• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

D. Cerithidea cingulata

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Parameter Lingkungan 1. Parameter fisika

3.4.4. Analisis Gastropoda 1) Komposisi dan kepadatan

Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat di lingkungannya. Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Krebs 1989).

Keterangan : D = kepadatan organisme (ind/m2) Ni = jumlah individu

A = luas plot pengambilan sampel (cm2)

=

=

n i

n

xi

x

0

= ∑

=

N

ni

N

ni

H

S i 2 1

log

'

2) Indeks keanekaragaman

Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanerakaragaman jenis biota perairan termasuk makrozoobentos. Persamaan untuk menghitung indeks ini adalah persamaaan Shannon-Wienner (Broweret al.1990).

Keterangan : H’ = indeks Diversitas Shannon-Wienner ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu S = jumlah spesies

Kriteria: H’< 1 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan komunitas biota rendah (tidak stabil). 1 < H’ < 3 = keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap

spesies rendah dan komunitas biota sedang.

H’ > 3 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan komunitas biota tinggi (stabil).

Gambar 9. Tipe substrat berdasarkan Segitiga Millar (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

=

 

=

S i

N

ni

D

1 2

S

Log

H'

H

H'

E

maks 2

=

=

3) Indeks keseragaman

Indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota, yaitu seragam atau tidak. Jika nilai indeks keseragaman relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi seragam (Brower et al. 1990). Indeks keseragaman ditentukan dengan formulasi berikut :

Keterangan: E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman H’ maks = keanekaragaman maksimum S = jumlah spesies

Nilai indeks berkisar antar 0 – 1:

E 0, keseragaman antarspesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.

E = 1, keseragaman antarspesies relatif seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama.

4) Indeks dominansi

Menurut Odum (1993) untuk mengetahui adanya dominansi jenis tertentu di perairan dapat digunakan indeks Dominansi Simpson dengan persamaan berikut :

Keterangan : D = indeks Dominansi Simpson ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu S = jumlah spesies Indeks Dominansi antara 0 – 1:

D 0, tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.

D = 1, terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis (stres)

Gambar 10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan 4.1.1 Suhu

Sebaran suhu menunjukkan nilai relatif merata. Pada saat pasang suhu berkisar antara 31,00-32,20 oC, sedangkan pada saat surut suhu berkisar antara 31,00-31,50 o

C (Gambar 10). Adanya perbedaan suhu pada saat pasang dan surut diduga dipengaruhi oleh cuaca dan waktu pengambilan sampel. Dalam hal ini pengambilan sampel air pada saat pasang dilakukan pada waktu siang hingga sore hari, sementara untuk kondisi surut dilakukan pada waktu pagi hingga siang hari.

Pengaruh kedalaman perairan juga dapat menjadi pertimbangan sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi suhu. Misalnya, pada stasiun V dan VI terukur suhu pada saat pasang lebih tinggi daripada surut, hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada kedalaman yang lebih rendah (saat pasang) lebih cepat mengalami pemanasan daripada saat surut (kedalaman tinggi). Hal serupa juga diungkapkan oleh Wijayaet al. (2007) bahwa distribusi suhu permukaan perairan Teluk Banten mengalami peningkatan ketika mendekati tepian teluk dan seiring garis lintang yang cenderung dekat dengan garis ekuator (Lampiran 14).

Suhu permukaan perairan mempunyai arti yang penting tidak hanya berkaitan sebagai basis parameter produktivitas primer tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkaji dan memperkirakan sumberdaya hayati (bio-resources), terutama

sumberdaya perikanan (Van Den Bergh et al. 2003 in Wijaya et al. 2007). Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan seperti ikan dan udang. Umumnya dengan kenaikan suhu, laju metabolisme akan meningkat. Udang-udang muda dan dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40 oC, namun jarang ditemukan pada suhu 38oC atau lebih (Munro 1968inMumin 2004).

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu udara minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC. Kisaran suhu yang diamati masih mendukung kehidupan gastropoda. Menurut Siagian (2001) in Suwondo et al. (2006), suhu yang tepat untuk kehidupan benthos berkisar antara 25-32 ºC.

Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2003) mendapatkan kisaran suhu udara optimum untuk pertumbuhan beberapa spesies tumbuhan mangrove, yaituAvicennia marinatumbuh baik pada suhu 18-20ºC. Rizhopora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun segar dicapai pada suhu 26-28 ºC. Suhu optimum untukBruguieraspp. adalah 27 ºC, sedangkan untukXylocarpusspp. berkisar antara 21-26 ºC danXylocarpus granatum pada suhu 28 ºC.

4.1.2. Salinitas

Salinitas perairan Teluk Banten sebesar 34 PSU,kecuali pada stasiun V dan VI tercatat lebih rendah, berkisar antara 32-33 PSU.Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh adanya masukan air tawar dari kali Padek/Perumpung dan pertambakan disekitarnya. Nilai salinitas yang diperoleh masih berada pada kisaran salinitas air laut yang normal, yaitu 32 hingga 35 PSU (Gambar 11). Salinitas kawasan pesisir sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar melalui aliran sungai (Nybakken 1988).

Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi mangrove. Pada umumnya vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30 PSU (Aksornkoae 1993).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan Teluk Banten di kawasan ini sedikit menerima suplai air tawar yang teratur dari aliran sungai, seperti yang terjadi pada stasiun III. Stasiun III merupakan titik pengambilan contoh air pada muara

Gambar 11. Sebaran salinitas perairan Teluk Banten

Sungai Cengkok (Cibanten), namun nilai salinitas pada titik ini menunjukkan kesamaan dengan stasiun lainnya yang berada di wilayah pesisir. Hal ini dipengaruhi karena di Sungai Cengkok terdapat tanggul bendungan pada jarak 2 km dari garis pantai. Pada kondisi ini suplai air tawar dari sungai sangat terhambat dan hanya mengalir ke arah lokasi Pelabuhan Karangantu. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh musim kemarau dengan ditandai menurunnya debit aliran sungai tersebut. Sebagai informasi bahwa sungai Cibanten pada jarak 2 km dari garis pantai dibagi menjadi dua aliran yaitu Muara Cengkok (stasiun III) dan muara Pelabuhan Karangantu.

Setiap biota perairan memiliki batasan tertentu terhadap parameter lingkungannya sebagai syarat untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya udang, udang termasuk hewan yang mampu hidup pada perairan yang bersalinitas cukup lebar (eurihalin). Tiap jenis udang memiliki pilihan kadar garam yang berbeda. Pada salinitas yang sangat rendah maupun pada kadar garam 40 PSU bila perubahannya terjadi perlahan-lahan, jenis Penaeus monodon dan Metapenaeus spp. masih dapat hidup (Munro 1968inMumin 2004). Untuk mengatasi kondisi salinitas lingkungan yang melebihi kadar toleransi, gastropoda beradaptasi dengan cara menyesuaikan cairan tubuhnya dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya.

4.1.3. Kekeruhan

Kekeruhan suatu perairan dapat memberikan gambaran mengenai kecerahan di perairan tersebut. Perairan dengan kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang rendah menyebabkan penetrasi cahaya akan terganggu hingga berdampak

Gambar 12. Kekeruhan perairan Teluk Banten

terbatasnya produktivitas perairan (Nybakken 1988). Tingkat kekeruhan pada saat pasang di perairan Teluk Banten berkisar antara 22,50-76,00 NTU, sedangkan pada saat surut berkisar antara 22,50-57,00 NTU (Gambar 12). Nilai kekeruhan pada setiap stasiun telah melampaui baku mutu kekeruhan untuk biota laut. Baku mutu yang disarankan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, adalah tidak melebihi kadar 5 NTU.

Tingginya kekeruhan ini dapat dipengaruhi oleh tekstur substrat perairan yang terangkat dan tersuspensi dalam perairan oleh besarnya gelombang ataupun arus. Contohnya, pada saat pasang diperoleh nilai kekeruhan yang lebih tinggi daripada saat surut. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel air saat pasang dilakukan pada titik yang berdekatan dengan garis pantai. Titik ini ditandai dengan kedalaman yang rendah sehingga sangat memungkinkan terjadinya pencampuran massa air, baik pengaruh gelombang maupun arus pasang surut. Sebaliknya, pada stasiun III tercatat nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada stasiun lain, hal ini dipengaruhi oleh posisi stasiun tersebut, mengingat bahwa stasiun III berada di muara sungai dan secara visual perairan ini tampak jernih dan memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter.

4.1.5. Derajat keasaman ( pH)

Pengukuran pH in situ pada saat pasang berkisar antara 7,16-7,46, sedangkan pada saat surut berkisar antara 7,46-7,66 (Gambar 13). Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa sebaran nilai pH relatif merata pada setiap stasiun pengamatan.Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP

Gambar 13. Derajat keasaman (pH) perairan Teluk Banten

No.51/MNLH/I/2004, kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu untuk kelangsungan hidup biota laut, dengan baku mutu yang disarankan berkisar antara 7-8,50. Menurut Purnomo (1979) in Mumin (2004), pH air normal yang mendukung kehidupan udang adalah 7-8,90. Air dengan pH yang rendah atau tinggi di luar batas normal, mempunyai pengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan udang Penaeid.

Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik. Kondisi ini pun menunjukkan bahwa kawasan ekosistem mangrove ini masih mendukung kehidupan g a s t ro po d a, me ng ing a t ba hw a kisaran pH 5-9 masih dapat mendukung kehidupan biota perairan. Derajat keasaman atau pH yang optimum bagi Moluska bentik berkisar antara 6,5-7,5 (Russle-Hunter 1968 in Razak 2002). Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 ( Siagian 2001inSuwondoet al.2006). 4.1.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

Pengukuran DO pada saat pasang berkisar antara 3,48-5,67 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 6,78-7,13 mg/l (Gambar 14). Kadar DO normal berkisar 5,7-8,5 mg/l. Adanya perbedaan nilai antarstasiun, baik saat pasang dan surut dapat dipengaruhi oleh proses respirasi tumbuhan dan hewan serta dekomposisi anaerob. Batas kadar DO yang mematikan berbeda-beda tergantung pada jenis,

Gambar 14. Kadar DO perairan Teluk Banten

kesehatan, dan stadia biota serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Poernomo 1979in Mumin 2004).

Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan pada saat surut di setiap stasiun pengamatan kadar DO diperoleh lebih tinggi. Hal ini diduga adanya pengaruh dari proses fotosintesis fitoplankton yang memproduksi oksigen sehingga kadar DO di perairan meningkat. Pada stasiun IV, V, dan VI saat pasang diperoleh nilai DO berturut-turut 3,48, 4,25, dan 4,45 mg/l, kadar ini lebih rendah dari 5 mg/l sebagai baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004. Rendahnya kadar oksigen terlarut (DO) di ketiga stasiun tersebut diduga dipengaruhi oleh pergerakan air (arus) yang relatif kecil daripada stasiun lain. Ketersediaan oksigen terlarut di perairan sebagian besar dihasilkan melalui proses fotosintesis fitoplankton, sisanya dipengaruhi oleh proses difusi dari udara ke dalam air. Disamping itu, proses pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, respirasi biota perairan dan limbah yang masuk ke badan air juga dapat menentukan ketersediaan oksigen terlarut (DO) di perairan (Nybakken 1988).

Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di kawasan ini masih mendukung kehidupan gastropoda, karena batas minimal kadar oksigen terlarut bagi organisme di pantai adalah 4 mg/l, selebihnya tergantung ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran pencemaran dan suhu air (Osenberget al. 1992 in Mukhtasor 2007).

Gambar 15. Kadar BOD perairan Teluk Banten 4.1.7. Biochemichal Oxygen Demand(BOD)

Kadar BOD hasil pengukuran pada saat pasang berkisar antara 9,01 mg/l -27,83 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 9.31 mg/l-19.55 mg/l (Gambar 15). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu BOD untuk biota laut tidak melebihi kadar 20 mg/l, sedangkan berdasarkan data yang diperoleh terdapat beberapa stasiun yang telah melampaui baku mutu BOD yaitu stasiun I, II, V, dan VI pada saat pasang, sedangkan pada saat surut setiap stasiun menunjukkan kadar BOD yang memenuhi baku mutu. Hal ini diduga bahwa adanya arus dan gelombang dapat mengangkat partikel-partikel di dasar yang kaya dengan bahan organik sehingga tercampur membentuk partikel-partikel tersuspensi di perairan, mengingat bahwa ekosistem mangrove merupakan penyulai bahan organik utama di perairan sekitarnya disamping adanya pengaruh masukan bahan organik dari limbah rumah tangga yang dibawa aliran sungai.

4.1.8. Ammonia

Salah satu senyawa yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan air adalah ammonia, namun senyawa ini bersifat toksik bagi hewan perairan. Di lokasi penelitian kadar ammonia pada saat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,38 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 0,19 mg/l – 0,37 mg/l (Gambar 16). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004 baku mutu ammonia untuk biota laut tidak melebihi kadar 0,3 mg/l.

Gambar 16. Kadar ammonia perairan Teluk Banten

Ammonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan kolom air. Ammonia juga bersumber dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati) oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah ammonifikasi. Reduksi nitrat (denitrifikasi) oleh aktifitas mikroba pada kondisi anaerob juga menghasilkan gas ammonia. Pada perairan anoksik (tanpa oksigen), biasanya di dasar perairan, kadar ammonia relatif tinggi (Boyd 2001).

Senyawa-senyawa nitrogen organik yang larut dalam air maupun berupa partikel tersuspensi yang berasal dari organisme mati dan hasil eksresi hewan bahari cepat dirombak menjadi ammonia (Koesoebiono 1980). Rendahnya kadar ammonia di stasiun I, diduga telah terjadi perombakan nitrogen organik dari tahap ammonia ketahap berikutnya (seperti nitrit atau nitrat), hal ini di dukung dengan ketersediaan oksigen yang memenuhi dalam yang mempercepat proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu. Sebaliknya di stasiun IV, V, dan VI memiliki kadar ammonia tinggi, hal ini diduga proses perombakan bahan organik masih dalam tahap awal sebelum terjadi prosesnitrifikasike tahap berikutnya seperti yang diungkapkan Koesoebiono (1980). 4.1.9. Nitrat

Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan dan nutrien utama bagi pertumbuhan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitogen di perairan. Kadar

Gambar 17. Kadar nitrat perairan Teluk Banten

nitrat di lokasi penelitian pada saaat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,44 mg/l, sedangkan pada saat surut 0,12 mg/l – 0,29 mg/l (Gambar 17). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu nitrat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,008 mg/l. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar nitrat di setiap stasiun pengamatan telah melampaui baku mutu yang disarankan. Kadar nitrat di perairan akan dimanfaatkan produser primer (fitoplankton) sebagai unsur hara bagi petumbuhan dan perkembangan selnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas primer perairan.

Tingginya kadar nitrat di stasiun I, ditandai dengan melimpahnya bahan organik yang diduga mengandung bahan-bahan nitrogen organik seperti organisme dan tumbuhan yang mati, eksresi organisme ataupun bawaan dari aliran sungai yang mengandung limbah organik seperti pupuk pertanian, tinja, dan berbagai macam sampah organik, mengingat bahwa stasiun ini berada disekitar muara pelabuhan.

Dalam pembentukan nitrat ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu dengan mengoksidasi senyawa nitrogen anorgaik yang terbentuk. Untuk kasus ini, diduga prosesnitrifikasisudah mencapai tahap akhir yaitu terbentuknya nitrat, yang pada mulanya adalah ammonia. Hal ini terlihat dari tingginya nitrat disertai dengan menurunnya kadar ammonia.

4.1.10. Fosfat

Kadar fosfat pada saat pasang berkisar antara 0,02 mg/l – 0,07 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 0,03 mg/l – 0,08 mg/l (Gambar 18). Keputusan

Gambar 18. Kandungan fosfat perairan Teluk Banten

Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu fosfat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,015 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran, mengindikasikan bahwa kandungan fosfat di kawasan ini telah melebihi baku mutu yang disarankan.

Keberadaan fitoplankton dapat mempengaruhi kadar fosfat di perairan. Hal ini dipengaruhi karena fosfat merupakan salah satu bentuk nutrien yang diperlukan produser primer (fitoplankton atau makrofita) untuk pertumbuhan dan perkembangan selnya (Boyd 2001).

Di stasiun I, kadar fosfat pada saat surut diperoleh lebih tinggi, hal ini diduga pada saat surut terjadi pencampuran air dari sungai Pelabuhan yang membawa sumber-sumber fosfat. Sebaliknya di stasiun V dan VI pada saat pasang, kadar fosfat lebih tinggi, hal ini diduga pada saat pasang naik air dari laut cenderung masuk menempati daerah intertidal, salah satunya mengalir melalui parit-parit tambak dan terjadi pencampuran dengan air yang bersumber dari tambak yang masih aktif yang diduga menggunakan pupuk fosfat.

4.1.11. Arus

Kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara 1,82 cm/s – 7,30 cm/s, sedangkan pada saat surut berkisar antara 1,76 cm/s – 5,46 cm/s (Gambar 19). Pergerakan arus pasang surut yang masuk dan keluar dari perairan teluk, berdampak terhadap bentuk morfologi dasar dari perairan ini. Di lokasi dasar perairan yang dipengaruhi arus pasang surut yang cepat biasanya akan mengendapkan sedimen

Gambar 19. Arus perairan Teluk Banten

pasir dan sedimentasi umumnya rendah. Sebaliknya, pada lokasi dengan arus pasang surut yang rendah, dapat mengendapkan sedimen lumpur sehingga sedimentasi lebih tinggi.

Di perairan Teluk Banten, pasang surut tertinggi dijumpai pada musim timur (0,55 m). Menurut WYRTKI (1961) in Sutomo dan Riyono (1990), kecepatan arus pada puncak musim timur bulan Agustus di sepanjang pantai utara jawa berkisar antara 6-12 cm/dtk.

Perairan Teluk Banten merupakan perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga kondisi oseanografi di perairan ini akan dipengaruhi oleh dinamika laut-atmosfer di Laut Jawa, seperti munculnya arus musim yang secara dominan mempengaruhi variasi musiman suhu dan salinitas perairan, serta timbulnya gelombang berpengaruh terhadap proses fisik di tepi pantai, misalnya proses abrasi pantai dan angkutan sedimen di pantai.

4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove

4.2.1 Komposisi dan kerapatan jenis mangrove

Vegetasi mangrove yang ditemukan terdiri dari 3 (tiga) famili yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae dan Acanthaceae (Tabel 4). Famili Avicenniaceae yang ditemukan adalah jenis Avicennia marina, sedangkan Famili Rhizophoraceae diantaranya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Kedua Famili ini merupakan jenis mangrove berupa pohon dan termasuk ke dalam kelompok mangrove sejati/utama (mayor). Jenis lain yang ditemukan adalah Acanthus ilicifolius yang memiliki nama lokal jeruju hitam/daruyu/darulu. Jenis ini termasuk Famili Acanthaceae yang berupa mangrove herba rendah dan terjurai di permukaan tanah (Nooret al.2006).

Tabel 4. Sebaran jenis mangrove yang ditemukan di lokasi pengamatan

No. Famili Jenis Stasiun

I II III IV V VI

1. Avicenniaceae Avicennia marina + + - + + +

2.

Rhizophoraceae Rhizophora mucronata + + + - - +

3. Rhizophora apiculata - - - - +

-4. Acanthaceae Acanthus ilicifolius - - - +

Keterangan : (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan

Secara keseluruhan komunitas mangrove di kawasan ini didominasi oleh jenis Avicennia marina, hal ini terlihat bahwa dari keenam stasiun yang diamati, 5 stasiun diantaranya telah ditemukan jenis ini. Jenis lain sepertiRhizophora mucronatadapat ditemukan di 4 (empat) lokasi. Sebaliknya, Rhizophora apiculata dan Acanthus ilicifolius hanya dapat ditemukan masing-masing di satu lokasi. Tumbuhnya Acanthus ilicifolius merupakan suatu indikasi bahwa suatu ekosistem telah mengalami kerusakan (Bengen 2004).

Keberadaan Rhizhopora spp. di kawasan ini merupakan tidak seluruhnya tumbuh secara alami melainkan ada beberapa lokasi yang sengaja ditanam baik oleh warga setempat maupun institusi terkait dengan tujuan merehabilitasi mangrove, mengingat bahwa kawasan ini telah mengalami degradasi ekosistem, ditandai dengan semakin menyempitnya ruang hidup mangrove seiring meluasnya areal pertambakan.

Kerapatan jenis mangrove dikelompokan ke dalam 3 kategori yaitu pohon, anakan dan semai. Untuk kategori pohon, jenis yang ditemukan adalah Avicennia marinadanRhizophora mucronata (Gambar 20a). Jenis Avicennia marinamemiliki kerapatan tertinggi merata hampir di semua stasiun. Kerapatan tertinggi jenis ini ditemukan di stasiun I mencapai 9 ind/100 m2dan kerapatan terendah di stasiun VI, 1 ind/100 m2. Berbeda halnya denganRhizophora mucronata,di stasiun VI jenis ini memiliki kerapatan tertinggi mencapai 2 ind/100 m2dan terendah 1 ind/100 m2yang ditemukan di stasiun I.

Sebelum kawasan ini terdegradasi, diduga tumbuh berbagai macam vegetasi mangrove alami yang didominasi oleh Avicennia marinasekaligus sebagai vegetasi pionir dalam komunitas mangrove. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya beberapa vegetasi di sekitar pematang pertambakan dengan ukuran secara visual tergolong tumbuhan dewasa dan tua. Pada saat ini hanya tersisa sejumlah vegetasi yang masih bertahan seiring besarnya tekanan ekologi terhadap ruang hidup mangrove tersebut, seperti yang ditemukan di beberapa stasiun seperti di stasiun I, mangrove di sini

(b) (a)

(c)

Gambar 20. Kerapatan jenis mangrove berdasarkan kategori, (a) pohon;(b) anakan;(c) semai.

khususnya Avicennia marina memiliki diameter pohon rata-rata 11 cm, hal ini sebagai indikasi bahwa komunitas mangrove di lokasi ini termasuk vegetasi yang sudah tua. Berbeda halnya dengan Rhizophora spp. di lokasi yang sama, jenis ini berdiameter rata-rata sekitar 5 cm. Berdasarkan informasi yang diperoleh, di lokasi ini pernah dilakukan rehabilitasi mangrove dari jenis Rhizophora spp., namun pertumbuhan selalu terganggu dengan banyaknya hama kepiting sehingga diduga jenisRhizophoraspp. yang tumbuh dewasa hanya sebagian kecil.

Komunitas mangrove berdasarkan kategori anakan terdiri dari 3 (tiga) jenis diantaranya Avicennia marina, Rhizophora muronata dan Rhizophora apiculata. Ketiga jenis ini memiliki kerapatan anakan yang berbeda-beda bahkan di beberapa lokasi tidak ditemukan (Gambar 20b). Jenis Avicennia marina memiliki kerapatan tertinggi pada stasiun IV mencapai 9 ind/25 m2. Untuk Rhizophora mucronata kerapatan tertinggi ditemukan pada stasiun VI sebanyak 4 ind/25 m2, sedangkan Rizophora apiculata hanya ditemukan di stasiun V sebanyak 1 ind/ 25 m2.

Komunitas mangrove berdasarkan kategori semai terdiri dari dua jenis, yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh Rhizophora mucronata di stasiun III sebanyak 3 ind/m2, sedangkan kerapatan Avicennia marinalebih rendah berkisar antara 1-2 ind/m2 yang menyebar di stasiun II, V, dan VI (Gambar 20c).

Berdasarkan kriteria baku yang telah ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.201/MNLH/I/2004 maka vegetasi mangrove di lokasi penelitian termasuk kategori buruk/jarang, karena memiliki kerapatan <10 ind/100 m2. Vegetasi mangrove yang telah teridentifikasi ini diduga mampu tumbuh pada jarak 100-200 meter dari garis pantai. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini salah satunya adalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang akibat pembukaan lahan mangrove untuk keperluan pertambakan.

Komposisi mangrove berdasarkan kategori pohon, anakan dan semai

Dokumen terkait