Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa
6) Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya
2.2. Virus Epstein-Barr
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun
Konsep immune surveillance atau pertahanan sistem imun dikemukakan pertama kali oleh Paul Ehrlich pada awal abad ke-20. Konsep ini menyatakan bahwa sistem imun mempunyai peran mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Walaupun hanya sedikit bukti langsung bahwa immune surveillance dapat melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor, beberapa hasil penelitian mendukung teori tersebut. Diantaranya seperti, adanya infiltrasi limfosit dalam jaringan tumor dan telah terbukti pula bahwa tumor dapat membangkitkan respons imun seluler spesifik (Kresno, 2001). Di samping itu antigen tumor yang dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai protein seluler yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutan. Penemuan ini mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah surveillance dan menghancurkan sel yang mengandung gen mutan yang dapat menyebabkan atau yang diasosiasikan dengan tumor ganas (Sukardja, 2000).
Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing bagi penjamu (host), dan immune surveillance mungkin dapat membatasi pertumbuhan beberapa jenis tumor, namun belum ada bukti bahwa sistem imun dapat mencegah pertumbuhan tumor ganas. Hal ini mungkin karena kecepatan pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan mekanisme efektor respons imun untuk mencegah pertumbuhan itu. Di samping kegagalan yang disebabkan oleh faktor penjamu (host), banyak tumor yang memiliki kemampuan untuk mengelak dari respons imun, dan proses pengelakan itu disebut tumor escape. (Riott, et al., 2001).
commit to user
51
2.3.2. Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap Respon Imun
Tumor escape atau mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap respon imun dapat terjadi akibat penurunan ekspresi MHC dan kegagalan pembuatan antigen (gambar 2.5) . Ekspresi MHC I dan II sering berkurang pada tumor-tumor tertentu, bahkan ada tumor yang tidak mengekspresikan MHC sehingga tidak mampu membentuk komplek MHC-peptida yang merupakan persyaratan untuk dikenal limfosit T sitotoksik (Abbas, et al., 2007). Di samping itu sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respons tumor seperti transforming growth factor (TGF-b) dan IL-10 yang menghambat fungsi makrofag dan limfosit. Fas Ligan yang diekspresikan sel kanker, berikatan dengan molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit akan menyebabkan kematian limfosit secara apoptosis (Hata, et al., 1998).
Gangguan perlawanan terhadap sel kanker dapat juga disebabkan oleh karena bahan yang diproduksi sel kanker seperti soluble antigen tumor, prostaglandin E2 dan TNF-α. Penurunan respons imun terhadap tumor, selain akibat faktor internal dan penyakit kanker sendiri, dapat juga akibat pembedahan, radioterapi atau kemoterapi yang diberikan (Kentjono., 2003). Toleransi terhadap antigen tumor dapat terjadi akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan antigen dalam bentuk tolerogenik. Contohnya adalah tumor yang disebabkan murine mammary tumor virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal karena menyusui (Abbas, et al., 2007). Disamping itu perubahan fenotipe tumor atau modulasi antigen permukaan tumor sebagai akibat pengikatan oleh antibodi juga menyebabkan
commit to user
52 tumor resisten terhadap mekanisme efektor sistem imun (Grenberg , 2001).
Gambar 2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun. (dikutip dari Abbas, et al., 2007)
Pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap mekanisme respons imun sebelum respons imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul pada percobaan di mana transplantasi tumor dalam jumlah kecil sel tumor akan menyebabkan tumbuhnya tumor letal, sedangkan transplantasi dalam jumlah besar, maka sel tumor ditolak (Abbas, et al., 2007). Fakta lain menunjukkan bahwa molekul tertentu seperti sialomucin, yang sering terikat pada permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit (Baratawijaya , 2004).
commit to user
53
2.3.3. Antigen Sel Tumor
Mekanisme penolakan jaringan alograf, merupakan contoh tentang cara sel tubuh melakukan pengawasan imunologik. Sel yang berubah dan berpotensi untuk menjadi ganas dapat diidentifikasi dan kemudian disingkirkan. Agar supaya mekanisme ini dapat berlangsung, sel-sel kanker harus menampilkan beberapa struktur permukaan baru yang dapat dikenal oleh sistem imun (Beverley, 2001).
Jaringan tumor yang sebenarnya berasal dari jaringan tubuh sendiri (self), pada umumnya mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Keasingan antigen tumor disebabkan oleh adanya mutasi dan disregulasi gen yang menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang tidak pernah diekspresikan dalam keadaan normal, dan protein ini dapat merangsang respons imun (Macdonal, et al., 2004).
Imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana tumor itu terbentuk. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor yang terbentuk akibat karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifitas dan sifat imunogenitasnya juga bergantung pada potensi karsinogen penyebab transformasi sel dan interaksi karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak bergantung pada sel dari mana tumor itu berasal (Robbin, 2002). Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik. Sel yang mengalami transformasi akan memunculkan antigen baru yang terbentuk dari antigen virion dan antigen produk gen virus yang berinteraksi dengan gen penjamu (host). Tumor yang diinduksi oleh virus yang sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama, dan bereaksi silang, apapun asal selnya. Sedangkan imunogenitas tumor jaringan yang sama akan
commit to user
54 berbeda apabila masing-masing diinduksi oleh virus yang berbeda (Kresno, 2001). Adanya respons imun tubuh terhadap pertumbuhan kanker pada penderita KNF secara in vitro dibuktikan dengan ditemukannya circulating antibodies seperti IgA/G anti EBV VCA, IgA/G anti EBV EA dan IgA/G anti EBNA (Kentjono, 2003).
2.3.4. Respon Imun Seluler Terhadap Tumor
Antigen sel kanker yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal oleh sel T sitotoksik CD8+. Dalam hal ini sel tumor berperan sebagai APC yang menyajikan proteinnya sendiri kepada sel T. Tumor yang diinduksi oleh virus onkogenik biasanya mengandung genom provirus terintegrasi dalam genom sel tumor dan sering mengekspresikan protein yang disandi oleh genom virus bersangkutan. Protein yang disintesis secara endogen ini dapat diproses dan diekspresikan bersama MHC kelas I, sehingga merupakan sasaran untuk aktivitas sel T sitotoksik CD8+. Contoh virus onkogenik adalah Virus Epstein Barr (EBV) yang berhubungan dengan KNF dan human papilloma virus (HPV) yang dihubungkan dengan kanker serviks. Untuk mengatasi infeksi EBV diperlukan respons imun seluler. Apabila terjadi defisiensi respons imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami transformasi ganas (Grenberg , 2001; Abbas, et al., 2007).
Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam mencegah pertumbuhan tumor dan bagaimana memodulasinya, diduga akan memegang peranan penting dikemudian hari. Hal ini berguna untuk meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan
commit to user
55 kekambuhan tumor, serta menghambat perkembangan tumor selanjutnya. Di samping itu dapat juga dipakai untuk menentukan jenis pengobatan dan pengembangan imunoterapi baik secara pasif maupun aktif (Lollinii, et al., 1999; Sukardja , 2000).
2.3.5. Respon Imun Humoral Terhadap Tumor
Meskipun peran imunitas seluler lebih banyak dibanding imunitas humoral, namun tubuh juga membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen. Di samping itu dapat juga melalui sel efektor antibodi dependent cellular cytotoxicity (ADCC) yang memiliki reseptor Fc, misalnya sel NK dan makrofag dengan cara opsonisasi atau dengan mencegah adhesi sel tumor. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel kanker yang bebas seperti leukemia dan metastase tumor dibanding terhadap tumor padat (Tannock, et al., 1992; Baratawidjaja, 2004).
2.3.6. Mekanisme Efektor Melawan Tumor
Pada beberapa penelitian terungkap bahwa baik respons imun humoral maupun respons imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan secara in vivo, dan berbagai mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro. (Kresno, 2001; Abbas, et al., 2007).
2.3.6.1. Sel T CD8+ (Cytotoxic T Lymphocytes)
Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara fenotip dan
commit to user
56 fungsional identik dengan sel T sitotoksik yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus. CD8 + T sel limfosit T sitotoksik (CTL s) merupakan sel yang mengeluarkan molekul yang merusak sel yang telah terikat dengan antigen. Ini adalah fungsi yang sangat berguna jika sel target terinfeksi virus karena sel biasanya hancur sebelum dapat merilis produk virus yang dapat menginfeksi sel-sel lain. Sel CD8+ mempunyai fungsi sitotoksik melalui dua mekanisme sebagai berikut :
a) Meningkatkan perforin yang mampu merusak membran sel dan menghasilkan enzim degradatif yang disebut granzymes;
b) Menginduksi kematian sel secara terprogram (apoptosis) (Levinsons, et al., 2003 ).
Perforin merupakan mediator cytolytic berupa protein yang diekspresikan oleh gen PRF1. Perforin dapat ditemukan pada granula sel T CD8+ dan NK sel. Setelah proses degranulasi sekresi perforin akan tersisipkan pada membran sel dan membentuk sebuah lubang dengan diameter yang berukuran sampai 20 nm (Liu, et al., 1995). Bagian perforin yang menancap pada membran tersebut adalah domain MACPF. Perforin bersinergi dengan membrane-attack complex yang dilakukan protein komplemen seperti C5a dan C5b (Fink, et al., 1992)
commit to user
57
Gambar 2.7. Struktur kristal dari perforin (dikutip dalam : Fink, et al., 1992)
Sel T sitotoksik dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Walaupun respons T sitotoksik mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, namun peningkatan respons sel ini merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang (Beverley, 2001). Pengikatan antigen melalui reseptor pada limfosit T sitotoksik merupakan sinyal atau rangsangan awal untuk dikeluarkannya berbagai sitokin. Selanjutnya T sitotoksik yang teraktivasi akan berubah menjadi cytotoxic T lymphocyte (CTL), yaitu T sitotoksik yang pernah terpapar dengan antigen tertentu dan diprogram untuk berproliferasi bila terpapar lagi dengan antigen tersebut. Sel T sitotoksik tidak akan berfungsi sebagai CTL kalau reseptor selnya tidak terikat pada antigen. Mekanisme pembunuhan sel kanker oleh CTL merupakan mekanisme apoptosis melalui jalur granzyme dan perforin. CTL akan melepaskan granul
commit to user
58 sitoplasik yang merusak sel kanker dalam hal ini granzyme dan perforin (Grenberg, 2001). Di samping itu CTL mengekspresikan Fas yang berinteraksi dengan Fas ligan yang ada di permukaan sel kanker. Setelah CTL berikatan dengan sel kanker melalui ikatan Fas-Fas ligan, CTL melepaskan perforin yang dapat merusak membran sel tumor dengan cara membuat lobang. Dalam granul CTL terdapat granzyme yang menyerupai protease dan berfungsi membunuh sel tumor. Granzyme dapat masuk ke dalam sitoplasma sel tumor melalui lobang yang telah dibuat oleh perforin sebelumnya. Untuk membunuh sel kanker, CTL harus melakukan kontak yang dekat sekali dengan sel kanker. Kontak langsung ini dimungkinkan melalui interaksi molekul permukaan CTL dengan molekul adhesi di permukaan sel tumor seperti leucocyte functional antigen 1 LFA-1) dengan intercelluler adhesive molecule-1 (ICAM-1), CD8+ dengan MHC kelas I dan CD2 dengan LFA-3. Kontak CTL dan sel kanker demikian erat sampai kedua membran saling berhimpit sehingga substansi seperti granzyme, serine protease, TNF-α dan faktor sitotoksik lainnya dapat dipindahkan kedalam sitoplasma kanker. Rusaknya membran sel kanker akibat efek perforin dan faktor sitotoksik serta disintegrasi osmotik menyebabkan sel kanker mati melalui proses nekrosis. Interaksi Fas (CTL) dengan Fas ligan sel kanker akan memicu aktivasi gen supresi sehingga terjadi kematian sel secara apoptosis (Dotti, et al., 2005).
commit to user 59 JALUR PERFORIN/GRANSIM