• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

5.2.4 Besar Keluarga

Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Keluarga dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu keluarga inti (nuclear family)dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti (nuclear family)yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum kawin, atau ayah dengan anak-anak yang belum kawin atau ibu dengan anak-anak yang belum kawin. Keluarga luas (extended family) yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak baik yang sudah kawin atau belum, cucu, orang tua, mertua maupun kerabat-kerabat lain yang menjadi tanggungan kepala keluarga (Data Statistik Indonesia, 2007).

Keluarga nelayan di Muara Angke yang menjadi responden sebagian besar termasuk tipe keluarga inti, kalaupun ada anggota keluarga lain yang tinggal di rumah mereka sifatnya hanya menetap sementara. Keluarga yang menjadi responden sebagian besar memiliki anggota keluarga lebih dari empat orang yaitu sebanyak 22 kepala keluarga (55,00%). Keluarga yang memiliki anggota

keluarga sebanyak empat orang yaitu sebanyak 12 keluarga (30,00%), dan jumlah keluarga dengan anggota keluarga kurang dari empat orang adalah sebanyak enam kepala keluarga (15,00 persen). Apabila jumlah tanggungan keluarga ini

dikelompokkan berdasarkan kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN 2001) yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤

4 orang dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang, maka sebagian besar keluarga responden merupakan keluarga kecil yaitu sebanyak 18 keluarga (45,00%) dan sebanyak 22 keluarga (55,00%) termasuk dalam kategori keluarga besar (Tabel 11).

Tabel 10. Sebaran Keluarga Nelayan Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga

Total Jumlah Tanggungan

Keluarga n (jiwa) Persentase (%)

Keluarga Kecil ( ≤ 4 orang) 18 45,00

Keluarga Besar (>4 orang) 22 55,00

Total 40 100,00

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Banyaknya jumlah tanggungan keluarga responden yang berjumlah lebih dari empat orang memperlihatkan bahwa program Keluarga Berencana (KB) di wilayah Muara Angke belum menunjukkan hasil yang baik karena target dari program KB adalah setiap keluarga cukup memiliki dua orang anak saja. Semakin besar tanggungan keluarga menyebabkan pendapatan perkapita keluarga semakin kecil. Jumlah anak yang diinginkan dapat dijadikan dasar untuk melihat

pandangan suatu masyarakat terhadap anak.

5.2.5 Pendapatan Keluarga

Pendapatan total keluarga diperoleh dari pendapatan ayah, ibu, dan anak yang sudah bekerja serta pendapatan anggota keluarga lain uang ikut

menyumbang. Besarnya pendapatan dinyatakan dalam rupiah per bulan.

Pendapatan total keluarga nelayan responden yang dikemukakan dalam penelitian ini didapat jumlah pendapatan total keluarga selama satu bulan terakhir sebelum penelitian dilaksanakan. Berdasarkan data yang didapat, pendapatan total keluarga nelayan berkisar antara Rp 450.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00 perbulan dengan rata-rata Rp 1.137.375,00. Pendapatan terbesar didapat dari pendapatan per bulan ayah.

67

Tabel 11. Hasil Analisis Pendapatan Keluarga Keterangan Y (Rp/Bulan) Y1 (Rp/Bulan) Y2 (Rp/Bulan) Y3 (Rp/Bulan) Pendapatan Maksimal 3.000.000 3000.000 600.000 250.000 Pendapatan Minimal 450.000 450.000 120.000 70.000 Pendapatan Rata-Rata 1.137.375 1.137.375 260.294 151.235 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Keterangan: Y = Pendapatan total keluarga (Rp per bulan) Y1 = Pendapatan ayah ( Rp per bulan)

Y2 = Pendapatan ibu (Rp per bulan)

Y3 = Pendapatan anggota keluarga lain (Rp per bulan)

Pendapatan total keluarga nelayan buruh (ABK) di kawasan Muara Angke yang menjadi responden berkisar antara Rp 450.000,00 hingga Rp 1.929.000,00 per bulan. Pendapatan rata-rata nelayan buruh (ABK) adalah sebesar Rp 1.020.000,00 dengan mayoritas buruh berpenghasilan antara Rp 820.000,00 hingga Rp 1.189.000,00 dengan jumlah nelayan buruh yang memiliki penghasilan pada rentang penghasilan tersebut adalah sebanyak empat belas orang (42,42%). Hanya terdapat dua orang nelayan buruh (6,06%) yang memiliki penghasilan antara Rp 1.560.000,00 hingga Rp 1.189.000,00.

Untuk mengukur cukup atau tidaknya pendapatan yang diperoleh nelayan buruh tersebut untuk mencukupi kehidupan digunakan Upah Minimum Regional. Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan, atau buruh di lingkungan usaha atau kerjanya, selain Upah Minimum Regional ada pula Upah Minimum Propinsi yang ruang lingkupanya biasanya hanya meliputi suatu propinsi. UMR dan UMP dihitung berdasarkan nilai kebutuhan hidup layak (Wikipedia, 2008). Pemerintah propinsi DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Propinsi untuk DKI Jakarta pada tahun 2008 sebesar Rp 972.604,00 yang telah mengalami kenaikan sebesar delapan persen dari UMP tahun sebelumnya yang sebesar Rp 900.555,00. Namun nilai UMP DKI Jakarta berbeda dengan nilai KHL (Kebutuhan Hidup Layak) DKI Jakarta. Kebutuhan Hidup Layak adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik, dan sosial untuk kebutuhan selama satu bulan. KHL DKI Jakarta adalah senilai Rp 1.055.000,00

(Tempointeraktif, 2008). Berdasarkan UMP DKI Jakarta maka masih terdapat sembilan belas orang nelayan buruh yang berpenghasilan di bawah UMP DKI Jakarta dan jika menggunakan KHL maka masih terdapat 23 nelayan buruh responden yang memiliki penghasilan dibawah nilai KHL DKI Jakarta.

Pendapatan yang kecil tersebut dikarenakan seluruh nelayan buruh yang menjadi responden merupakan nelayan buruh yang bekerja pada kapal-kapal kecil. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, seluruh anggota keluarga nelayan bahu-membahu mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Beberapa istri nelayan buruh tersebut turut bekerja mencari nafkah dan terdapat pula beberapa anak dari keluarga buruh nelayan yang ikut bekerja. Anak-anak yang ikut bekerja tersebut ada yang tetap melanjutkan sekolahnya, namun ada juga beberapa anak yang setelah bekerja memutuskan untuk keluar dari sekolah. Tabel 12. Sebaran Pendapatan Total Perbulan Berdasarkan Status Nelayan

Juragan Buruh Total Pendapatan Total Perbulan (Rupiah) n (jiwa) Persen- tase (%) n (jiwa) Persen- tase (%) n (jiwa) Persen- tase (%) 450.000 - 819.000 0 0,00 9 27,27 9 22,50 820.000 - 1.189.000 1 14,29 14 42,42 15 37,50 1.190.000 - 1.559.000 0 0,00 8 24,24 8 20,00 1.560.000 - 1.929.000 5 71,43 2 6,06 7 17,50 1.930.000 - 2.299.000 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2.300.000 - 2.669.000 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2.670.000 - 3.039.000 1 14,29 0 0,00 1 2,50 Total 7 100,00 33 100,00 40 100,00

Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2008

Untuk kelompok nelayan pemilik yang menjadi responden, pendapatan total keluarga berkisar antara Rp 820.000,00 hingga Rp 3.000.000,00 per bulan dengan mayoritas nelayan pemilik memiliki penghasilan antara Rp 1.560.000,00 hingga Rp 1.929.000,00 yaitu sebanyak lima keluarga nelayan pemilik (71,43 persen), satu keluarga nelayan pemilik memiliki penghasilan antara Rp

820.000,00 hingga Rp 1.189.000,00 per bulan dan terdapat satu keluarga nelayan pemilik yang memiliki penghasilan antara Rp 2.670.000,00 hingga Rp

3.039.000,00 per bulan. Terdapat satu orang nelayan pemilik yang mendapatkan penghasilan di bawah UMR dan KHL. Jika menggunakan indikator kemisikinan

69

yang digunakan World Bank yaitu pengukuran tingkat kemiskinan dengan menggunakan pendapatan perkapita. Sebuah keluarga disebut miskin jika memiliki pendapatan perkapita kurang dari $2 atau sebesar kurang lebih Rp 20.000,00 pada bulan Agustus 2008 , dan keseluruhan nelayan responden dalam penelitian ini tergolong ke dalam keluarga muskin karena memiliki pendapatan perkapita kurang dari $2 sehari.

Mayoritas nelayan pemilik yang menjadi responden menggunakan armada penangkapan ikan yang berukuran kecil dengan peralatan tangkap yang masih sederhana. Kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya daerah penangkapan ikan sehingga mereka hanya mampu beroperasi dan hanya berkonsentrasi di daerah sekitar penangkapan yang biasa mereka datangi tanpa mampu melebarkan daerah penangkapan untuk meningkatkan produksi. Semakin sederhana peralatan produksi yang digunakan para nelayan maka semakin besar ketergantungannya pada alam yaitu pada musim dan iklim.

Dokumen terkait