• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR ADOPSI DAN EFEKTIVITAS VARIETAS UNGGUL JAGUNG PUTIH

Karakteristik petani adopsi Varietas Unggul Jagung Putih

Keputusan petani dalam mengadopsi dan tidaknya teknologi Varietas Unggul Jagung Putih sangat beragam dan berhubungan dengan karakteristik petani yang juga sangat beragam. Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi (Soekartawi, 1988). Karakteristik petani dengan jumlah responden sebanyak 120 orang mencakup tiga desa/kecamatan, yaitu Desa Jatipohon Kecamatan Grobogan, Desa Godan Tawangharjo dan Desa Karangasem Kecamatan Wirosari pada Tabel 16.

Tabel 16. Karakteristik Responden berdasarkan desa di Kabupaten Grobogan Karakteristik Responden

Responden berdasarkan lokasi

Total Desa

Jatipohon

Desa Godan Desa Karangasem % Umur (tahun) -24 – 39 -40 – 55 -56 71 10 25 5 12 16 12 15 20 5 37 61 22 30,8 50,9 18,3 Jenis Kelamin -Laki-laki -Perempuan 24 16 38 2 40 - 102 18 85,0 15,0 Status Pernikahan -Belum menikah -Sudah menikah 2 38 - 40 - 40 2 118 1,7 98,3 Pendidikan -SD -SMP -SMA 33 3 4 27 8 5 30 5 5 90 16 14 75,0 13,0 12,0 Jumlah tanggungan (jiwa)

-0 – 3 -4 5 22 18 25 15 26 14 73 47 60,8 39,2 Pengalaman usahatani -1 - 18 tahun -19 – 37 tahun -38 - 56 tahun 31 8 1 18 15 1 30 9 7 79 32 9 65,8 26,7 7,5 Status Lahan -Milik Sendiri -Sanggeman -Pemilik-Sanggeman 21 16 3 29 1 10 40 - - 90 17 13 75,0 14,2 10,8 Luas Lahan (ha)

-< 0,25 -0,25 – 0,75 -0,76 – 1,25 18 18 4 16 18 6 2 35 3 36 71 13 30,0 59,2 10,8 Pendapatan (Rp/bulan) -<1.000.000 -1.000.000 – 5.000.000 -> 5.000.000 2 32 6 - 22 18 17 23 - 19 77 24 15,8 64,2 20,0 Sumber : Data primer

Umur

Umur petani sebagai responden pada tiga desa berkisar antara 24 – 71 tahun dengan rata-rata umur petani 46 tahun. Rata-rata usia ini merupakan usia yang cukup produktif dalam menghasilkan pendapatan (income), baik oleh diri sendiri maupun keluarga. Usia responden terbanyak berkisar antara 40 – 55 tahun sebanyak 61 orang (50,9 persen) dibandingkan usia muda 24 - 39 tahun sebanyak 37 orang (30,8 persen) dan usia 56 – 71 tahun sebanyak 22 orang (18,3 persen) dari total responden. Penyebaran usia masing-masing Desa dengan kategori umur 24 - 39 tahun paling banyak di Desa Karangasem sebanyak 15 orang (40,5 persen), Desa Godan 12 orang (32,5 persen) dan Desa Jatipohon sebanyak 10 orang (27 persen). Kategori umur 40 – 55 tahun yang paling banyak di Desa Jatipohon sebanyak 25 orang (41 persen), Desa Karangasem sebanyak 20 orang (32,8 persen), dan Desa Godan sebanyak 16 orang (26,2 persen). Sedangkan kategori umur 56 – 71 tahun terbanyak di Desa Godan sebanyak 12 orang (54,6 persen), Desa Jatipohon dan Karangasem masing-masing sama sebanyak 5 orang (22,7 persen).

Dilihat dari umur responden, masih ada petani berumur 71 tahun yang masih bekerja dimana seharusnya sudah memasuki usia pensiun (tidak produktif lagi) dikarenakan usia muda (24 - 39 tahun) tidak tertarik untuk bekerja sebagai petani jagung tetapi lebih memilih menjadi buruh bangunan/pabrik. Kondisi seperti ini harus diantisipasi bagaimana menarik minat usia muda untuk bekerja sebagai petani demi kelanjutan tenaga kerja di sektor pertanian (petani jagung) misalnya dengan memberikan pendidikan informal seperti pelatihan dan keterampilan berusahatani yang baik dan sesuai anjuran secara gratis. Umur petani akan mempengaruhi fisik dalam bekerja sehingga produktivitasnya cenderung juga akan menurun. Namun, petani yang masih muda enggan untuk menggantikan posisi sebagai petani karena pekerjaan di luar sektor ini seperti buruh pabrik dan bagunan lebih menarik. Jenis kelamin

Sebahagian besar bahkan hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 102 orang (85 persen) sedangkan perempuan hanya 18 orang (15 persen). Bahkan di Desa Karangasem Wirosari seluruh responden adalah laki-laki sebanyak 40 orang sedangkan di Desa Godan sebanyak 38 orang dan Desa Jatipohon sebanyak 24 orang. Sedangkan responden perempuan hanya terdapat di Desa Jatipohon sebanyak 16 orang dan Desa Godan sebanyak 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki yang bekerja sebagai petani di sawah/ladang/hutan sedangkan perempuan sebagian besar mengurus rumah tangga di rumah walau ada sebagian yang bekerja sebagai petani dan pengrajin.

Status Pernikahan

Petani responden sebagian besar sudah menikah, hanya 2 orang saja yang stausnya belum menikah di Desa Jatipohon. Petani yang sudah berkeluarga sebanyak 118 orang (98.3 persen), sedangkan yang belum menikah atau belum berkeluarga sebanyak 2 orang (1.7 persen).

Pendidikan Formal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir responden terbanyak adalah SD sebanyak 90 orang (75 persen), SMP sebanyak 16 orang (13 persen) dan SMA sebanyak 14 orang (12 persen). Apabila dilihat dari tingkat

pendidikan diatas bahwa pendidikan SD didominasi oleh responden kelas bawah, SMP didominasi oleh responden menengah sedangkan SMA oleh kelas atas. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial, maka semakin tinggi pula tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan ini menyebabkan semakin peka terhadap informasi dalam proses keputusan adopsi inovasi baru untuk VUB Jagung Putih. Tingkat pendidikan dapat dijadikan salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkat adopsi, karena tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara pandang, pola berpikir dan ilmu/manfaat dalam suatu adopsi. Sebagian besar responden adalah petani dan ibu rumah tangga sehingga kegiatan yang dilakukan hanya bertani padi, jagung dan bero.

Tanggungan keluarga

Jumlah tanggungan keluarga di tiga desa tersebut sebagian besar berjumlah 0 – 3 orang sebanyak 73 orang (60.8 persen) dan 4 - 6 orang sebanyak 47 orang (39.2 persen). Jumlah tanggungan keluarga antara 0-3 orang terbanyak di Desa Karangasem sebanyak 26 orang (35.6 persen) selanjutnya Desa Godan sebanyak 25 orang (34.3 persen) dan Desa Jatipohon sebanyak 22 orang (30.1 persen). Sedangkan jumlah tanggungan keluarga antara 4-6 tahun terbanyak di Desa Jatipohon sebanyak 18 orang (38.3 persen), Desa Godan sebanyak 15 orang (31.9 persen) dan Desa Karangasem sebanyak 14 orang (29.8 persen). Secara keseluruhan jumlah tanggungan keluarga mempunyai porsi yang sama di tiap Desa yaitu sebanyak 40 orang (33.33 persen).

Pengalaman Usahatani

Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian bahwa petani di Kabupaten Grobogan khususnya pada tiga desa (Desa Jatipohon, Desa Godan, dan Desa Karangasem) menunjukkan bahwa pengalaman usahatani para petani tersebut sungguh beragam dimulai dari 1-56 tahun. Pengalaman petani dalam berusahatani yang paling banyak berkisar antara 1- 18 tahun sebesar 79 orang (65,8 persen) dan yang paling sedikit berkisar antara 38 – 56 tahun sebesar 9 orang (7,5 persen), dan sisanya 32 orang (26,7 persen) dari total responden. Pengalaman berusahatani yang masih belum lama yaitu 1 - 18 tahun terbanyak di Desa Jatipohon sebanyak 31 orang (39,2 persen), sedangkan yang paling lama yaitu antara 38 – 56 tahun terbanyak di Desa Karangasem sebanyak 7 orang (77,8 persen), dan pengalaman antara 19 – 37 tahun terbanyak di Desa Godan sebanyak 15 orang (46,9 persen).

Status Lahan

Lahan pertanian yang terdapat pada tiga desa tersebut mempunyai agroekosistem yang berbeda-beda dan status kepemilikan lahan pertanian meliputi lahan milik sendiri sebanyak 90 orang (75 persen) dan sanggeman (lahan perhutani yang dipinjam pakai kepada petani setempat tanpa membayar sewa tetapi dengan adanya surat perjanjian pinjam pakai) sebanyak 17 orang (14.2 persen), dan petani yang memiliki status keduanya (pemilik dan sanggeman) sebanyak 13 orang (10.8 persen). Desa Jatipohon letaknya di dataran rendah merupakan lahan kering (tegalan) dan status kepemilikan lahan kebanyakan lahan sanggeman, Desa Godan merupakan lahan sawah tadah hujan dan kepemilikan sebaagian lahan sanggeman. Sedangkan Desa Karangasem letaknya di dataran sedang merupakan lahan sawah irigasi dan staus kepemilikan lahan semuanya milik sendiri. Lahan tersebut

sebagian besar ditanami padi, jagung, kedelai dan kacan-kacangan/umbi-umbian secara bergantian sesuai dengan kondisi iklim setempat.

Status kepemilikan lahan petani di Desa Karangasem yang ditanami padi dan jagung seluruhnya milik sendiri yakni sebanyak 40 orang (44.5 persen), Desa Godan sebanyak 29 orang (32.2 persen), dan Desa Jatipohon sebanyak 21 orang (23.3 persen). Sedangkan status lahan sanggeman hanya ada di Desa Jatipohon dan Desa Godan yang sebagian juga milik sendiri masing-masing sebanyak 19 orang (63.3 persen) dan 11 orang (36.7 persen).

Luas lahan

Petani jagung di Desa Jatipohon, Desa Godan dan Desa Karangasem mempunyai lahan pertanian yang tidak cukup luas. Luas lahan yang dimiliki oleh petani di tiga desa tersebut berkisar antara 0,04 - 1,25 hektar. Luas lahan tersebut digunakan untuk usahatani padi, jagung, dan kacang-kacangan serta umbi-umbian sesuai musim tanam (MT I dan MT II). Hampir semua rata-rata petani menanam jagung pada MT II setelah MT I ditanami oleh padi karena bertepatan dengan musim hujan. Luas lahan rata-rata yang dimiliki petani adalah 0,39 hektar yang ditanami jagung dan padi sesuai musim tanam (MT).

Luas lahan yang dimiliki oleh petani dikelompokkan menjadi tiga kriteria, yaitu : a) luas lahan dibawah 0,25 hektar sebanyak 36 orang (30 persen), b) antara 0,25 – 0,75 hektar sebanyak 71 orang (59.2 persen), c) diatas atau sama dengan 0,76 hektar sebanyak 13 orang (10.8 persen). Luas lahan yang paling banyak dimiliki petani berkisar antara 0,25 – 0,75 hektar karena lebih dari setengahnya, penyebarannya paling banyak di Desa Karangasem berjumlah 35 orang (49.3 persen), Desa Jatipohon dan Desa Godan mang-masing berjumlah 18 orang (25.4 persen). Sedangkan luas lahan < 0,25 hektar paling banyak di Desa Jatipohon berjumlah 18 orang (50 persen), Desa Godan berjumlah 16 orang (44.4 persen), dan Desa Karangasem hanya 2 orang (5.6 persen). Luas lahan diatas atau sama dengan 0,76 hektar paling banyak di Desa Godan berjumlah 6 orang (46.2 persen), Desa Jatipohon berjumlah 4 orang (30.8 persen), dan Desa Karangasem hanya 3 orang (23 persen).

Pendapatan

Petani jagung di tiga desa Kabupaten Grobogan mempunyai penghasilan yang cukup beragam berkisar antara 1.000.000 – 10.000.000 per bulan. Pendapatan petani rata-rata berkisar antara 1.000.000 – 5.000.000 per bulan (64.2 persen) yang diperoleh dari hasil usahatani tanaman pangan (padi, jagung, dan umbi-umbian). Pendapatan petani dibawah 1.000.000 per bulan hanya 15.8 persen dan diatas 5.000.000 sebesar 20 persen. Pendapatan petani diatas 5.000.000 per bulan termasuk dalam kategori tinggi terdapat di Desa Godan sebesar 75 persen dan dibawah 5.000.000 per bulan termasuk kategori rendah hanya terdapat di Desa Karangasem sebesar 89 persen. Pekerjaan sampingan lainnya sebagai pengrajin, pedagang, buruh untuk menambah pendapatan keluarga. Alasan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Minat/motivasi petani berdasarkan faktor pertimbangannya

Tingkat adopsi Varietas Unggul Jagung Putih merupakan ukuran sejauh mana inovasi teknologi yang diintroduksikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani serta lingkungan setempat. Petani juga mempertimbangkan lingkungan fisik dan sosial ekonomi petani dan tingkat kepercayan terhadap inovasi teknologi baru. Hasil penelitian untuk tingkat adopsi Jagung Putih di Kabupaten Grobogan pada tiga desa yaitu Desa Jatipohon, Godan dan Karangasem terhadap 120 responden/petani jagung sebesar 66,7 persen. Jagung Putih yang sudah dikonsumsi masyarakat di Kabupaten Grobogan sejak turun temurun adalah varietas lokal yang benihnya dari hasil persilangan sendiri oleh petani. Pandangan petani terhadap teknologi inovasi varietas Jagung Putih merupakan alasan petani dalam mengadopsi dan tidak mengadopsi. Alasan tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor-faktor yang bersifat mendorong (alasan petani mengadopsi) dan faktor-faktor yang bersifat menghambat (alasan petani tidak mengadopsi) dalam proses adopsi teknologi inovasi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih). Faktor pendorong utama adalah mengharapkan produksi dan harga yang lebih tinggi dari varietas unggul. Ketersediaan benih dan pupuk disediakan oleh Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) sesuai dengan kebutuhan usahatani merupakan faktor pendorong kedua yang menyebabkan petani mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih inovasi litbang. Hasilnya akan ditampung untuk dijual kepada mitra kerjasama dengan harga yang telah disepakati. Hal ini sangat dirasakan membantu petani dalam kekurangan modal usahataninya dan pemasaran hasil produksinya.

Sedangkan faktor penghambat utama bagi petani adalah tidak adanya jaminan harga yang lebih baik. Setiap panen jagung (panen raya) harga pipilan jagung otomatis turun, sementara harga merupakan salah satu faktor penentu bagi petani untuk bersemangat melakukan usahataninya dengan baik. Hampir semua petani menanam jagung hanya berorientasi untuk kebutuhan keluarganya dan menjual sebagian benihnya untuk modal usahatani musim tanam berikutnya. Faktor penghambat kedua adalah anggapan bahwa setiap program yang ditawarkan pemerintah membutuhkan biaya produksi yang tinggi sehingga mematahkan semangat petani untuk mengadopsi. Misalnya dengan pemakaian varietas unggul baru berarti boros dalam pemupukan, usahataninya harus dilakukan dengan sebaik- baiknya dan jika tidak maka resiko kegagalan hasilnya tinggi. Akibatnya biaya produksi yang telah dikeluarkan petani tidak kembali dan tidak ada lagi modal usahatani untuk musim tanam berikutnya. Faktor lainnya adalah kekurangan air pengairan yang dirasakan petani tidak mencukupi untuk mensuplai air di lahan- lahan petani pada saat dibutuhkan terutama pada musim kering yang berkelanjutan.

Minat/motivasi petani dalam adopsi Varietas Unggul Jagung Putih berdasarkan faktor pertimbangan dan melihat dari sifat inovasi teknologi, yaitu varietas unggul, indeks pertanaman bisa 2-3 kali, harga benih lebih murah, benih dapat ditangkar sendiri oleh petani, kesesuaian agroekosistem, mudah diterapkan/tidak rumit (gambar 11).

Gambar 11. Faktor –faktor yang dipertimbangkan petani mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih

Varietas unggul merupakan komponen teknologi yang memegang peranan penting dalam meningkatkan provitas, potensi hasil dan komponen pengendalian hama/penyakit. Benih Jagung Putih termasuk jenis komposit yang benihnya dapat diturunkan sampai beberapa kali sehingga harganya lebih murah dan petani bisa 2- 3 kali tanam. Ketersediaan benih di desa tersebut baru bisa mencukupi kebutuhan petani untuk pangan dan benih yang akan ditanam. Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) sesuai ditanam pada agroekosistem lahan sawah dan lahan kering (tegalan). Jagung Putih jensi komposit ini memiliki peluang yang lebih baik untuk dikembangkan pada lahan kering. Adaptasi wilayah/kesesuaian agroekosistem varietas Srikandi Putih terdapat di Desa Karangasem, sedangkan varietas Anoman di lahan kering (tadah hujan dan tegalan) di Desa Jatipohon dan Godan.

Petani yang membudidayakan Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) mencari informasi dari berbagai sumber, seperti mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Dinpertan Kabupaten Grobogan, bergabung dalam kelompok tani, mengikuti penyuluhan dan pendampingan dari PPL/PPS setempat. Penyuluh lapang setempat (PPL/PPS) memberikan penyuluhan/pendampingan kepada petani dengan pertemuan rutin kelompok tani yaitu satu kali sebulan supaya petani banyak mendapat informasi teknologi sehingga mudah menerapkannya. Rata-rata penyuluh membawahi tiga desa walaupun statusnya masih kebanyakan tenaga harian lepas (THL)

Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Varietas Unggul Jagung Putih Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih menggunakan model logit. Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi tingkat adopsi pada Varietas Unggul Jagung Putih pada tiga desa di Kabupaten Grobogan adalah umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan, pendapatan petani, pengetahuan/informasi teknologi, dukungan penyuluh, hama penyakit, dan ketersediaan benih. Faktor-faktor tersebut merujuk pada penelitian terdahulu atau sebelumnya bahwa variabel diatas merupakan variabel yang mempengaruhi suatu adopsi teknologi.

0 10 20 30 40 50 60 70 Varietas Unggul Indek Pertanaman bisa 2-3 kali Harga benih lebih murah Benih dapat ditangkar sendiri Kesesuaian agroekosistem Mudah diterapkan/ tidak rumit Persentase 66,7 49,2 44,2 40,8 17,5 7,5 66,7 49,2 44,2 40,8 17,5 7,5 Pers e n ta se

Untuk mengetahui variabel yang berpengaruh nyata dalam adopsi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih pertama adalah melihat hubungan antar variabel independen/ peubah dengan uji multikolinearitas kemudian dimasukkan dalam model Regresi logistik. Tujuannya untuk mengetahui apakah tiap-tiap variabel independen saling berhubungan secara linear, apabila sebagian atau seluruh variabel independen berkorelasi kuat berarti terjadi multikolinearitas (Gujarati, 2003). Uji multikolinearitas pada variable-variabel independen dilihat dari nilai tolerance dan VIF, hasilnya menunjukkan bahwa semua variabel independen pada model bebas dari multikolinearitas atau tidak ada multikolinearitas antar variabel independen dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan nilai VIF di bawah 10 dan nilai tolerance lebih besar dari 0,1, artinya pada model yang digunakan tidak terdapat korelasi antar variabel bebas dan data tergolong normal (Tabel 17). Tabel 17. Hubungan antara variabel independen (hasil uji multikolinearitas)

Variabel Tolerance VIF Keterangan

Umur 0,564 1,772 Normal Pendidikan 0,840 1,190 Normal Pengalaman 0,607 1,646 Normal Luas_lahan 0,846 1,182 Normal Pendapatan 0,755 1,325 Normal Informasi_teknologi 0,814 1,228 Normal Dukungan_Penyuluh 0,891 1,122 Normal HamaPenyakit 0,754 1,326 Normal

Ketersediaan Benih 0,883 1,133 Normal

Hasil pengujian asumsi diatas menyatakan bahwa tidak terdapat adanya multikolinearitas antar variabel independen sehingga model Regresi logistik relevan untuk digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani dalam mengadopsi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Hasil analisis fungsi logit faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi

Varietas Unggul Jagung Putih

Variabel independen B S.E. Wald Sig. Exp(B)

Umur (X1) ,006 ,027 ,050 ,823 1,006 Pendidikan (X2) ,181 ,124 2,147 ,143 1,198 Pengalaman (X3) ,033 ,023 1,991 ,158 1,033 Luas_lahan (X4) ,126 ,963 ,017 ,896 1,135 Pendapatan (X5) ,930 ,479 3,771 ,052* 2,536 Informasi_teknologi (X6) 1,363 ,569 5,742 ,017* 3,908 Dukungan_Penyuluh (D1) 1,254 ,512 5,996 ,014* 3,503 Hama Penyakit (D2) -1,746 ,706 6,108 ,013* ,175 Benih (D3) 2,181 ,860 6,432 ,011* 8,857 Constant -5,633 2,055 7,513 ,006 ,004 -2 Log likelihood = 111,342 Nagelkerke R Square = 0,405 Keterangan : *) signifikan pada 5%

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan model yang digunakan dengan regresi logistik ditunjukkan oleh nilai R square (R2) sebesar 0,41. Hal tersebut menunjukkan bahwa model dapat diterangkan oleh sekitar 41 persen peubah yang dimasukkan ke dalam model. Pengaruh faktor luar yang tidak masuk ke dalam model 59 persen. Peluang petani mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) dari sembilan variabel independen yang dimasukkan dalam model, terdapat lima variabel yang pengaruhnya nyata terhadap adopsi. Empat variabel berpengaruh nyata positif dan satu berpengaruh negatif.

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh model persamaan faktor-faktor yang mempengarui adopsi Varietas Unggul Jagung Putih sebagai berikut :

ln (p/(1-p)) = -5,633 + 0,006X1 + 0,181X2 + 0,033X3 + 0,126X4 + 0,930X5 +

1,363X6 + 1,254D1 - 1,746D2 + 2,181D3

Selanjutnya, Untuk mengetahui seberapa peran variabel yang berpengaruh nyata terhadap peluang petani mengadopsi ditunjukkan dengan Odd Rasio (OR) pada tabel 3 (kolom Exp (B)). Interpretasi dari nilai koefisien Odd Rasio dari variabel yang berpengaruh nyata adalah sebagai berikut :

1) Pendapatan petani berpengaruh nyata positif/searah terhadap adopsi Varietas Unggul Jagung Putih, dengan nilai Odd Rasio 2,536 menunjukkan bahwa setiap peningkatan pendapatan petani bertambah satu tingkat, maka peluang petani mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih menjadi 2,5 kali. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa petani yang berpenghasilan rendah supaya lebih diperhatikan dalam mensosialisasikan Varietas Unggul Jagung Putih, karena kelompok petani inilah kadang menjadi penghambat adopsi. Upaya mengatasinya bisa dilakukan dengan pemberian bantuan modal dengan kredit yang mudah diakses petani yang berpenghasilan menengah ke bawah dalam rangka mencapai kebersamaan petani untuk adopsi Varietas Unggul Jagung Putih secara terpadu dan menyeluruh.

2) Pengetahuan/informasi teknologi dengan ketersediaan dan kemudahan akses informasi, antara lain demfarm/demplot, pameran/ekspose, leaflet/brosur, dan peragaan informasi melalui media visual akan meningkatkan peluang adopsi sebesar 3,9 kali. Informasi yang tersedia dan mudah diperoleh petani tentang Varietas Unggul Jagung Putih akam menambah pengetahuan/wawasan serta keterampilan petani sedangkan keterbatasan informasi terkait input tersebut dapat menyebabkan rendahnya adopsi.

3) Dukungan penyuluh merupakan faktor yang mendukung cepat dan lambannya suatu adopsi teknologi. Pertemuan rutin dengan kelompok tani masing- masing desa dan sering kontak dengan penyuluh, mengadakan kursus/ pelatihan, demonstrasi lapang memiliki peluang adopsi 3,5 kali. Penyuluhan lebih ditujukan kepada petani yang kurang pendidikan karena sebagian besar hanya lulusan SD. Faktor ini didukung oleh penelitian Ebojeil CO, Ayinde TB dan Akogwu GO (2012) karena selain mendapat bantuan bahan dan dukungan teknis dengan murah, pengetahuan dan keterampilan nampaknya membantu petani menerapkan teknologi baru.

4) Untuk variabel yang secara nyata berpengaruh negatif adalah hama penyakit, dengan Odd Rasio 0,175 menunjukkan bahwa peluang petani untuk mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih sebesar kurang dari satu kali lipat. Hama penyakit yang umumnya menyerang tanaman jagung adalah bulai, apabila hama penyakit tersebut tinggi disebabkan perubahan iklim yang tidak menentu dan penggunaan pestisida tidak sesuai anjuran dapat mengakibatkan produksi menurun sehingga petani takut beresiko gagal panen sehingga berdampak rendahnya adopsi (pengaruh negatif antara hama penyakit tinggi dengan peluang adopsi petani).

5) Ketersediaan benih menunjukkan bawa peluang petani mengadopsi Varietas Unggul Jagung Putih sebesar 8,8 kali. Benih penjenis (BS) VU Jagung Putih (Anoman dan Srikandi Putih) bantuan dari Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan yang dikembangkan oleh kelompok tani tiga desa binaan sudah dilatih dalam penangkaran benih untuk pengembangan Jagung Putih ini. Karena termasuk jenis jagung komposit benihnya dapat diturunkan sampai beberapa kali yang diambil dari pertanaman sebelumnya sehingga benih tersedia pada saat tanam selanjutnya. Ketersediaan benih memang belum pada tahap pelabelan/sertifikasi karena perlu ijin dan proses dari BPSB, namun telah memenuhi kebutuhan petani di lapang saat pertanaman selanjutnya. Faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap adopsi Varietas Unggul Jagung Putih adalah karakteristik petani seperti umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, dan luas lahan. Umur petani yang diharapkan cepat mempertimbangkan keputusan suatu inovasi adalah umur yang termasuk usia muda 17-35 tahun sehingga perlu adanya upaya menarik minat usia muda dalam keberlanjutan usahatani Jagung Putih ini. Pendidikan formal yang rendah memberikan keterbatasan pengetahuan informasi teknologi Varietas Unggul Jagung Putih sehingga diperlukan pendidikan informal untuk menambah pengetahuan dan keterampilan petani.

Efektivitas teknologi Varietas Unggul Jagung Putih

Efektivitas merupakan kemampuan dalam melaksanakan suatu aktifitas- aktifitas secara fisik dan non fisik dalam mencapai suatu tujuan keberhasilan maksimal. Badan Litbang Pertanian telah berupaya menciptakan suatu inovasi berupa varietas unggul bau jagug putih dalam membantu mencapai tujuan dengan menjadikan Jagung Putih sebagai bahan alternatif substitusi beras dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok serta mendukung program diversifikasi pangan. Jagung Putih yang mulai tahun 2013 dikembangkan oleh petani di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, dianalisis tingkat efektifitasnya dari sudut pandang petani sebagai konsumen sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam pengembangannya kedepan.

Data yang dikumpulkan dari hasil kuesioner dan interview terhadap 15 responden dihitung skor masing-masing kepentingan dan kinerja. Skor kinerja dan kepentingan digunakan sebagai koordinat untuk memplotkan atribut-atribut individu pada matriks dua dimensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat efektifitas Jagung Putih di tiga desa tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan diagram IPA. Tabel yang digunakan adalah tabel rata-rata atribut (tabel 19).

Tabel 19. Skor penilaian atribut efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih dengan metode IPA

Indikator Atribut Kepentingan Kinerja

∑Yi n ̅ ∑Xi n ̅ Produktivitas 1 Luas_lahan 62 15 4,13 60 15 4,00 2 Adopsi_teknologi 64 15 4,27 58 15 3,87 3 Produksi 68 15 4,53 53 15 3,53 Kualitas 4 Karakteristik_VUB 63 15 4,20 50 15 3,33 5 Daya_tahan 68 15 4,53 53 15 3,53 6 Daya_hasil 72 15 4,80 58 15 3,87

Efisiensi 7 Biaya usahatani 64 15 4,27 50 15 3,33

8 Harga 67 15 4,47 43 15 2,87 9 Umur_panen 60 15 4,00 46 15 3,07 Keunggulan 10 Potensi_hasil 70 15 4,67 64 15 4,27 11 Toleran_kekeringan 69 15 4,60 59 15 3,87 12 Spesifik_lokasi 64 15 4,27 59 15 3,93 Kepuasan 13 Kandungan_Nutrisi 66 15 4,40 60 15 4,00 14 Ketersediaan_benih 67 15 4,47 57 15 3,80 15 Teknologi inovasi 64 15 4,27 58 15 3,87 Pengembangan 16 Diseminasi/penyebaran 57 15 3,80 52 15 3,47 hasil penelitian 17 Dukungan_kelembagaan 68 15 4,53 57 15 3,80 Jumlah 74,20 62,40 Jumlah atribut 17 17 ̿ 4,365 3,671

Data-data tersebut kemudian dimasukkan kedalam diagram Importance Performance yang hasilnya adalah sebagai berikut :

Gambar 12. Diagram efektivitas Varietas Unggul Jagung Putih dengan Importance Performance Analysis (IPA)

Prioritas Utama (A) Prioritas Rendah (C) Berlebihan (D) Pertahankan Prestasi (B)

Secara keseluruhan dapat dihitung tingkat kesesuaian (Tki) antara tingkat