• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten (di Luar Cagar Alam Pulau Dua)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten (di Luar Cagar Alam Pulau Dua)"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS EKOLOGI MANGROVE

UNTUK UPAYA PENGELOLAANNYA DI KAWASAN PESISIR PULAU DUA, KECAMATAN KASEMEN, SERANG, BANTEN

(di Luar Cagar Alam Pulau Dua)

AGUNG RAHMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten (di luar Cagar Alam Pulau Dua).

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

RINGKASAN

Agung Rahman. C24051760. Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang Banten (di Luar Cagar Alam Pulau Dua). Dibawah bimbingan Zairion dan Fredinan Yulianda.

Lokasi penelitian merupakan salah satu kawasan pesisir di Kecamatan Kasemen yang berada di dua desa, yaitu Desa Banten dan Sawahluhur, dengan ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut (dpl) dan suhu udara rata-rata 32oC. Di sepanjang garis pantai terdapat ekosistem mangrove yang secara visual ketebalannya tidak sama bahkan beberapa tempat tidak ditemukan sejumlah vegetasi mangrove. Di belakang mangrove terdapat lahan pertambakan yang tersebar secara luas. Sistem estuaria terdekat adalah Sungai Cengkok dan Sungai Pelabuhan yang bermuara ke Teluk Banten. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui kondisi ekosistem mangrove dengan komponen pendukungnya seperti kondisi perairan maupun organisme yang berasosiasi seperti gastropoda dan sumberdaya udang.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2009 di kawasan pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua), Kecamatan Kasemen, Serang, Banten. Pengambilan sampel mangrove dan gastropoda dilakukan pada 6 (enam) stasiun dengan masing-masing stasiun tiga replikasi. Pengambilan mangrove dilakukan secara kombinasi antara metode transek garis (sejajar garis pantai) dengan transek kuadrat. Untuk pengambilan sampel air dilakukan di bagian pantai, tepat di depan vegetasi mangrove di setiap stasiun. Data sumberdaya udang yang diolah merupakan sumber data sekunder yang diperoleh dari nelayan pengumpul, khususnya dari hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap sero.

Kerapatan mangrove di kawasan ini tergolong rendah dan luasan mangrove yang semakin menipis akibat adanya perubahan pemanfaatan lahan menjadi lahan pertambakan. Jenis yang ditemukan adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata dengan didominasi oleh jenis Avicennia marina. Untuk kondisi perairan menunjukkan perairan tergolong subur, kaya dengan nutrien seperti fosfat dan nitrat sehingga kadarnya melampaui baku mutu KEP MNLH No.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Untuk gastropoda, ditemukan 5 jenis dari 2 famili yaitu Famili Potamididae diantaranyaTelescopium telescopium, Terbralia sulcata, Cerithidea cingulata, Terebra bifrons dan satu jenis dari famili Littorinidae yaitu Littorina saxatilis. Keanekaragaman gastropoda tergolong sedang dan keseragaman tergolong relatif seragam, sedangkan indeks dominansi tergolong rendah, walaupun ada beberapa lokasi yang tergolong tinggi. Sumberdaya udang yang terdata adalah famili Penaeidae. Jenis-jenis yang ditemukan diantaranya Penaeus mergulensis (jerebung/udang putih), Metapenaeus ensis (udang api-api) dan Mysis sp. (rebon). Produksi tertinggi adalah udang rebon (Mysis sp.) dan jerebung (Penaeus mergulensis ), sedangkan paling rendah adalah udang api-api (Metapenaeus ensis.)

(4)

STATUS EKOLOGI MANGROVE

UNTUK UPAYA PENGELOLAANNYA DI KAWASAN PESISIR PULAU DUA, KECAMATAN KASEMEN, SERANG, BANTEN

(di Luar Cagar Alam Pulau Dua)

AGUNG RAHMAN C24051760

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten (di Luar Cagar Alam Pulau Dua).

Nama : Agung Rahman

N I M : C24051760

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Zairion, M.Sc NIP. 19640703 199103 1 003

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc NIP. 19630731 198803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajamen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik dan lancar. Judul skripsi yang dipilih adalah Status Ekologi Mangrove untuk Upaya Pengelolaannya di Kawasan Pesisir Pulau Dua, Kecamatan Kasemen, Serang, Banten (di Luar Cagar Alam Pulau Dua).

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap akan banyaknya saran positif yang diberikan oleh semua pihak guna meningkatkan kemampuan dan kreatifitas mahasiswa khususnya dalam hal menyusun karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian ini. Semoga bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Zairion, M.Sc dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku komisi pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi berharga hingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik dan lancar.

2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua program studi S1, atas saran, nasehat dan kesediaan menguji.

3. Ibu Siti Nursiyamah selaku staf Lab. BIMI I yang telah banyak membantu selama proses identifikasi sampel hingga dapat diselesaikan dengan lancar. 4. Para staf Tata Usaha MSP, terutama Mba’ Widar atas kesabaran dan dukungan

yang diberikan selama ini.

5. Kepala Pemerintahan kota Serang dan Kecamatan Kasemen atas perizinan, dan informasi untuk keperluan penelitian.

6. Dinas Pertanian Kota Serang terutama Pa’ Engkos dan Pa’ Tondi, atas waktu dan informasi yang diberikan untuk kelengkapan data penelitian.

7. Kepala Desa Banten Pa’ Harun, yang telah memberi izin menginap dan menggunakan fasilitas desa selama penelitian.

8. Keluarga tersayang, Apa, Ibu, A’Ikhwan, Mamah, Pa’Rustandi, yang senantiasa memberi perhatian penuh, kasih sayang, dan nasehat-nasehat yang berharga, dukungan serta doa setiap saat.

9. Tim Survei Mangrove Banten (Pa’ Fredinan, Pa’ Ali, Mba’ Yovie, Mba’ Ita, Daniyal, Mas Ahmad konsultan) atas dukungan dan kerjasamanya selama ini. 10. Teman-teman kosan (Al-Izzah Ers), Aikidoka dan para sahabat Bulutangkis

GOR lama IPB atas perhatian dan dukungannya.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jaringao Desa Pangumbahan-Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 22 Mei 1987 atau 24 Ramadhan 1408 H. Penulis merupakan anak terakhir dari dua bersaudara pasangan Bapak E. Sutisna Yudia, S.Pd dan Ibu Hastuti.

Sekolah dasar dan lanjutan pertama ditempuh di SDN Jaringao (1993-1999) dan SLTP Negeri 2 Ciracap (1999-2002). Pada tahun 2002-2005, penulis menempuh Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Kota Sukabumi. Di akhir tahun ajaran 2005 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Selama tahun 2005-2006 penulis mengikuti perkuliahan di Tingkat Persiapan Bersama (TPB)-IPB untuk mendapatkan program studi yang diminati. Pada tahun 2006, penulis diterima menjadi mahasiswa Manajemn Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (MSP-FPIK).

Selama studi penulis berkesempatan menjadi Asisten Ikhtiologi (2008-2009) dan mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya sebagai: Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM-FPIK), Pansus DPM-KM IPB, LES BEM KM IPB. Penulis pun pernah mengikuti beberapa UKM-IPB, diantaranya: Music Agriculture X-pression (MAX), Bulutangkis, dan Anggota Keluarga Beladiri Aikido Indonesia (KBAI) hingga saat ini.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove... 4

2.2. Adaptasi Mangrove terhadap Habitatnya ... 6

2.2.1 Adaptasi terhadap konsentrasi garam tinggi... 6

2.2.2 Adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang ... 7

2.3. Fungsi dan Manfaat Ekologis ... 9

2.4. Parameter Lingkungan ... 10

2.4.1. Parameter fisik ... 10

2.4.1.1. Suhu ... 10

2.4.1.2. Pasang surut ... 10

2.4.1.3. Gelombang dan arus ... 11

2.4.1.4. Kekeruhan ... 11

2.4.1.5. Substrat ... 11

2.4.2. Parameter kimia... 12

2.4.2.1. Derajat keasaman (pH) ... 12

2.4.2.2. Salinitas... 12

2.4.2.3. Nutrien ... 13

2.4.2.4. Oksigen terlarut ... 13

2.5. Biota Akuatik yang Berasosiasi ... 14

2.6. Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir... 15

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan ... 18

3.3. Pengumpulan Data ... 20

3.3.1. Penentuan lokasi pengambilan contoh ... 20

3.3.2. Teknik pengambilan contoh... 20

3.3.2.1. Kondisi ekositem mangrove... 20

3.3.2.2. Biota akuatik ... 21

3.3.2.3. Substrat ... 22

(10)

3.4. Analisis Data ... 24

3.4.1. Analisis kondisi ekosistem mangrove ... 24

3.4.2. Analisis deskripsi kondisi perairan ... 26

3.4.3. Analisis substrat ... 27

3.4.4. Analisis gastropoda ... 27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan ... 30

4.1.1. Suhu... 30

4.1.2. Salinitas ... 31

4.1.3. Kekeruhan... 33

4.1.4. Derajat keasaman (pH) ... 34

4.1.5. Oksigen terlarut (DO)... 35

4.1.6. Biochemical Oxygen Demand(BOD) ... 36

4.1.7. Ammonia ... 37

4.1.8. Nitrat... 38

4.1.9. Fosfat ... 39

4.1.10. Arus ... 40

4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove... 41

4.2.1. Komposisi dan kerapatan jenis mangrove ... 41

4.2.2. Indeks nilai penting (INP) ... 46

4.3. Karakteristik Substrat ... 47

4.4. Keanekaragaman gastropoda ... 48

4.5.1. Komposisi dan kepadatan jenis gastropoda ... 49

4.5.2. Indeks keanekaragaman, kemerataan, dan dominansi gastropoda ... 50

4.5. Produksi dan Komposisi Jenis Udang ... 51

4.6. Interaksi Mangrove dengan Komponen Ekosistem ... 53

4.7. Upaya Pengelolaan Mangrove secara Berkelanjutan... 55

. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA... 61

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik fisik stasiun pengamatan ... 18

2. Daftar alat yang digunakan dalam penelitian ... 18

3. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan ... 23

4. Sebaran jenis mangrove yang ditemukan di lokasi pengamatan ... 41

5. Karakteristik fisika-kimia substrat ... 47

6. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi gastropoda... 50

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram rumusan masalah... 3

2. Bentuk spesifikasi akar pada mangrove... 8

3. (a) Hubungan ketergantungan dalam ekosistem mangrove ... 9

(b) Asosiasi ekosistem mangrove ... 9

4. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan ... 19

5. Ilustrasi teknik pengambilan sampel mangrove ... 21

6. Prosedur penentuan diameter batang ... 22

7. Ilustrasi teknik pengambilan sampel substrat dan gastropoda ... 23

8. Ilustrasi teknik pengambilan sampel air pada saat pasang dan surut ... 24

9. Tipe substrat berdasarkan Segitiga Millar ... 28

10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten ... 30

11. Sebaran salinitas perairan Teluk Banten... 32

12. Kekeruhan perairan Teluk Banten ... 33

13. Derajat keasaman (pH) perairan Teluk Banten ... 34

14. Kadar DO perairan Teluk Banten ... 35

15. Kadar BOD perairan Teluk Banten ... 36

16. Kadar ammonia perairan Teluk Banten ... 37

17. Kadar nitrat perairan Teluk Banten ... 38

18. Kadar fosfat perairan Teluk Banten... 39

19. Arus perairan Teluk Banten ... 40

20. Kerapatan jenis mangrove berdasarkan kategori: (a) pohon; (b) anakan; (c) semai... 42

21. Peta sebaran komposisi mangrove... 45

22. Indeks nilai penting (INP) jenis kategori pohon ... 46

23. Grafik komposisi jenis gastropoda pada seluruh stasiun pengamatan ... 49

24. Ilustrasi batasan kawasan mangrove pesisir Pulau Dua... 56

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kerapatan, frekuensi, penutupan jenis, dan INP pohon mangrove ... 66

2. Kerapatan jenis mangrove kategori pohon, anakan, dan semai ... 67

3. Jumlah jenis gastropoda pada lokasi pengamatan ... 68

4. Kepadatan gastropoda (ind/m2pada lokasi pengamatan ... 68

5. Data kondisi lingkungan perairan di lokasi pengamatan ... 69

6. Data hasil tangkapan udang bulan Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap Sero... 70

7. Data hasil tangkapan udang bulan Agustus dengan menggunakan alat tangkap Sero... 71

8. Dokumentasi lokasi pengamatan... 72

9. Dokumentasi kegiatan selama penelitian... 74

10. Dokumentasi alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 76

11. Contoh gambar gastropoda yang ditemukan... 77

12. Contoh gambar jenis udang hasil tangkapan Sero... 78

13. Contoh gambar jenis mangrove yang ditemukan ... 79

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem utama di pesisir. Perkembangannya tidak lepas dari pengaruh pasang surut air laut dan jenis substrat sebagai karakeristik lingkungan. Disebut sebagai ekosistem utama karena ekositem ini merupakan salah satu ekosistem alamiah yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang sangat tinggi, disamping menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, seperti kayu bakar, arang, kertas, dan rayon, ekositem mangrove juga memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, antara lain sebagai penyedia nutrien sehingga berperan penting dalam sistem rantai makanan di pesisir dan laut, tempat pemijahan (spawning ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota perairan laut. Secara fisik, ekosistem mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi pantai (DKP 2004)

Ekosistem mangrove sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Fungsi terpenting mangrove adalah sebagai penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan fosfat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya. Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove menyebabkan luasan mangrove berkurang drastis. Luasan mangrove di Indonesia menurun dari 2,21 juta ha menjadi 3,24 ha pada tahun 1982-1987 dan makin menyusut menjadi 2,5 juta ha pada tahun 1993 (Widigdo 2000inDKP 2004).

(15)

Alam Pulau Dua), kondisinya sangat menghawatirkan. Banyak lahan mangrove telah dikonversi menjadi pertambakan sehingga beberapa fungsi ekosistem ini tidak berlangsung optimal.

Dengan adanya bentuk tekanan-tekanan tersebut maka perlu dilakukan diantaranya kajian mengenai kondisi status ekologi mangrove. Dengan pendekatan ini, harapannya dapat digunakan sebagai acuan/dasar untuk menentukan upaya pengelolaan yang tepat dan berkelanjutan guna mempertahankan dan mengembalikan fungsi ekosistem ini.

1.2. Perumusan Masalah

Keberadaan ekosistem mangrove sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh proses daratan dan aquatik, mengingat bahwa ekosistem ini termasuk ekosistem peralihan antara darat dan laut. Dengan semakin padatnya pembangunan disertai meningkatnya kepentingan masyarakat yang beragam, hal ini akan berdampak terhadap kelangsungan ekosistem baik secara langsung maupun tidak. Seperti halnya di Kecamatan Kasemen, tepatnya di kawasan pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua). Di kawasan ini terdapat beberapa kondisi yang mengindikasikan adanya degradasi ekosistem, seperti: meluasnya hamparan pertambakan di sekitar area mangrove dan semakin menyempitnya areal mangrove, disertai sampah-sampah yang menumpuk di sekitar muara sungai dan pesisir, kerapatan dan distribusi mangrove yang tidak merata. Hal ini merupakan beberapa contoh indikasi bahwa ekosistem tersebut telah mengalami degradasi. Ekosistem yang terdegradasi dapat tercermin dari perubahan status ekologinya. Status ekologi ini dapat dilihat berdasarkan keseimbangan antarkomponen penyusunnya, yang terdiri atas komponen biotik dan abiotik (Gambar 1).

(16)

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status ekologi mangrove di sekitar Kawasan Pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua), meliputi ; (1) kondisi umum lingkungan perairan dan substrat, (2) kondisi ekosistem mangrove (3) keanekaragaman organisme yang berasosiasi, terutama makrozoobentos dari kelas gastropoda dan sumberdaya udang.

Manfaat penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai status ekologi mangrove. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui potensi kawasan dan upaya penentuan alternatif pengelolaan yang tepat sesuai dengan kondisi ekosistem.

Interaksi antarkomponen

UPAYA PENGELOLAAN

Baik/tidak terganggu Buruk/ terganggu

Biota Asosiasi Mangrove

Substrat Perairan Perubahan Status Ekologi

Keseimbangan komponen abiotik (Lingkungan)

Keseimbangan komponen biotik (Biota)

MANGROVE

Degradasi Ekosistem

Konversi lahan Penebangan Pencemaran

Erosi

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

Ekosistem Mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah vegetasi mangrove. Mangrove atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1988). Mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum 1993).

Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantai. Mangrove dapat di jumpai pada daerah sepanjang muara sungai atau daerah yang banyak dipengaruhi oleh aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah yang umumnya didominasi oleh faktor laut (marino-fluvial) (DKP 2004). Kita seringkali mendengar dan menyebut: “bakau”. Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup di habitat pantai.

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub-tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Lumnitzera spp., Exoecaria spp., Xylocarpus spp., Aegiceras spp., Scyphyphora spp. dan Nypa sp., yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2004).

(18)

dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae 1993).

Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga membutuhkan suplai air tawar dari daratan, dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2 – 22 PSU atau sampai asin pada salinitas 38 PSU (Bengen 2001; Nontji 2002).

Karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air yang bersalinitas payau (2-22 PSU) hingga asin (mencapai 38 PSU).

Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al. (2003) terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekalikali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

(19)

mengembangkan sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya.

Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat dimana tidak terdapat gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan suatu daerah.

Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan.

2.2. Adaptasi Mangrove Terhadap Habitatnya

Tumbuhan pada habitat mangrove telah mengembangkan beberapa penyesuaian sehingga dapat mempertahankan diri di dalam lingkungan yang berkadar garam tinggi dan tergenang air, seperti:

2.2.1. Adaptasi terhadap konsentrasi garam tinggi

Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove di kelompokkan menjadi: (a) salt-excretingmangrove (Avicennia spp., Aegicerasspp., Aegialitis spp) dan (b) non-salt excreting mangrove (Rhizophora spp., Bruguiera spp., Sonneratia spp., dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Hutching dan Saeger (1987) in Kusmana et al. (2003) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut.

(a) Sekresi Garam (salt extrusion/salt secretion)

(20)

(b) Mencegah Masuknya Garam (salt exclusion)

Tumbuhan mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora spp., Ceriops spp., Sonneratia spp., Avicennia spp., Osbornia spp., Bruguiera spp., Excoecaria spp., Aegiceras spp., Aegalitis spp., dan Acrostichum spp.

(c) Akumulasi Garam (salt accumulation)

Tumbuhan mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun menyimpan garam umumnya sekulen dan pengguguran daun sekulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat padaExcoecariaspp., Lumnitzera spp, Avicennia spp., Osbornia spp., Rhizophora spp., Sonneratia spp., dan Xylocarpusspp.

Berdasarkan salinitas dikenal zonasi mangrove sebagai berikut (De Hann in Russell dan Yonge 1968inBengen 2004):

(a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 PSU:

(1) Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronatayang masih dapat tumbuh

(2) Area yang terendam 10-19 kali per bulan, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marina),Sonneratiaspp., dan dominanRhizophoraspp.

(3) Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, ditemukanRhizophora spp.,Bruguieraspp.

(4) Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan danRhizophora apiculatamasih dapat hidup.

(b) Zona Air Tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 PSU: (1) Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi Nipah (2) Area yang terendam secara musiman,Hibiscusdominan.

2.2.2. Adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang

(21)

Gambar 2. Bentuk spesifikasi akar pada mangrove

(1. Akar Papan; 2. Akar Lutut; 3. Akar Tongkat; 4. Akar Cakar Ayam) (Rachmawani 2007).

khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 2):

(a) Akar Pasak (pneumatophore)

Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia spp., Xylocarpusspp., danSonneratiaspp.

(b) Akar Lutut (knee root)

Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat. Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat padaBruguieraspp.

(c) Akar Tunjang (stilt root)

Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat padaRhizophoraspp.

(d) Akar Papan (buttress root)

Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. Akar ini tedapat padaHeritiera.

(e) Akar Gantung (aerial root)

(22)

Gambar 3. Hubungan ketergantungan dalam ekosistem mangrove (a) dan Asosiasi ekosistem mangrove (b) (Dephut 2006)

2.3. Fungsi dan Manfaat Ekologis

Sebagaimana tumbuhan lainnya, mangrove mengkonversi cahaya matahari dan unsur hara (nutrien) menjadi jarigan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Bengen (2004), komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan tumbuhan pada umumnya, bukan tumbuhan itu sendiri melainkan detritus yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya).

(23)

Fungsi ekologis mangrove sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, diantaranya adalah:

(a) Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (run off) (b) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus

(c) Sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

2.4. Parameter Lingkungan 2.4.1. Parameter fisika 2.4.1.1. Suhu

Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapt menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nyabakken 1988). Yasman (1998)inFitriana (2006) menyatakan bahwa naungan mangrove menyebabkan kecilnya penguapan dan fluktuasi suhu, sehingga habitat tersebut disukai gastropoda.

Peningkatan suhu juga menyebakan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.

2.4.1.2. Pasang surut

(24)

Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Semakin ke arah daratan, arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur serta bahan organik tanah semakin tinggi (Marsono dan Setyono 1993). Menurut Soemidihardjo (1979), terdapat korelasi antara jenis tegakan dengan tinggi pasang dan lamanya genangan air.

2.4.1.3. Gelombang dan arus

Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

2.4.1.4. Kekeruhan

Boyd (1989) in Nur (2002) mendefinisikan kekeruhan sebagai ukuran biasa cahaya dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu polutan yang terkandung di perairan. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga dapat membatasi proses fotosintesis dan produktivitas primer perairan.

2.4.1.5. Substrat

Pada tanah berlumpur lunak, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia spp., dan Avicennia spp. tumbuh berlimpah. Pramudji (2001) mengatakan bahwa tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh didominasi oleh Rhizophora mucronata yang terkadang berdampingan dengan Avicennia marina,untukRhizophora stylosa lebih menyukai pantai yang bersubstrat pasir atau pecahan terumbu karang, biasanya berasosiasi dengan Sonneratia alba, sedangkan Rhizophora apiculatahidup pada daerah transisi.

(25)

Substrat lumpur berpasir dengan sedikit liat merupakan substrat yang sesuai dengan gastropoda (Rangan 1996 in Fitriana 2006 ). Jenis vegetasi mangrove yang kurang mampu beradaptasi terhadap substrat ataupun lingkungan yang ada akan menyebabkan banyak tegakan mangrove yang mati pada tingkat semai (Pramudji 1996).

2.4.2. Parameter kimia

2.4.2.1. Derajat keasaman (pH)

Kadar ion hidrogen perairan merupakan salah satu parameter lingkungan yang berhubungan dengan susunan spesies dari komunitas dan proses-proses hidupnya. Perairan yang kemasamannya sangat rendah akan berakibat fatal terhadap kehidupan ikan. Batasan pH yang baik bagi pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,0. Pertambahan bahan organik dalam air dapat menunjukan kemasaman akibat pelepasan gas CO2 melalui penguraian bahan organik.

2.4.2.2 Salinitas

Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar bergantung pada: (1) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (2) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (3) tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen (Dahuriet al.1996).

(26)

tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (2) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (3) mangrove dapat mentoleransi kadar garam.

2.4.2.3. Nutrien

Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: (1) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar dan (2) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus.

Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa orgaisme dan kotoran organisme) danallochthonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut) Kusmanaet al.(2003).

2.4.2.4. Oksigen terlarut

(27)

yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l.

2.5. Biota akuatik yang berasosiasi

Bentos adalah organisme dasar perairan, baik berupa hewan maupun tumbuhan, baik yang hidup dipermukaan dasar ataupun di dasar perairan. Berdasarkan kebiasaan hidupnya fauna bentik dapat dikelompokan sebagai infauna, yaitu yang hidup menetap di dalam sedimen dan epifauna, yaitu yang hidup menempel pada daun lamun dan di atas dasar perairan.

Menurut Barness (1987) in Nur (2002) sumber makanan bagi hewan yang hidup di dasar perairan terdiri dari detritus, plankton dari massa air dan detritusnya serta mikroorganisme yang melekat didasar. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem mangrove sebagai tempat hidup, tempat berlindung, memijah dan menyuplai makanan yang menunjang pertumbuhan biota tersebut. Rantai makanan yang berperan di ekosistem mangrove adalah rantai makanan detritus. Sumber utama detritus berasal dari dedaunan dan ranting mangrove yang gugur dan membusuk. Gastropoda berperan sebagai detrivor dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove ini.

Kartawinata et al. (1978) mengatakan bahwa salah satu gastropoda yang mendominasi ekosistem mangrove adalah famili Potamididae. Famili ini merupakan penghuni asli mangrove dan mendominasi komunitas ekosistem tersebut. Genus Terbrallia lebih menyukai hidup pada dasar substrat mangrove berupa lumpur yang memadat (liat berlumpur) dan biota ini memiliki sebaran menegak. Budiman dan Darnaedi (1982) mengatakan bahwa umunya mereka turun menuju dasar substrat mangrove pada waktu air pasang menempel di batang mangrove.

(28)

Kira-kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, kemudian menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan disekitarnya. Makanan udang pada stadium larva adalah alga renik (microalga) terutama Diatom, berbagai jenis zooplankton. Udang dikenal bersifat omnivor yang memakan tumbuhan, hewan kecil, dan detritus.

Bentuk zoea akan berubah menjadi mysis, kemudian bermetamorfosis menjadi stadium post-larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya (migrasi) ke pantai, cenderung ke perairan muara sungai. Pada stadium post-larva, anakan udang merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Dimuara-muara sungai, terlebih di perairan sekitar ekosistem mangrove, anakan udang ini banyak ditemukan. Anakan udang ini, hidup dengan menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4-35 PSU. Untuk mencapai tingkat juwana (juvenil) Penaeus merguensismelewati 14 tingkatan dengan 18-22 kali berganti kulit. Udang-udang muda ini segera kembali ke laut untuk tumbuh menjadi besar, dewasa dan akhirnya memijah. Dari menetas sampai stadium post-larva memerlukan waktu sekitar 1 bulan, dari post-larva menjadi juvenil sekitar 3-4 bulan, sedangkan dari juvenil sampai dewasa diperlukan waktu selama 8 bulan (Nontji 2005).

2.6. Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knect 1998; Kay and Alder 1999inSadelieet al.2003).

(29)

permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari pengelolaan ini adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir.

Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.

(30)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2009 di sekitar Kawasan Pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua), Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten (Gambar 4).

Lokasi penelitian merupakan salah satu kawasan pesisir di Kecamatan Kasemen yang berada di dua desa yaitu Desa Banten dan Sawahluhur, yang memiliki ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu udara rata-rata 32oC.

Secara geografis, lokasi penelitian berbatasan dengan beberapa wilayah, diantaranya:

sebelah Utara : Teluk Banten dan Laut Jawa, sebelah Timur : Cagar Alam Pulau Dua, sebelah Selatan : Desa Margaluyu,

sebelah Barat : Pelabuhan Perikanan Karangantu.

Di sepanjang garis pantai terdapat ekosistem mangrove yang secara visual ketebalannya tidak sama bahkan beberapa tempat tidak ditemukan sejumlah vegetasi mangrove. Di belakang mangrove terdapat lahan pertambakan yang tersebar meluas hingga lebih kurang 2 km dari areal mangrove. Sistem estuaria terdekat adalah Sungai Cengkok dan Sungai Pelabuhan yang bermuara ke Teluk Banten. Kedua sungai ini merupakan percabangan dari Sungai Cibanten yang dibendung pada jarak 2 km dari garis pantai sehingga lokasi ini dikenal dengan nama Bendungan Karet Cibanten.

(31)
[image:31.595.82.518.108.821.2]

Tabel 1. Karakteristik fisik stasiun pengamatan

Stasiun Posisi Karakteristik fisik

I 06

0

01’ 29.5” LS 106009’ 57.9” BT

Ketebalan mangrove tinggi, dekat muara Sungai Pelabuhan, terdapat area pertambakan.

II 06

0

01’ 33.4” LS 106009’ 55” BT

Ketebalan mangrove tinggi, dekat muara Sungai Cengkok, terdapat area pertambakan.

III 06 0

01’ 38.5” LS 106010’ 09.6” BT

Tepi muara Sungai Cengkok (Cibanten), tidak ada mangrove alami.

IV 06

0

01’ 38.6” LS 106010’ 33.0” BT

Ketebalan mangrove rendah, dekat muara Sungai Cengkok, terdapat area pertambakan.

V 06

0

01’ 35.4” LS 106011’ 03.6” BT

Ketebalan mangrove sedang, dekat kali Padek, terdapat area pertambakan.

VI 06

0

01’ 24.0” LS 106011’ 27.4” BT

Ketebalan mangrove sedang, dekat dengan Cagar Alam Pulau Dua, terdapat area pertambakan.

3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan-bahan kimia untuk mengukur parameter kimia perairan.

Tabel 2. Daftar alat yang digunakan dalam penelitian

No. Alat Fungsi

1. GPS Mengetahui posisi stasiun pengamatan

2. Meteran Membuat transek garis dan plot contoh 3. Refraktometer Mengukur salinitas

4. Termometer air raksa Mengukur suhu

5. Gunting/pisau Mengambil sampel mangrove 6. Alat tulis dan label Mencatat data

7. Pipa peralon 4 inchi Mengambil sampel substrat

8. Kantong plastik Menyimpan sampel substrat dan gastropoda 8. Buku identifikasi Mengetahui jenis mangrove dan gastropoda 9. Botol sampel Mengambil sampel air

(32)

1

[image:32.595.34.743.106.477.2]

9

(33)

3.3. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kondisi mangrove (struktur komunitas dan INP) dan parameter lingkungan perairan (temperatur, salinitas, arus, kekeruhan, pH, kandungan oksigen terlarut, BOD, ammonia, nitrat, dan fosfat) dan biota bentik (gastropoda). Kelengkapan data sekunder meliputi pasang surut dan sumberdaya udang.

3.3.1. Penentuan lokasi pengambilan contoh

Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan metode penarikan contoh acak berlapis (Stratified Random Sampling). Pembentukan strata ini berdasarkan perbedaan karakteristik ketebalan mangrove dari garis pantai sehingga dapat dibagi menjadi 3 (tiga) strata, yaitu ketebalan mangrove tinggi (tebal 100 m); sedang ( 40 m tebal < 100 m); dan rendah ( tebal < 40 m).

Setiap strata diambil dua stasiun pengamatan, sehingga jumlah total adalah 6 (enam) stasiun. Beberapa stasiun pengamatan yang mewakili area ketebalan mangrove tinggi diantaranya stasiun I dan II yaitu di dekat Pelabuhan Perikanan Karangantu atau berada diantara dua muara sungai yaitu Sungai Pelabuhan dan Sungai Cengkok. Stasiun pengamatan yang mewakili area ketebalan mangrove rendah adalah stasiun III dan IV yaitu di tepi muara Sungai Cengkok (stasiun III) dan di pesisir pantai yang masih berdekatan dengan muara Sungai Cengkok (stasiun IV). Stasiun pengamatan yang mewakili area ketebalan mangrove sedang adalah stasiun V dan VI yaitu di sekitar saluran kali Padek (stasiun V) dan di sekitar Kawasan Cagar Alam Pulau Dua (stasiun VI).

3.3.2. Teknik pengambilan contoh 3.3.2.1. Kondisi ekosistem mangrove

Pengamatan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode jalur ( Line Transek) dan kuadrat contoh yaitu dengan cara menarik garis lurus sejajar garis pantai di setiap stasiun, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat berukuran 10 m x 10 m sebagai sub-stasiun contoh. Jarak antarkuadrat ditetapkan berdasarkan perbedaan struktur vegetasi.

(34)
[image:34.595.115.482.128.403.2]

Gambar 5. Ilustrasi teknik pengambilan sampel mangrove

menghitung jumlah anakan dan petak berukuran 1 m x 1 m untuk menghitung jumlah semai (Gambar 5).

Pengukuran diameter batang vegetasi dilakukan pada setiap individu dengan mengacu kepada English et al. (1994) (Gambar 6). Disamping itu, terdapat penggolongan tegakan berdasarkan ukuran diameter batang diantaranya: pohon (diameter > 4 cm, tinggi > 1 m ); anakan (diameter < 4 cm, tinggi > 1 m); dan semai ( tinggi < 1 m). Data yang diambil meliputi diameter batang, jenis dan jumlah vegetasi mangrove (English et al. 1994). Jenis-jenis mangrove yang ditemukan diidentifikasi dengan mengacu kepada Nooret al. (1999).

3.3.2.2. Biota akuatik

(35)

diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk bahan identifikasi di laboratorium. Buku identifikasi yang digunakan mengacu kepada Blatchford et al. (1977).

Sampel udang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tangkap Sero nelayan setempat di kawasan mangrove Teluk Banten. Data produksi yang diperoleh adalah catatan produksi harian nelayan pengumpul khusus untuk alat tangkap Sero. Data tersebut dicatat sebagai dasar pengolahan data jenis dan produksi sumberdaya perikanan tangkap khususnya sebagai informasi mengenai sumberdaya udang di sekitar kawasan lokasi penelitian.

3.3.2.3. Substrat

Sampel substrat diambil menggunakan pipa peralon 4 inchi. Proses ini dilakukan pada saat perairan surut bersamaan dengan pengambilan sampel mangrove dan gastropoda (Gambar 7). Pengambilan sampel ini dilakukan satu kali secara acak pada setiap stasiun pengamatan. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk dianalisis di Laboratorium. Beberapa karaketeristik substrat yang dianalisis meliputi nilai pH, C-organik, dan tektur substrat. Analisis substrat ini dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(36)

3.3.2.4. Parameter fisika dan kimia perairan

[image:36.595.107.506.80.338.2]

Parameter fisika kimia perairan diukur di setiap stasiun pada saat pasang dan surut (Gambar 9). Pengambilan sampel kondisi surut dilakukan pada rentang waktu pukul 10.00-12.00 WIB, sementara kondisi pasang dilakukan sekitar pukul 16.00-18.00 WIB. Pengambilan sampel dilakukan satu kali di setiap stasiun pengamatan. Beberapa parameter fisika kimia perairan yang diukur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan

Parameter Satuan Alat lokasi

Fisika :

Suhu oC Thermometer Insitu

Arus cm/dtk Floating Droudge Insitu

Kekeruhan NTU Turbiditimeter Lab.

Substrat % Pipa peralon 4 inchi, Lab

Kimia :

Salinitas PSU Refractometer Insitu

pH - Kertas pH Insitu

DO mg/l Titrasi Insitu

BOD5 mg/l Titrasi Lab.

Nitrat, ammonia mg/l Spektrometer Lab.

Fosfat mg/l Spektrometer Lab.

C-organik subsrat o/o - Lab.

[image:36.595.93.517.527.736.2]
(37)

A

Ni

Di

=

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis kondisi ekosistem mangrove

Analisis kondisi ekosistem mangrove dimaksudkan untuk mengetahui persentase penutupan dan kerapatan pohon (pohon/m2). Analisis ini menggunakan data hasil pengukuran langsung di lapangan, berupa jumlah individu, diameter batang, tipe substrat dan luas petak contoh yang diambil. Selanjutnya dilakukan analisis potensi, mengacu kepada English et al. 1994; Snedaker dan Snedaker (1984), diantaranya adalah :

a. Kerapatan Jenis (Di)

Kerapatan jenis adalah jumlah individu jenis ke-i dalam suatu unit area :

Keterangan : Di = kerapatan jenis ke-i (%) Ni = jumlah total tegakan jenis ke-i

[image:37.595.95.487.42.840.2]

A = luas total area pengambilan contoh (m2)

(38)

%

100

×

=

= n n i

n

n

RDi

=

=

n i

p

pi

Fi

1

%

100

1

×

=

= n i

F

Fi

RFi

b. Kerapatan Relatif Jenis (RDi)

Kerapatan relatif jenis adalah perbandingan antara jumlah individu jenis ke-i dan jumlah total individu seluruh jenis :

Keterangan : RDi = kerapatan relatif jenis ke-i (%) ni = jumlah total tegakan jenis ke-i n = jumlah tegakan seluruh jenis

c. Frekuensi Jenis (Fi)

Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannnya jenis ke-i dalam petak contoh /plot yang diamati :

Keterangan : Fi = frekuensi jenis ke-i

pi = jumlah petak contoh tempat ditemukan jenis ke-i p = jumlah total petak contoh/plot yang diamati

d. Frekuensi Relatif Jenis (RFi)

Frekuensi relatif jenis adalah perbandingan antara frekuensi jenis dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis :

Keterangan : RFi = frekuensi relatif jenis ke-i (%) Fi = frekuensi jenis ke-i

(39)

A

BA

Ci

n i

=

=

1

%

100

1

×

=

= n i

Ci

Ci

RCi

RCi

RFi

RDi

IVi

=

+

+

e. Penutupan Jenis (Ci)

Penutupan jenis adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area :

Keterangan : Ci = penutupan jenis ke-i BA = ðDBH2/4 (dalam cm2)

ð = 3,14

DBH = diameter pohon jenis ke-i (cm)

A = luas total area pengambilan contoh (m2)

f. Penutupan Relatif Jenis (RCi)

Penutupan relatif jenis adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis ke-i) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis :

Keterangan : RCi = penutupan relatif jenis ke-i (%) Ci = luas area penutupan jenis ke-i Ci = luas total penutupan seluruh jenis

g. Nilai Penting Jenis (IVi)

Nilai penting jenis adalah jumlah nilai keraparan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dan penutupan relatif jenis.

Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0-300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai perngaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.

3.4.2. Analisis deskripsi kondisi perairan

(40)

A

Ni

D

=

termasuk dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP No. 51/MNLH/I/2004 sebagai acuan baku mutu perairan laut untuk biota laut. Untuk mencari nilai rata-rata dari masing-masing parameter, digunakan panduan formulasi dari Walpole (1995), berikut ini :

Keterangan : x = rata-rata pengamatan n = jumlah data

xi = data ke-i

3.4.3. Analisis Substrat

Tekstur substrat dianalisis berdasarkan perbandingan pasir, liat, dan debu pada Sigitiga Millar (Gambar 5). Berikut ini adalah Langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu :

1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.

2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 40% sejajar dengan sisi persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25% sejajar dengan sisi persentase pasir.

3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya dalam hal ini adalah lempung liat.

3.4.4. Analisis Gastropoda 1) Komposisi dan kepadatan

Komposisi jenis makrozoobentos menggambarkan kekayaan jenis yang terdapat di lingkungannya. Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu persatuan luas (Krebs 1989).

Keterangan : D = kepadatan organisme (ind/m2) Ni = jumlah individu

(41)

=

=

N

ni

N

ni

H

S i 2 1

log

'

2) Indeks keanekaragaman

Indeks ini digunakan untuk mengetahui keanerakaragaman jenis biota perairan termasuk makrozoobentos. Persamaan untuk menghitung indeks ini adalah persamaaan Shannon-Wienner (Broweret al.1990).

Keterangan : H’ = indeks Diversitas Shannon-Wienner ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu S = jumlah spesies

Kriteria: H’< 1 = keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan komunitas biota rendah (tidak stabil). 1 < H’ < 3 = keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap

spesies rendah dan komunitas biota sedang.

[image:41.595.129.482.95.380.2]

H’ > 3 = keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan komunitas biota tinggi (stabil).

(42)

=





=

S i

N

ni

D

1 2

S

Log

H'

H

H'

E

maks 2

=

=

3) Indeks keseragaman

Indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota, yaitu seragam atau tidak. Jika nilai indeks keseragaman relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi seragam (Brower et al. 1990). Indeks keseragaman ditentukan dengan formulasi berikut :

Keterangan: E = indeks keseragaman H’ = indeks keanekaragaman H’ maks = keanekaragaman maksimum S = jumlah spesies

Nilai indeks berkisar antar 0 – 1:

E 0, keseragaman antarspesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.

E = 1, keseragaman antarspesies relatif seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama.

4) Indeks dominansi

Menurut Odum (1993) untuk mengetahui adanya dominansi jenis tertentu di perairan dapat digunakan indeks Dominansi Simpson dengan persamaan berikut :

Keterangan : D = indeks Dominansi Simpson ni = jumlah individu jenis ke-i N = jumlah total individu S = jumlah spesies

Indeks Dominansi antara 0 – 1:

D 0, tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.

(43)
[image:43.595.103.505.88.560.2]

Gambar 10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan 4.1.1 Suhu

Sebaran suhu menunjukkan nilai relatif merata. Pada saat pasang suhu berkisar antara 31,00-32,20 oC, sedangkan pada saat surut suhu berkisar antara 31,00-31,50 o

C (Gambar 10). Adanya perbedaan suhu pada saat pasang dan surut diduga dipengaruhi oleh cuaca dan waktu pengambilan sampel. Dalam hal ini pengambilan sampel air pada saat pasang dilakukan pada waktu siang hingga sore hari, sementara untuk kondisi surut dilakukan pada waktu pagi hingga siang hari.

Pengaruh kedalaman perairan juga dapat menjadi pertimbangan sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi suhu. Misalnya, pada stasiun V dan VI terukur suhu pada saat pasang lebih tinggi daripada surut, hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada kedalaman yang lebih rendah (saat pasang) lebih cepat mengalami pemanasan daripada saat surut (kedalaman tinggi). Hal serupa juga diungkapkan oleh Wijayaet al. (2007) bahwa distribusi suhu permukaan perairan Teluk Banten mengalami peningkatan ketika mendekati tepian teluk dan seiring garis lintang yang cenderung dekat dengan garis ekuator (Lampiran 14).

(44)

sumberdaya perikanan (Van Den Bergh et al. 2003 in Wijaya et al. 2007). Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan seperti ikan dan udang. Umumnya dengan kenaikan suhu, laju metabolisme akan meningkat. Udang-udang muda dan dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40 oC, namun jarang ditemukan pada suhu 38oC atau lebih (Munro 1968inMumin 2004).

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu udara minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC. Kisaran suhu yang diamati masih mendukung kehidupan gastropoda. Menurut Siagian (2001) in Suwondo et al. (2006), suhu yang tepat untuk kehidupan benthos berkisar antara 25-32 ºC.

Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2003) mendapatkan kisaran suhu udara optimum untuk pertumbuhan beberapa spesies tumbuhan mangrove, yaituAvicennia marinatumbuh baik pada suhu 18-20ºC. Rizhopora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun segar dicapai pada suhu 26-28 ºC. Suhu optimum untukBruguieraspp. adalah 27 ºC, sedangkan untukXylocarpusspp. berkisar antara 21-26 ºC danXylocarpus granatum pada suhu 28 ºC.

4.1.2. Salinitas

Salinitas perairan Teluk Banten sebesar 34 PSU,kecuali pada stasiun V dan VI tercatat lebih rendah, berkisar antara 32-33 PSU.Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh adanya masukan air tawar dari kali Padek/Perumpung dan pertambakan disekitarnya. Nilai salinitas yang diperoleh masih berada pada kisaran salinitas air laut yang normal, yaitu 32 hingga 35 PSU (Gambar 11). Salinitas kawasan pesisir sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar melalui aliran sungai (Nybakken 1988).

Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi mangrove. Pada umumnya vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30 PSU (Aksornkoae 1993).

(45)

Gambar 11. Sebaran salinitas perairan Teluk Banten

Sungai Cengkok (Cibanten), namun nilai salinitas pada titik ini menunjukkan kesamaan dengan stasiun lainnya yang berada di wilayah pesisir. Hal ini dipengaruhi karena di Sungai Cengkok terdapat tanggul bendungan pada jarak 2 km dari garis pantai. Pada kondisi ini suplai air tawar dari sungai sangat terhambat dan hanya mengalir ke arah lokasi Pelabuhan Karangantu. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh musim kemarau dengan ditandai menurunnya debit aliran sungai tersebut. Sebagai informasi bahwa sungai Cibanten pada jarak 2 km dari garis pantai dibagi menjadi dua aliran yaitu Muara Cengkok (stasiun III) dan muara Pelabuhan Karangantu.

Setiap biota perairan memiliki batasan tertentu terhadap parameter lingkungannya sebagai syarat untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya udang, udang termasuk hewan yang mampu hidup pada perairan yang bersalinitas cukup lebar (eurihalin). Tiap jenis udang memiliki pilihan kadar garam yang berbeda. Pada salinitas yang sangat rendah maupun pada kadar garam 40 PSU bila perubahannya terjadi perlahan-lahan, jenis Penaeus monodon dan Metapenaeus spp. masih dapat hidup (Munro 1968inMumin 2004). Untuk mengatasi kondisi salinitas lingkungan yang melebihi kadar toleransi, gastropoda beradaptasi dengan cara menyesuaikan cairan tubuhnya dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya.

4.1.3. Kekeruhan

(46)
[image:46.595.108.506.80.427.2]

Gambar 12. Kekeruhan perairan Teluk Banten

terbatasnya produktivitas perairan (Nybakken 1988). Tingkat kekeruhan pada saat pasang di perairan Teluk Banten berkisar antara 22,50-76,00 NTU, sedangkan pada saat surut berkisar antara 22,50-57,00 NTU (Gambar 12). Nilai kekeruhan pada setiap stasiun telah melampaui baku mutu kekeruhan untuk biota laut. Baku mutu yang disarankan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, adalah tidak melebihi kadar 5 NTU.

Tingginya kekeruhan ini dapat dipengaruhi oleh tekstur substrat perairan yang terangkat dan tersuspensi dalam perairan oleh besarnya gelombang ataupun arus. Contohnya, pada saat pasang diperoleh nilai kekeruhan yang lebih tinggi daripada saat surut. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel air saat pasang dilakukan pada titik yang berdekatan dengan garis pantai. Titik ini ditandai dengan kedalaman yang rendah sehingga sangat memungkinkan terjadinya pencampuran massa air, baik pengaruh gelombang maupun arus pasang surut. Sebaliknya, pada stasiun III tercatat nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada stasiun lain, hal ini dipengaruhi oleh posisi stasiun tersebut, mengingat bahwa stasiun III berada di muara sungai dan secara visual perairan ini tampak jernih dan memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter.

4.1.5. Derajat keasaman ( pH)

(47)

Gambar 13. Derajat keasaman (pH) perairan Teluk Banten

No.51/MNLH/I/2004, kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu untuk kelangsungan hidup biota laut, dengan baku mutu yang disarankan berkisar antara 7-8,50. Menurut Purnomo (1979) in Mumin (2004), pH air normal yang mendukung kehidupan udang adalah 7-8,90. Air dengan pH yang rendah atau tinggi di luar batas normal, mempunyai pengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan udang Penaeid.

Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik. Kondisi ini pun menunjukkan bahwa kawasan ekosistem mangrove ini masih mendukung kehidupan g a s t ro po d a, me ng ing a t ba hw a kisaran pH 5-9 masih dapat mendukung kehidupan biota perairan. Derajat keasaman atau pH yang optimum bagi Moluska bentik berkisar antara 6,5-7,5 (Russle-Hunter 1968 in Razak 2002). Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 ( Siagian 2001inSuwondoet al.2006).

4.1.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

(48)
[image:48.595.118.487.139.304.2]

Gambar 14. Kadar DO perairan Teluk Banten

kesehatan, dan stadia biota serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Poernomo 1979in Mumin 2004).

Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan pada saat surut di setiap stasiun pengamatan kadar DO diperoleh lebih tinggi. Hal ini diduga adanya pengaruh dari proses fotosintesis fitoplankton yang memproduksi oksigen sehingga kadar DO di perairan meningkat. Pada stasiun IV, V, dan VI saat pasang diperoleh nilai DO berturut-turut 3,48, 4,25, dan 4,45 mg/l, kadar ini lebih rendah dari 5 mg/l sebagai baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004. Rendahnya kadar oksigen terlarut (DO) di ketiga stasiun tersebut diduga dipengaruhi oleh pergerakan air (arus) yang relatif kecil daripada stasiun lain. Ketersediaan oksigen terlarut di perairan sebagian besar dihasilkan melalui proses fotosintesis fitoplankton, sisanya dipengaruhi oleh proses difusi dari udara ke dalam air. Disamping itu, proses pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, respirasi biota perairan dan limbah yang masuk ke badan air juga dapat menentukan ketersediaan oksigen terlarut (DO) di perairan (Nybakken 1988).

(49)
[image:49.595.94.509.65.756.2]

Gambar 15. Kadar BOD perairan Teluk Banten 4.1.7. Biochemichal Oxygen Demand(BOD)

Kadar BOD hasil pengukuran pada saat pasang berkisar antara 9,01 mg/l -27,83 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 9.31 mg/l-19.55 mg/l (Gambar 15). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu BOD untuk biota laut tidak melebihi kadar 20 mg/l, sedangkan berdasarkan data yang diperoleh terdapat beberapa stasiun yang telah melampaui baku mutu BOD yaitu stasiun I, II, V, dan VI pada saat pasang, sedangkan pada saat surut setiap stasiun menunjukkan kadar BOD yang memenuhi baku mutu. Hal ini diduga bahwa adanya arus dan gelombang dapat mengangkat partikel-partikel di dasar yang kaya dengan bahan organik sehingga tercampur membentuk partikel-partikel tersuspensi di perairan, mengingat bahwa ekosistem mangrove merupakan penyulai bahan organik utama di perairan sekitarnya disamping adanya pengaruh masukan bahan organik dari limbah rumah tangga yang dibawa aliran sungai.

4.1.8. Ammonia

(50)

Gambar 16. Kadar ammonia perairan Teluk Banten

Ammonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan kolom air. Ammonia juga bersumber dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati) oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah ammonifikasi. Reduksi nitrat (denitrifikasi) oleh aktifitas mikroba pada kondisi anaerob juga menghasilkan gas ammonia. Pada perairan anoksik (tanpa oksigen), biasanya di dasar perairan, kadar ammonia relatif tinggi (Boyd 2001).

Senyawa-senyawa nitrogen organik yang larut dalam air maupun berupa partikel tersuspensi yang berasal dari organisme mati dan hasil eksresi hewan bahari cepat dirombak menjadi ammonia (Koesoebiono 1980). Rendahnya kadar ammonia di stasiun I, diduga telah terjadi perombakan nitrogen organik dari tahap ammonia ketahap berikutnya (seperti nitrit atau nitrat), hal ini di dukung dengan ketersediaan oksigen yang memenuhi dalam yang mempercepat proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu. Sebaliknya di stasiun IV, V, dan VI memiliki kadar ammonia tinggi, hal ini diduga proses perombakan bahan organik masih dalam tahap awal sebelum terjadi prosesnitrifikasike tahap berikutnya seperti yang diungkapkan Koesoebiono (1980).

4.1.9. Nitrat

(51)

Gambar 17. Kadar nitrat perairan Teluk Banten

nitrat di lokasi penelitian pada saaat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,44 mg/l, sedangkan pada saat surut 0,12 mg/l – 0,29 mg/l (Gambar 17). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu nitrat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,008 mg/l. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar nitrat di setiap stasiun pengamatan telah melampaui baku mutu yang disarankan. Kadar nitrat di perairan akan dimanfaatkan produser primer (fitoplankton) sebagai unsur hara bagi petumbuhan dan perkembangan selnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas primer perairan.

Tingginya kadar nitrat di stasiun I, ditandai dengan melimpahnya bahan organik yang diduga mengandung bahan-bahan nitrogen organik seperti organisme dan tumbuhan yang mati, eksresi organisme ataupun bawaan dari aliran sungai yang mengandung limbah organik seperti pupuk pertanian, tinja, dan berbagai macam sampah organik, mengingat bahwa stasiun ini berada disekitar muara pelabuhan.

Dalam pembentukan nitrat ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu dengan mengoksidasi senyawa nitrogen anorgaik yang terbentuk. Untuk kasus ini, diduga prosesnitrifikasisudah mencapai tahap akhir yaitu terbentuknya nitrat, yang pada mulanya adalah ammonia. Hal ini terlihat dari tingginya nitrat disertai dengan menurunnya kadar ammonia.

4.1.10. Fosfat

(52)
[image:52.595.113.499.170.428.2]

Gambar 18. Kandungan fosfat perairan Teluk Banten

Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu fosfat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,015 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran, mengindikasikan bahwa kandungan fosfat di kawasan ini telah melebihi baku mutu yang disarankan.

Keberadaan fitoplankton dapat mempengaruhi kadar fosfat di perairan. Hal ini dipengaruhi karena fosfat merupakan salah satu bentuk nutrien yang diperlukan produser primer (fitoplankton atau makrofita) untuk pertumbuhan dan perkembangan selnya (Boyd 2001).

Di stasiun I, kadar fosfat pada saat surut diperoleh lebih tinggi, hal ini diduga pada saat surut terjadi pencampuran air dari sungai Pelabuhan yang membawa sumber-sumber fosfat. Sebaliknya di stasiun V dan VI pada saat pasang, kadar fosfat lebih tinggi, hal ini diduga pada saat pasang naik air dari laut cenderung masuk menempati daerah intertidal, salah satunya mengalir melalui parit-parit tambak dan terjadi pencampuran dengan air yang bersumber dari tambak yang masih aktif yang diduga menggunakan pupuk fosfat.

4.1.11. Arus

(53)

Gambar 19. Arus perairan Teluk Banten

pasir dan sedimentasi umumnya rendah. Sebaliknya, pada lokasi dengan arus pasang surut yang rendah, dapat mengendapkan sedimen lumpur sehingga sedimentasi lebih tinggi.

Di perairan Teluk Banten, pasang surut tertinggi dijumpai pada musim timur (0,55 m). Menurut WYRTKI (1961) in Sutomo dan Riyono (1990), kecepatan arus pada puncak musim timur bulan Agustus di sepanjang pantai utara jawa berkisar antara 6-12 cm/dtk.

(54)

4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove

4.2.1 Komposisi dan kerapatan jenis mangrove

Vegetasi mangrove yang ditemukan terdiri dari 3 (tiga) famili yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae dan Acanthaceae (Tabel 4). Famili Avicenniaceae yang ditemukan adalah jenis Avicennia marina, sedangkan Famili Rhizophoraceae diantaranya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Kedua Famili ini merupakan jenis mangrove berupa pohon dan termasuk ke dalam kelompok mangrove sejati/utama (mayor). Jenis lain yang ditemukan adalah Acanthus ilicifolius yang memiliki nama lokal jeruju hitam/daruyu/darulu. Jenis ini termasuk Famili Acanthaceae yang berupa mangrove herba rendah dan terjurai di permukaan tanah (Nooret al.2006).

Tabel 4. Sebaran jenis mangrove yang ditemukan di lokasi pengamatan

No. Famili Jenis Stasiun

I II III IV V VI

1. Avicenniaceae Avicennia marina + + - + + +

2.

Rhizophoraceae Rhizophora mucronata + + + - - +

3. Rhizophora apiculata - - - - +

-4. Acanthaceae Acanthus ilicifolius - - - +

Keterangan : (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan

Secara keseluruhan komunitas mangrove di kawasan ini didominasi oleh jenis Avicennia marina, hal ini terlihat bahwa dari keenam stasiun yang diamati, 5 stasiun diantaranya telah ditemukan jenis ini. Jenis lain sepertiRhizophora mucronatadapat ditemukan di 4 (empat) lokasi. Sebaliknya, Rhizophora apiculata dan Acanthus ilicifolius hanya dapat ditemukan masing-masing di satu lokasi. Tumbuhnya Acanthus ilicifolius merupakan suatu indikasi bahwa suatu ekosistem telah mengalami kerusakan (Bengen 2004).

(55)

Kerapatan jenis mangrove dikelompokan ke dalam 3 kategori yaitu pohon, anakan dan semai. Untuk kategori pohon, jenis yang ditemukan adalah Avicennia marinadanRhizophora mucronata (Gambar 20a). Jenis Avicennia marinamemiliki kerapatan tertinggi merata hampir di semua stasiun. Kerapatan tertinggi jenis ini ditemukan di stasiun I mencapai 9 ind/100 m2dan kerapatan terendah di stasiun VI, 1 ind/100 m2. Berbeda halnya denganRhizophora mucronata,di stasiun VI jenis ini memiliki kerapatan tertinggi mencapai 2 ind/100 m2dan terendah 1 ind/100 m2yang ditemukan di stasiun I.

Sebelum kawasan ini terdegradasi, diduga tumbuh berbagai macam vegetasi mangrove alami yang didominasi oleh Avicennia marinasekaligus sebagai vegetasi pionir dalam komunitas mangrove. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya beberapa vegetasi di sekitar pematang pertambakan dengan ukuran secara visual tergolong tumbuhan dewasa dan tua. Pada saat ini hanya tersisa sejumlah vegetasi yang masih bertahan seiring besarnya tekanan ekologi terhadap ruang hidup mangrove tersebut, seperti yang ditemukan di beberapa stasiun seperti di stasiun I, mangrove di sini

(b) (a)

(c)

(56)

khususnya Avicennia marina memiliki diameter pohon rata-rata 11 cm, hal ini sebagai indikasi bahwa komunit

Gambar

Tabel 1. Karakteristik fisik stasiun pengamatan
Gambar 4. Lokasi penelitian dan stasiun pengamatan
Gambar 5. Ilustrasi teknik pengambilan sampel mangrove
Tabel 3. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Cagar Alam Pulau Dua (CPAD) merupakan kawasan lindung yang didominasi oleh vegetasi mangrove, terletak di Teluk Banten (berhadapan langsung dengan Laut Jawa) dan

H5N1 pada unggas peliharaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan CAPD sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya pencegahan penyebaran virus AI subtipe H5N1

H5N1 pada unggas peliharaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan CAPD sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya pencegahan penyebaran virus AI subtipe H5N1

Stasiun 2 merupakan lokasi dengan jumlah mangrove yang cukup banyak sehingga nutrisi diperkirakan lebih tinggi di stasiun lainnya, faktor yang berpengaruh terhadap

Hal ini diindikasikan dengan adanya kawas- an-kawasan yang merupakan bagian dari habitat satwa penting dan bernilai kon- servasi tinggi di sekitar kawasan CA, yakni

Keanekaragaman jenis tumbuhan mangro- ve di Cagar Alam Pulau Sempu cukup tinggi, karena dari hasil inventarisasi dan eksplorasi di hutan mangrove Ra’as, Air Tawar dan Teluk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ragam aktivitas yang dilakukan oleh tiga jenis kuntul terhadap keberhasilan makannya di Cagar Alam Pulau Dua Teluk Banten,