,06 ± 1,31) (p=0,041) dan CD8+ (0,23 ± 0,26/1,96 ± 0,92) (p=0,005). Rasio CD4+/CD8+ meningkat tidak signifikan secara statistik (p=0,646) (1.06 ± 0,61/1,62 ± 3,25). Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ sangat lemah (r = 0,17), memenuhi persamaan garis linier dan tidak sginifikan secara statistik (p=0,646).
Kesimpulan: kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated menyebabkan penurunan ekspresi LMP1 dan status imunologi (CD4+ , CD8+) dan peningkatan rasio CD4+/CD8+ . Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sangat lemah dan tidak signifikan.
commit to user
xxiv
ABSTRACT
Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. The effect of Neoadjuvant Chemotherapy for LMP1, CD4+, CD8+ Expression Level and CD4+/ CD8+ Ratio in Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma. Advissor : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Co. Advissor : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si Thesis : Post Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta
Background: EBV has been frequently related with nasopharyngeal carcinoma,
because of able to expressed LMP1 protein and induced immunocompetence cell respon (CD4+ and CD8+). The ratio of CD4+/CD8+ describes the elimination potency of intracellular pathogen and tumor cell. Neoadjuvant chemotherapy would reduced and destroyed cycle cell and decresed imun system.
Aims : Evaluate the effect of neoadjuvant chemotherapy to know the expression
of LMP1 , imun system and the correlation between LMP1 expression level and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma
Methode and Material : one group before and after intervention design. Ten
sampels were taken from nasopharyngeal carcinoma undifferentiated biopsy tissue, then each sample performed immunohistochemistry examination. Mouse antibody antihuman LMP1 was used in detection of LMP1 expression, CD4+ and CD8+ expression with antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ and CD8+. Wilcoxon Signed Ranks test, Linier regression and Spearman’s were used to analized data using SPSS 15.0 underwindows program
Result: Expression of LMP1, CD4+ and CD8+ were decresed significanly after
neoadjuvant chemotherapy, which (0,41 ± 0,39 /1,79 ± 0,68) value for LMP1 (p=0,007); (0,88 ± 0,74 / 2,06 ± 1,31) value for CD4+ (p=0,041) and (0,23 ± 0,26 /1,96 ± 0,92) value for CD8+ level (p=0,005). CD4+ / CD8+ ratio after treatment was not significan (p=0.646) the highest value (1.06 ± 0.61/1.62 ± 3.25) and there was not significant corelation between LMP1 expression and CD4+ / CD8+ ratio (p=0,468) in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma.
Conclussion : LMP1, CD4+ and CD8+ expression were decresed significantly and
CD4+/CD8+ ratio was highes, but not significant after neoadjuvant chemotherapy. There were no significant corelation between LMP1 expression and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma.
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili Herpes virus yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti Limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus, dimana virus memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing periode infeksi (Soeharso, et al., 2007).
Karsinoma nasofaring (KNF) dewasa ini merupakan tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Angkanya diperkirakan mencapai 60% tumor ganas kepala dan leher. Data dari laboratorium patologi anatomi KNF berada di peringkat ke lima dari semua keganasan pada tubuh manusia, angka ini
commit to user
2 setelah tumor ganas servik uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit. (Soetjipto, 1986; Roezin, et al., 2007)
Di Eropa dan Amerika keganasan nasofaring angkanya cukup rendah yaitu dengan kejadian kurang dari 1 diantara 100.000 penduduk. Sebaliknya di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi. Angka tertinggi didapatkan di propinsi Cina Tenggara yaitu 40 – 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk (Brennan, 2005; Wei Wi, et al., 1996). Di Indonesia KNF cukup banyak ditemukan meskipun angka kejadian yang pasti belum diketahui. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 /100.0000 penduduk pertahun (Roezin, et al., 2007; Tan, 2010) .
Etiologi penyakit karsinoma nasofaring cukup kompleks seperti faktor genetik, infeksi virus Epstein-Barr dan bahan karsinogenik ( nitrosamin ) yang ada di lingkungan. Proses karsinogenesis masih belum dapat diungkapkan dengan jelas, tetapi secara umum disepakati bahwa prosesnya berlangsung secara bertahap. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasikan faktor yang berperan pada karsinogenesis. Berbagai penelitian akhir-akhir ini telah membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF, untuk gambaran patologi anatomi terbanyak adalah jenis Undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang, et al., 1998; Huang, et al., 1999).
Produk onkogen dari Epstein-Barr Virus (EBV) yang dikenal sebagai Laten Membran Protein 1 (LMP1) telah terbukti secara in vitro menyebabkan tranformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk yang immortal,
commit to user
3 proliferasi sel tumor, anti apoptosis dan berperan dalam terjadinya metastase (Zheng, et al., 2007). Laten Membran Protein 1 merupakan onkogen virus potensial dan mempunyai peran biologi penting pada karsinogenesis KNF yang dapat dikenali oleh CTLs dalam konteks Major Histocompatibility Complec satu (MHC I). (Bosman, 1996; Hu, 1996) .
Dari penelitian terdahulu didapatkan ekspresi LMP1 pada KNF yang bervariasi yaitu sebesar 60% (Miller, et al., 1995; Gondowiarjo, 1998; Lin, 2003; Zheng, et al., 2007) dan 45 % yang pernah dilaporkan Surono (2006) (Hariwiyoto, et al., 2006). Murono, et al., (2001) mengatakan bahwa kadar antibodi spesifik terhadap LMP1 terdapat lebih dari 70 % KNF dan ada korelasi antara kadar antibodi tersebut dengan stadium KNF dan sangat potensial membantu menegakkan diagnosis dan faktor prognosis. Lasniroha (2008) dalam penelitiannya tentang ekspresi LMP1 pada KNF Undifferentiated mendapatkan angka 11,76 %.
Infeksi virus EBV akan memacu hadirnya sel-sel imunokompeten untuk mengelimnasi virus dan sel sel yang terinfeksi. Epstein-Barr Virus akan menginfeksi sel limfosit B dan sel epitel orofaring, sel-sel ini akan dieliminasi oleh sistem imun baik innate maupun adaptif. Hal yang menarik disini adalah hadirnya sel T CD8+ CTL yang bertugas melakukan sitotoksisitas terhadap sel target dalam hal ini epitel orofaring maupun limfosit B yang terinfeksi dan epitel nasofaring yang telah malignant. Eliminasi sel T CD8+ CTL terhadap sel-sel tersebut dilakukan dengan menggunakan gramzyme B dan perforin, sehingga sel target akan mengalami apoptosis. Sel T CD4+ adalah sel yang hadir dalam
commit to user
4 rangkaian respon immune adaptif yang perannya lebih mengarah ke induksi respon immune humoral. Sel T CD4+ akan menghasilkan citokin-citokin yang berperan sebagai inducer pembentukan antibodi untuk mengeliminasi patogen secara ekstraseluler (Abbas, et al., 2007) .
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang ditandai adanya tumor – infiltrating lymphocytes (TILs) termasuk diantaranya adalah Cyttolitic T Lymphocyte (CTL). Harijadi (2008) dalam penelitian mendapatkan hasil bahwa banyaknya CTL yang aktif akan mengekspresikan gramzyme B dan merupakan petanda kuat prognosis buruk penderita KNF. Nilai prognostik ini lebih kuat dan tidak tergantung dibandingkan petanda prognostik lainnya seperti umur dan status TNM pada saat diagnosis awal. Prognostik tampak jelas menurun dengan meningkatnya prosentase CTL yang aktif. Harijadi (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa rerata daya tahan hidup penderita dengan CTL aktif < 25 % adalah 42 bulan dan akan menurun menjadi 14 bulan pada penderita dengan CTL aktif > 25 %. Prognostik yang buruk dengan banyaknya infiltrasi CTL yang aktif diperkirakan terjadi akibat seleksi sel tumor sehingga resisten terhadap apoptosis yang dipacu oleh CTL, kemoterapi dan atau radioterapi.
Rasio CD4+/CD8+ akan menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel dan sel tumor. Jiang, et al., (2004) mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+ pada orang dewasa sehat di Shanghai adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57 (rentang : 0,92-2,06) hampir sama dengan yang didapatkan oleh Cirino dan Marcano (2007) yaitu 0,90. Pada kasus keganasan nilai rasio sangat bervariasi, Heraberg, et al., (1997) dalam penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum
commit to user
5 terapi dengan vinblastin-IFN adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8), selama terapi vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3) dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi vinblastin-IFN dan Cirino, et al., (2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru mendapatkan 1,74. Angka rasio CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan tingkat prognostik yang lebih baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian karsinoma nasofaring lebih efektif bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis oleh sel T CD8+ dibandingkan dengan respon immune humoral. Karena respon immune humoral hanya berperan pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk mengeliminasi sel malignant sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya perlu diteliti rasio CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring (Abbas, et al., 2007) .
Penatalaksanaan KNF sementara ini dengan menggunakan kemoterapi dan/atau radioterapi. Terapi radioterapi menurut Vijayakumar (1997), mempunyai sifat mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor, memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor dan ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor. Akan tetapi pemberian radioterapi bersifat lokal dan regional juga dapat mengakibatkan defek imun secara general. Kemoterapi neoadjuvant dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvant pada
commit to user
6 keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan Complete Response (CR) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radioterapi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000).
Penulis bertujuan untuk melakukan penelitian terhadap gambaran ekspresi LMP1 yang merupakan produk onkogen virus EBV dan status imunologi (CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah ada penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ akibat kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
2. Apakah ada perbedaan rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
3. Apakah ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ pada pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
commit to user
7 LMP1 dan status imunologi (CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) akibat kemoterapi neoadjuvantt pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji adanya penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
b. Mengkaji adanya pola perubahan Rasio CD4+/CD8+ sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
c. Mengkaji adanya pola hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang akademik
Untuk memperoleh data mengenai tingkat ekspresi LMP1 dan status imunologi (ekspresi CD4+, CD8+ dan rasio CD+/CD8+) akibat kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
2. Dalam bidang klinis
Diharapkan dapat digunakan sebagai prediksi terhadap respon terapi, khususnya pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
commit to user 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Anatomi
Secara anatomi Nasofaring merupakan bagian sempit yang terdapat pada belakang choana. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis occiput dan vertebra cervikalis pertama. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding lateral dan pada bagian anterior dan posterior terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian superior dan lateral dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum (Rusmarjono, et al.,, 2007).
Gambar 2.1 Potongan sagital anatomi Nasofaring (Dikutip dari : Van De Graaf, 2001. Human Anatomy, Sixth Edition. The McGraw-Hill, p.605)
commit to user
9
2.1.2. Histologi
Epitel bersilia respiratory type merupakan epitel yang melapisi mukosa nasofaring. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma nasofaring kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab (cited 2010 Jan 5).
Available from : http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502
2.1.3. Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu 6 per 100.000 penduduk dari total 12.000 kasus baru pertahun(Tan, 2010). Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki
commit to user
10 urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Propinsi Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dengan didominasi suku Jawa, sedangkan Jakarta pasien karsinoma nasofaring terdiri atas populasi suku Jawa dan Cina. Pasien karsinoma nasofaring dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita (Kentjono, 2003). Sedangkan Wei WI (2006) mendapatkan rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 3 : 1.
Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang pertahun, dan merupakan masalah kesehatan yang serius di daerah ini. Pada Cantonese “boat people” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Korea dan Jepang sangat rendah, meskipun pada beberapa di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia dan Singapura, insiden karsinoma nasofaring relatif tinggi. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). Angka kejadian karsinoma nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000 penduduk per tahun. (Witte, et al., 2001; Lee , 2003)
Berdasarkan dari beberapa penelitian jenis KNF banyak ditemukan adalah tipe WHO 2 dan WHO 3. Menurut penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang
commit to user
11 didapatkan WHO tipe 2 dan WHO tipe 3 sejumlah 112 kasus dari 127 kasus KNF (Lee, 2003).Pada penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya didapatkan dari 478 kasus terdapat 424 kasus WHO tipe 3, 48 kasus WHO tipe 2 dan 6 kasus WHO tipe 1 (Witte, et al., 2001). KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun jarang dijumpai pada penderita dibawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-59 tahun, sedangkan Wei WI (2006) rmendapatkan rata-rata usia 50 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2-3:1 (Witte, et al.,2001; Ballanger,2003 Hariwiyoto, et al., 2006; Wei WI, 2006).
2.1.4. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial, akan tetapi banyak penelitian menunjukkan akan keberadaan virus Epstein Barr sangat dominan, disamping penyebab lain seperti faktor genetik dan faktor lingkungan (Witte, et al., 2001).
2.1.4.1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Ballanger, 2003; Lee, 2003).
commit to user
12
2.1.4.2. Lingkungan
Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring pada Cina Timur. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting dan dapat menjadi “alkylating Agent” yang diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal atau daerah nasofaring. Hal ini didukung dengan penelitian pada binatang dimana tikus yang diberikan diet ikan asin akan mendapat karsinoma pada rongga hidung pada dosis tertentu. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir, pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Lee , 2003; Ballanger, 2003). Seringnya peradangan didaerah nasofaring menyebabkan mukosa nasofaring menjadi rentan terhadap karsinogen lingkungan dan memudahkan perubahan mukosa ke arah prekanker
commit to user
13 serta faktor pendukung seperti lingkungan dan genetik sangat menentukan timbulnya KNF (Soetjipto, 1986; Miller, et al., 1995; Hu, 1996; Wei Wi, et al., 1996; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003; Zheng, et al., 2007).
2.1.4.3. Virus Ebstein Barr
Sampai sekarang meskipun etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF. Virus Ebstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. virus Epstein-Barr 1 & 2 (EBV1,2) yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus karsinoma nasofaring pada orang-orang di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian, Afrika dan Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi EBV-1. Kasus-kasus yang mengenai Alaska Innuits hampir seluruhnya berhubungan dengan infeksi EBV-2 (Witte, et al., 2001).
Virus Epstein-Barr hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Virus ini menginfeksi limfosit B dan epitel orofaring. EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi EBV. Virus Epstein-Barr mempunyai produk onkogen yang dikenal sebagai Latent Membran Protein-1 (LMP1) yang terbukti secara in vitro, menyebabkan transformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk immortal dan mempunyai peran penting pada karsinogenesis KNF (Bosman, 1996).
commit to user
14
2.1.5. Diagnois
Untuk dapat menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring, maka perlu dilakukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan histopatologi.
2.1.5.1. Gejala klinis
Menurut Formula Digby, setiap simptom atau gejala mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan diagnosis karsinoma nasofaring.
Tabel 2.1. Formula Digby (dikutip dalam Lica, 1999; Radiation Therapy)
Gejala Nilai
Massa terlihat pada nasofaring Gejala khas di hidung
Gejala khas pendengaran
Sakit kepala unilateral / bilateral Gangguan neurologik syaraf otak Eksopthalmus Limfadenopati leher 25 15 15 5 5 5 25
Bila jumlah nilai mencapai 50, maka diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun tindakan biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga untuk menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis. Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial. Berdasarkan perkembangan tumornya, gejala KNF dapat dibagi dalam gejala dini dan lanjut. Gejala dini KNF meliputi gejala hidung dan telinga. Gejala hidung dapat berupa
commit to user
15 epistaksis berulang yang biasanya sedikit dan bercampur ingus, hidung tersumbat dan suara bindeng. Biasanya disertai pilek kronis dengan ingus yang kental (Brennan, 2005; Soetjipto, 1986; Dol Cetti, et al., 2002; Adham, 2002; Lin, 2003; Roezin, et al., 2007). Gejala telinga yang sering membawa pasien berobat ke dokter adalah rasa penuh, tidak enak dan suara mendengung. Keluhan tersebut kadang disertai tuli akibat oklusi tuba Eustachii atau otitis media serosa. Gejala telinga otitis media serous pada usia dewasa di Cina dilaporkan 41 % dari 237 pasien yang didiagnosis KNF (Wei WI, et al., 2006).
Gejala lanjut KNF dapat berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menyebabkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan VI. Menurut Siregar (1979) paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Gangguan pada N. III berupa ptosis dan gangguan gerakan bola mata (oftalmoplegia). Gangguan N.IV mengakibatkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior bola mata. Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi sering diikuti kelumpuhan N.III. Penekanan saraf-saraf ini terjadi pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung,
commit to user
16 sinus paranasal, fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor yang besar dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke ruang parafaring dan fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugulare. Disini yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai dengan N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma retroparotidean (Siregar, 1979).
Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003; Neel, et al., 1993; Skinner, et al., 1991; Bambang, 1988). Gejala tumor leher yang besar, lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe III dibandingkan dengan KNF WHO tipe I. Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Harus dicurigai keganasan nasofaring apabila dijumpai trias gejala yaitu 1) tumor leher, gejala telinga, gejala hidung, 2) gejala intrakranial, gejala telinga, gejala hidung, dan 3) tumor leher, gejala intrakranial, gejala hidung atau telinga (Soedijono, 1989).
2.1.5.2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung yaitu rinoskopi posterior, nasoendoskopi dan flexiblelaringoskopi.
2.1.5.3. Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
commit to user
17 1) Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.
3) Foto thorak posterior/anterior (PA) dilakukan terutama untuk kepentingan kecurigaan adanya metastasis ke paru.
4) USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organ-organ intra abdomen.
Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan computerized tomographic scanning (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan tumor. (Adinolodewo, et al., 2003; Adham, 2002; Witte, et al., 2001).
2.1.5.4. Serologi
Pada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi
commit to user
18 pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma (Adinolodewo, et al., 2003 ).
2.1.5.5. Pemeriksaan Patologi
1) Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah being servikalis.
2) Biopsi Histopatologi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
commit to user
19 atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi karsinoma nasofaring
2.1.6. Klasifikasi
Menurut WHO tahun 1987 , KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi yaitu ( Wei WI, 2006; Soetjipto, 1993) :
a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ).
Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma maupun di luar sel.
b. Karsinoma sel epidermoid tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ).
Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau
berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional. c. Karsinoma tanpa diferensiasi / Undifferentiated (WHO tipe III ).
Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas.
Di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. Soetjipto (1989) pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta (1980-1984)
commit to user
20 mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 % dan 89,6 % (Soetjipto, 1993). Sedangkan Roezin dan Mahfuzh (1996) ditempat yang sama mendapatkan angka 9 %, 11,3 % dan 79,5 %. Affandi (1992) pada penelitiannya di Lab/ UPF THT FK UNPAD / RS. Dr.Hasan Sadikin Bandung, selama 4 tahun (Januari 1986-Desember1989) mendapatkan KNF jenis poorly diff.Ca. 14,8 %, well diff.Ca. 10,5 % dan jenis Undifferentiated sebanyak 70,7 %. Sedangkan hasil penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 % dan 85,6 % (Kentjono, et al., 2000).
2.1.7. Penentuan Stadium
Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (union international contre cancer) dan AJCC (american joint committee on cancer) pada tahun 1986. Pada saat ini telah diterbitkan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC. Untuk KNF pembagian TNM sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besarnya dan perluasannya Tx : tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : tidak ada tumor primer Tis : karsinoma in situ Nasofaring :
T1 : tumor terbatas didaerah nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak daerah orofaring dan atau fossa nasalis T2a : tanpa perluasan ke daerah parafaring
commit to user
21 T2b : dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan atau daerah sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan ke daerah intra kranial dan atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring atau daerah orbita
N menggambarkan keadaan Kelenjar limf regional ( N ) nasofaring : Nx : kelenjar limf regional tidak dapat dinilai
N0 : tidak ada metastasis kelenjar limf regional
N1 : adanya metastase kelenjar limf unilateral, dengan ukuran kurang atau sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula
N2 : adanya metastasis kelenjar limf bilateral kurang atau sama dengan 6 cm diatas fosa supraklavikula
N3 : adanya metastasis kelenjar limf N3a : lebih dari 6 cm
N3b : perluasan kedaerah fossa supraklavikula M menggambarkan Metastasis jauh ( M ) Mx : metastasis jauh tidak dapat di nilai M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : adanya metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIA : T2a N0 M0
commit to user 22 T2a N1 M0 T2b N0,N1 M0 Stadium III : T1 N2 M0 T2a,T2b N2 M0 T3 N0,N1,N2 M0 Stadium IV A : T4 N0,N1,N2 M0 Stadium IV B : T1,2,3,4 N3 M0 Stadium IV C : T1,2,3,4 N0,N1,N2 M1
Penentuan stadium yang lain adalah yang digunakan oleh Ho, di mana hanya ada T1-3, sedangkan ada stadium V, yakni penderita dengan M1.
2.1.8. Pengobatan
Suwitodiharjo (2002) dan Vijayakumar, et al., (1997) menjelaskan prinsip pengobatan karsinoma nasofaring pada dasarnya adalah radioterapi, kemoterapi dan terapi kombinasi.
Pemilihan terapi kanker tidaklah mudah. Menurut Sukardja (2000), berbagai faktor yang perlu diperhatikan misalnya 1) Jenis kanker, 2) Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker, 3) Imunitas Tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, dan 4) Efek samping terapi yang bisa terjadi (Sukardja, 2000).
2.1.8.1. Radioterapi
2.1.8.1.1. Definisi Terapi Radioterapi
commit to user
23 energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma .
2.1.8.1.2. Persyaratan Terapi Radioterapi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radioterapi menurut Vijayakumar, et al., (1997) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1 Belum didapatkannya sel tumor di luar area radioterapi 2 Tipe tumor yang radiosensitif
3 Besar tumor yang kira-kira radioterapi mampu mengatasinya 4 Dosis yang optimal.
5 Jangka waktu radioterapi tepat
6 Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radioterapi.
Dosis radioterapi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Suwitodiharjo (2002) menjelaskan pemberian radioterapi pada limfonodi yang tak teraba diberikan radioterapi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu (Suwitodiharjo, 2002)
2.1.8.1.3. Sifat Terapi Radioterapi
Terapi radioterapi menurut Vijakumar (1997), mempunyai sifat sebagai berikut :
commit to user
24 2. Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
3. Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. 4. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor. 5. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
6. Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.
7. Walaupun pemberian radioterapi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general.
2.1.8.1.4. Efek Samping Terapi Radioterapi (Suwitodiharjo, 2002 ) :
1 Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi.
2 Xerostomia, trismus, otitis media 3 Pendengaran menurun
4 Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis.
5 Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.
6 Lhermitte syndrome karena radioterapi myelitis. 7 Hypothyroidism
2.1.8.1.5. Pengaruh Radioterapi pada DNA
Lesi DNA oleh radiasi dapat menghasilkan berbagai akibat biologis, tergantung pada densitas radiasi atau Linear Energy Transfer (LET), dosis radiasi,
commit to user
25 interaksi radiasi dengan molekul sasaran, sensitivitas sel atau jaringan yang terkena radiasi dan lain-lain (Early, et al., 1985)
Radikal bebas, terutama OH- dapat merusak tiga jenis zat (senyawa) yang penting dalam mempertahankan integritas sel yaitu 1) DNA (perangkat genetik penyusun gen dan kromosom), berfungsi vital dalam mengendalikan metabolisme sel, 2) asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel, dan 3) protein (enzim, reseptor dan antibodi) yang berperan dalam metabolisme sel maupun respons terhadap sinyal. Struktur sel yang paling peka terhadap radiasi adalah DNA. Gangguan DNA akan menyebabkan kelainan atau perubahan pengaturan aktivitas sel. Radiasi sinar pengion yang mengenai DNA dapat menyebabkan berbagai kerusakan antara lain hidroksilasi (pecahnya basa timin dan sitosin), pembukaan inti purin dan pirimidin serta putusnya gugus fosfat dari struktur siklisnya (rantai fosfodiester DNA) yang berakibat perubahan kimia. Kerusakan DNA akan menyebabkan penyimpangan pengaturan aktivitas seluler. Radikal OH bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan yang terjadi pada DNA dan membran sel. Kerusakan yang sangat penting adalah putus (pecahnya) berkas ganda dari DNA single / double strand break (SSB/DSB), crosslinkage dalam rantai DNA dan perubahan basa-basa pembentuk DNA. Kerusakan DNA ringan, masih bisa diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system). Namun bila kerusakan DNA terlalu berat, proses perbaikan (nucleotide excision repair) tidak dapat dilakukan secara sempurna sehingga replikasi sel terganggu bahkan terjadi kematian sel. Rusaknya DNA secara aktif memicu kematian sel terprogram (programmed cell death) yang
commit to user
26 disebut sebagai apoptosis. Mekanisme kematian sel melalui apoptosis berbeda dengan nekrosis yang biasanya terjadi pada fase akut setelah terkena radiasi dosis tinggi (sel langsung mati) (Boag, 1975)
Komponen membran sel yang terpenting ialah fosfolipid dan glikolipid yang mengandung beberapa asam lemak tak jenuh (asam-asam linoleat, linolenat dan arakidonat), sangat peka terhadap serangan radikal bebas terutama OH-. Peroksidasi asam lemak tak jenuh pada membran sel menyebabkan penurunan fluiditas dan permeabilitas membran sel sehingga integritasnya menurun. Keadaan ini menyebabkan cairan ekstra seluler memasuki ruang intraseluler (intracellular fluid droplet) dan terjadi perubahan konsentrasi ion Na, K, dan Ca yang penting untuk mempertahankan fungsi sel. Hasil akhir peroksidasi lipid adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa toksik terhadap sel, antara lain MDA, Etana dan Pentana. Ketiga senyawa ini (terutama MDA) dapat dipakai sebagai petunjuk terjadinya peristiwa peroksidasi lemak membran sel. Senyawa toksik ini menimbulkan kerusakan membran yang semakin parah (terjadi lisis). Proses kematian sel dengan cara ini melalui 5 fase yaitu pre kondensasi, kondensasi, fragmentasi, fagositosis dan degradasi. Apoptosis diawali oleh ekspresi gen yang berefek peningkatan kadar kalsium intra sel yang menimbulkan aktivasi enzim endonuklease sehingga terjadi kondensasi kromatin pada inti sel (Boag, 1975; Maity, et al., 1994)
Radiasi menyebabkan fosforilasi dan penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP) yang mengakibatkan penurunan sintesis DNA. Hilangnya fosforilasi, kelainan atau gangguan susunan nukleotida DNA dan oksidasi
commit to user
27 merupakan efek primer radiasi yang menginduksi apoptosis. Radiasi ionisasi juga menyebabkan hambatan proses reproduktif dan berhentinya siklus proliferasi sel pada fase G1 (G1 arrest or block). Kerusakan membran sel dan DNA akan mengaktifkan signal transduction pathways yang mengakibatkan siklus sel berhenti (cell cycle arrest). Proses ini diawali dengan peningkatan ekspresi Ataxia-Teleangiectasia gene (AT) yang kemudian memicu peningkatan ekspresi gen p53 melalui transkripsi p21 yang merupakan inhibitor cdk dan menyebabkan siklus sel berhenti pada fase G1. Keadaan ini menguntungkan karena sel kanker yang berada dalam siklus pertumbuhan (cell cycle) lebih radiosensitif dibandingkan sel kanker yang berada pada fase istirahat (G0) (Coleman, 1993; Joiner, 1997)
Radiasi juga menghasilkan gelombang yang berefek sensitisasi p53 (tumor suppressor gene) yang memicu apoptosis. Kematian sel melalui mekanisme apoptosis ini diawali dengan kelainan genetik pada gen bcl2 yang berfungsi sebagai regulator dalam proses apoptosis. Apoptosis akibat radiasi disebabkan karena kerusakan atau kelainan susunan nukleotida DNA yang tidak dapat diperbaiki oleh sistem reparasi DNA. Radiasi dapat mengenai semua sel, baik sel kanker maupun sel normal. Sel yang terkena radiasi akan mengalami penurunan sintesis DNA sehingga kegiatan mitosis tertunda (Coleman, 1993; Chang, et al., 1997)
2.1.8.1.6. Pengaruh Terapi Radioterapi Terhadap Sistem Imun
Balkwill et al., (2001) menjelaskan bahwa segera setelah pemberian radioterapi terjadi gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan
commit to user
28 timbulnya berbagai macam infeksi (Balkwill, et al., 2001). Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase limfatiknya juga di leher , setelah diberikan radioterapi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat radioterapi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radioterapi dapat reversibel? Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radioterapi (Balkwill, et al., 2001).
Radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai sel efektor imunologik baik yang beredar di sirkulasi (sistemik) maupun di jaringan limfoid mukosa hidung, nasofaring dan tenggorok (ring of Waldeyer’s), yang termasuk dalam sistem imun mukosal. Efek radiasi pada sel imun dapat menurunkan prognosis penderita. Sel limfosit (white blood cells) adalah sel yang paling radiosensitif dan pertama kali menghilang dari sirkulasi, kemudian diikuti granulosit. Radioterapi dapat menyebabkan penurunan jumlah total limfosit serta kualitasnya. Setelah radioterapi, terjadi penurunan jumlah total limfosit sebesar 50-60% dibandingkan dengan sebelum radioterapi. Disamping limfosit T, radioterapi juga menyebabkan penurunan hitung limfosit B dan sel NK darah tepi. Sel-sel imun ini akan kembali normal pada 13 minggu setelah radioterapi dan yang paling lambat adalah sel T. Selain itu, sistem imun seluler