• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Aksesibilitas

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Aksesibilitas

Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan aksesibilitas dan

keberlanjutan pendidikan anak nelayan diuji dengan menggunakan analisis regresi linear berganda yang menghasilkan persamaan sebagai berikut:

Y = 6,9350 + 0,0015 X1 - 0,0338 X2 + 0,0828 X3 + 0,0134 X4 - 0,4269 X5 + 0,5365 X6 + 0,1292 D1i - 0,2616 D2i

Keterangan: Y = Keberlanjutan pendidikan anak nelayan (tahun) a = Konstanta

X1 = Umur kepala keluarga (tahun)

X2 = Lama sekolah kepala keluarga (tahun) X3 = Usia ibu (tahun)

73

X5 = Jumlah tanggungan (jiwa) X6 = Pendapatan (Rupiah/bulan)

D1i = Status usaha, i = 1 untuk nelayan pemilik i = 0 untuk nelayan pandega D2i = Jenis kelamin anak , i = 1 untuk anak laki-laki

i = 0 untuk anak perempuan Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Pengaruh Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan Aksesibilitas dan Keberlanjutan Pendidikan Anak Nelayan

Peubah Koefisien Regresi Standar Error t hitung

Konstanta 6,9350 2,7933 2,4827

umur KK 0,0015 0,0823 0,0183

lama sekolah KK -0,0338 0,1057 -0,3195

umur ibu 0,0828 0,0870 0,9518

lama sekolah ibu 0,0134 0,1054 0,1267

jml tanggungan -0,4269* 0,3286 -4,3419

Pendapatan 0,5365* 0,7824 6,8563

status usaha 0,1292 0,8970 -0,1441

jk anak -0,2616 0,7550 -0,3464

Keterangan: * = t hitung > t table, hipotesis nol ditolak P value < 5%, hipotesis nol ditolak

Koefisien korelasi 0,8389

Koefisien determinasi disesuaikan 0,6273 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Nilai koefisien korelasi antara pendapatan, usia kepala keluarga, jumlah tanggungan, lama sekolah kepala keluarga, jenis kelamin anak, dan status usaha kepala keluarga dengan keberlanjutan pendidikan anak nelayan adalah sebesar 0,8389. Nilai korelasi sebesar ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara keberlanjutan pendidikan anak nelayan dengan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.

Hasil output memperlihatkan bahwa nilai koefisien determinasi yang disesuaikan adalah sebesar 0,6273. Untuk menilai seberapa besar variasi dari keberlanjutan pendidikan anak yang bisa dijelaskan oleh perubahan satu variasi dari nilai faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan digunakan nilai koefisien determinasi yang disesuaikan, karena memberikan nilai yang telah disesuaikan dengan jumlah variabel independen.

Hasil koefisien determinasi yang telah disesuaikan menunjukan nilai sebesar 0,6273 yang berarti 62,73% perubahan atau variasi keberlanjutan pendidikan anak nelayan bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya yaitu pendapatan, usia kepala keluarga, jumlah

tanggungan, lama sekolah kepala keluarga, jenis kelamin anak, dan status usaha kepala keluarga. Sedangkan 37,27% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diterangkan dalam model penelitian ini.

(a) Usia Kepala Keluarga dan Ibu

Hasil analisis regresi linear berganda untuk faktor umur kepala keluarga memiliki nilai koefisien positif, artinya semakin tua usia kepala keluarga

menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pendidikan anak akan semakin tinggi. Setiap terjadi peningkatan usia kepala keluarga sebesar satu tahun maka akan terjadi peningkatan keberlanjutan pendidikan anak nelayan sebesar 0,0015 tahun. Nilai thitung faktor usia kepala keluarga (X1) sebesar 0,265 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa faktor usia kepala keluarga (X1) tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Hasil analisis regresi linear berganda untuk faktor umur ibu memiliki nilai koefisien positif, artinya semakin tua usia ibu menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pendidikan anak akan semakin tinggi. Setiap terjadi peningkatan usia ibu sebesar satu tahun maka akan terjadi peningkatan keberlanjutan pendidikan anak nelayan sebesar 0,0828 tahun. Nilai thitung faktor usia ibu (X3) sebesar 0,9518 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645 Dari nilai thitung dan tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa faktor usia ibu (X3) tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Variabel usia kepala keluarga dan umur ibu menurut analisis secara kuantitatif tidak memiliki pengaruh yang signifikan Menurut Subrata (1986) diacu dalam Heryanto (1998) mengatakan bahwa usia dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, persepsi seseorang terhadap sesuatu, serta mempengaruhi cara

75

menyikapi sesuatu yang menjadi objeknya. Siagian (1995) diacu dalam Heryanto (1998) mengungkapkan bahwa selain berkaitan dengan tingkat kedewasaan seseorang, usia juga memiliki kaitan dengan kedewasaan psikologis yang berarti bahwa semakin lanjut usia seseorang diharapkan akan menunjukkan kematangan jiwa (dalam arti semakin bijaksana), semakin mampu berpikir secara rasional dan semakin mampu untuk mengendalikan emosi dan sifat-sifat lainnya yang

menunjukkan kematangan intelektual dalam sisi psikologis.

Dalam hal pendidikan anak, usia responden yang lebih muda memiliki penilaian positif dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan golongan usia tua. Responden pada golongan usia muda lebih cepat menerima, menyerap, dan beradaptasi terhadap lingkungan baru termasuk dalam penyerapan informasi. Nelayan responden di Muara Angke terbagi menjadi dua kelompok dengan jumlah nelayan yang berbeda pada kedua kelompok tersebut kelompok, yaitu sebanyak enam belas orang (40 persen) untuk kelompok usia muda yaitu

kelompok dengan usia responden kurang dari empat puluh tahun dan sebanyak 24 orang (60 persen) untuk kelompok usia tua dengan usia responden lebih dari empat puluh tahun. Responden pada kelompok usia tua ingin terus

menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan pada kebijaksanaan dan kematangan jiwa yang mereka miliki, serta pengalaman hidup mereka yang memperlihatkan bahwa seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi mampu mendapatkan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Responden pada kelompok usia muda ingin terus menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena informasi yang mereka peroleh menyebutkan bahwa pendidikan adalah hak anak dan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya. Pada kelompok usia muda selain memiliki persepsi positif tentang pendidikan diikuti pula dengan memasukkan anaknya ke pendidikan khusus dan mendorong anak-anaknya untuk memiliki keterampilan- keterampilan lain yang diharapkan dapat berguna dan menjadi bekal anaknya di masa yang akan datang.

(b) Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Ibu

Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor lama sekolah kepala keluarga (X2) memiliki nilai koefisien negatif, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan semakin rendah. Setiap terjadi penambahan lama pendidikan kepala keluarga selama satu tahun maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan berkurang sebanyak 0,3195 tahun. Nilai thitung faktor lama sekolah kepala keluarga (X2) 0,297 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebutdapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor lama sekolah kepala keluarga (X2) tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor lama sekolah ibu (X4) memiliki nilai koefisien positif, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan semakin tinggi. Setiap terjadi penambahan lama pendidikan ibu selama satu tahun maka tingkat

keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan bertambah sebanyak 0,0134 tahun. Nilai thitung faktor lama sekolah ibu (X4) 0,1267 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor lama sekolah ibu (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995) diacu dalam Heryanto (1998) pendidikan secara langsung dan tidak langsung akan menentukan baik buruknya pola komunikasi antara anggota keluarga dan imbas dari pendidikan orang tua akan mempengaruhi persepsinya terhadap pentingnya atau tidaknya pendidikan. Berdasarkan hasil uji statistik pada kasus keluarga nelayan responden di Muara Angke, tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu yang diukur berdasarkan lama sekolah kepala keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlanjutan pendidikan anak.

Hal ini terjadi karena banyaknya responden yang hanya pernah mengecap pendidikan di tingkat pendidikan dasar saja namun mereka memiliki kesadaran

77

akan pentingnya pendidikan bagi anak sebagai bekal untuk masa depan anak yang ditunjukkan oleh perilaku responden yang menyekolahkan anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilihat di tabel 16 dari sebaran tingkat pendidikan anak pada keluarga nelayan responden di Muara Angke.

Tabel 16 . Hubungan Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Anak Tingkat Pendidikan Anak Responden Jenjang Pendidikan Formal Orangtua BT SD Tamat SD BT SMP Tamat SMP BT SMA Tamat SMA BT PT Tamat PT Tidak Sekolah 1 1 Tidak Tamat SD 2 1 1 1 Tamat SD 4 3 3 6 2 1 1 Tidak Tamat SMP Tamat SMP 2 1 1 1 Tidak Tamat SMA Tamat SMA 1 2 1 2 1 Akademi 1 Total 4 9 4 9 5 5 2 2

Keterangan: BT = Belum Tamat

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebanyak empat belas belas orang anak nelayan responden (35,00 persen) mendapatkan pendidikan tingkat menengah (tamat sekolah menengah atas dan belum tamat sekolah menengah atas) hingga pendidikan tinggi (tamat perguruan tinggi hingga belum tamat perguruan tinggi), sebanyak sembilan orang (22,50 persen) diantaranya berasal dari keluarga nelayan dengan kepala keluarga yang hanya pernah mengecap pendidikan dasar bahkan terdapat satu orang anak yang berasal dari keluarga dengan kepala keluarga yang tidak pernah merasakan pendidikan formal sama sekali.

Berdasarkan hasil penelitian Heryanto (1998) disebutkan bahwa

pengalaman pendidikan memberikan kontribusi yang besar terhadap partisipasi menyekolahkan anak ke tingkat SLTP atau tingkat yang lebih tinggi. Hal tersebut tidak terjadi pada nelayan responden Muara Angke, karena walaupun nelayan

responden memiliki pendidikan rendah mereka tetap menginginkan kemajuan pendidikan bagi anak-anaknya.

Berdasarkan hasil regresi linear berganda, tingkat pendidikan kepala keluarga yang dihitung berdasarkan lama sekolah orang tua memiliki koefisien negatif. Koefisien negatif tidak menjelaskan secara mutlak bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua nelayan maka akan semakin rendah tingkat

pendidikan anak nelayan, karena ada faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor yang paling utama mempengaruhi adalah setengah dari jumlah keseluruhan responden (nelayan responden) masih berusia muda, sehingga belum memiliki anak pada jenjang pendidikan tinggi.

Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi keterlibatan dan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak. Bagi orang tua yang memiliki pendidikan tinggi tidak memandang pendidikan semata-mata hanya untuk menambah wawasan tetapi memandang pendidikan sebagai bekal untuk masa depan anaknya dan mereka tidak segan untuk mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya.

(c) Jumlah Tanggungan

Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor jumlah tanggungan keluarga (X5) memiliki nilai koefisien negatif, artinya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga dalam keluarga nelayan tersebut maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak akan semakin rendah. Setiap terjadi penambahan jumlah

tanggungan keluarga sebanyak satu orang maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan dalam keluarga tersebut akan berkurang sebanyak 0,4269 tahun. Nilai thitung faktor jumlah tanggungan kepala keluarga (X5) sebesar -4,3416 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol ditolak. Secara statistik dapat disimpulkan bahwa faktor jumlah tanggungan keluarga (X5) berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kecepercayaan 95%.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan regresi linear berganda, jumlah tanggungan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan dan koefisien yang didapatkan memiliki

79

nilai negatif yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan dalam keluarga tersebut maka tingkat pendidikan anak akan semakin rendah. Besar kecilnya jumlah tanggungan akan sangat berkaitan erat dengan tingkat pendapatan dan pengeluaran untuk keluarga ternasuk pengeluaran untuk biaya pendidikan.

Besarnya jumlah tanggungan akan sangat mempengaruhi pengeluaran untuk keluarga. Pengeluaran yang diperoleh akan lebih banyak dihabiskan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan primer anggota keluarga sehingga pendapatan yang dialokasikan untuk pendidikan anak akan semakin sedikit. Apalagi untuk keluarga yang tinggal di DKI Jakarta karena Jakarta merupakan kota dengan biaya hidup termahal kedua di Indonesia setelah Balikpapan, kota dengan biaya hidup termahal kedua setelah Singapura di ASEAN dan bahkan Jakarta menduduki peringkat ke sebelas kota dengan biaya hidup termahal di Asia (Detikfinance, 2008). Dengan semakin mahalnya biaya untuk mencukupi kebutuhan primer di Jakarta maka biaya yang dialokasikan untuk biaya pendidikan anaknya akan semakin sedikit sehingga dengan semakin banyaknya jumlah tanggungan maka tingkat pendidikan anak akan semakin rendah. Nelayan perlu mengatur jarak kelahiran anak dan menerapkan program Keluarga Berencana untuk

mengantisipasi besarnya biaya untuk membesarkan anak.

(d) Pendapatan Keluarga

Berdasarkan hasil persamaan regresi di atas, hasil analisis regresi untuk faktor pendapatan keluarga memiliki koefisien yang positif, artinya semakin besar pendapatan keluarga maka tingkat keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan semakin tinggi. Nilai thitung faktor pendapatan keluarga (X6) adalah sebesar 6,8563 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. Dari nilai thitung dan ttabel dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol ditolak. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor pendapatan keluarga (X6) memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Faktor pendapatan keluarga yang memiliki pengaruh yang signifikan bertolak belakang dengan hasil penelitian Suryani (2004) yang menyatakan bahwa pendapatan nelayan tidak mempengaruhi tingkat pendidikan anak nelayan. Rendahnya tingkat pendidikan anak pada keluarga nelayan di Muara Angke

disebabkan oleh kurang terjangkaunya biaya pendidikan, walaupun untuk pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah terdapat keringanan dengan adanya program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Nelayan responden mengatakan bahwa jarak sekolah yang jauh dari tempat tinggal nelayan responden menyebabkan orangtua nelayan harus mengeluarkan dana lebih untuk biaya transportasi anak-anak mereka menuju sekolah, sehingga walaupun sudah ada program BOS mereka harus tetap menyiapkan biaya yang cukup besar untuk biaya pendidikan anak mereka. Menurut beberapa orang responden transportasi anak nelayan ke sekolah rata-rata menggunakan becak dan sekali menggunakan alat transportasi tersebut penumpang becak dikenai ongkos sebesar Rp 3000,00. Selain biaya transportasi adanya biaya-biaya tambahan di sekolah seperti biaya pembelian LKS (Lembar Kerja Siswa) dan biaya untuk kegiatan ekstrakurikuler membuat biaya pendidikan semakin tinggi sehingga keluarga nelayan merasa tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya.

Ketika sudah lulus sekolah lanjutan tingkat pertama kepala keluarga nelayan menganggap bahwa anaknya sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan, apakah anak nelayan tersebut akan melanjutkan sekolah atau ikut bekerja membantu orang tua. Sikap tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Seperti diakui oleh salah seorang nelayan yang menginginkan anaknya untuk tetap berada di daerah asalnya yang bukan merupakan daerah nelayan dengan alasan anaknya akan disekolahkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Nelayan tersebut tidak mau anaknya terkontaminasi dengan keadaan lingkungan Muara Angke. Menurut nelayan tersebut rata-rata anak –anak nelayan yang tinggal di Muara Angke berpendidikan rendah dan kebanyakan mulai bekerja mencari nafkah sejak mereka kecil sehingga anak-anak nelayan tersebut melupakan pendidikannya.

81

Tabel 17. Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Tingkat Pendidikan Anak Tingkat Pendidikan Anak Responden Pendapatan total perbulan (Rupiah) BT SD T SD BT SMP T SMP BT SMA T SMA BT PT T PT 450.000 - 819.000 2 2 3 2 820.000 - 1.189.000 2 6 1 1 2 3 1.190.000 - 1.559.000 1 4 3 1 1 1.560.000 - 1.929.000 2 1 1 1 1.930.000 - 2.299.000 2.300.000 - 2.669.000 2.670.000 - 3.039.000 1 Total 4 9 4 9 5 5 2 2 Keterangan: T = Tamat BT = Belum Tamat Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Dilihat dari sebaran pendapatan, mayoritas nelayan yaitu sebanyak 24 orang (60 persen) berada pada selang pendapatan Rp 450.000,00 – Rp

1.189.000,00 dan 23 orang diantaranya memiliki penghasilan dibawah nilai KHL (Ketetapan Hidup Layak) dan nilai Upah Minimum Regional (UMR) yang sudah ditetapkan di Propinsi DKI Jakarta. Upah yang mereka dapatkan seringkali hanya mampu mencukupi kebutuhan dasar hidup mereka, yaitu kebutuhan akan

makanan, pakaian, dan tempat tinggal sehingga mereka tidak memiliki biaya lebih untuk meningkatkan pendidikan anaknya. Tabel 17 memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan tertinggi anak nelayan yang berpenghasilan di bawah UMR adalah tamat SLTP.

(e) Status Usaha

Status usaha dalam masyarakat nelayan yang dibedakan berdasarkan akses terhadap kepemilikan armada dan alat tangkap yaitu status usaha sebagai nelayan pemiliki atau juragan dan status usaha sebagai nelayan buruh (ABK). Status usaha tersebut diukur dengan menggunakan variabel dummy. Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor status usaha (D1i) menunjukkan nilai thitung sebesar -0,1441 dan ttabel sebesar 1,645. P value untuk status usaha nelayan sebesar 0,8864, lebih besar dari 0,05. Dari nilai thitung dan ttabel serta p value tersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat

disimpulkan bahwa faktor status usaha (D1i) tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Untuk menilai kedudukan responden di dalam penelitian ini digunakan pendekatan objektif yaitu dengan menilai kedudukan sosial nelayan berdasarkan status usaha. Status usaha nelayan dibagi berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap. Berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap status usaha nelayan dibedakan menjadi dua yaitu nelayan pemilik atau juragan dan nelayan pandhega atau nelayan buruh atau biasa juga disebut nelayan ABK.

Berdasarkan uji statistik, status usaha tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa baik nelayan pemilik maupun nelayan buruh sama-sama berusaha memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Uji statistik menunjukkan hasil positif yang menggambarkan bahwa semakin tinggi status usaha nelayan maka keberlanjutan pendidikan anak nelayan akan semakin tinggi, hal ini dikarenakan nelayan dengan status usaha yang lebih tinggi memiliki penghasilan yang lebih besar sehingga mereka memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

(f) Jenis Kelamin Anak

Jenis kelamin anak yang dibedakan antara anak perempuan dan anak laki- laki diukur dengan menggunakan variabel dummy. Hasil analisis regresi linear berganda pada faktor jenis kelamin anak (D2i) menunjukkan nilai thitung sebesar - 0,3464 sedangkan nilai ttabel sebesar 1,645. P value untuk faktor jenis kelamin anak sebesar 0,7314. Dari nilai thitung dan ttabel serta p valuetersebut dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol diterima. Secara stastistik dapat disimpulkan bahwa faktor jenis kelamin anak (D1i) tidak berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan pendidikan anak nelayan pada selang kepercayaan 95%.

Jenis kelamin anak digunakan sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan karena diduga masih terdapat perlakuan yang membedakan antara hak anak perempuan dan hak anak laki-laki. Dalam pemenuhan hak pendidikan anak, para responden menyatakan mereka tidak membeda-bedakan hak anak dalam mendapatkan kesempatan untuk

83

merasakan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Mereka menyatakan keinginan untuk bersekolah dikembalikan lagi pada sang anak, selama mereka merasa mampu untuk membiayai pendidikan anak mereka akan memberikan hak pendidikan yang layak kepada anak-anak mereka tanpa memandang jenis kelamin anak tersebut. Nelayan responden menyatakan banyaknya anak laki-laki yang menempuh pendidikan lebih tinggi dikarenakan anak-anak perempuan mereka memilih untuk berkeluarga di usia yang relatif muda.

(g) Keterdedahan terhadap informasi

Keterdedahan terhadap informasi mempengaruhi tingkat pendidikan nelayan karena dari informasi yang didapat oleh nelayan itulah akan terbentuk pola pikir mengenai penting atau tidaknya pendidikan anak. Informasi yang didapatkan nelayan mengenai pendidikan sangat terbatas, hal itu dapat dilihat dari penggunaan media informasi yang digunakan oleh nelayan. Media informasi yang banyak dimiliki oleh nelayan adalah radio dan televisi, namun hal yang sangat disayangkan adalah kebanyakan nelayan menggunakan kedua media informasi tersebut hanya untuk mendapatkan hiburan. Hal ini menyebabkan para nelayan lebih terfokus pada tayangan-tayangan yang bersifat hibutan dan kurang memperhatikan informasi-informasi terkini terutama informasi yang terkait dengan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari intensitas nelayan memanfaatkan media informasi di tabel 18.

Tabel 18. Intensitas Penggunaan Media Massa

Jumlah Intensitas penggunaan media massa

n (jiwa) Persentase (%)

sangat sering 23 69,70

Sering 6 18,18

Jarang 4 12,12

Total 33 100,00

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Dari tabel 18 terlihat bahwa masyarakat yang sangat sering menggunakan media massa adalah sebanyak 23 orang (69,70%) dari 33 orang nelayan yang memiliki media massa, enam orang sering (18,18%) menggunakan media massa,

dan hanya empat orang (12,12%) yang jarang menggunakan media massa. Namun dari tabel 19 terlihat bahwa mayoritas responden mendapatkan informasi mengenai pendidikan dari orang lain, yaitu dari pemuka masyarakat dan dari obrolan antar warga. Selain dari pemberitaan di media massa, informasi-

informasi mengenai pendidikan didapatkan responden dari sumber informasi lain yaitu pemuka masyarakat setempat, serta dari obrolan antar tetangga di

lingkungan mereka.

Tabel 19. Sebaran Responden Menurut Sumber Informasi Pendidikan Sumber informasi n (jiwa) Persentase (%) Orang Lain (Pemuka Masyarakat,

Obrolan antar tetangga) 7 17,50

Televisi 8 20,00

Orang lain dan televisi 13 32,50

Orang lain dan radio 1 2,50

Televisi dan radio 5 12,50

Koran dan televise 1 2,50

Orang lain, radio, dan televisi 2 5,00

Koran, radio, dan televisi 3 7,50

Total 40 100

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Dari tabel 19 diatas diketahui bahwa sebanyak tujuh orang responden (17,50%) mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain yaitu pemuka masyarakat setempat dan dari obrolan antar tetangga dan delapan orang (20,00%) mendapatkan informasi pendidikan dari televisi. Mayoritas responden

mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain dan televisi yaitu dengan jumlah responden sebanyak tiga belas orang (32,50%), satu orang (2,50%) mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain dan radio, lima orang (12,5%) mendapatkan informasi pendidikan dari televisi dan radio, dan terdapat satu orang yang mendapatkan informasi pendidikan dari koran dan televisi. Sebanyak dua orang (5,00%) responden mendapatkan informasi pendidikan dari orang lain, radio, dan televisi dan sebanyak tiga orang (7,5%) mendapatkan informasi pendidikan dari koran, radio, dan televisi.

Kurangnya penerimaan informasi tidak semata-mata disebabkan oleh kurang efektifnya penggunaan media massa tetapi juga akibat kurang tersedianya

85

informasi mengenai pendidikan di media massa, terutama radio dan televisi. Informasi-informasi pendidikan sebenarnya cukup banyak diberitakan di koran

Dokumen terkait