• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETANI JAGUNG

6 ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI JAGUNG

Pemilihan Model Fungsi Produksi

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan koefisien fungsi produksi antara fungsi produksi VUB dan fungsi produksi VUL digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Model ini juga digunakan untuk menduga return to scale. Koefisien fungsi produksi diduga dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Dalam pendugaan fungsi produksi dilakukan dengan 4 model yaitu model fungsi produksi VUB (model I), model fungsi produksi VUL (model II), model fungsi produksi gabungan tanpa dummy varietas (model III) dan model fungsi produksi gabungan dengan dummy varietas (model IV). Hasil pendugaan disajikan pada Tabel 27. Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa koefisien determinasi berkisar antara 0.71 sampai dengan 0.90. Hal ini menunjukkan

bahwa besarnya variasi produksi jagung yang dapat dijelaskan oleh variasi input- input yang masuk dalam model berkisar antara 71 persen sampai 90 persen.

Untuk menentukan sifat pergeseran fungsi produksi jagung dari VUL ke VUB dilakukan dengan membandingkan model I, model II dengan model III dan model IV. Dari analisis varians (Lampiran 8) diperoleh nilai F ratio sebesar 2.36 yang lebih kecil dari nilai F pada taraf 1 persen dengan derajad bebas 7 dan 339 (nilai F tabel 2.64) sehingga hipotesis kesamaan elastisitas produksi dari berbagai input antara VUL dan VUB diterima. Dengan membandingkan regresi pada model III dan model IV diperoleh nilai F ratio sebesar 126.08 yang lebih besar dari nilai F pada taraf 1 persen dengan derajad bebas 1 dan 346 (nilai F tabel 6.63). Ini berarti terdapat perbedaan yang sangat nyata antara model III dan model IV. Kemudian perbedaan model tersebut disebabkan oleh adanya variabel

dummy pada model IV, yang berarti bahwa terdapat perbedaan intersep antara kedua model tersebut. Berdasarkan analisis kesamaan elastisitas dan kesamaan

intersep maka dapat disimpulkan bahwa perubahan teknologi dari VUL ke VUB bersifat netral. Sehingga perubahan teknologi tersebut tidak mempunyai efek terhadap perubahan ratio penggunaan kapital terhadap tenaga kerja. Berdasarkan pengujian kesamaan koefisien regresi diatas maka model analisis yang selanjutnya digunakan adalah model fungsi produksi gabungan dengan dummy variabel (model IV).

Pengujian selanjutnya adalah untuk mengetahui return to scale dari fungsi produksi yang dianalisis. Dengan memasukkan pembatasan (retriksi) elastisitas fungsi produksi sama dengan satu pada model IV. Hasil pendugaan disajikan pada Lampiran 14. Dari hasil pendugaan diperoleh retriksinya nyata pada taraf 1 persen yang berarti bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa jumlah koefisien fungsi produksi atau elastisitas sama dengan satu ditolak, yang berarti bahwa fungsi produksi tersebut tidak constant return to scale. Oleh karena itu untuk analisis selanjutnya tetap digunakan model IV. Dalam model IV diperoleh jumlah koefisien fungsi produksi (elastisitas) sebesar 1.05 yang berarti bahwa fungsi produksinya increasing return to scale. Jika semua input masing-masing ditingkatkan 10 persen maka produksinya akan meningkat sebesar 10.5 persen.

Pengujian asumsi multikollinearity digunakan Variance Inflation Factor

(VIF) semua variabel yang dimasukkan dalam model mempunyai nilai VIF yang kurang dari 10 yang berarti bahwa tidak terdapat multikollinearity yang serius diantara variabel-variabel yang masuk dalam model sehingga model IV dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006) jika nilai VIF≥10 diyakini terdapat masalah multikolinearitas antara variabel-variabel yang mempunyai nilai VIF tersebut.

Model IV diperoleh bahwa koefisien determinasi model IV adalah sebesar 0.87 yang berarti bahwa variasi luas lahan, benih, urea, phonska, pupuk pelengkap cair, pestisida dan variabel dummy varietas dapat menjelaskan variasi produksi sebesar 87 persen (Lampiran 12). Dari hasil tersebut juga diperoleh F ratio sebesar 288.78 yang sangat nyata pada taraf kurang dari 1 persen. F ratio sebesar itu menunjukkan bahwa variabel-variabel yang masuk dalam model secara bersama- sama mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi. Koefisien dari variabel-variabel yang masuk dalam model mempunyai tanda positif yang nyata pada taraf 9 persen atau kurang. Koefisien fungsi produksi Cobb-Douglas juga menunjukkan elastisitas produksinya. Elastisitas produksi untuk input lahan,

input benih, input pupuk urea, input pupuk phonska, input pupuk pelengkap cair, input pestisida, input tenaga kerja dan dummy varietas berturut-turut sebesar 0.49, 0.08, 0.15, 0.05, 0.3, 0.13, 0.13 dan 0.37. Sebagai contoh elastisitas lahan sebesar 0.49, berarti jika luas lahan meningkat sebesar sepuluh persen dengan asumsi faktor-faktor lainnya tetap, maka produksi jagung akan meningkat sebesar 4.9 persen.

Tabel 27 Hasil pendugaan fungsi produksi jagung varietas unggul baru, varietas unggul lama, gabungan tanpa dummy, dan gabungan dengan dummy di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012

Variabel Varietas unggul baru Varietas unggul lama Gabungan tanpa dummy Gabungan dengan dummy

Koefisien Pr> |t| Koefisien Pr > |t| Koefisien Pr > |t| Koefisien Pr > |t|

Konstanta 7.07 <.00 5.61 <.00 6.02 <.00 6.15 <.00 Luas Lahan 0.59 <.00 0.36 0.001) 0.51 <.00 0.49 <.00 Benih 0.12 0.001) 0.09 0.25 -0.26 <.00 0.08 0.061) Urea 0.06 0.07 0.27 0.00 0.19 <.00 0.15 0.00 Phonska 0.03 0.24 0.07 0.13 0.08 0.021) 0.05 0.06 PPC 0.03 0.12 0.06 0.15 0.03 0.13 0.03 0.09 Pestisida 0.14 <.00 0.08 0.11 0.20 <.00 0.13 <.00 Tenaga Kerja 0.12 0.04 0.09 0.10 0.34 <.00 0.13 0.00 DummyVarietas 0.37 <.00 DF 219 120 347 346 R-Square (R2) 0.90 0.71 0.82 0.87 Adj R-Sq 0.90 0.69 0.82 0.87 MSE 0.03 0.07 0.05 13.82 SEE 6.26 6.92 18.86 0.04 F ratio 283.51 41.71 229.35 288.78

Keterangan : Angka 1)adalah nilai yang dibagi dua atau dari satu sisi (bantil) pada masing-masing kolom yang sama

Pendugaan Fungsi Produksi Stochastik Frontier Jagung di Provinsi Gorontalo

Berdasarkan pemilihan model yang telah diuraikan diatas maka untuk menduga efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis digunakan model fungsi produksi gabungan dengan dummy variabel (dummy varietas). Model fungsi produksi Cobb-Douglas gabungan dengan dummy variabel diduga dengan metode Maximum Likelihood Estimator (MLE). Oleh karena dalam pendugaan model juga ingin diketahui faktor-faktor inefisiensi teknis maka dalam pendugaan dengan metode MLE dilakukan secara simultan dengan menggunakan program frontier4.1. Hasil pendugaan disajikan pada Tabel 28.

Nilai gamma

merupakan kontribusi dari efisiensi teknis didalam efek residual total. Nilai

yang mendekati 1 yaitu 0.81 keduanya tidak berbeda nyata dengan nol atau nyata berpengaruh pada taraf 1 persen (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa 81 persen dari variasi hasil diantara petani contoh disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 19 persen disebabkan oleh efek-efek stochastic seperti pengaruh iklim, serangan hama penyakit, dan kesalahan dalam pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh inefisiensi teknis merupakan faktor yang berpengaruh nyata di dalam variabilitas output.

Nilai gamma (

) dalam penelitian ini lebih rendah daripada gamma (

) yang ditemukan oleh Kurniawan (2008) pada petani jagung di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan sebesar 0.86; Msuya et al. (2008) pada petani jagung di Tanzania sebesar 0.96. Namun nilai gamma (

) dalam penelitian ini lebih tinggi daripada nilai gamma (

) yang ditemukan oleh Oyewo dan Fabiyi (2008) pada petani jagung di Surulere Local Goverment Area Oyo State, Nigeria sebesar 0.56; Bravo, Ureta-Pinheiro (1997) pada petani jagung di Dominican Republic sebesar 0.52; Kibaara (2005) pada petani jagung di Kenya sebesar 0.79.

Nilai ratio generalised-likelihood (LR) dari usahatani jagung lebih besar dari nilai tabel artinya secara statistik nyata pada taraf 5 persen (diperoleh dari tabel distribusi X Chi Square). Hal ini mempunyai arti nilai LR test secara kuat menolak hipotesis bahwa tidak ada efek inefisiensi. Artinya hampir semua variasi dalam keluaran dari fungsi produksi frontier dapat dianggap sebagai pencapaian efisiensi teknis berkaitan dengan persoalan manajerial dalam pengelolaan usahatani jagung. Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier

menunjukkkan nilai elastisitas produksi batas (frontier) dari input-input yang digunakan.

Tabel 28 Hasil pendugaan fungsi produksi stochastic frontier pada usahatani

jagung dengan menggunakan metode Maximum Likelihood

Estimation (MLE) di Provinsi Gorontalo pada tahun 2012

Variabel Koefisien Standar -error t-ratio

Konstanta 6.24 0.26 23.89

Lahan (X1) 0.42*** 0.04 9.62 Benih (X2) 0.13*** 0.05 2.67

Urea (X3) 0.15*** 0.03 4.36

Phonska (X4) 0.07** 0.03 2.19 Pupuk pelengkap cair (X5) 0.04** 0.02 1.94 Pestisida (X6) 0.12*** 0.02 5.16 Tenaga kerja (X7) 0.11*** 0.04 2.57 Dummyvarietas (D) 0.35*** 0.03 11.27 Sigma-squared (σ2) 0.07*** 0.02 3.63 Gamma (γ) 0.81*** 0.06 12.55 L-R test 45.82 Keterangan :

*** = nyata pada taraf 1 persen; ** = nyata pada taraf 5 persen; * = nyata pada taraf 10 persen

Variabel lahan nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen. Parameter dugaan variabel lahan pada petani paling besar 0.42 dibandingkan dengan variabel lain yang artinya jika lahan diperluas satu persen maka produksi akan meningkat. Dengan kata lain apabila luas lahan bertambah 1 persen dengan input lainnya tetap maka produksi jagung meningkat dengan tambahan produksi 0.42 (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa produksi jagung sangat responsif terhadap luas lahan, atau dengan kata lain lahan merupakan faktor dominan dari produksi jagung di Gorontalo. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Anupama (2005), Oyewo dan Fabiyi (2008), Mignouna et al.

(2010), Msuya et al. (2008), Antara (2010) yang melaporkan lahan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi jagung. Namun terjadi kontradiktif dengan hasil penelitian Olawa dan Olawa (2010) bahwa tidak ada pengaruh yang nyata luas lahan terhadap produksi.

Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa luas penguasaan lahan untuk usahatani jagung VUB yaitu 1.26 hektar lebih luas dibandingkan dengan penguasaan lahan pada petani jagung VUL yaitu 1.18 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa jagung VUB lebih banyak dibudidayakan oleh petani, karena pembudidayaan jagung VUB memberikan produksi yang lebih tinggi walaupun input teknologi cukup tinggi dan modal yang besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani jagung masih dapat di tambah luas lahannya dengan memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan di Provinsi Gorontalo. Potensi lahan kering di Provinsi Gorontalo 447 948 hektar, untuk pengembangan jagung 220 406 hektar, yang sudah dimanfaatkan 99 176 hektar (45 persen) sedangkan yang belum dimanfaatkan 121 230 hektar (55 persen) (Lampiran 5). Implikasinya adalah perlu memanfaatkan lahan yang selama ini belum dimanfaatkan dan optimalisasi lahan melalui peningkatan intensitas pertanaman.

Variabel benih nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen, benih mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata serta mempunyai elastisitas produksi sebesar 0.13. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah benih sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung dengan penambahan produksi sebesar 0.13 persen di daerah penelitian. Produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh banyaknya jumlah benih yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi responsif terhadap benih.

Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa rata-rata benih jagung yang digunakan oleh petani responden sebanyak 17.61 kg per hektar. Penggunaan benih VUB sebanyak 15.26 kg per hektar lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan benih VUL yaitu sebanyak 22.07 kg per hektar. Penggunaan benih yang tinggi oleh petani karena kualitas benih yang digunakan oleh petani tergolong rendah sehingga daya tumbuhnya juga rendah. Petani menggunakan benih berlebih untuk mengantisipasi daya tumbuh benih yang rendah. Selain itu ketersediaan benih pada saat musim tanam tiba dalam jumlah yang dibutuhkan belum tersedia tepat waktu, disamping itu harga benih jagung (VUB) relatif lebih mahal.

Antisipasi kekurangan benih pada saat musim tanam tiba sebagian besar petani jagung menggunakan benih hasil produksi sebelumnya atau membeli benih jagung yang tidak bersertifikat kepada petani lain. Ketersediaan benih bersertifikat dalam jumlah yang cukup belum tersedia. Dengan demikian ketersedian benih dan distribusi benih varietas unggul sangat penting difasilitasi oleh pemerintah karena petani masih menghadapi permasalahan baik ketersediaan maupun kualitas benih. Pendapat Rusastra et al. (2011) bahwa difusi teknologi tidak berjalan sesuai harapan adalah, karena akibat pengadaan benih yang bersifat sentralistik khususnya di daerah dimana akses petani terhadap benih telah berjalan bagus, baik yang bersumber dari kios saprodi terdekat atau yang berasal dari penangkar benih lokal. Implikasinya adalah perbaikan produksi dan distribusi benih di lokasi,

peningkatan penangkar benih di lokasi serta dukungan benih unggul dengan harga yang terjangkau.

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Kibaara (2005) bahwa benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Kenya; Essilfie et al.(2011) benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Ghana; Isaac (2011) benih berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Oyo Nigeria dan Kurniawan (2007) benih nyata pada tanaman jagung di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Namun terjadi kontradiktif dengan hasil penelitian Olawa dan Olawa (2010) benih tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman jagung di Nigeria.

Variabel pupuk urea berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen. Parameter dugaan variabel pupuk urea 0.15. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah pupuk urea sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung dengan penambahan produksi sebesar 0.15 persen di daerah penelitian. Didaerah penelitian penggunaan pupuk urea ditingkat petani rata-rata sebesar 196.03 kg per hektar. Penggunaan pupuk urea pada petani jagung VUB rata-rata sebesar 201.47 kg per hektar, sedangkan VUL penggunaan pupuk urea ditingkat petani rata-rata 185.70 kg per hektar. Rekomendasi untuk jagung VUB adalah 250 kg per hektar sampai 320 kg per hektar. Rendahnya penggunaan pupuk urea disebabkan oleh harga pupuk urea yang tinggi ditingkat petani.

Pemupukan bertujuan untuk mencukupi unsur hara selama proses pertumbuhan tanaman jagung. Penggunaan pupuk urea berfungsi meningkatkan kadar protein sehingga dapat menambah hasil dan kualitas, untuk pertumbuhan daun, batang dan akar sehingga dapat mengurangi kerebahan. Hasil ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh Mignouna et al. (2012), Kusnadi et al. (2011) dan Muslimin (2012) bahwa penggunaan pupuk urea dapat meningkatkan produksi. Namun kontradiktif hasil penelitian ini dengan hasil yang dilaporkan oleh Isaac (2011) bahwa penggunaan pupuk tidak berpengaruh pada produksi jagung. Selanjutnya menurut Tisdale et al. (1990) dan Engelstad (1985) pemakaian pupuk khususnya N (urea) dalam jumlah yang semakin tinggi mengindikasikan tingkat kesuburan lahan yang rendah karena lahan telah mengalami perubahan sifat kimia yang mengarah pada meningkatnya derajat keasaman tanah. Nitrogen merupakan salah satu unsur hara penting yang sangat mempengaruhi secara nyata pertumbuhan tanaman dan produksi jagung.

Variabel pupuk phonska nyata terhadap produksi jagung. Parameter dugaan variabel pupuk phonska yang merupakan elastisitas produksi 0.07. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suwulan et al. ( 2004) bahwa respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu dan cara pemberian. Didaerah penelitian penggunaan rata-rata pupuk phonska ditingkat petani masih rendah rata-rata 138.94 kg per hektar, sedangkan rekomendasi adalah 185 kg per hektar sampai 350 kg per hektar. Pendapat lain dari penelitian Triastono (2006) bahwa penggunaan pupuk SP-36 tidak berpengaruh terhadap produktivitas jagung. Hal ini karena unsur P merupakan unsur hara yang sulit terserap oleh tanaman sehingga hara tersebut masih tersedia dalam tanah sebagai residu dari pemupukan musim tanam pada periode sebelumnya.

Penggunaan pupuk pelengkap cair (ppc) mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Parameter dugaan variabel pupuk pelengkap cair yang merupakan elastisitas produksi 0.04 (Lampiran 15). Angka ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah pupuk pelengkap cair sebesar satu persen dengan input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi jagung varietas dengan penambahan produksi sebesar 0.04 persen.

Penggunaan pupuk baik pupuk organik maupun pupuk anorganik dilokasi penelitian masih beragam. Penyebab dari beragamnya dosis pemupukan, diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang berbeda atau karena kendala keuangan rumahtangga petani sehingga tidak bisa mengalokasikan biaya untuk melakukan pemupukan berimbang. Lahan budidaya jagung dilokasi penelitian sebagian merupakan lahan bukaan baru sekitar 5-6 tahun terakhir, sehingga sangat membutuhkan pupuk pelengkap cair untuk meningkatkan produksi jagung. Selain itu rata-rata dosis pupuk urea dan phonska yang digunakan untuk usahatani tanaman jagung di lokasi penelitian lebih rendah dari rekomendasi untuk tanaman tersebut sehingga usaha peningkatan penggunaan pupuk penting untuk dilakukan bagi petani yang berusahatani jagung varietas unggul baru. Dengan demikian penggunaan pupuk pelengkap cair masih dapat ditingkatkan karena masih dapat meningkatkan produksi. Kondisi ini disebabkan kebutuhan tanaman akan unsur hara berupa unsur N, P dan K dapat terpenuhi.

Pestisida mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen serta mempunyai nilai elastisitas produksi sebesar 0.12 (Lampiran 15). Peranan pestisida terhadap produksi jagung berbeda dengan input lainnya. Pestisida tidak meningkatkan produksi tetapi menyelamatkan produksi dari serangan hama dan penyakit. Penggunaan pestisida oleh petani jagung dilokasi penelitian rata-rata 3.56 kg per hektar. Adapun hubungannya dengan peningkatan produksi terjadi karena tanaman yang sehat akan lebih responsif terhadap penyerapan unsur hara sehingga produksi jagung meningkat.

Penggunaan pestisida dimaksudkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman selama proses pertumbuhan tanaman. Petani dilokasi penelitian sudah mengantisipasi pertanaman dengan cara menggunakan benih yang telah diberi metalaksis untuk mencegah penyakit bulai pada tanaman jagung yang biasanya menyerang pada umur muda. Selain itu penggunaan pestisida berkaitan dengan anjuran teknologi tepat guna yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat harga, tepat mutu dan penggunaan, sehingga pengendalian OPT, penyampaian informasi dan rekomendasi pengendalian OPT, pelaksanaan pengendalian OPT dan penyediaan sarana pengendalian sudah efektif. Hasil penelitian ini kontradiktif dengan hasil penelitian Essilfie et al. (2011) pada tanaman jagung bahwa pestisida tidak berpengaruh terhadap produksi.

Tenaga kerja bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung pada taraf 1 persen serta mempunyai nilai elastisitas produksi sebesar 0.11 (Lampiran 15). Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada petani jagung adalah 61 HKSP per hektar. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Muslimin (2012) pada tanaman padi varietas unggul baru bahwa penambahan penggunaan tenaga kerja luar keluarga dapat meningkatkan produktivitas, selain itu berpengaruh positif terkait dengan keterampilan yang dimiliki. Biasanya tenaga kerja luar

keluarga mempunyai keterampilan teknis lebih baik karena mereka menawarkan jasanya. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga mempunyai komitmen finansial sehingga akan bekerja lebih produktif. Namun penelitian ini kontradiktif dengan penelitian Isaac (2011) pada tanaman jagung bahwa tenaga kerja bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, Msuya et al. (2008) tenaga kerja luar keluarga berpengaruh nyata terhadap produksi jagung namun tenaga kerja dalam keluarga tidak berpengaruh terhadap produksi jagung di wilayah Tanzania.

Variabel dummy varietas mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung artinya bahwa peluang produksi lebih tinggi dengan menggunakan varietas unggul baru daripada menggunakan varietas unggul lama (Lampiran 15). Hal ini mengindikasikan bahwa produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh penggunaan varietas unggul baru. Varietas yang banyak digunakan oleh petani jagung di Provinsi Gorontalo adalah varietas hibrida Bisi 2 yang mempunyai beberapa keunggulan antara lain mempunyai potensi hasil sebesar 13 ton per hektar pipilan kering dengan rata-rata hasil 8.9 ton per hektar pipilan kering, selain itu toleran terhadap penyakit bulai dan karat daun (Lampiran 2). Secara genetis varietas unggul baru memiliki potensi produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan benih varietas unggul lama. Hasil ini konsisten dengan yang dilaporkan oleh Antara (2010) bahwa benih jagung hibrida di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi berproduksi lebih tinggi sebesar 4 505 kg per hektar pipilan kering dibandingkan dengan jagung nonhibrida sebesar 2 720 kg per hektar pipilan kering.

Produksi jagung dilokasi penelitian dipengaruhi oleh penggunaan varietas unggul baru (VUB). Dari pengusahaan varietas, diketahui dilokasi penelitian terdapat kecendrungan bahwa produksi jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi daripada petani yang mengusahakan varietas unggul lama (VUL). Rata- rata produksi jagung varietas unggul baru dilokasi penelitian adalah sekitar 5 202 kg per ha, sedangkan untuk varietas unggul lama sekitar 3 281 kg per ha. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat produksi jagung lebih tinggi dengan menggunakan VUB dibandingkan VUL. Secara empiris terjadi pergeseran penggunaan benih dari benih VUL ke penggunaan benih VUB pada usahatani jagung. Pergeseran penggunaan benih dari VUL menjadi VUB terkait dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan jagung sebagai komoditas unggulan didaerah.

Berdasarkan hasil pendugaan parameter diatas bahwa lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja dan dummy varietas mempunyai pengaruh terhadap produksi jagung. Hal ini dapat dikatakan bahwa lahan, benih, pupuk dan tenaga kerja merupakan input produksi penggeser fungsi produksi kearah frontiernya. Implikasinya adalah diperlukan pemanfaatan lahan kering yang optimal untuk pertanaman jagung supaya mendorong produksi lebih tinggi. Penggunaan benih varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi serta spesifik lokasi. Selanjutnya aplikasi penggunaan pupuk agar lebih memperhatikan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi agar memperoleh produksi yang lebih tinggi.

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani jagung di Provinsi Gorontalo

Efisiensi teknis dihitung dengan menggunakan software frontier 4.1.

usahatani jagung varietas unggul baru (VUB) lebih tinggi dari jagung varietas unggul lama (VUL). Pada usahatani jagung varietas unggul baru rata-rata efisiensi teknis adalah 82 persen, nilai efisiensi teknis terendah 54 persen dan nilai efisiensi teknis tertinggi adalah 97 persen. Sedangkan pada varietas unggul lama rata-rata efisiensi teknis adalah 78 persen, nilai efisiensi teknis terendah 41 persen dan nilai efisiensi teknis tertinggi adalah 95 persen. Suatu usahatani dikategorikan cukup efisien jika nilai indeks efisiensinya lebih besar 0.70 (Kumbakar (2001); Bakhsh dan Ahmad (2006)). Berdasarkan hasil penelitian, Tabel 29 bahwa petani varietas unggul baru sebanyak 196 petani ( 86.35 persen) mencapai tingkat efisiensi teknis diatas 0.70, dan sebanyak 31 petani (13.65 persen) masih berada pada kondisi tidak efisien atau masih mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya petani varietas unggul baru dalam prakteknya berhasil mewujudkan prestasi terbaik melalui pencapaian produksi yang mendekati potensi maksimum dengan penerapan teknologi varietas unggul baru.

Tabel 29 Distribusi frekuensi efisiensi teknis petani jagung varietas unggul baru, petani jagung varietas unggul lama dan gabungan responden di

Dokumen terkait